sorry......under construction
Home
About Me
Gallery
My Hobby
Friends
Contact me
This is a free and fully standards compliant Blogger template created by Templates Block.
You can use it for your personal and commercial projects without any restrictions. The only
stipulation to the use of this free template is that the links appearing in the footer remain
intact. Beyond that, simply enjoy and have fun with it!
1. Pendahuluan
Pada tahun 1994, Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) Protokol 076
mendemonstrasikan three part regimen of zidovudine (ZDV) dapat menurunkan
resiko penularan HIV dari wanita hamil dengan HIV positif kepada janin untuk virus
HIV tipe 1 (HIV-1) hingga 70%. Regimen tersebut termasuk ZDV oral yang
diberikan pada usia kehamilan 14 – 34 minggu dan dilanjutkan selama kehamilan,
dilanjutkan dengan ZDV intravena selama persalinan, dan pemberian ZDV oral untuk
bayi, selama 6 minggu setelah dilahirkan.
Sejak tahun 1994, telah dilakukan pengembangan untuk mengetahui patogenesis serta
pengobatan dan monitoring infeksi HIV-1. Kecepatan perkembangan virus pada
semua tahap infeksi HIV-1, lebih cepat dari yang pernah diketahui sebelumnya; virion
plasma diperkirakan memiliki paruh waktu hanya 6 jam. Maka dari itu, pengobatan
intervensi difokuskan pada kombinasi agresif regimen antiretroviral untuk
memaksimalkan penekanan replikasi virus, meningkatkan kembali fungsi imun, dan
menurunkan hambatan penurunan daya tahan tubuh. Pada saat ini telah tersedia ARV
poten, yang menghambat enzim protease HIV-1. Penggunaan kombinasi inhibitor
protease dengan nucleoside analog reverse trancriptase inhibitors (NRTIs), tingkat
plasma HIV-1 RNA ditekan untuk jangka waktu yang lebih lama, sampai pada tingkat
yang tidak terdeteksi oleh pemeriksaan yang ada.
Pada saat ini kurang dari 5% ODHA di negara berkembang yang membutuhkan ARV
dapat terjangkau. Pedoman pengobatan antiretroviral memberikan informasi
mengenai 4S yaitu starting, substituting, switching, dan stopping, yang merupakan
saat yang tepat untuk memulai terapi (starting), memilih obat yang harus diteruskan
bila harus mengganti regimen pengobatan (substituting), alasan untuk mengganti
seluruh regimen (switching), dan saat menghentikan antiretroviral (stopping)
1. Prasyarat
Riwayat penyakit :
Berat badan
Tanda vital
Kulit: herpes zoster, sarkoma kaposi, dermatitis HIV, pruritc papular eruption
(PPE), dermatitis seboroik berat, jejas suntikan (needle track), atau jejas
sayatan.
Limfadenopati
Selaput lendir orofaringeal : kandidiasis, sarkoma kaposi, hairy leukoplakia,
HSV
Pemeriksaan jantung, paru, abdomen
Pemeriksaan sistem syaraf dan otot rangka: keadaan kejiwaan, berkurangnya
fungsi motoris dan sensoris
Pemeriksaan fundus mata: retinitis dan papil edema
Pemeriksaan saluran kelamin / alat kandungan
Pemeriksaan psikologis:
Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis:
Foto toraks
Pemeriksaan urin rutin dan mikroskopis
Serologi virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis B (HBV) tergantung
adanya pemeriksaan dan sumber daya
Jika memungkinkan, dilakukan pemeriksaan kimia darah yang meliputi:
Kreatinin serum dan atau ureum darah untuk menilai fungsi ginjal pada awal
Glukosa darah
SGOT / SGPT untuk mengetahui kemungkinan adanya hepatitis serta
memantau adanya keracunan obat
Pemeriksaan lain bila perlu, seperti: bilirubin serum, lipid serum, dan amilase
serum
Pemeriksaan HIV harus dilakukan oleh teknisi terlatih di laboratorium yang menjalankan
program jaga mutu. Hasil pemeriksaan sebaiknya juga menyebutkan jenis pemeriksaan yang
dipakai untuk menegakan diagnosis berdasarkan pedoman WHO. Bila timbul keraguan,
pemeriksaan harus diulang di laboratorium rujukan.
Keterangan :
HIV wasting syndrome: berat badan turun > 10% ditambah diare kronik > 1 bulan atau demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain
Ensefalopati HIV: gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang menganggu aktivitas hidup sehari – hari dan bertambah buruk dalam
beberapa minggu atau bulan yang tidak disertai penyakit lain selain HIV
Keterangan:
Penurunan berat badan >10% jika baseline atau kurang dari persentil 5 dari grafik berat badan pada dua kali pengukuran dengan jarak lebih dari 1 bulan tanpa
penyebab ataupun penyakit lain
1. Persyaratan lain
Sebelum mendapat pengobatan ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling kepatuhan yang telah baku, sehingga pasien
memahami manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda bahaya,
dan sebagainya yang berhubungan dengan ARV
Pasien yang mendapat pengobatan ARV harus menjalani pemeriksaan
untuk pemantauan klinis secara teratur
Pengobatan ARV pada ODHA dewasa harus segera dimulai bila infeksi HIV telah
ditegakan secara laboratoris disertai salah satu keadaan di bawah ini:
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4, sebagai indikator pengobatan ARV pada infeksi
HIV simptomatik digunakan limfosit total ≤ 1200/mm3, dan pada pasien asimptomatik
jumlah limfosit total kurang berkolerasi dengan jumlah CD4.
Pemeriksaan viral load (misalnya dengan kadar RNA HIV-1 dalam plasma) tidak
dianggap perlu sebelum dimulainya ARV dan tidak direkomendasikan WHO
sebagai tindakan rutin dalam pengambilan keputusan pengobatan.
Kehamilan berencana maupun tidak berencana dapat terjadi pada wanita dengan HIV
positif. Keinginan ODHA untuk hamil perlu diperhatikan. Setelah memperoleh
informasi yang benar tentang pengaruh HIV pada kehamilan, serta resiko penularan
terhadap bayi, maka kita perlu menghargai keputusan yang diambil ODHA
Efek infeksi HIV pada kehamilan berkaitan dengan abortus, prematuritas, IUGR
(Intra Uterin Growth Restriction), IUFD (Intra Uterin Fetal Death), penularan pada
janin, dan meningkatnya angka kematian ibu.
Pemantauan kehamilan pada CD4 < 500sel/mm3 dianjurkan setiap 3 minggu sampai
usia kehamilan 28 minggu dan setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu,
kemudian seminggu sekali sampai persalinan.
1. Penularan perinatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin pada
masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 –
10%, saat persalinan sekitar 10 – 20%, dan saat menyusui sekitar 10 – 20%
bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terutama terjadi
pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi
saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan
bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan
kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang
sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui
plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga
tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat
dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV, namun
perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun parasit
pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan
bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama
proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu
semakin lama, resiko penularan semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV tmengandung HIV dalam konsentrasi yang
lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi pada
sekitar 10 – 20% bayi yang disusui selama 18 bulan atau lebih. Atas dasar
tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan
diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi di
negara maju sekitar 15 – 25%, sedangkan di negara berkembang 25 – 45%,
dihuungkan dengan kebiasaan menyusui yang tinggi di negara berkembang.
Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan tubuh,
dan virulensi kuman.
Faktor ibu :
Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini
disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah
virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.
Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus – menerus,
kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu
tinggi.
Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
Kurang gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi
Mastitis
KPD, partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi,
episiotomi.
Faktor bayi :
Intervensi PMTCT :
Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama persalinan
dan masa menyusui
Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
Infeksi menular seksual
Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
Prosedur persalinan invasif
Janin pertama pada kehamilan multipel
Korioamnionitis
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Lama menyusui
Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
Abses payudara / puting yang terinfeksi
Malnutrisi maternal
Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)
WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak,
yaitu :
Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat jangan
sampai tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual, setia pada
pasangan, hindari hubungan seksual dengan berganti pasangan, bila hal ini
dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang ditularkan secara seksual harus
dicegah dan diobati dengan segera. Jangan menjadi pengguna narkotika suntikan,
terutama dengan penggunaan jarum suntik bergantian.
Transfusi darah harus memakai darah atau komponen darah yang sudah
dinyatakan bebas HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah
autologus.
Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum
kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan
pertama.
Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary Counseling and
Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV. Sasarannya adalah
wanita muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan menyusui.
Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka
pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
1. Gantikan efek kontrasepsi menyusui
Tindakan tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari ibu ke bayi
menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu perlu alat
kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya meliputi empat
hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :
Pengobatan ARV juga diperlukan untuk mencegah penularan HIV terhadap janin.
Pengobatan anti HIV merupakan bagian penting dalam menjaga kesehatan ibu, serta
mencegah penularan HIV kepada janin. Keputusan untuk memulai terapi tergantung
pada beberapa faktor, yang juga harus diketahui oleh wanita yang tidak hamil, yaitu :
Wanita hamil dengan HIV pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat menunda
pengobatan sampai usia kehamilan 10 – 12 minggu. Setelah trimester pertama, ODHA hamil
harus menerima pengobatan setidaknya dengan zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau
AZT). Pengobatan tambahan dapat dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah
virus.
Kombinasi terapi antiretroviral biasanya terdiri dari dua nucleoside analog reserve
transcriptase inhibitors (NRTIs) dengan protease inhibitor (PI), merupakan
pengobatan standar yang direkomendasikan untuk orang dewasa dengan infeksi HIV-
1 yang tidak hamil. Pada kehamilan tidak diperkenankan menggunakan regimen
pengobatan ini.
Pemilihan pengobatan ARV pada wanita hamil dengan HIV positif, bergantung pada
beberapa pemikiran :
Keputusan penggunaan pengobatan ARV selama kehamilan harus dibuat oleh wanita hamil
setelah berdiskusi dengan petugas kesehatan mengenai kegunaan yang sudah maupun belum
diketahui, maupun resiko bagi wanita tersebut dan bayinya.
Akibat yang timbul pada janin dari ibu untuk obat tertentu, tidak hanya bergantung pada obat
itu sendiri, namun juga pada dosis obat, umur kehamilan saat janin terpapar, durasi paparan,
interaksi dengan obat lain yang juga terpapar pada janin, serta genetik ibu dan janin.
Bila pengobtana ARV sudah diindikasikan pada kehamilan, maka harus segera dilaksanakan.
Terkadang pengobatan ditunda sampai setelah trimester pertama. Wanita hamil yang
memperoleh pengobatan ARV membutuhkan perawatan serta monitoring berkelanjutan
antara program HIV / AIDS lokal. Bila terjadi koinfeksi dengan TB, maka dibutuhkan
pengobatan tambahan serta penatalaksanaan klinis dibutuhkan untuk meminimalkan efek
samping.
Prinsip pengobatan antiretroviral pada wanita usia subur atau wanita hamil harus
didasarkan atas kebutuhan dan persyaratan ARV seperti telah disebutkan. Kehamilan
dan menyusui memberikan masalah tambahan dalam hal toksisitas obat terhadap ibu
maupun anak, pemilihan obat antiretroviral, serta pencegahan penularan HIV dari ibu
ke bayinya. Regimen lini pertama yang direkomendasikan untuk kelompok ini adalah:
Pilihan ARV bagi ODHA yang masih mungkin hamil, atau adanya kehamilan yang
belum dapat dipastikan atau kehamilan muda, maka obat ARV yang diberikan harus
aman untuk kehamilan trimester I. Untuk kelompok tersebut harus dihindari
pemberian EFV karena bersifat teratogenik. Wanita yang menerima pengobatan ARV
namun tidak ingin hamil, harus menggunakan metode kontrasepsi yang efektif dan
sesuai untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, sedangkan EFV dapat tetap
menjadi NNRTI pilihan. Wanita yang telah melakukan pengobatan ART dan
kemudian hamil, harus tetap meneruskan pengobatan ARV, namun bila menggunakan
EFV, maka harus dihentikan dan diganti dengan NVP.
Pada umumnya, ODHA hamil lebih dianjurkan memulai pengobatan ARV setelah
melalui trimester I, namun bila berada pada tahap AIDS lanjut, pemberian terapi
segera akan lebih baik diabndingkan dengan resiko apapun pada janinnya. Pengobatan
dengan dua NRTI seperti d4T/ddl tidak diperbolehkan pada kehamilan, dan hanya
digunakan bila tidak ada pilihan lain, sebab kombinasi tersebut memberikan resiko
tinggi terjadinya asidosis laktat pada wanita hamil.
Hepatotoksisitas dengan gejala yang berhubungan dengan NVP atau ruam kulit yang
berat jarang terjadi, dan cenderung terjadi pada wanita dengan CD4 tinggi
(>250sel/mm3). Toksisitas tersebut pernah dilaporkan dari kelompok wanita hamil,
namun belum diketahui mengapa kehamilan merupakan predisposisi toksisitas
tersebut.
ODHA wanita yang pernah memperoleh NVP profilaksis atau 3TC dosis tunggal
PMTCT harus dianggap memenuhi kriteria untuk mendapat regimen yang
mengandung NNRTI dan harus memperoleh akses ARV seumur hidup hingga
tersedia data pasti pada masalah ini.
Banyak negara yang telah mempertimbangkan penggunaan terapi kombinasi tiga obat
jangka pendek untuk PMTCT pada ODHA wanita yang belum membutuhkan ARV
bagi dirinya sendiri, dan terapi pasca persalinan dihentikan bila belum memenuhi
kriteria klinik pemberian ARV. Penggunaan kombinasi yang sangat aktif tersebut
diharapkan akan mencegah penularan perinatal kepada bayi. Namun demikian,
intervensi ini juga memberikan resiko toksisitas obat kepada ibu dan bayinya dalam
keadaan ibu masih cukup sehat dan belum membutuhkan ARV.
Pada suatu kondisi dimana mengharuskan memilih suatu PI selama kehamilan, maka
SQV/r atau NFV merupakan pilihanterbaik karena cukup aman untuk ibu hamil.
Obat ARV sendiri memiliki potensi untuk menaikan atau menurunkan bioavailabilitas
hormon steroid dan kontrasepsi hormonal. Data yang terbatas menunjukan adanya
inetraksi antara beberapa obat ARV (terutama beberapa NNRTI dan PI) dengan
hormon kontrasepsi dan dapat mengubah keamanan aatu efikasi hormon kontrasepsi
maupun ARV. Belum diketahui apakah kontrasepsi yang hanya mengandung
progesteron suntikan (mis: medroksiprogesteron asetetat dan norethisteron enentate)
juga terancam efikasinya, sebab metode ini memberikan kadar hormon yang lebih
tinggi dalam darah dibanding kontrasepsi progesteron lain maupun kontrasepsi oral
kombinasi. Maka, bila wanita dengan pengobatan ARV akan memulai ataupun
meneruskan kontrasepsi hormonal, tetap dianjurkan juga selalu menggunakan
kondom untuk mencegah penularan HIV dan juga menjaga kemungkinan adanya
penurunan efektivitas kontrasepsi hormonal yang dipakai.
1. Nevirapine
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
Regimen ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak perlu terapi
ulangan dan efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, serta
ekonomis. Faktor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif
mahal dan padaprinsipnya ARV harus diberikan seumur hidup.
2. AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3
jam selama persalinan berlangsung. Regimen ini lebih efektif untuk
menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%), namun labih mahal, sebab
memerlukan terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan. Mengingat
harga obat relatif, maka dipakai regimen yang paling sesuai dengan kondisi
setempat.
Efek samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi AZT
adalah anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya bila
terjadi anemia. Efek samping lain zidovudine adalah netropenia, intoleransi
gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.
*
Dikutip dari: "Recommendation on ARVs and MTCT Prevention 2004". WHO Juli 2004
Informasi mengenai pengobatan anti HIV bagi wanita hamil terbatas dibanding
dengan wanita dewasa yang tidak hamil, namun cukup diketahui untuk
merekomendasikan pengobatan yang cocok bagi ibu dan bayinya.
Bagaimanapun, menurut Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005 efek
jangka panjang dari pengobatan ARV terhadap janin in-utero masih belum diketahui.
Salah satu regimen pengobatan yang dapat digunakan adalah non-nucleosid reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI) niverapine (NVP). Penggunaan jangka panjang NVP
dapat menyebabkan beberapa efek samping negatif seperti kelelahan atau kelemahan,
mual, kehilangan nafsu makan, mata atau kulit yang menguning, atau tanda toksisitas
liver seperti liver pengerasan atau pembesaran atau peningkatan liver enzim. Efek
tersebut belum ditemukan pada penggunaan jangka pendek (satu atau dua dosis) NVP
selama kehamilan. Kondisi pasien selama pengobatan dengan NVP harus diawasi
sebab, kehamilan dapat menimbulkan beberapa gejala awal toksisitas liver.
Penggunaan NVP juga memerlukan perhatian pada wanita yang belum pernah
mendapat pengobatan anti HIV serta pada wanita dengan CD4 > 250 sel/mm3.
Toksisitas liver lebih sering timbul pada penderita tersebut.
Delavirdine dan efavirenz, merupakan NNRTI yang disetujui oleh FDA, namun tidak
direkomendasikan penggunaannya pada wanita hamil dengan HIV positif.
Penggunaan obat ini selama kehamilan dapat menimbulkan cacat lahir.
Protease Inhibitors (PIs) dihubungkan dengan peningkatan kadar gula darah atau
hiperglikemia, timbulnya diabetes mellitus, atau memberatnya gejala diabetes
mellitus, serta diabetik ketoasidosis. Kehamilan juga merupakan faktor resiko untuk
hiperglikemia, namun belum diketahui apakah penggunaan PI meningkatkan resiko
timbulnya hiperglikemia yang berhubungan dengan kehamilan atau diabetes
gestasional.
Enfuvirtide (T-20) merupakan satu – satunya fusion inhibitor yang disetujui FDA,
sangat sedikit yang diketahui mengenai penggunaannya selama kehamilan.
2. Penanganan Persalinan
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka
pemberian pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat penting untuk
melindungi infeksi HIV terhadap bayi. Menurut Perinatal HIV Guidlines Working
Group tahun 2005, terdapat beberapa regimen pengobatan yang dapat menurunkan
resiko penularan terhadap bayi. Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV
regimen :
ZDV dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3
x 200 mg, atau 2 x 300 mg
2. Persalinan
3. Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6
minggu setelah dilahirkan.
Bila selama kehamilan wanita hamil dengan HIV positif sudah mendapat pengobatan
anti HIV lain, maka pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai jadwal selama persalinan.
Pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif, tergantung pada keadaan
kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat dilakukan pervaginam maupun
secara operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan cara persalinan harus dibicarakan
terlebih dahulu selama kehamilan, seawal mungkin.
Seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita hamil dengan HIV positif dengan:
Jumlah virus tidak diketahui atau > 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu
Belum pernah mendapat pengobatan anti HIV atau hanya mendapat zidovudine
selama kehamilan
Belum pernah mendapat perawatan prenatal sampai usia kehamilan 36 minggu
atau lebih
Untuk lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus dijadwalkan pada
kehamilan 38 minggu, dan harus dilakukan sebelum ketuban pecah.
Persalinan pervaginam merupakan pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV
positif dengan:
Sudah memperoleh perawatan prenatal selama kehamilan
Viral load < 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu
Mendapat pengobatan ZDV dengan atau tanpa obat anti HIV lainnya.
Persalinan pervaginam juga dapat dilakukan pada wanita hamil dengan HIV positif bila
ketuban sudah pecah, dan persalinan berlangsung secara cepat.
Semua cara persalinan mempunyai resiko, namun resiko penularan HIV dari wanita
hamil dengan HIV positif kepada bayinya lebih tinggi pada persalinan pervaginam
dibanding seksio sesarea yang terencana. Bagi ibu, seksio sesarea meningkatkan
resiko infeksi, masalah yang berhubungan dengan anestesia, serta resiko lain yang
berhubungan dengan tindakan operatif. Bagi bayi, seksio sesarea meningkatkan resiko
infant respiratory disetress.
Pemberian ZDV intravena (i.v) dimulai 3 jam sebelum tindakan seksio sesarea, dan
dilanjutkan setalah bayi dilahirkan. ZDV i.v harus diberikan selama persalinan dan
setelah bayi lahir pada persalinan pervaginam. Hal yang juga penting dilakukan
adalah meminimalkan kontak bayi terhadap darah ibu. Hal ini dapat dilakukan dengan
dengan menghindari pemeriksaan invasif, serta persalinan dengan vakum maupun
forsep.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif harus memdapat
pengobatan anti HIV untuk mencegah penularan HIV. Pengobatan minimal dengan
pemberian ZDV selama 6 minggu, terkadang juga dengan pemberian obat tambahan
lainnya.
Bila telah diputuskan untuk melakukan tindakan seksio sesarea yang terjadwal untuk
menghindari penularan virus HIV, ACOG merekomendasikan untuk melakukannya
pada usia kehamilan 38 minggu, dilihat dari keaadaan klinik yang diperkirakan paling
baik serta menghindari pecahnya ketuban. Pada wanita yang tidak terinfeksi virus
HIV, penatalaksanaan seksio sesarea tanpa mengetahui kematangan paru janin,
menurut ACOG, ditunda sampai pada usia kehamilan 39 minggu, atau pada saat
memasuki persalinan, untuk mengurangi kemungkinan komplikasi pada janin.
Tindakan seksio sesarea antara usia kehamilan 38 atau 39 minggu, memiliki sedikit
perbedaan pada kemungkinan peningkatan terjadinya infant respiratory distress, yang
membutuhkan ventilasi mekanis. Peningkatan resiko ini diimbangi dengan kejadian
resiko persalinan serta pecahnya ketuban sebelum mencapai usia kehamilan 39
minggu.
Pada wanita yang telah dijadwalkan untuk dilakukan tindakan seksio sesarea,
pemberian ZDV harus dimulai 3 jam sebelum tindakan operatif, sesuai dengan standar
dosis rekomendasi. Pengobatan antiretroviral lain yang digunakan selama kehamilan
harus tetap dilanjutkan pada saat mendekati saat persalinan, dan selama persalinan
berlangsung. Dengan meningkatnya morbiditas maternal akibat infeksi, perlu
dipikirkan juga mengenai pemberian antibiotik profilaksis perioperatif, walaupun
belum ada penelitian mengenai efisiensinya.
WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea, tetapi juga tidak
melarang mengingat kondisi di masing- masing daerah berbeda, perlu
dipertimbangkan biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan tersebut, komplikasi
yang dapat ditimbulkan akibat imunitas ibu yang rendah.
Tindakan yang tidak diperbolehkan karena meningkatkan resiko penularan HIV dari
ibu ke bayi adalah berupa tindakan obstetrik invasif yang tidak perlu, dan dapat
menjadi jalur penularan HIV, seperti:
Episiotomi rutin
Ekstraksi vakum
Ekstraksi cunam
Pemecahan ketuban sebelum pembukaan lengkap
Terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam
Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah diambil
dari kulit kepala janin
Pengobatan bagi wanita postpartum dengan HIV, sedapat mungkin harus sudah
dibicarakan salama kehamilan atau segera setelah melahirkan. Perinatal HIV
Guidlines Working Group tahun 2005 menyebutkan, bayi yang lahir dari wanita
dengan HIV positif, mendapat pemeriksaan HIV yang berbeda dari orang dewasa.
Pada orang dewasa dilakukan pemeriksaan untuk mencari antibodi HIV dalam darah.
Bayi menyimpan antibodi ibu dalam darahnya, termasuk antibodi HIV, selama
beberapa bulan setelah dilahirkan. Maka, tes antibodi yang diberikan sebelum bayi
berusia 1 tahun akan memperoleh hasil positif walaupun bayi tersebut tidak menderita
HIV. Untuk tahun pertama, bayi diperiksa untuk HIV secara langsung, bukan untuk
mencari antibodi HIV. Bayi berusia > 1 tahun, tidak lagi memiliki antibodi dari
ibunya, sehingga dapat diperiksa antibodi HIV.
Bayi dicurigai terinfeksi HIV bila hasil pemeriksaan positif pada dua dari pemeriksaan di
atas.
Pada usia 12 bulan, bayi yang memiliki hasil pemeriksaan preliminary positif, harus
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV untuk memastikan infeksi. Bayi dengan hasil
pemeriksaan antibodi HIV negatif, pada saat ini tidak terinfeksi HIV. Bayi dengan
hasil pemeriksaan antibodi HIV positif, harus diperiksa ulang pada usia 15 – 18 bulan.
Bayi yang yang lahir dari wanita dengan HIV positif harus dilakukan pemeriksaan
Complete Blood Count (CBC) setelah dilahirkan. Bayi harus diawasi juga dari tanda
anemia, yang merupakan efek samping negatif yang ditimbulkan pengobatan ZDV
selama 6 minggu yang diberikan kepada bayi. Bayi tersebut juga harus dilakukan
pemeriksaan darah rutin, serta imunisasi lainnya.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk
mendapat pengobatan ZDV oral selama 6 minggu untuk mencegah penularan HIV
dari ibunya. Regimen ZDV oral ini harus mulai diberikan 6 – 12 jam setelah bayi
lahir. Pemberian ZDV dapat juga dikombinasikan dengan ARV lainnya.
Sebagai tambahan dalam pengobatan ARV, bayi juga harus memperoleh pengobatan
untuk mencegah P. carinii/jiroveci pneumonia (PCP). Pengobatan yang
direkomendasikan adalah dengan kombinasi sulfamethoxazole dan trimethoprim.
Pengobatan ini harus dimulai saat bayi berusia 4 – 6 minggu dan dilanjutkan sampai
bayi diyakinkan HIV negatif. Bila hasil pemeriksaan bayi HIV positif, maka
pengobatan terus dilanjutkan.
Berikan penjelasan kepada pasien untuk dapat memperoleh perawatan kesehatan yang
sesuai serta pelayanan pendukung lainnya bagi ibu dan bayi :
Wanita dengan HIV positif diharapkan tidak menyusui bayinya untuk mencegah penularan
HIV melalui ASI.
Selama masa postpartum dapat terjadi perubahan fisik dan emosional, bersamaan
dengan tekanan dan tanggungjawab untuk merawat bayi, dapat mempersulit dalam
melanjutkan pengobatan regimen ARV.
Hal yang tidak dimengerti yang mengenai regimen obat dan pengobatan yang baik
Rasa depresi (banyak wanita yang mengalaminya setelah melahirkan)
Rencana jangka panjang untuk melanjutkan perawatan kesehatan dan pengobatan
ARV bagi ibu dan bayi
1. Kontrasepsi
Bila bayi tidak disusui, maka efek kontraseptif laktasi akan hilang, sehingga
pasangan tersebut harus memakai kontrasepsi untuk menghindari atau
menunda kehamilan berikutnya. Seorang ODHA sudah harus menggunakan
alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu post partum.
2. Menyusui
Bagi ibu yang belum diketahui status serologinya, dianjurkan menyusui
bayinya secara ekslusif selama 6 bulan, dan dapat dilanjutkan sampai 2 tahun
atau lebih. Makanan alternatif diberikan sejak bayi berusia 6 bulan.
Bagi ibu dengan HIV positif tidak dianjurkan menyusui bayinya, sebab dapat
terjadi penularan HIV antara 10 – 20%, apalagi bila terdapat lecet pada
payudara, atau terdapat mastitis.
Sebaliknya bila tidak menyusui, bayi akan beresiko untuk salah gizi dan
mudah terserang penyakit infeksi termasuk HIV. Pada keadaan dimana ibu
tidak bisa membeli susu formula, lingkungan yang tidak memungkinkan
seperti tidak tersedianya air bersih dan sosiokultural, bila pemberian susu
formula tidak dapat diterima, tidak menguntungkan, tidak terjangkau, tidak
berkesinambungan, tidak aman, maka bayi dapat diberi ASI ekslusif sampai
usia 4 – 6 bulan, selanjutnya segera disapih.
Sekitar 50 – 75% dari bayi yang disusui ibu ODHA, terinfeksi HIV pada 6
bulan pertama kehidupannya, tetapi bayi yang disusui secara ekslusif selama 6
bulan mempunyai resiko lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang
mendapat makanan tambahan. Pada bayi yang mendapat makanan tambahan
pada usia < 6 bulan, dapat terjadi stimulasi imunologis dini akibat kontak
dengan makanan yang terlalu dini sehingga terjadi gangguan pencernaan yang
mengakibatkan peningkatan permiabilitas usus, yang dapat merupakan tempat
masuknya HIV.
PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dapat disiapkan dari susu hewan seperti sapi,
kerbau, kambing. Susu hewan murni mengandung terlalu banyak protein,
sehingga dapat merusak ginjal dan menganggu usus bayi, maka susu tersebut
harus dicairkan dengan air, dan ditambahkan gula untuk energi. PASI
sebaiknya diberikan dengan cangkir, sebab lebih mudah dibersihkan
dibandingkan botol. Pemberian makanan campuran seperti susu, makanan, jus,
dan air tidak diperkenankan sebab dapat meningkatkan resiko penularan dan
peningkatan angka kematian bayi.
Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah
dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia 18
bulan.
2. Kesimpulan
1. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT
(programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat
menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan
infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan,
perawatan, serta dukungan.
2. Perinatal HIV Guidelines Working Group
(24 Februari 2005)
ZDV dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3
x 200 mg, atau 2 x 300 mg
4. Persalinan
1. Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6
minggu setelah dilahirkan.
2. AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3
jam selama persalinan berlangsung.
Episiotomi rutin
Ekstraksi vakum
Ekstraksi cunam
Pemecahan ketuban sebelum pembukaan lengkap
Terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam
Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah
diambil dari kulit kepala janin
1. Kontrasepsi
2. Menyusui