Oleh :
Putri Silvia
1110312099
Preseptor :
dr. H. Zulhanif Nazar, Sp.OG (K)
dr. Ori John, Sp.OG (K)
PERIODE KEPANITERAAN KLINIK
21 SEPTEMBER 3 OKTOBER 2015
BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RUMAH SAKIT PROF. DR. M.A. HANAFIAH SM
BATUSANGKAR
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulan-kumpulan
peraturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial,
keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama
yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan memberikan sanksi bila dilanggar.
Tujuan pokok dari hukum adalah menciptakan suatu tatanan hidup dalam masyarakat
yang tertib dan sejahtera didalam keseimbangan. Dengan terciptanya ketertiban di
dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.
Setiap kesalahan yang diperbuat oleh seseorang tentu harus ada sanksi yang
layak untuk diterima si pembuat kesalahan agar terjadi keseimbangan dan keserasian
didalam kehidupan sosial. Untuk mengatur kehidupan masyarakat diperlukan kaidahkaidah yang mengikat setiap anggota masyarakat agar tidak terjadi kejahatan dan
pelanggaran terhadap ketertiban umum agar masyarakat dapat hidup damai, tenteram
dan aman. 1
Demikian pula bagi pasien, sebagai anggota masyarakat tentunya juga
memerlukan kaidah-kaidah yang dapat menjaganya dari perbuatan tenaga kesehatan
yang melanggar aturan ketertiban tenaga kesehatan itu sendiri. Disinilah hukum
diperlukan untuk mengatur agar tenaga kesehatan menaati peraturan yang telah
ditentukan oleh profesinya. Tanpa sanksi yang jelas terhadap pelanggaran yang
dilakukannya, sebagai manusia biasa tentunya tenaga kesehatan pun dapat bersikap
ceroboh. Oleh karena itu, bila memang seorang tenaga kesehatan terbukti melakukan
malpraktek yang berakibat fatal terhadap pasien, tentunya perlu dikaji apakah ada
pidana yang dapat diberlakukan kepada profesi ini.1
Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan suatu
perbuatan yang dapat dipidana. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi tindak
pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
Malpraktek medik adalah istilah yang sering digunakan orang untuk tindak pidana
yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi didalam dunia kesehatan atau biasa
disebut tenaga kesehatan. Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Black Law Dictionary merumuskan
bahwa malpraktek adalah sikap/tindak yang salah, kurang keterampilan dalam ukuran
yang tidak wajar. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan
melakukannya pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar oleh
teman sejawat rata-rata dari profesinya di dalam masyarakat, sehingga megakibatkan
luka, kehilangan, atau kerugian pada penerima layanan yang mempercayai mereka,
termasuk di dalamnya adalah sikap-tindak profesi yang salah, kurang keterampilan
yang tidak wajar, menyalahi kewajiban profesi atau hukum, praktik yang sangat
buruk, illegal, atau sikap tindak amoral.
Menurut Guwandi malpraktek adalah istilah yang memiliki konotasi buruk,
bersifat stigmatis, dan menyalahkan. Praktik buruk dari seseorang yang memegang
profesi dalam arti umum seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter
hewan, dan sebagainya. Apabila ditujukan kepada profesi medis, maka akan disebut
sebagai malpraktek medik.
Malpraktek medik menurut Safitri Hariyani mengutip pendapat Vortsman dan
Hector Treub juga atas rumusan komisi Annsprakelijkheid dari KNMG (IDInya
Belanda) adalah seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan
pemeriksaan, tidak mendiagnosis, tidak melakukan sesuatu, atau tidak membiarkan
sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang
sama akan melakukan pemeriksaan dan diagnosis serta melakukan atau membiarkan
sesuatu tersebut.
Menurut M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir malpraktek adalah kelalaian seorang
dokter dalam menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim digunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama. Kelalaian yang dimaksudkan di sini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak
melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar,
5
tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan
melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan
tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar operasi dan standar
prosedur operasional).
Dari beberapa pengertian tentang malpraktek diatas dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan malpraktek adalah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak
dilakukan oleh seorang tenaga ahli, tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
atau melalaikan kewajiban, dan melanggar suatu ketentuan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Sementara malpraktek medik adalah kesalahan tenaga
kesehatan yang tidak menggunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan
sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau
cacat atau bahkan meninggal dunia.
Adapun tenaga kesehatan yang dimaksud adalah yang tercantum dalam
Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
tenaga kesehatan terdiri dari:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Tenaga medis
Tenaga keperawatan
Tenaga kefarmasian
Tenaga kesehatan masyarakat
Tenaga gizi
Tenaga keterapian fisik
g. Tenaga keteknisan medis.
Untuk menguji apakah yang dilakukan dokter sebagai tenaga kesehatan dalam
menjalankan profesinya itu merupakan suatu malpraktek atau bukan, Leenan
menyebutkan lima kriteria, seperti yang dikutip oleh Fred Ameln, yaitu:
1. Berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan kelalaian (culpa). Bila
seoang dokter bertindak tidak teliti dan tidak hati-hati, maka ia memenuhhi
unsur-unsur kesalahan; bila ia sangat tidak berhati-hati maka ia memenuhi
2.
3.
4.
5.
Menurut Munir Fuady, agar suatu tindakan dokter dapat digolongkan sebagai
tindakan malpraktek haruslah memenuhi elemen-elemen yuridis sebagai berikut:
1. Adanya tindakan dalam arti berbuat atau tidak berbuat (pengabaian).
2. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau oleh orang di bawah
pengawasannya (seperti oleh perawat), bahkan juga oleh penyedia fasilitas
kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, atau apotek, dll.
3. Tindakan tersebut berupa tindakan medik, baik berupa tindakan diagnostik,
terapi atau juga manajemen kesehatan.
4. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya.
5. Tindakan tersebut dlakukan secara:
a. Melanggar hukum, dan atau;
b. Melanggar kepatuhan, dan atau;
c. Melanggar kesusilaan, dan atau;
d. Melanggar prinsip-prinsip profesionalitas.
6. Dilakukan
dengan
kesengajaan
atau
ketidakhati-hatian
(kelalaian/kecerobohan)
7. Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya mengalami:
a. Salah tindak, dan atau;
b. Rasa sakit, dan atau;
c. Luka, dan atau;
d. Cacat, dan atau;
e. Kematian dan atau;
f. Kerusakan pada tubuh dan atu jiwanya, dan atau;
g. Kerugian lainnya terhadap pasien.
2.2.
bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical
malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.
1. Malpraktek Etik
Malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan dalam
KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang
berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan
dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan
dilakukan
terhadap
pasien
maka
obat
tersebut,
kadang-kadang
juga
bisa
Teori-Teori Malpraktek
10
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu:
a.
11
dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu
kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat
(culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan
merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum. Selain dikenal
adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang apabila
ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak
pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut
pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat
hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan pembelaan
apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek.
a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung
dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk
melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala
resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori
ini mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama
tindakan tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.
b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh
pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c. Perjanjian Membebaskan dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan
malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus
dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau
rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek. Teori pembelaan ini
bersifat spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan
pembelaannya, yang dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien,
hasinya sangat tergantung pada penilaian pengadilan.
12
Menurut
teori
ini,seorang
tenaga
kesehatan
yang
memberikan
jawab
pidana)
misalnya
terjadi
kelalaian
berat
sehingga
13
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu
kasus malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang
sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus
malpraktek yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan
menurut peraturan workmens compensation, semua pegawai dan pekerja
menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak
menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau
luka. Akan tetapi walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak
berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya kepada pasien.
Meskipun terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus dilihat
apakah tindakan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi. Apabila
tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar profesi, maka
teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembelaan baginya.
Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa seorang
tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa
darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun terdapat
peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam memberikan
pertolongan gawat darurat pada peristiwadarurat tetap harus memberikan
pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan keahlian
yang dimilikinya.
Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat, seorang tenaga
kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan tidak sungguhsungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika terjadisesuatu
hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yang ditolongnya itu,
maka tenaga kesehatan tersebut tetap dapat dituntut secara hukum.
2.4.
substantif, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak
14
mengenal bangunan hukum malpraktek. Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter
mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam
menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika
kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan
bidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara
khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif
yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter
yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di
Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas
dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan. Istilah hukum kedokteran mula-mula
diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health
Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan,
sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum
kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan
berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum
pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di
Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law
di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam
bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law
penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Jika ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang
asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan
medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih
perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan
batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan
sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh pikir bangsa Indonesia dengan berlandaskan
15
budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture)
yang sesuai dengan sistem kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan
malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan)
dan jalur non litigasi (diluar peradilan). Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang
kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan
cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian
kesalahan atau kelalaian tersebut.
Masalah ini terkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan
oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab
hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena
menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang
digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara
pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan
agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya
tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih
dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam
struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan
menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran
hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang
menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya
ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk
secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995
tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada
atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab
profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang
keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili
16
organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi.
Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat
diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter
yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak
dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa
puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang
memikirkan kepentingan pasien.
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga dokter
karena adanya mal praktek diharapkan para dokter dalam menjalankan tugasnya
selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya,
karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan
b.
c.
d.
e.
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
2.5.
17
2. Hal-hal yang harus dilakukan dokter untuk menghindarkan diri dari tuntutan
hukum:
a. Informed Consent
Dalam menjalankankan profesinya Informed Consent merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang dokter. Informed Consent
terdiri dari dua kata yaitu informed yang mengandung makna
penjelasan atau keterangan (informasi), dan kata consent yang
bermakna persetujuan atau memberi izin. Dengan demikian Informed
Consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya setelah mendapat informasi tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap dirinya serta segala resikonya.
b. Rekam Medik
Selain Informed Consent, dokter juga berkewajiban membuat Rekam
Medik dalam setiap kegiatan pelayanan kesehatan terhadap pasiennya.
Pengaturan rekam medis terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) UndangUndang Praktik Kedokteran. Rekam medis merupakan berkas yang
berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada pasien.
Rekam medis dibuat dengan berbagai manfaat, yaitu untuk pengobatan
pasien, peningkatan kualitas pelayanan, pendidikan dan penelitian,
pembiayaan, statistik kesehatan serta pembuktian masalah hukum,
disiplin dan etik.
3. Alasan peniadaan hukuman terhadap dokter yang diduga melakukan
malpraktek medis
a. Resiko Pengobatan
Menurut Danny Wiradharma, resiko pengobatan terdiri dari 9:
1) Resiko yang inheren atau melekat
Setiap tindakan medis yang dilakukan dokter pasti mengandung
resiko, oleh sebab itu dokter harus menjalankan profesi sesuai
dengan standar yang berlaku. Resiko yang dapat timbul misalnya
rambut rontok akibat kemoterapi.
2) Reaksi hipersentivitas
Respon imun tubuh yang berlebihan terhadap masuknya benda asing
(obat) sering tidak dapat diperkirakan terlebih dahulu.
19
terjadi
kecelakaan
medik,
pertanggungjawaban
dokter
diatas
20
dipertanggungjawabkan atas
tindakan medisnya. Selain itu doktrin ini dapat juga diterapkan pada kasus
pulang paksa (pulang atas kehendak sendiri walaupun dokter belum
mengizinkan), maka hal semacam itu membebaskan dokter dan rumah
sakit dari tuntutan hukum.
f. Res Ipsa Loquitur
Doktrin res ipsa loquitur ini berkaitan secara langsung dengan beban
pembuktian (onus, burden of proof), yaitu pemindahan beban
pembuktian dari penggugat (pasien atau keluarganya) kepada tergugat
(tenaga medis). Terhadap kelalaian tertentu yang sudah nyata, jelas
sehingga dapat diketahui seorang awam atau menurut pengetahuan
umum antara orang awam atau profesi medis
atau
kedua-duanya,
bahwa cacat, luka, cedera atau fakta sudah jelas nyata dari akibat
kelalaian tindakan medik dan hal semacam ini tidak memerlukan
pembuktian dari penggugat akan tetapi tergugatlah yang harus
membuktikan bahwa tindakannya tidak masuk kategori lalai atau keliru.
21
Praktik
Kedokteran
mengamanatkan
terbentuknya
lembaga
klarifikasi
oleh
petugas
khusus dari
apakah pengaduan tersebut diterima, tidak diterima atau ditolak. Jika pengaduan
diterima maka Ketua MKDKI membentuk MPD yaitu Majelis Pemeriksa Disiplin.
Anggota dari MPD ini berasal dari MKDKI. MPD dapat memutuskan pengaduan
tersebut tidak dapat diterima, ditolak atau penghentian pemeriksaan. MPD
selanjutnya melakukan investigasi. Investigasi dilakukan untuk mengumpulkan
informasi dan alat bukti yang berkaitan dengan peristiwa yang diadukan. Setelah
investigasi, baru dilakukan sidang pemeriksaan disiplin.
Jika sidang pemeriksaan disiplin dokter atau dokter gigi selesai maka MPD
akan menetapkan keputusan terhadap teradu. Keputusan tersebut dapat berupa:
a. Dinyatakan tidak melakukan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi
b. Pemberian sanksi disiplin, berupa :
1. Peringatan tertulis
2. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan, yang dapat dilakukan
dalam bentuk :
a). Reedukasi formal di institusi
b). Pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang terakreditasi
c). Reedukasi nonformal yang dilakukan dibawah supervise dokter
atau dokter gigi tertentu di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi yang terakreditasi, fasilitas pelayanan kesehatan
dan jejaringnya, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain yang
ditunjuk, sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan paling lama 1
(satu) tahun
3. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP yang bersifat :
a. Sementara paling lama 1 (satu)tahun
b. Tetap atau selamanya
c. Pembatasan tindakan asuhan medis tertentu pada suatu area ilmua
kedokteran atau kedokteran gigi dalam pelaksanaan praktik
kedokteran.
Apabila terbukti melakukan pelanggaran disiplin, maka setelah keputusan
Dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap
keputusan MKDKI kepada Ketua MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
sejak dibacakan atau diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru
yang mendukung keberatannya.
Dalam hal menjamin netralitas MKDKI, Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan
23
3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi masing-masing, seorang dokter dan seorang
dokter gigi mewakili asosiasi Rumah Sakit dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.
Sehingga tidak dikhawatirkan lagi pihak dokter akan membela rekan sejawatnya.
24
BAB 3
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Malpraktek malparaktik berasal dari kata malpractice yang pada hakikatnya
adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Dalam menangani kasus malpraktek,
hukum di Indonesia menggunakan hukum substantive yaitu hukum pidana, hukum
perdata dan hukum administrasi. Untuk membuktikan adanya civil malpractice
tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri
(res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan
kewajiban
(dereliction
of
duty)
dan
adanya
hubungan
langsung
antara
DAFTAR PUSTAKA
25
1.Isfandyarie,Anny,
Malpraktek
Dan
Resiko
Medik
Dalam
Kajian
26