Anda di halaman 1dari 27

Clinical Science Session

STRATEGI MENGHADAPI TUNTUTAN MALPRAKTEK

Oleh :
Putri Silvia

1110312099

Preseptor :
dr. H. Zulhanif Nazar, Sp.OG (K)
dr. Ori John, Sp.OG (K)
PERIODE KEPANITERAAN KLINIK
21 SEPTEMBER 3 OKTOBER 2015
BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RUMAH SAKIT PROF. DR. M.A. HANAFIAH SM
BATUSANGKAR
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulan-kumpulan
peraturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial,
keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama
yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan memberikan sanksi bila dilanggar.
Tujuan pokok dari hukum adalah menciptakan suatu tatanan hidup dalam masyarakat
yang tertib dan sejahtera didalam keseimbangan. Dengan terciptanya ketertiban di
dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.
Setiap kesalahan yang diperbuat oleh seseorang tentu harus ada sanksi yang
layak untuk diterima si pembuat kesalahan agar terjadi keseimbangan dan keserasian
didalam kehidupan sosial. Untuk mengatur kehidupan masyarakat diperlukan kaidahkaidah yang mengikat setiap anggota masyarakat agar tidak terjadi kejahatan dan
pelanggaran terhadap ketertiban umum agar masyarakat dapat hidup damai, tenteram
dan aman. 1
Demikian pula bagi pasien, sebagai anggota masyarakat tentunya juga
memerlukan kaidah-kaidah yang dapat menjaganya dari perbuatan tenaga kesehatan
yang melanggar aturan ketertiban tenaga kesehatan itu sendiri. Disinilah hukum
diperlukan untuk mengatur agar tenaga kesehatan menaati peraturan yang telah
ditentukan oleh profesinya. Tanpa sanksi yang jelas terhadap pelanggaran yang
dilakukannya, sebagai manusia biasa tentunya tenaga kesehatan pun dapat bersikap
ceroboh. Oleh karena itu, bila memang seorang tenaga kesehatan terbukti melakukan
malpraktek yang berakibat fatal terhadap pasien, tentunya perlu dikaji apakah ada
pidana yang dapat diberlakukan kepada profesi ini.1
Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan suatu
perbuatan yang dapat dipidana. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi tindak
pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
Malpraktek medik adalah istilah yang sering digunakan orang untuk tindak pidana
yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi didalam dunia kesehatan atau biasa
disebut tenaga kesehatan. Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah

kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu


pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Sedangkan menurut Veronica,
malpraktek medik adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak
sesuai dengan standar profesi medis dalam menjalankan profesinya.1
Banyak persoalan malpraktek, atas kesadaran hukum pasien diangkat menjadi
masalah pidana. Menurut Maryanti, hal tersebut memberi kesan adanya kesadaran
hukum masyarakat terhadap hak-hak kesehatannya. Profesi dokter, seperti juga
profesi-profesi lain yang merupakan tenaga kesehatan adalah salah satu profesi yang
sangat dibutuhkan masyarakat.
Peranan dokter dalam masyarakat cukup besar, terutama bagi ibu atau wanita
hamil untuk dapat memberikan bimbingan, nasehat dan bantuan baik selama masa
kehamilan, melahirkan hingga pasca melahirkan. Dokter juga dapat memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum atau dengan kata lain tidak terbatas
pada ibu atau wanita hamil saja, apabila tidak terdapat dokter atau tenaga kesehatan
lain yang berwenang untuk melakukan pengobatan pada wilayah tersebut. Seperti
yang tercantum dalam Pasal 17 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Dokter, yang
berbunyi: Dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah
tersebut dokter dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi
ibu dan anak sesuai dengan kemampuannya.
Dokter sebagai salah satu profesi yang termasuk dalam tenaga kesehatan seperti
yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, tentu tidak lepas dari permasalahan ini. Pasien yang datang untuk
mendapatkan perawatan dari seorang dokter tentu saja mengharapkan dengan
kemampuan dan pengetahuannya di dokter kesehatan, dokter tersebut dapat
membantunya untuk memperbaiki kesehatannya.
Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik
artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban
memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan medis ini
dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi,

melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan


tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya.
Bagi ibu atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari
seorang dokter tentu saja mengharapkan agar dokter tersebut dapat membantunya
melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat
membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya. Namun seringkali terjadi dalam
prakteknya, perawatan atau tindakan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya
justru menimbulkan akibat atau dampak yang negatif bahkan membahayakan
kesehatan sang pasien. Misalnya perawatan atau tindakan yang dilakukan oleh dokter
untuk membantu seorang ibu atau wanita yang hamil justru mengakibatkan sang ibu
atau sang bayi menjadi cacat.
Pasien yang mengalami hal ini, tentu saja merasa dirugikan akibat perbuatan
yang dilakukan oleh dokter tersebut. Hal inilah yang seringkali dijadikan dasar untuk
menuntut dokter dengan alasan malpraktek.1 Seiring dengan meningkat kesadaran
masyarakat yang semakin menyadari haknya, maka tuntutan malpraktek ini semakin
sering kita jumpai.
1.2. Batasan Masalah
a. Apa pengertian malpraktek?
b. Apa saja jenis-jenis malpraktek?
c. Bagaimana upaya pencegahan dan penanganan terhadap malpraktek?
d. Bagaimana strategi menghadapi tuntutan malpraktek?
1.5. Tujuan Penulisan
a. Untuk dapat mengetahui dan memahami pengertian dari malpraktek.
b. Untuk dapat mengetahui dan memahami jenis-jenis malpraktek
malpraktek.
c. Untuk dapat mengetahui dan memahami upaya pencegahan penanganan
terhadap malpraktek.
d. Untuk dapat mengetahui dan memahami strategi menghadapi tuntutan
malpraktek.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Pengertian Malpraktek 1,2


Istilah malparaktik berasal dari kata malpractice yang pada hakikatnya

adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Black Law Dictionary merumuskan
bahwa malpraktek adalah sikap/tindak yang salah, kurang keterampilan dalam ukuran
yang tidak wajar. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan
melakukannya pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar oleh
teman sejawat rata-rata dari profesinya di dalam masyarakat, sehingga megakibatkan
luka, kehilangan, atau kerugian pada penerima layanan yang mempercayai mereka,
termasuk di dalamnya adalah sikap-tindak profesi yang salah, kurang keterampilan
yang tidak wajar, menyalahi kewajiban profesi atau hukum, praktik yang sangat
buruk, illegal, atau sikap tindak amoral.
Menurut Guwandi malpraktek adalah istilah yang memiliki konotasi buruk,
bersifat stigmatis, dan menyalahkan. Praktik buruk dari seseorang yang memegang
profesi dalam arti umum seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter
hewan, dan sebagainya. Apabila ditujukan kepada profesi medis, maka akan disebut
sebagai malpraktek medik.
Malpraktek medik menurut Safitri Hariyani mengutip pendapat Vortsman dan
Hector Treub juga atas rumusan komisi Annsprakelijkheid dari KNMG (IDInya
Belanda) adalah seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan
pemeriksaan, tidak mendiagnosis, tidak melakukan sesuatu, atau tidak membiarkan
sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang
sama akan melakukan pemeriksaan dan diagnosis serta melakukan atau membiarkan
sesuatu tersebut.
Menurut M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir malpraktek adalah kelalaian seorang
dokter dalam menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim digunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama. Kelalaian yang dimaksudkan di sini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak
melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar,
5

tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan
melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan
tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar operasi dan standar
prosedur operasional).
Dari beberapa pengertian tentang malpraktek diatas dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan malpraktek adalah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak
dilakukan oleh seorang tenaga ahli, tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
atau melalaikan kewajiban, dan melanggar suatu ketentuan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Sementara malpraktek medik adalah kesalahan tenaga
kesehatan yang tidak menggunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan
sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau
cacat atau bahkan meninggal dunia.
Adapun tenaga kesehatan yang dimaksud adalah yang tercantum dalam
Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
tenaga kesehatan terdiri dari:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Tenaga medis
Tenaga keperawatan
Tenaga kefarmasian
Tenaga kesehatan masyarakat
Tenaga gizi
Tenaga keterapian fisik
g. Tenaga keteknisan medis.
Untuk menguji apakah yang dilakukan dokter sebagai tenaga kesehatan dalam
menjalankan profesinya itu merupakan suatu malpraktek atau bukan, Leenan
menyebutkan lima kriteria, seperti yang dikutip oleh Fred Ameln, yaitu:
1. Berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan kelalaian (culpa). Bila
seoang dokter bertindak tidak teliti dan tidak hati-hati, maka ia memenuhhi
unsur-unsur kesalahan; bila ia sangat tidak berhati-hati maka ia memenuhi
2.
3.
4.
5.

unsur Culpa Lata.


Yang dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medik
Kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medis yang sama
Dalam situasi dan kondisi yang sama
Sarana upaya yang sebanding/proporsional dengan tujuan konkret
tindakan/perbuatan medis tersebut

Menurut Munir Fuady, agar suatu tindakan dokter dapat digolongkan sebagai
tindakan malpraktek haruslah memenuhi elemen-elemen yuridis sebagai berikut:
1. Adanya tindakan dalam arti berbuat atau tidak berbuat (pengabaian).
2. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau oleh orang di bawah
pengawasannya (seperti oleh perawat), bahkan juga oleh penyedia fasilitas
kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, atau apotek, dll.
3. Tindakan tersebut berupa tindakan medik, baik berupa tindakan diagnostik,
terapi atau juga manajemen kesehatan.
4. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya.
5. Tindakan tersebut dlakukan secara:
a. Melanggar hukum, dan atau;
b. Melanggar kepatuhan, dan atau;
c. Melanggar kesusilaan, dan atau;
d. Melanggar prinsip-prinsip profesionalitas.
6. Dilakukan
dengan
kesengajaan
atau

ketidakhati-hatian

(kelalaian/kecerobohan)
7. Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya mengalami:
a. Salah tindak, dan atau;
b. Rasa sakit, dan atau;
c. Luka, dan atau;
d. Cacat, dan atau;
e. Kematian dan atau;
f. Kerusakan pada tubuh dan atu jiwanya, dan atau;
g. Kerugian lainnya terhadap pasien.
2.2.

Jenis-Jenis Malpraktek 1,2,3


Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua

bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical
malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.
1. Malpraktek Etik
Malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan dalam
KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang
berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan
dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan

untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien dan membantu


dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebih
tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata
memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negatif dari kemajuan teknologi
kedokteran tersebut antara lain :
a. Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin
berkurang
b. Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
c. Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang
merupakan malpraktek etik ini antara lain :
a. Dibidang diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang

dilakukan

terhadap

pasien

kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa


secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji
untuk memberikan hadiah kepada dokter yang mengirimkan
pasiennya,

maka

dokter kadang-kadang bisa tergoda juga

mendapatkan hadiah tersebut.


b. Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter
dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau
menggunakan

obat

tersebut,

kadang-kadang

juga

bisa

mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi


kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat
yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan
pasien juga merupakan malpraktek etik.
2. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi :
a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige
daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
8

1). Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.


2). Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melaksanakannya.
3). Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
4). Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum harus
memenuhi beberapa syarat seperti :
1). Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat)
2). Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupun tidak
tertulis)
3). Ada kerugian
4). Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang
melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
5). Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi)
karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya
empat unsur berikut:
1). Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
2). Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
3). Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan
ganti ruginya.
4). Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah
standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya
kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa
loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian
dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut pasien sehingga
timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi
kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak
adanya kelalaian pada dirinya.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau
korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of
vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan

dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya


(tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut masih melaksanakan
tugas kewajibannya.
b. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal
malpractice apabila perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana
yakni:
a. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).
1). Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka
rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan
palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis
(pasal 299 KUHP).
2). Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak
sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa
disertai persetujuan tindakan medis.
3). Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat
tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan
tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada
orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
c. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan
pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek
dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat
catatan medik.
2.3.

Teori-Teori Malpraktek

10

Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu:
a.

Teori Pelanggaran Kontrak 4,5


Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek

adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara


hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat
seseorang bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak
antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan
dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah
pihak tersebut. Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan
tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan
pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama.
Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat
darurat misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.
Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga
kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang
bertindak atas nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga
tidak mungkin, misalnya dikarenakan penderita gawat darurat tersebut datang
tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang kebetulan telah
menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut perundang-undangan
yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan
dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum telah dianggap sebagai
perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b.

Teori Perbuatan yang Disengaja


Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk

menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan


yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang
secara fisik mengalami cedera (asssult and battery)
c. Teori Kelalaian
Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah
kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang

11

dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu
kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat
(culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan
merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum. Selain dikenal
adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang apabila
ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak
pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut
pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat
hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan pembelaan
apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek.
a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung
dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk
melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala
resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori
ini mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama
tindakan tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.
b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh
pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c. Perjanjian Membebaskan dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan
malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus
dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau
rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek. Teori pembelaan ini
bersifat spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan
pembelaannya, yang dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien,
hasinya sangat tergantung pada penilaian pengadilan.

d. Peraturan Good Samaritan

12

Menurut

teori

ini,seorang

tenaga

kesehatan

pertolongan gawat darurat dengan tujuan murni

yang

memberikan

(setulus hati) pada suatu

peristiwa darurat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika


terdapat indikasi terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e. Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari
seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk
mengadakan penyelesaian bersama. Teori pembelaan yang berupa pembebasan
ini, hanya dapat dilaksanakan sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut
menyangkut tanggungjawab perdata (masuk kategori hukum perdata Tetapi
apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam kategori hukum pidana
(tanggung

jawab

pidana)

misalnya

terjadi

kelalaian

berat

sehingga

mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat diterapkan,


sebab bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik, yang
menyangkut kepentingan umum bersama.
Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga kesehatan telah melakukan
malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan padanya, karena kalau tidak,
berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada umumnya untuk sadar
terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan sangat sulit untuk
menegakkan hukum itu sendiri. Disamping itu, kalau teori ini diterima dalam
kasus pidana dikhawatirkan tiap perbuatan malpraktek seorang tenaga kesehatan
tidak akan ada sanksi hukumnya, sehingga dapat mengurangi tanggung jawab
dan sikap hati-hatinya seorang tenaga kesehatan di dalam menjalankan
tugasnya.
f. Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of
Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam
jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutantuntutan hukum yang lain.
g. Workmens Compensation

13

Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu
kasus malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang
sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus
malpraktek yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan
menurut peraturan workmens compensation, semua pegawai dan pekerja
menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak
menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau
luka. Akan tetapi walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak
berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya kepada pasien.
Meskipun terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus dilihat
apakah tindakan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi. Apabila
tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar profesi, maka
teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembelaan baginya.
Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa seorang
tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa
darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun terdapat
peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam memberikan
pertolongan gawat darurat pada peristiwadarurat tetap harus memberikan
pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan keahlian
yang dimilikinya.
Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat, seorang tenaga
kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan tidak sungguhsungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika terjadisesuatu
hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yang ditolongnya itu,
maka tenaga kesehatan tersebut tetap dapat dituntut secara hukum.

2.4.

Upaya Pencegahan dan penaganan terhadap Malpraktek6


Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum

substantif, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak

14

mengenal bangunan hukum malpraktek. Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter
mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam
menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika
kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan
bidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara
khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif
yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter
yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di
Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas
dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan. Istilah hukum kedokteran mula-mula
diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health
Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan,
sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum
kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan
berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum
pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di
Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law
di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam
bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law
penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Jika ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang
asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan
medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih
perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan
batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan
sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh pikir bangsa Indonesia dengan berlandaskan

15

budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture)
yang sesuai dengan sistem kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan
malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan)
dan jalur non litigasi (diluar peradilan). Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang
kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan
cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian
kesalahan atau kelalaian tersebut.
Masalah ini terkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan
oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab
hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena
menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang
digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara
pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan
agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya
tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih
dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam
struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan
menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran
hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang
menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya

kesalahan atau kelalaian

ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk
secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995
tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada
atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab
profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang
keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili

16

organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi.
Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat
diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter
yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak
dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa
puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang
memikirkan kepentingan pasien.
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga dokter
karena adanya mal praktek diharapkan para dokter dalam menjalankan tugasnya
selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya,
karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan
b.
c.
d.
e.

perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).


Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala

kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
2.5.

Strategi Menghadapi Tuntutan Hukum4,6,7


Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan

sehingga dokter menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga dokter seharusnyalah


bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian
dokter. Apabila tuduhan kepada dokter merupakan criminal malpractice, maka tenaga
dokter dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal
bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada
doktrin-doktrin yang ada, misalnya dokter mengajukan bukti bahwa yang
terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of
treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap

17

batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang


dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan
atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal
tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau
melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban,
dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya
paksa. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya dokter menggunakan
jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan
kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana dokter digugat
membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus
membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus
membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (dokter) bertanggung jawab
atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
ditemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menelantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan
adanya hubungan langsung antara menelantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam
didokter kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kedokteran.
Ada beberapa hal yang menjadi perlindungan hukum terhadap dokter apabila
diduga melakukan malpraktek medis, yakni:
1. Dasar-dasar hukum yang memberikan perlindungan hukum terhadap dokter
dalam menjalankan profesi kedokteran.
Ketentuan hukum yang melindungi dokter apabila terjadi dugaan
malpraktek terdapat dalam Pasal 50 Undang-Undang Praktik Kedokteran,
Pasal 24 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang
Kesehatan, dan Pasal 24 Ayat (1) PP Tentang Tenaga Kesehatan
18

2. Hal-hal yang harus dilakukan dokter untuk menghindarkan diri dari tuntutan
hukum:
a. Informed Consent
Dalam menjalankankan profesinya Informed Consent merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang dokter. Informed Consent
terdiri dari dua kata yaitu informed yang mengandung makna
penjelasan atau keterangan (informasi), dan kata consent yang
bermakna persetujuan atau memberi izin. Dengan demikian Informed
Consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya setelah mendapat informasi tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap dirinya serta segala resikonya.
b. Rekam Medik
Selain Informed Consent, dokter juga berkewajiban membuat Rekam
Medik dalam setiap kegiatan pelayanan kesehatan terhadap pasiennya.
Pengaturan rekam medis terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) UndangUndang Praktik Kedokteran. Rekam medis merupakan berkas yang
berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada pasien.
Rekam medis dibuat dengan berbagai manfaat, yaitu untuk pengobatan
pasien, peningkatan kualitas pelayanan, pendidikan dan penelitian,
pembiayaan, statistik kesehatan serta pembuktian masalah hukum,
disiplin dan etik.
3. Alasan peniadaan hukuman terhadap dokter yang diduga melakukan
malpraktek medis
a. Resiko Pengobatan
Menurut Danny Wiradharma, resiko pengobatan terdiri dari 9:
1) Resiko yang inheren atau melekat
Setiap tindakan medis yang dilakukan dokter pasti mengandung
resiko, oleh sebab itu dokter harus menjalankan profesi sesuai
dengan standar yang berlaku. Resiko yang dapat timbul misalnya
rambut rontok akibat kemoterapi.
2) Reaksi hipersentivitas
Respon imun tubuh yang berlebihan terhadap masuknya benda asing
(obat) sering tidak dapat diperkirakan terlebih dahulu.
19

3) Komplikasi yang terjadi tiba-tiba dan tidak bisa diduga sebelumnya.


Seringkali terjadi bahwa prognosis pasien tampak sudah baik,
tetapi tiba-tiba keadaan pasien memburuk bahkan meninggal tanpa
diketahui penyebabnya. Misalnya terjadinya emboli air ketuban.
b. Kecelakaan Medik
Kecelakaan medik sering dianggap sama dengan malpraktek medik,
karena keadaan tersebut menimbulkan kerugian terhadap pasien. Dua
keadaan tersebut seharusnya dibedakan, karena dalam dunia medis
dokter berupaya untuk menyembuhkan bukannya merugikan pasien.
Apabila

terjadi

kecelakaan

medik,

pertanggungjawaban

dokter

mengarah kepada cara bagaimana kecelakaan tersebut terjadi atau dokter


harus membuktikan terjadinya kecelakaan tersebut.
c. Contribution Negligence
Dokter tidak dapat dipersalahkan apabila dokter gagal atau tidak berhasil
dalam penanganan terhadap pasiennya apabila pasien tidak menjelaskan
dengan sejujurnya tentang riwayat penyakit yang pernah dideritanya
serta obat-obatan yang pernah digunakannya selama sakit atau tidak
mentaati petunjuk-petunjuk serta instruksi dokter atau menolak cara
pengobatan yang telah disepakati. Hal ini dianggap sebagai kesalahan
pasien yang dikenal dengan istilah contribution negligence atau pasien
turut bersalah. Kejujuran serta mentaati saran dan instruksi dokter ini
dianggap sebagai kewajiban pasien terhadap dokter dan terhadap dirinya
sendiri.
d. Respectable Minority Rules & Error Of (in) Judgment
Bidang kedokteran merupakan suatu bidang yang sangat komplek,
seperti dalam suatu upaya pengobatan sering terjadi ketidaksepakatan
atau pendapat yang sama tentang terapi yang cocok terhadap suatu
situasi medis khusus. Ilmu medis adalah suatu seni dan sains disamping
teknologi yang dimatangkan dalam pengalaman. Maka dapat saja cara
pendekatan terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter yang satu
dengan yang lain. Namun tetap harus berdasarkan ilmu pengetahuan
yang dapat dipertanggungjawabkan, Berdasarkan keadaan

diatas

20

munculah suatu teori hukum oleh pengadilan yang disebut respectable


minority rule, yaitu seorang dokter tidak dianggap berbuat lalai apabila
ia memilih dari salah satu dari sekian banyak cara pengobatan yang
diakui.
Kekeliruan dokter memilih alternatif tindakan medik pada pasiennya
maka muncul teori baru yang disebut dengan error of (in) judgment
biasa disebut juga dengan medical judgment atau medical error, yaitu
pilihan tindakan medis dari dokter yang telah didasarkan pada standar
profesi ternyata pilihannya keliru.
e. Asumption Of Risk
Asumption of risk merupakan doktrin lama dalam ilmu hukum yang dapat
pula dikenakan pada hukum medis, yaitu suatu asumsi yang sudah
diketahui sebelumnya tentang adanya resiko medis yang tinggi pada
pasien apabila dilakukan suatu tindakan medis padanya. Apabila telah
dilakukan penjelasan selengkapnya dan ternyata pasien atau keluarga
setuju (informed consent), apabila terjadi resiko yang telah diduga
sebelumnya, maka dokter tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas

tindakan medisnya. Selain itu doktrin ini dapat juga diterapkan pada kasus
pulang paksa (pulang atas kehendak sendiri walaupun dokter belum
mengizinkan), maka hal semacam itu membebaskan dokter dan rumah
sakit dari tuntutan hukum.
f. Res Ipsa Loquitur
Doktrin res ipsa loquitur ini berkaitan secara langsung dengan beban
pembuktian (onus, burden of proof), yaitu pemindahan beban
pembuktian dari penggugat (pasien atau keluarganya) kepada tergugat
(tenaga medis). Terhadap kelalaian tertentu yang sudah nyata, jelas
sehingga dapat diketahui seorang awam atau menurut pengetahuan
umum antara orang awam atau profesi medis

atau

kedua-duanya,

bahwa cacat, luka, cedera atau fakta sudah jelas nyata dari akibat
kelalaian tindakan medik dan hal semacam ini tidak memerlukan
pembuktian dari penggugat akan tetapi tergugatlah yang harus
membuktikan bahwa tindakannya tidak masuk kategori lalai atau keliru.
21

Adapun prosedur Penyelesaian Sengketa Medis Oleh MKDKI Dalam Upaya


Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Dokter adalah Mahkamah Agung
melalui Surat penanganan terhadap kasus dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang
diduga melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan atau
pelayanan medis agar jangan langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi
dimintakan dulu pendapat dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Saat
ini MKEK fungsinya digantikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) suatu lembaga independen yang berada dibawah Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI).
Pasal 29 Undang-Undang Kesehatan mengatakan, bahwa dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Dalam penjelasannya
tidak disebutkan dengan jelas ke badan apa mediasi itu akan diselesaikan, namun
Undang-Undang

Praktik

Kedokteran

mengamanatkan

terbentuknya

lembaga

penyelesaian disiplin dokter yang kemudian dikenal dengan Majelis Kehormatan


Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI bukan lembaga mediasi, dalam
konteks mediasi penyelesaian sengketa, namun MKDKI adalah lembaga Negara yang
berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter
atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan
menetapkan sanksi bagi dokter atau dokter gigi yang dinyatakan bersalah.
Tata cara penanganan kasus oleh MKDKI telah diatur dalam Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Penanganan Kasus
Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi. Penanganan kasus dugaan
pelanggaran tersebut dilakukan setelah adanya pengaduan. Syarat pengaduan tersebut
terdapat dalam Pasal 3 Perkonsil Nomor 2 Tahun 2011. Setelah pengaduan terdaftar
di MKDKI/MKDKI-P maka pihak pengadu dapat memberikan data pendukung
pengaduan yang berupa alat bukti yang dimiliki dan pernyataan tentang kebenaran
pengaduan. Setelah itu akan dilakukan

klarifikasi

oleh

petugas

khusus dari

MKDKI/MKDKI-P. Selanjutnya masuk pada penanganan kasus yang berupa


Pemeriksaan Awal. Tahap pemeriksaan awal ini dibahas pada Pasal 13-18 Peraturan
Konsil Nomor 2 Tahun 2011. Pada tahap pemeriksaan ini pihak MKDKI memeriksa
22

apakah pengaduan tersebut diterima, tidak diterima atau ditolak. Jika pengaduan
diterima maka Ketua MKDKI membentuk MPD yaitu Majelis Pemeriksa Disiplin.
Anggota dari MPD ini berasal dari MKDKI. MPD dapat memutuskan pengaduan
tersebut tidak dapat diterima, ditolak atau penghentian pemeriksaan. MPD
selanjutnya melakukan investigasi. Investigasi dilakukan untuk mengumpulkan
informasi dan alat bukti yang berkaitan dengan peristiwa yang diadukan. Setelah
investigasi, baru dilakukan sidang pemeriksaan disiplin.
Jika sidang pemeriksaan disiplin dokter atau dokter gigi selesai maka MPD
akan menetapkan keputusan terhadap teradu. Keputusan tersebut dapat berupa:
a. Dinyatakan tidak melakukan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi
b. Pemberian sanksi disiplin, berupa :
1. Peringatan tertulis
2. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan, yang dapat dilakukan
dalam bentuk :
a). Reedukasi formal di institusi
b). Pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang terakreditasi
c). Reedukasi nonformal yang dilakukan dibawah supervise dokter
atau dokter gigi tertentu di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi yang terakreditasi, fasilitas pelayanan kesehatan
dan jejaringnya, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain yang
ditunjuk, sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan paling lama 1
(satu) tahun
3. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP yang bersifat :
a. Sementara paling lama 1 (satu)tahun
b. Tetap atau selamanya
c. Pembatasan tindakan asuhan medis tertentu pada suatu area ilmua
kedokteran atau kedokteran gigi dalam pelaksanaan praktik
kedokteran.
Apabila terbukti melakukan pelanggaran disiplin, maka setelah keputusan
Dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap
keputusan MKDKI kepada Ketua MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
sejak dibacakan atau diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru
yang mendukung keberatannya.
Dalam hal menjamin netralitas MKDKI, Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan
23

3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi masing-masing, seorang dokter dan seorang
dokter gigi mewakili asosiasi Rumah Sakit dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.
Sehingga tidak dikhawatirkan lagi pihak dokter akan membela rekan sejawatnya.

24

BAB 3
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Malpraktek malparaktik berasal dari kata malpractice yang pada hakikatnya
adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Dalam menangani kasus malpraktek,
hukum di Indonesia menggunakan hukum substantive yaitu hukum pidana, hukum
perdata dan hukum administrasi. Untuk membuktikan adanya civil malpractice
tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri
(res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan
kewajiban

(dereliction

of

duty)

dan

adanya

hubungan

langsung

antara

menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan


yang harus membuktikan adalah orang-orang awam didokter kesehatan dan hal inilah
yang menguntungkan tenaga kedokteran.
Dokter yang telah melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan dan standar prosedur operasional berhak mendapatkan perlindungan
hukum. Dalam melaksanakan praktek kedokteran, dokter harus memenuhi Informed
Consent dan Rekam Medik sebagai alat bukti yang bisa membebaskan dokter dari
segala tuntutan hukum apabila terjadi dugaan malpraktek. Ada beberapa hal yang
menjadi alasan peniadaan hukuman sehingga membebaskan dokter dari tuntutan
hukum, yaitu: Resiko pengobatan, Kecelakaan medik, Contribution negligence,
Respectable minority rules & error of (in) judgment, Volenti non fit iniura atau
asumption of risk, dan Res Ipsa Loquitur.

DAFTAR PUSTAKA

25

1.Isfandyarie,Anny,

Malpraktek

Dan

Resiko

Medik

Dalam

Kajian

HukumPidana,Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005, hal 46-47


2. Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan,
Jakarta:Kedokteran EGC, 1999, hal 87
3. Mariyanti, Ninik. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan
Perdata,Jakarta: Bina Aksara 1988,hal 75-76
4. Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
5. Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
6. Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
7. Mankey, MD., 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Memberikan
Pelayanan Medis. Lex et Societatis (2)8: 14-21.

26

Anda mungkin juga menyukai