Anda di halaman 1dari 29

Setitik cahaya

sorry......under construction

 Home

 About Me

 Gallery

 My Hobby

 Friends

 Contact me

This is a free and fully standards compliant Blogger template created by Templates Block.
You can use it for your personal and commercial projects without any restrictions. The only
stipulation to the use of this free template is that the links appearing in the footer remain
intact. Beyond that, simply enjoy and have fun with it!

Kamis, 25 September 2008


HIV PADA KEHAMILAN, PERSALINAN, DAN PASCA PERSALINAN

1. Pendahuluan

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) merupakan kumpulan gejala penykit


yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV ditemukan
dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, serta air susu
ibu.
Menurut WHO pada akhir tahun 2002 terdapat 42 juta orang yang hidup dengan HIV,
dan 95% dari infeksi baru terjadi di negara berkembang dimana HIV belum menjadi
prioritas karena terbatasnya dana. Di Asia Tenggara pada tahun 2002 diperkirakan
terdapat 6,1 juta ODHA, sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 90.000 – 130.000
ODHA. Bila angka kelahiran di Indonesia 2,5% maka setiap tahun akan ada 2.250 –
3.250 bayi yang lahir dari ibu yang HIV positif. Lebih dari 90% penularan HIV dari
ibu ke anak terjadi selama dalam kandungan, persalinan, dan menyusui, sedangkan
hanya 10% ditularkan melalui transfusi darah tercemar HIV maupun cara lainnya.
Resiko bayi tertular HIV dapat ditekan hingga 90%, bila ibu mendapatkan terapi
antiretroviral (ARV) selama masa kehamilan. Dengan demikian pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak atau PMTCT menjadi penting, karena sebagian besar
ODHA perempuan berada pada usia subur, lebih dari 90% kasus HIV ditularkan dari
ibu. Anak yang dilahirkan akan menjadi yatim piatu, dan anak yang terinfeksi HIV
mengalami gangguan tumbuh kembang karena lebih sering mengalami infeksi bakteri
maupun virus, belum lagi hukuman sosial bagi anak tersebut.

Pada tahun 1994, Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) Protokol 076
mendemonstrasikan three part regimen of zidovudine (ZDV) dapat menurunkan
resiko penularan HIV dari wanita hamil dengan HIV positif kepada janin untuk virus
HIV tipe 1 (HIV-1) hingga 70%. Regimen tersebut termasuk ZDV oral yang
diberikan pada usia kehamilan 14 – 34 minggu dan dilanjutkan selama kehamilan,
dilanjutkan dengan ZDV intravena selama persalinan, dan pemberian ZDV oral untuk
bayi, selama 6 minggu setelah dilahirkan.

Sejak tahun 1994, telah dilakukan pengembangan untuk mengetahui patogenesis serta
pengobatan dan monitoring infeksi HIV-1. Kecepatan perkembangan virus pada
semua tahap infeksi HIV-1, lebih cepat dari yang pernah diketahui sebelumnya; virion
plasma diperkirakan memiliki paruh waktu hanya 6 jam. Maka dari itu, pengobatan
intervensi difokuskan pada kombinasi agresif regimen antiretroviral untuk
memaksimalkan penekanan replikasi virus, meningkatkan kembali fungsi imun, dan
menurunkan hambatan penurunan daya tahan tubuh. Pada saat ini telah tersedia ARV
poten, yang menghambat enzim protease HIV-1. Penggunaan kombinasi inhibitor
protease dengan nucleoside analog reverse trancriptase inhibitors (NRTIs), tingkat
plasma HIV-1 RNA ditekan untuk jangka waktu yang lebih lama, sampai pada tingkat
yang tidak terdeteksi oleh pemeriksaan yang ada.

2. Pengelolaan HIV / AIDS di Indonesia

Pada saat ini kurang dari 5% ODHA di negara berkembang yang membutuhkan ARV
dapat terjangkau. Pedoman pengobatan antiretroviral memberikan informasi
mengenai 4S yaitu starting, substituting, switching, dan stopping, yang merupakan
saat yang tepat untuk memulai terapi (starting), memilih obat yang harus diteruskan
bila harus mengganti regimen pengobatan (substituting), alasan untuk mengganti
seluruh regimen (switching), dan saat menghentikan antiretroviral (stopping)

1. Prasyarat

Pemberian terapi antiretroviral (ARV) menurut Pedoman Nasional


Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan bagi ODHA, Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesahatan Republik Indonesia tahun 2003, umumnya
mempunyai persyaratan tertentu, misalnya jumlah CD4 < 200 sel/mm3 ,
namun pemberian ART pada ODHA hamil dengan tujuan pencegahan
penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya tidak memperhatikan persyaratan
tersebut di atas.

Secara umum, sebelum memulai pengobatan antiretroviral, sebaiknya tersedia


layanan dan fasilitas khusus, karena terapi yang rumit dan biaya yang tinggi,
dan juga memerlukan pemantauan yang intensif.

Layanan tersebut terdiri dari :

1. Layanan konseling dan pemeriksaan sukarela (Voluntary Counseling


and Testing / VCT) untuk menemukan kasus yang memerlukan
pengobatan dan layanan konseling tindak lanjut untuk memberikan
dukungan psikososial berkelanjutan.
2. Layanan konseling kepatuhan untuk memastikan kesiapan pasien
menerima pengobatan oleh konselor terlatih dan meneruskan
pengobatan (dapat diberikan melalui pendampingan atau dukungan
sebaya).
3. Layanan medis yang mampu mendiagnosis dan mengobati penyakit
yang sering berkaitan dengan HIV seta infeksi oportunistik.
4. Layanan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan
laboratorium rutin seperti pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah.
Akses ke laboratorium rujukan yang mampu melakukan pemeriksaan
CD4 bermanfaat untuk memantau pengobatan
5. Ketersediaan ARV dan obat infeksi oportunistik serta penyakit terkait
lain yang efektif, bermutu, terjangkau, dan berkesinambungan.
2. Penilaian klinis

Sebelum memulai pengobatan, perlu dilakukan :

 Penggalian riwayat penyakit secara lengkap


 Pemeriksaan fisik lengkap
 Pemeriksaan laboratorium rutin
 Hitung limfosit total (Total Lymphocyte Count/TLC)
 Pemeriksaan jumlah CD4 bila mungkin

Perlu penilaian klinis yang rinci :

 Menilai stadium klinis infeksi HIV


 Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu
 Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV saat ini yang
membutuhkan pengobatan
 Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat
mempengaruhi pemilihan terapi

Riwayat penyakit :

 Kapan dan dimana diagnosis HIV ditegakan


 Kemungkinan sumber infeksi HIV
 Gejala dan keluhan pasien saat ini
 Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima,
termasuk infeksi oportunistik
 Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan
kontak dengan TB sebelumnya
 Riwayat kemungkinan Infeksi Menular Seksual (IMS)
 Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
 Riwayat penggunaan ARV termasuk riwayat regimen untuk PMTCT
sebelumnya
 Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada wanita
 Kebiasaan sehari – hari dan riwayat perilaku seksual
 Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan fisik meliputi :

 Berat badan
 Tanda vital
 Kulit: herpes zoster, sarkoma kaposi, dermatitis HIV, pruritc papular eruption
(PPE), dermatitis seboroik berat, jejas suntikan (needle track), atau jejas
sayatan.
 Limfadenopati
 Selaput lendir orofaringeal : kandidiasis, sarkoma kaposi, hairy leukoplakia,
HSV
 Pemeriksaan jantung, paru, abdomen
 Pemeriksaan sistem syaraf dan otot rangka: keadaan kejiwaan, berkurangnya
fungsi motoris dan sensoris
 Pemeriksaan fundus mata: retinitis dan papil edema
 Pemeriksaan saluran kelamin / alat kandungan

Pemeriksaan psikologis:

 Untuk mengetahui status mental


 Menilai kesiapan menerima pengobatan jangka panjang atau seumur hidup

Pemeriksaan laboratorium:

 Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau strategi


3 sesuai pedoman
 Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
 Pemeriksaan darah lengkap (terutama Hb) dan kimia darah (terutama fungsi
hati) dan fungsi ginjal
 Pemeriksaan kehamilan

Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis:

 Foto toraks
 Pemeriksaan urin rutin dan mikroskopis
 Serologi virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis B (HBV) tergantung
adanya pemeriksaan dan sumber daya
Jika memungkinkan, dilakukan pemeriksaan kimia darah yang meliputi:

 Kreatinin serum dan atau ureum darah untuk menilai fungsi ginjal pada awal
 Glukosa darah
 SGOT / SGPT untuk mengetahui kemungkinan adanya hepatitis serta
memantau adanya keracunan obat
 Pemeriksaan lain bila perlu, seperti: bilirubin serum, lipid serum, dan amilase
serum

Pemeriksaan HIV harus dilakukan oleh teknisi terlatih di laboratorium yang menjalankan
program jaga mutu. Hasil pemeriksaan sebaiknya juga menyebutkan jenis pemeriksaan yang
dipakai untuk menegakan diagnosis berdasarkan pedoman WHO. Bila timbul keraguan,
pemeriksaan harus diulang di laboratorium rujukan.

Tabel 1. Klasifiaksi Klinis Infeksi HIV pada Oang Dewasa (WHO)

Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas


 Asimptomatik
Asimptomatik, aktivitas
I  Limfadenopti generalisata
normal

 Berat badan menurun < 10%


 Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti
dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis,
Simptomatik, aktivitas
II ulkus oral yang rekuren, khilitis angularis
normal
 Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
 ISPA seperti sinusitis bakterialis

 Berat badan menurun > 10%


 Diare kronis > 1 bulan
 Demam berkepanjangan > 1 bulan
 Kandidiasis orofaringeal Pada umumnya lemah,
III  Oral hairy leukoplakia aktivitas di tempat tidur
 TB paru dalam tahun terakhir < 50%
 Infeksi bakterial berat seperti pneumonia,
piomiositis

 HIV wasting syndrome seperti yang


didefinisikan CDC
 Pneumonia Pneumocytis carinii
 Toksoplasmosis otak
 Diare kriptoporidiosis > 1 bulan
Pada umumnya sangat
 Kriptokokosis ekstrapulmonal
IV lemah, aktivitas di
 Retinitis virus cytomegalo
tempat tidur > 50%
 Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan
 Leukoensepalopati multifokal progresif
 Mikosis diseminata seperti histoplasmosis
 Kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus, dan
paru
 Mikobakteriosis atipikal diseminata
 Septisemia salmonelosis non tifoid
 Tuberkulosis di luar paru
 Limfoma
 Sarkoma kaposi
 Ensefalopati HIV

Keterangan :

 HIV wasting syndrome: berat badan turun > 10% ditambah diare kronik > 1 bulan atau demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain
 Ensefalopati HIV: gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang menganggu aktivitas hidup sehari – hari dan bertambah buruk dalam
beberapa minggu atau bulan yang tidak disertai penyakit lain selain HIV

Tabel 2. Klasifikasi Klinis Infeksi HIV pada Anak

Stadium Gambaran Klinis


 Asimptomatik
I  Limfadenopati generalisata

 Diare kronis > 30 hari, tanpa penyebab yang diketahui


 Kandidiasis severe persisten atau berulang pada masa neonatus
 Penurunan berat badan atau gagal tumbuh tanpa diketahui penyebabnya
II.  Demam yang menetap > 30 hari tanpa diketahui penyebabnya
 Infeksi bakteri berat berulang selain septikemia atau meningitis (mis:
osteomielitis, pneumonia bakterial non TB, abses)

 Infeksi oportunistik AIDS-defining


 Gagal tumbuh (failure to thrive) atau penurunan berat badan yang berat
tanpa diketahui penyebabnya
III  Ensefalopati progresif
 Keganasan
 Septikemia atau meningitis berulang

Keterangan:

Penurunan berat badan >10% jika baseline atau kurang dari persentil 5 dari grafik berat badan pada dua kali pengukuran dengan jarak lebih dari 1 bulan tanpa
penyebab ataupun penyakit lain

1. Persyaratan lain
 Sebelum mendapat pengobatan ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling kepatuhan yang telah baku, sehingga pasien
memahami manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda bahaya,
dan sebagainya yang berhubungan dengan ARV
 Pasien yang mendapat pengobatan ARV harus menjalani pemeriksaan
untuk pemantauan klinis secara teratur

1. Indikasi pengobatan antiretroviral

Pengobatan ARV pada ODHA dewasa harus segera dimulai bila infeksi HIV telah
ditegakan secara laboratoris disertai salah satu keadaan di bawah ini:

 Tahap lanjut klinis infeksi HIV:


o Infeksi HIV stadium IV tanpa memandang jumlah CD4
o Infeksi HIV stadium III dengan CD4 < 350 sel/mm3
 Infeksi HIV stadium I atau II dengan CD4 < 200 sel/mm3

Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4, sebagai indikator pengobatan ARV pada infeksi
HIV simptomatik digunakan limfosit total ≤ 1200/mm3, dan pada pasien asimptomatik
jumlah limfosit total kurang berkolerasi dengan jumlah CD4.

Pemeriksaan viral load (misalnya dengan kadar RNA HIV-1 dalam plasma) tidak
dianggap perlu sebelum dimulainya ARV dan tidak direkomendasikan WHO
sebagai tindakan rutin dalam pengambilan keputusan pengobatan.

Tabel 3. Pengobatan ART pada ODHA Dewasa

Tersedia Pemeriksaan CD4


 Stadium IV tanpa memandang jumlah CD4
 Stadium III dengan CD4 < 350 sel/mm3
 Stadium I atau II dengan CD4 < 200 sel/mm3

Tidak Tersedia Sarana Pemeriksaan CD4


 Stadium IV tanpa memandang jumlah limfosit total
 Stadium III tanpa memandang jumlah limfosit total
 Stadium II dengan limfosit total < 1200/mm3

Tabel 4. Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa

Golongan / Nama Obat Dosis


Nucleoside RTI
Abicavir (ABC) 300 mg setiap 12 jam
400 mg sekali sehari

Didanosine (ddl) (250 mg sekali sehari bila BB < 60 kg)

(250 mg sekali sehari bila diberikan bersama dengan TDF)


Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari
40 mg setiap 12 jam
Stavudine (d4T)
(30 mg setiap 12 jam bila BB < 60 kg)
Zidovudine (ZDV atau
300 mg setiap 12 jam
AZT)
Nucleotide RTI
300 mg sekali sehari
Tenofovir (TDF)
(Interaksi obat dengan ddl, perlu mengurangi dosis ddl)
Non Nucleoside RTIs
Evafirenz (EFV) 600 mg sekali sehari
200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap
Nevirapine (NVP)
12 jam
Protease Inhibitors
Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg / 100 mg setiap 12 jam
400 mg / 100 mg setiap 12 jam
Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
(533 mg / 133 mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EVP
atau NVP)
Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam
Saquinavir/ritonavir 1000 mg / 100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg / 200 mg sekali
(SQV/r) sehari
Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg / 5 ml

1. HIV pada Kehamilan

Kehamilan berencana maupun tidak berencana dapat terjadi pada wanita dengan HIV
positif. Keinginan ODHA untuk hamil perlu diperhatikan. Setelah memperoleh
informasi yang benar tentang pengaruh HIV pada kehamilan, serta resiko penularan
terhadap bayi, maka kita perlu menghargai keputusan yang diambil ODHA

Efek infeksi HIV pada kehamilan berkaitan dengan abortus, prematuritas, IUGR
(Intra Uterin Growth Restriction), IUFD (Intra Uterin Fetal Death), penularan pada
janin, dan meningkatnya angka kematian ibu.

Sebaliknya, kehamilan hampir tidak berpengaruh pada infeksi HIV, adanya


penurunan CD4 terjadi karena bertambahnya volume cairan tubuh selama kehamilan,
di samping itu kadar HIV stabil dan tidak mempengaruhi resiko kematian atau
perkembangan menjadi AIDS.

Pemantauan kehamilan pada CD4 < 500sel/mm3 dianjurkan setiap 3 minggu sampai
usia kehamilan 28 minggu dan setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu,
kemudian seminggu sekali sampai persalinan.

Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, serta hitung


CD4, dan USG bila fasilitas memungkinkan pada usia kehamilan 16, 28, dan 36
minggu pada wanita hamil yang menggunakan pengobatan antiretroviral atau CD4 <
200sel/mm3.

1. Penularan perinatal

Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin pada
masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 –
10%, saat persalinan sekitar 10 – 20%, dan saat menyusui sekitar 10 – 20%
bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terutama terjadi
pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi
saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan
bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan
kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang
sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.

Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui
plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga
tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat
dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV, namun
perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun parasit
pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.

Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan
bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama
proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu
semakin lama, resiko penularan semakin tinggi.

ASI dari ibu yang terinfeksi HIV tmengandung HIV dalam konsentrasi yang
lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi pada
sekitar 10 – 20% bayi yang disusui selama 18 bulan atau lebih. Atas dasar
tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan
diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi di
negara maju sekitar 15 – 25%, sedangkan di negara berkembang 25 – 45%,
dihuungkan dengan kebiasaan menyusui yang tinggi di negara berkembang.

Dengan perkembangan pengertian mengenai patogenesis penularan HIV-1


pada perinatal, diketahui bahwa kebanyakan terjadi pada waktu mendekati
persalinan. Data tambahan, telah menunjukan keamanan jangka pendek
penggunaan regimen ZDV, pada pemantauan pada bayi dan wanita dengan
penobatan PACTG 076. Data dari hasil penelitian pada hewan, menunjukan
potensi karsinogen transplasental dari penggunaan ZDV, sehingga dibutuhkan
pemantauan lanjut pada anak dengan pemaparan antiretroviral in-utero.

2. Faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke bayi

Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan tubuh,
dan virulensi kuman.

Faktor ibu :

 Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini
disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah
virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.
 Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus – menerus,
kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu
tinggi.
 Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
 Kurang gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi
 Mastitis
 KPD, partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi,
episiotomi.

Faktor bayi :

 Bayi lahir prematur


 Menyusui pada ibu dengan HIV
 Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi
dibawah usia 6 bulan

1. Pencegahan Penularan HIV pada Bayi dan Anak

Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World Health


Organization menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of
Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga
menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk
memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan. PMTCT merupakan program
yang komperhensif dan mengikuti protokol serta kebijakan nasional.

Intervensi PMTCT :

 Pemeriksaan dan konseling HIV


 Antiretroviral
 Persalinan yang lebih aman
 Menyusui yang lebih aman

Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:

 Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama persalinan
dan masa menyusui
 Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
 Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT

Faktor resiko MTCT selama kehamilan:

 Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
 Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
 Infeksi menular seksual
 Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)

Faktor resiko MTCT selama persalinan:

 Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
 Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
 Prosedur persalinan invasif
 Janin pertama pada kehamilan multipel
 Korioamnionitis

Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:

 Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
 Lama menyusui
 Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
 Abses payudara / puting yang terinfeksi
 Malnutrisi maternal
 Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)

WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak,
yaitu :

1. Pencegahan primer, dengan melakukan pencegahan agar seluruh wanita


jangan sampai terinfeksi HIV

Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat jangan
sampai tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual, setia pada
pasangan, hindari hubungan seksual dengan berganti pasangan, bila hal ini
dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang ditularkan secara seksual harus
dicegah dan diobati dengan segera. Jangan menjadi pengguna narkotika suntikan,
terutama dengan penggunaan jarum suntik bergantian.

Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan universal standar.


Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang merawat pasien dengan HIV /
AIDS (ODHA) tidak termasuk kelompok resiko tinggi tertular HIV, khususnya
bila menerapkan prosedur baku kewaspadaan universal pencegahan penularan
infeksi. Semua darah atau cairan tubuh harus dianggap dapat menularkan HIV
atau penyakit lain yang terdapat dalam darah.

Transfusi darah harus memakai darah atau komponen darah yang sudah
dinyatakan bebas HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah
autologus.
Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum
kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan
pertama.

Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary Counseling and
Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV. Sasarannya adalah
wanita muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan menyusui.

2. Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV


positif

Ada tiga strategi yang dicanangkan :

1. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan

Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak


mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan
penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk
mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk
mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah
terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk
keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat
membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.

2. Menunda kehamilan berikutnya

Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun


jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :

 Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat


menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita
yang menggunakan IUD mempunyai kecenderungan mengalami
perdarahan yang dapat menyebabkan penularan lebih mudah terjadi.
 Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah
penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai
angka keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya
seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
 Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti
noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi pada
wanita yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap perjalanan penyakit
HIV.
 Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan maupun
mencegah penularan HIV.
 Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat
adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).

Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka
pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
1. Gantikan efek kontrasepsi menyusui

Tindakan tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari ibu ke bayi
menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu perlu alat
kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.

1. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin

Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya meliputi empat
hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :

 Penggunaan ARV selama kehamilan (proyek PMTCT plus)


 Penggunaan ARV saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan
 Penanganan obstetrik selama persalinan
 Penatalaksanaan selama menyusui

1. Pengobatan, perawatan, dan pemberian dukungan pada wanita dengan HIV,


bayi, serta keluarganya

 Menyediakan pengobatan yang berhubungan, perawatan, serta dukungan yang


berhubungan dengan HIV bagi para wanita
 Menediakan diagnosis dini, perawatan, serta dukungan bagi bayi dan anak
dengan infeksi HIV positif
 Mengusahakan hubungan antar layanan masyarakat untuk layanan keluarga
terpadu

1. Antiretroviral pada Kehamilan

Menurut rekomendasi penggunaan pengobatan antiretroviral pada wanita hamil


dengan HIV-1 positif untuk kesehatan ibu, serta intervensi untuk menurunkan
penularan HIV-1 perinatal di Amerika Serikat, yang direvisi pada 24 Februari 2005
oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group menyatakan, pengobatan untuk
wanita hamil dengan HIV-1 positif berdasarkan keyakinan bahwa pengobatan
mempunyai kegunaan yang telah diketahui bagi wanita selama kehamilan, kecuali ada
efek yang diketahui bagi ibu maupun janin.

Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :

1. Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS


2. CD4 < 200 sel/mm3
3. Viral load > 1000/ml

Pengobatan ARV juga diperlukan untuk mencegah penularan HIV terhadap janin.

Pengobatan anti HIV merupakan bagian penting dalam menjaga kesehatan ibu, serta
mencegah penularan HIV kepada janin. Keputusan untuk memulai terapi tergantung
pada beberapa faktor, yang juga harus diketahui oleh wanita yang tidak hamil, yaitu :

 Resiko infeksi HIV yang menjadi berat


 Resiko dan kegunaan menunda pengobatan
 Toksisitas pengobatan, serta interaksi obat dengan obat lain yang diminum
 The need to adhere to a drug regimen closely

Sebagai tambahan, bagi wanita hamil dengan HIV, harus mempertimbangkan :

 Keuntungan menurunkan jumlah virus serta menurunkan resiko penularan HIV


dari ibu ke janin
 Efek jangka panjang yang belum diketahui terhadap bayi bila menggunakan obat
ARV selama kehamilan
 Informasi yang tersedia mengenai penggunaan obat anti HIV selama kehamilan

Wanita hamil dengan HIV pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat menunda
pengobatan sampai usia kehamilan 10 – 12 minggu. Setelah trimester pertama, ODHA hamil
harus menerima pengobatan setidaknya dengan zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau
AZT). Pengobatan tambahan dapat dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah
virus.

Kombinasi terapi antiretroviral biasanya terdiri dari dua nucleoside analog reserve
transcriptase inhibitors (NRTIs) dengan protease inhibitor (PI), merupakan
pengobatan standar yang direkomendasikan untuk orang dewasa dengan infeksi HIV-
1 yang tidak hamil. Pada kehamilan tidak diperkenankan menggunakan regimen
pengobatan ini.

Pemilihan pengobatan ARV pada wanita hamil dengan HIV positif, bergantung pada
beberapa pemikiran :

 Kemungkinan perubahan dosis kebutuhan sesuai dengan perubahan fisiologis


yang berhubungan dengan kehamilan.
 Efek potensial dari obat antiretroviral pada wanita hamil
 Efek potensial jangka pendek maupun panjang dari obat antiretroviral terhadap
janin maupun bayi, yang mungkin belum diketahui untuk semua obat
antiretroviral

Keputusan penggunaan pengobatan ARV selama kehamilan harus dibuat oleh wanita hamil
setelah berdiskusi dengan petugas kesehatan mengenai kegunaan yang sudah maupun belum
diketahui, maupun resiko bagi wanita tersebut dan bayinya.

Perubahan fisiologis selama kehamilan dapat berpengaruh pada kinetik absorbsi,


distribusi, biotransformasi, dan eliminasi obat, sehingga juga mempengaruhi pada
dosis obat yang dibutuhkan, serta kemungkinan toksisitas yang ditimbulkan. Selama
kehamilan, waktu transit di saluran pencernaan memanjang, kadar air serta lemak
dalam tubuh meningkat, diikuti dengan peningkatan cardiac output, ventilasi, serta
aliran darah liver dan renal, penurunan konsentrasi protein plasma, peningkatan
reabsorbsi sodium renal, serta perubahan jalur metabolik enzim di liver. Transport
obat pada plasenta, kompartementalisasi obat pada embrio / fetus dan plasenta,
biotransformasi obat oleh fetus dan plasenta, serta eliminasi obat oleh janin, juga
berakibat pada farmakokinetik obat pada wanita hamil. Pertimbangan tambahan
penggunaan obat pada wanita hamil :
 Efek obat pada janin dan bayi baru lahir, termasuk potensi teratogenik,
metagenitas, maupun karsinogenitas
 Farmakokinetik serta toksisitas obat yang ditransport melalui plasenta.

Akibat yang timbul pada janin dari ibu untuk obat tertentu, tidak hanya bergantung pada obat
itu sendiri, namun juga pada dosis obat, umur kehamilan saat janin terpapar, durasi paparan,
interaksi dengan obat lain yang juga terpapar pada janin, serta genetik ibu dan janin.

Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World Health


Organization menyebutkan bahwa pengobatan ARV menurunkan replikasi virus dan
jumlah virus pada ibu, serta melindungi janin terhadap pemaparan virus HIV. Obat
ARV secara efektif mengobati infeksi HIV maternal serta mencegah penularan
vertikal.

Pengobatan jangan disamakan dengan pencegahan (profilaksis). Pengobatan ARV


merupakan penggunaan antiretroviral jangka panjang untuk mengobati infeksi HIV /
AIDS ibu, serta mencegah MTCT. Sedangkan profilaksis ARV merupakan
penggunaan antiretroviral jangka pendek untuk mengurangi penularan HIV dari ibu
kepada janin.

Pengobatan dengan antiretroviral selama kehamilan, bila ada indikasi, akan


meningkatkan kesehatan wanita, serta menurunkan resiko penularan HIV terhadap
janin, dan direkomendasikan dalam situasi sebagai berikut:

1. Jika tersedia pemeriksaan CD4, direkomendasikan untuk mencatat jumlah CD4,


serta menawarkan pengobatan ARV pada pasien dengan:

 Stadium IV WHO, tanpa memperhatikan jumlah CD4


 Stadium III WHO dengan CD4 < 350/mm3
 Stadium I atau II WHO dengan CD4 ≤ 200/mm3

1. Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, direkomendasikan untuk menawarkan


pengobatan ARV pada pasien dengan:

 Stadium IV WHO, tanpa memperhatikan jumlah limfosit total


 Stadium III WHO, tanpa memperhatikan jumlah limfosit total
 Stadium II WHO dengan limfosit total ≤ 1200/mm3

Bila pengobtana ARV sudah diindikasikan pada kehamilan, maka harus segera dilaksanakan.
Terkadang pengobatan ditunda sampai setelah trimester pertama. Wanita hamil yang
memperoleh pengobatan ARV membutuhkan perawatan serta monitoring berkelanjutan
antara program HIV / AIDS lokal. Bila terjadi koinfeksi dengan TB, maka dibutuhkan
pengobatan tambahan serta penatalaksanaan klinis dibutuhkan untuk meminimalkan efek
samping.

1. Pengobatan Antiretroviral pada Kehamilan di Indonesia

Prinsip pengobatan antiretroviral pada wanita usia subur atau wanita hamil harus
didasarkan atas kebutuhan dan persyaratan ARV seperti telah disebutkan. Kehamilan
dan menyusui memberikan masalah tambahan dalam hal toksisitas obat terhadap ibu
maupun anak, pemilihan obat antiretroviral, serta pencegahan penularan HIV dari ibu
ke bayinya. Regimen lini pertama yang direkomendasikan untuk kelompok ini adalah:

(d4T atau AZT) + 3TC + NVP

Pilihan ARV bagi ODHA yang masih mungkin hamil, atau adanya kehamilan yang
belum dapat dipastikan atau kehamilan muda, maka obat ARV yang diberikan harus
aman untuk kehamilan trimester I. Untuk kelompok tersebut harus dihindari
pemberian EFV karena bersifat teratogenik. Wanita yang menerima pengobatan ARV
namun tidak ingin hamil, harus menggunakan metode kontrasepsi yang efektif dan
sesuai untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, sedangkan EFV dapat tetap
menjadi NNRTI pilihan. Wanita yang telah melakukan pengobatan ART dan
kemudian hamil, harus tetap meneruskan pengobatan ARV, namun bila menggunakan
EFV, maka harus dihentikan dan diganti dengan NVP.

Pada umumnya, ODHA hamil lebih dianjurkan memulai pengobatan ARV setelah
melalui trimester I, namun bila berada pada tahap AIDS lanjut, pemberian terapi
segera akan lebih baik diabndingkan dengan resiko apapun pada janinnya. Pengobatan
dengan dua NRTI seperti d4T/ddl tidak diperbolehkan pada kehamilan, dan hanya
digunakan bila tidak ada pilihan lain, sebab kombinasi tersebut memberikan resiko
tinggi terjadinya asidosis laktat pada wanita hamil.

Hepatotoksisitas dengan gejala yang berhubungan dengan NVP atau ruam kulit yang
berat jarang terjadi, dan cenderung terjadi pada wanita dengan CD4 tinggi
(>250sel/mm3). Toksisitas tersebut pernah dilaporkan dari kelompok wanita hamil,
namun belum diketahui mengapa kehamilan merupakan predisposisi toksisitas
tersebut.

ODHA wanita yang pernah memperoleh NVP profilaksis atau 3TC dosis tunggal
PMTCT harus dianggap memenuhi kriteria untuk mendapat regimen yang
mengandung NNRTI dan harus memperoleh akses ARV seumur hidup hingga
tersedia data pasti pada masalah ini.

Banyak negara yang telah mempertimbangkan penggunaan terapi kombinasi tiga obat
jangka pendek untuk PMTCT pada ODHA wanita yang belum membutuhkan ARV
bagi dirinya sendiri, dan terapi pasca persalinan dihentikan bila belum memenuhi
kriteria klinik pemberian ARV. Penggunaan kombinasi yang sangat aktif tersebut
diharapkan akan mencegah penularan perinatal kepada bayi. Namun demikian,
intervensi ini juga memberikan resiko toksisitas obat kepada ibu dan bayinya dalam
keadaan ibu masih cukup sehat dan belum membutuhkan ARV.

Pada suatu kondisi dimana mengharuskan memilih suatu PI selama kehamilan, maka
SQV/r atau NFV merupakan pilihanterbaik karena cukup aman untuk ibu hamil.

Obat ARV sendiri memiliki potensi untuk menaikan atau menurunkan bioavailabilitas
hormon steroid dan kontrasepsi hormonal. Data yang terbatas menunjukan adanya
inetraksi antara beberapa obat ARV (terutama beberapa NNRTI dan PI) dengan
hormon kontrasepsi dan dapat mengubah keamanan aatu efikasi hormon kontrasepsi
maupun ARV. Belum diketahui apakah kontrasepsi yang hanya mengandung
progesteron suntikan (mis: medroksiprogesteron asetetat dan norethisteron enentate)
juga terancam efikasinya, sebab metode ini memberikan kadar hormon yang lebih
tinggi dalam darah dibanding kontrasepsi progesteron lain maupun kontrasepsi oral
kombinasi. Maka, bila wanita dengan pengobatan ARV akan memulai ataupun
meneruskan kontrasepsi hormonal, tetap dianjurkan juga selalu menggunakan
kondom untuk mencegah penularan HIV dan juga menjaga kemungkinan adanya
penurunan efektivitas kontrasepsi hormonal yang dipakai.

Di negara berkembang terdapat beberapa regimen antiretroviral untuk mencegah


penularan dari ibu ke janin / bayinya yang dianjurkan diantaranya:

1. Nevirapine

Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan

Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).

Regimen ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak perlu terapi
ulangan dan efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, serta
ekonomis. Faktor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif
mahal dan padaprinsipnya ARV harus diberikan seumur hidup.

Nevirapine dapat menimbulkan ruam kulit, sindrom Steven-Johnson,


peningkatan serum aminotransferase, serta hepatitis.

2. AZT

Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3
jam selama persalinan berlangsung. Regimen ini lebih efektif untuk
menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%), namun labih mahal, sebab
memerlukan terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan. Mengingat
harga obat relatif, maka dipakai regimen yang paling sesuai dengan kondisi
setempat.

Efek samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi AZT
adalah anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya bila
terjadi anemia. Efek samping lain zidovudine adalah netropenia, intoleransi
gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.

Pemberian antiretroviral pada wanita hamil tidak menimbulkan resistensi terhadap


antiretroviral, karena pemberiannya hanya dalam waktu singkat, kurang dari 3 bulan.
Walupun diketahui ada kemungkinan terapi tunggal dengan nevirapine dapat
menimbulkan resitensi dengan cepat, namun sejauh ini belum ada bukti untuk itu.

Tabel 4. Panduan Pengobatan ARV pada PMTCT


Regimen bagi Ibu
Kondisi Klinis Regimen bagi Bayi
(dosis sesuai tabel 3)
 Pastikan tidak sedang dalam
keadaan hamil sebelum
ODHA dengan
memulai ARV
indikasi ARV
1.  Hindari penggunaan EFV
yang mungkin
 AZT + 3TC + NVP atau
dapat hamil
 d4T + 3TC + NVP

 Lanjutkan regimen ARV


 AZT (4mg/kgBB
yang sekarang digunakan
setiap 12 jam) selama
 Bila mendapat pengobatan
1 minggu atau
dengan EFV diganti dengan
ODHA dengan  NVP (2mg/kgBB)
NVP atau PI pada kehamilan
2. ARV yang dosis tunggal atau
trimester I
kemudian hamil  NVP dosis tunggal +
 Lanjutkan pengobatan ARV
AZT selama 1
yang sama selama persalinan
minggu
dan pasca persalinan

 Tunda ARV sampai setelah


trimester I bila mungkin.
 NVP dosis tunggal
Bila kondisi buruk perlu
dalam 72 jam
pertimbangkan untung – rugi
pertama + AZT
pemakaian ART dini
selama 1 minggu atau
ODHA hamil  ARV seperti pada ODHA
 AZT selama 1
3. dengan inidikasi biasa
minggu atau
ARV  ARV lini I: AZT + 3TC +
 NVP dosis tunggal
NVP atau
dalam 72 jam
 d4T + 3TC + NVP
pertama
 EFV tidak boleh diberikan
pada kehamilan trimester I

Regimen bagi Ibu


Kondisi Klinis Regimen bagi Bayi
(dosis sesuai tabel 3)
 AZT dimulai pada usia
kehamilan 28 minggu atau
segera setelah itu,
NVP dosis tunggal dalam 72
dilanjutkan selama masa
jam pertama + AZT selama 1
persalinan, +
ODHA hamil minggu
 NVP dosis tunggal pada
4. namun belum ada awal persalinan
indikasi ARV
Regimen alternatif:

 AZT dimulai pada usia


 AZT selama 1
kehamilan 28 minggu atau
segera setelah itu, minggu
dilanjutkan selama
persalinan
 AZT + 3TC: sejak
kehamilan 36 minggu atau
segera setelah itu,
dilanjutkan selama masa
persalinan hingga 1 minggu
pasca persalinan  AZT + 3TC
(2mg/kgBB) selama 1
minggu

NVP dosis tunggal dalam 72


NVP dosis tunggal intrapartum
jam
ODHA hamil
Sesuai butir 4, namun lebih baik
dengan indikasi
5. menggunakan regimen yang paling
ARV namun tidak
efektif dari yang ada
mulai ARV
Bila dipertimbangkan untuk
menggunakan ARV:

 AZT + 3TC + SQV/r atau


 D4T + 3TC + SQV/r
ODHA hamil
dengan TB aktif
Bila pengobatan dimulai pada
OAT yang sesuai
6. trimester III:
untuk wanita
hamil tetap
 AZT + 3TC + EFV atau d4T
diberikan
+ 3TC + EFV
 Bila tidak akan
menggunakan ARV, ikuti
butir 4

Bila sempat tawarkan pemeriksaan dan konseling pada ibu yang


belum diketahui status HIV-nya, bila tidak, lakukan pemeriksaan
Ibu hamil dalam dan konseling segera setelah persalinan (dengan persetujuan) dan
masa persalinan ikuti butir 8
dengan status HIV
tidak diketahui Bila positif:
 NVP dosis tunggal
Atau  Berikan NVP dosis tunggal
7. dalam 72 jam
 Bila persalinan sudah terjadi
ODHA yang pertama
jangan berikan NVP, namun
datang saat ikuti butir 8, atau
persalinan tetapi  AZT + 3TC saat persalinan
belum pernah hingga 1 minggu pasca
mendapat ARV persalinan
 AZT + 3TC selama 1
minggu

Bayi lahir dari NVP dosis tunggal sesegera


ODHA yang mungkin + AZT selama 1
8. belum pernah minggu. Bila diberikan
mendapat obat setelah > 2 hari kurang
ARV bermanfaat

*
Dikutip dari: "Recommendation on ARVs and MTCT Prevention 2004". WHO Juli 2004

1. Keamanan dan Toksisitas Pengobatan Anti HIV selama Kehamilan

Informasi mengenai pengobatan anti HIV bagi wanita hamil terbatas dibanding
dengan wanita dewasa yang tidak hamil, namun cukup diketahui untuk
merekomendasikan pengobatan yang cocok bagi ibu dan bayinya.

Bagaimanapun, menurut Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005 efek
jangka panjang dari pengobatan ARV terhadap janin in-utero masih belum diketahui.

Salah satu regimen pengobatan yang dapat digunakan adalah non-nucleosid reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI) niverapine (NVP). Penggunaan jangka panjang NVP
dapat menyebabkan beberapa efek samping negatif seperti kelelahan atau kelemahan,
mual, kehilangan nafsu makan, mata atau kulit yang menguning, atau tanda toksisitas
liver seperti liver pengerasan atau pembesaran atau peningkatan liver enzim. Efek
tersebut belum ditemukan pada penggunaan jangka pendek (satu atau dua dosis) NVP
selama kehamilan. Kondisi pasien selama pengobatan dengan NVP harus diawasi
sebab, kehamilan dapat menimbulkan beberapa gejala awal toksisitas liver.
Penggunaan NVP juga memerlukan perhatian pada wanita yang belum pernah
mendapat pengobatan anti HIV serta pada wanita dengan CD4 > 250 sel/mm3.
Toksisitas liver lebih sering timbul pada penderita tersebut.

Delavirdine dan efavirenz, merupakan NNRTI yang disetujui oleh FDA, namun tidak
direkomendasikan penggunaannya pada wanita hamil dengan HIV positif.
Penggunaan obat ini selama kehamilan dapat menimbulkan cacat lahir.

Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dapat menimbulkan toksisitas


mitokondrial, yang dapat menimbulkan timbunan asam laktat dalam darah. Timbunan
ini dikenal sebagai hyperlactemia atau asidosis laktat. Toksisitas ini dapat
dipertimbangkan bagi wanita hamil dan bayinya yang akan terpapar NRTIs secara in-
utero.

Protease Inhibitors (PIs) dihubungkan dengan peningkatan kadar gula darah atau
hiperglikemia, timbulnya diabetes mellitus, atau memberatnya gejala diabetes
mellitus, serta diabetik ketoasidosis. Kehamilan juga merupakan faktor resiko untuk
hiperglikemia, namun belum diketahui apakah penggunaan PI meningkatkan resiko
timbulnya hiperglikemia yang berhubungan dengan kehamilan atau diabetes
gestasional.

Enfuvirtide (T-20) merupakan satu – satunya fusion inhibitor yang disetujui FDA,
sangat sedikit yang diketahui mengenai penggunaannya selama kehamilan.

2. Penanganan Persalinan

Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka
pemberian pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat penting untuk
melindungi infeksi HIV terhadap bayi. Menurut Perinatal HIV Guidlines Working
Group tahun 2005, terdapat beberapa regimen pengobatan yang dapat menurunkan
resiko penularan terhadap bayi. Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV
regimen :

1. Wanita hamil dengan HIV

ZDV dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3
x 200 mg, atau 2 x 300 mg

2. Persalinan

Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena

3. Bayi

Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6
minggu setelah dilahirkan.

Bila selama kehamilan wanita hamil dengan HIV positif sudah mendapat pengobatan
anti HIV lain, maka pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai jadwal selama persalinan.

Pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif, tergantung pada keadaan
kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat dilakukan pervaginam maupun
secara operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan cara persalinan harus dibicarakan
terlebih dahulu selama kehamilan, seawal mungkin.

Seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita hamil dengan HIV positif dengan:

 Jumlah virus tidak diketahui atau > 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu
 Belum pernah mendapat pengobatan anti HIV atau hanya mendapat zidovudine
selama kehamilan
 Belum pernah mendapat perawatan prenatal sampai usia kehamilan 36 minggu
atau lebih

Untuk lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus dijadwalkan pada
kehamilan 38 minggu, dan harus dilakukan sebelum ketuban pecah.

Persalinan pervaginam merupakan pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV
positif dengan:
 Sudah memperoleh perawatan prenatal selama kehamilan
 Viral load < 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu
 Mendapat pengobatan ZDV dengan atau tanpa obat anti HIV lainnya.

Persalinan pervaginam juga dapat dilakukan pada wanita hamil dengan HIV positif bila
ketuban sudah pecah, dan persalinan berlangsung secara cepat.

Semua cara persalinan mempunyai resiko, namun resiko penularan HIV dari wanita
hamil dengan HIV positif kepada bayinya lebih tinggi pada persalinan pervaginam
dibanding seksio sesarea yang terencana. Bagi ibu, seksio sesarea meningkatkan
resiko infeksi, masalah yang berhubungan dengan anestesia, serta resiko lain yang
berhubungan dengan tindakan operatif. Bagi bayi, seksio sesarea meningkatkan resiko
infant respiratory disetress.

Pemberian ZDV intravena (i.v) dimulai 3 jam sebelum tindakan seksio sesarea, dan
dilanjutkan setalah bayi dilahirkan. ZDV i.v harus diberikan selama persalinan dan
setelah bayi lahir pada persalinan pervaginam. Hal yang juga penting dilakukan
adalah meminimalkan kontak bayi terhadap darah ibu. Hal ini dapat dilakukan dengan
dengan menghindari pemeriksaan invasif, serta persalinan dengan vakum maupun
forsep.

Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif harus memdapat
pengobatan anti HIV untuk mencegah penularan HIV. Pengobatan minimal dengan
pemberian ZDV selama 6 minggu, terkadang juga dengan pemberian obat tambahan
lainnya.

Bila telah diputuskan untuk melakukan tindakan seksio sesarea yang terjadwal untuk
menghindari penularan virus HIV, ACOG merekomendasikan untuk melakukannya
pada usia kehamilan 38 minggu, dilihat dari keaadaan klinik yang diperkirakan paling
baik serta menghindari pecahnya ketuban. Pada wanita yang tidak terinfeksi virus
HIV, penatalaksanaan seksio sesarea tanpa mengetahui kematangan paru janin,
menurut ACOG, ditunda sampai pada usia kehamilan 39 minggu, atau pada saat
memasuki persalinan, untuk mengurangi kemungkinan komplikasi pada janin.
Tindakan seksio sesarea antara usia kehamilan 38 atau 39 minggu, memiliki sedikit
perbedaan pada kemungkinan peningkatan terjadinya infant respiratory distress, yang
membutuhkan ventilasi mekanis. Peningkatan resiko ini diimbangi dengan kejadian
resiko persalinan serta pecahnya ketuban sebelum mencapai usia kehamilan 39
minggu.

Pada wanita yang telah dijadwalkan untuk dilakukan tindakan seksio sesarea,
pemberian ZDV harus dimulai 3 jam sebelum tindakan operatif, sesuai dengan standar
dosis rekomendasi. Pengobatan antiretroviral lain yang digunakan selama kehamilan
harus tetap dilanjutkan pada saat mendekati saat persalinan, dan selama persalinan
berlangsung. Dengan meningkatnya morbiditas maternal akibat infeksi, perlu
dipikirkan juga mengenai pemberian antibiotik profilaksis perioperatif, walaupun
belum ada penelitian mengenai efisiensinya.

Pecahnya ketuban, meningkatkan kejadian penularan perinatal, pada wanita yang


tidak memperoleh pengobatan antiretroviral. Pada wanita yang memperoleh
pengobatan ZDV, penelitian menunjukan meningkatnya resiko penularan pada
ketuban yang pecah 4 jam atau lebih sebelum persalinan. Prosedur obstetri
meningkatkan resiko pemaparan janin terhadap darah ibu, seperti amniosintesis, serta
monitoring secara invasif harus dihindari. Prosedur ini harus dilakukan hanya jika ada
indikasi. Jika terjadi ketuban pecah dini, sebelum atau menjelang persalinan, perlu
dilakukan tindakan untuk mempersingkat waktu persalinan, seperti pemberian
oksitosin, dapat dipikirkan

Rekomendasi pencegahan penularan vertikal HIV terhadap janin :

 Usaha memaksimalkan kesehatan wanita hamil, pemberian kombinasi terapi


antiretroviral, diharapkan dapat menurunkan jumlah virus serta angka penularan
vertikal. Penurunan minimum penularan HIV, direkomenndasikan pemberian
regimen ZDV profilaksis menurut PACTG 076.
 Tingkat plasma HIV-1 RNA harus dimonitor selama kehamilan sesuai dengan
standar pelaksanaan infeksi HIV pada dewasa.
 Penularan HIV perinatal dapat diturunkan dengan tindakan seksio sesarea
terencana, pada wanita dengan tingkat RNA HIV-1 yang tidak diketahui, yang
tidak memperoleh pengobatan antiretroviral, atau hanya memperoleh ZDV
profilaksis.
 Wanita dengan tingkat HIV-1 RNA > 1000/ml, harus dikonsultasikan untuk
membicarakan mengenai tindakan seksio sesarea terencana untuk menurunkan
resiko penularan vertikal.
 Penatalaksanaan pada wanita yang telah direncanakan untuk tindakan seksio
sesarea dan datang dengan ketuban pecah, atau datang dalam keadaan persalinan,
harus berdasarkan lamanya waktu ketuban pecah, jalannya persalinan, tingkat
plasma HIV-1 RNA, pengobatan antiretroviral sebelumnya, serta faktor klinis
lainnya. Masih belum jelas manfaat tindakan seksio sesarea yang dilakukan
setelah ketuban pecah, atau setelah persalinan berlangsung.
 Wanita tersebut juga harus memperoleh penjelasan mengenai resiko yang
berhubungan dengan tindakan seksio sesarea. Resiko yang timbul harus seimbang
dengan manfaat yang diperoleh bagi janin.
 Wanita tersebut juga harus memperoleh konsultasi mengenai data yang masih
terbatas. Keputusan mengenai persalinan yang akan dijalankan harus dihormati.

1. Persalinan bagi Wanita Hamil dengan HIV Positif di Indonesia

Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan


Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003
menyebutkan, di negara maju, seksio sesarea sebelum mulai persalinan dapat
mengurangi resiko penularan dari ibu ke bayi sampai 80% (1,8% dibandingkan
10,5%). Penelitian pada 8533 pasangan ibu dan anak di Amerika Utara dan Eropa
didapatkan bahwa seksio sesarea elektif sebelum inpartu dan sebelum pecah ketuban
dapat menurunkan resiko penularan HIV dari ibu ke anak sebesar 50% dibandingkan
persalinan pervaginam. Bila seksio sesarea elektif disertai penggunaan pengobatan
antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%. Bila dilakukan
perbandingan antara seksio sesarea disertai pengobatan antiretroviral dengan partus
pervaginam yang disertai pengobatan antiretroviral, insiden penularan menjadi 2%
pada seksio sesarea elektif dan 7,3% pada partus pervaginam. Walaupun demikian,
seksio sesarea bukanlah operasi tanpa resiko, apalagi pada ODHA dimana imunitas
penderita sangat lemah. Di Zambia dilaporkan 75% ODHA mengalami keterlambatan
penyembuhan luka dengan resiko infeksi meningkat. Di Ruwanda, seksio sesarea
bahkan menyebabkan kematian penderita ODHA meningkat.

WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea, tetapi juga tidak
melarang mengingat kondisi di masing- masing daerah berbeda, perlu
dipertimbangkan biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan tersebut, komplikasi
yang dapat ditimbulkan akibat imunitas ibu yang rendah.

Tindakan yang tidak diperbolehkan karena meningkatkan resiko penularan HIV dari
ibu ke bayi adalah berupa tindakan obstetrik invasif yang tidak perlu, dan dapat
menjadi jalur penularan HIV, seperti:

 Episiotomi rutin
 Ekstraksi vakum
 Ekstraksi cunam
 Pemecahan ketuban sebelum pembukaan lengkap
 Terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam
 Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah diambil
dari kulit kepala janin

Tabel 5. Alat pelindung bagi Tenaga Medis

Jenis Cuci Sarung Kaca Sepatu


Masker Topi Celemek Gaun
Tindakan Tangan Tangan Mata Pelindung
Pemeriksaan
+ - - - - - - -
fisik kulit utuh
Pemeriksaan
+ + - - - - - -
fisik kulit luka
Mengambil
+ + - - - - - -
sampel darah
Menyuntik
+ + - - - - - -
intravena
Membersihkan
luka / + + - - - - - -
venaseksi
Kateterisasi
+ + - - - - - -
urine
Pemeriksaan
pelvis (vaginal + + - - - - - -
toucher)
Menolong
+ + + + + + + +
persalinan
Memandikan
+ + - - - - - -
bayi
Membersihkan + + - - - +/- - +/-
ruang
Mencuci
piring / alat + + - - - +/- - -
makan
Mencuci
+ + +/- +/- +/- + +/- +
pakaian

1. Pasca Persalinan bagi Wanita dengan HIV Positif dan bayinya

Pengobatan bagi wanita postpartum dengan HIV, sedapat mungkin harus sudah
dibicarakan salama kehamilan atau segera setelah melahirkan. Perinatal HIV
Guidlines Working Group tahun 2005 menyebutkan, bayi yang lahir dari wanita
dengan HIV positif, mendapat pemeriksaan HIV yang berbeda dari orang dewasa.
Pada orang dewasa dilakukan pemeriksaan untuk mencari antibodi HIV dalam darah.
Bayi menyimpan antibodi ibu dalam darahnya, termasuk antibodi HIV, selama
beberapa bulan setelah dilahirkan. Maka, tes antibodi yang diberikan sebelum bayi
berusia 1 tahun akan memperoleh hasil positif walaupun bayi tersebut tidak menderita
HIV. Untuk tahun pertama, bayi diperiksa untuk HIV secara langsung, bukan untuk
mencari antibodi HIV. Bayi berusia > 1 tahun, tidak lagi memiliki antibodi dari
ibunya, sehingga dapat diperiksa antibodi HIV.

Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada:

 Antara 48 jam setelah lahir


 Antara 1 – 2 bulan
 Antara 3 – 6 bulan

Bayi dicurigai terinfeksi HIV bila hasil pemeriksaan positif pada dua dari pemeriksaan di
atas.

Pada usia 12 bulan, bayi yang memiliki hasil pemeriksaan preliminary positif, harus
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV untuk memastikan infeksi. Bayi dengan hasil
pemeriksaan antibodi HIV negatif, pada saat ini tidak terinfeksi HIV. Bayi dengan
hasil pemeriksaan antibodi HIV positif, harus diperiksa ulang pada usia 15 – 18 bulan.

Bayi yang yang lahir dari wanita dengan HIV positif harus dilakukan pemeriksaan
Complete Blood Count (CBC) setelah dilahirkan. Bayi harus diawasi juga dari tanda
anemia, yang merupakan efek samping negatif yang ditimbulkan pengobatan ZDV
selama 6 minggu yang diberikan kepada bayi. Bayi tersebut juga harus dilakukan
pemeriksaan darah rutin, serta imunisasi lainnya.

Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk
mendapat pengobatan ZDV oral selama 6 minggu untuk mencegah penularan HIV
dari ibunya. Regimen ZDV oral ini harus mulai diberikan 6 – 12 jam setelah bayi
lahir. Pemberian ZDV dapat juga dikombinasikan dengan ARV lainnya.
Sebagai tambahan dalam pengobatan ARV, bayi juga harus memperoleh pengobatan
untuk mencegah P. carinii/jiroveci pneumonia (PCP). Pengobatan yang
direkomendasikan adalah dengan kombinasi sulfamethoxazole dan trimethoprim.
Pengobatan ini harus dimulai saat bayi berusia 4 – 6 minggu dan dilanjutkan sampai
bayi diyakinkan HIV negatif. Bila hasil pemeriksaan bayi HIV positif, maka
pengobatan terus dilanjutkan.

Berikan penjelasan kepada pasien untuk dapat memperoleh perawatan kesehatan yang
sesuai serta pelayanan pendukung lainnya bagi ibu dan bayi :

 Perawatan kesehatan rutin


 Perawatan khusus HIV
 Keluarga berencana
 Pelayanan kesehatan jiwa
 Substance abuse treatment
 Case management

Wanita dengan HIV positif diharapkan tidak menyusui bayinya untuk mencegah penularan
HIV melalui ASI.

Selama masa postpartum dapat terjadi perubahan fisik dan emosional, bersamaan
dengan tekanan dan tanggungjawab untuk merawat bayi, dapat mempersulit dalam
melanjutkan pengobatan regimen ARV.

Perlu juga dibicarakan kepada pasien mengenai:

 Hal yang tidak dimengerti yang mengenai regimen obat dan pengobatan yang baik
 Rasa depresi (banyak wanita yang mengalaminya setelah melahirkan)
 Rencana jangka panjang untuk melanjutkan perawatan kesehatan dan pengobatan
ARV bagi ibu dan bayi

1. Penanganan Pasca Persalinan di Indonesia

Sesuai dengan Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan


Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan pasca persalinan, antara lain :

1. Kontrasepsi

Bila bayi tidak disusui, maka efek kontraseptif laktasi akan hilang, sehingga
pasangan tersebut harus memakai kontrasepsi untuk menghindari atau
menunda kehamilan berikutnya. Seorang ODHA sudah harus menggunakan
alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu post partum.

2. Menyusui
Bagi ibu yang belum diketahui status serologinya, dianjurkan menyusui
bayinya secara ekslusif selama 6 bulan, dan dapat dilanjutkan sampai 2 tahun
atau lebih. Makanan alternatif diberikan sejak bayi berusia 6 bulan.

Bagi ibu dengan HIV positif tidak dianjurkan menyusui bayinya, sebab dapat
terjadi penularan HIV antara 10 – 20%, apalagi bila terdapat lecet pada
payudara, atau terdapat mastitis.

Sebaliknya bila tidak menyusui, bayi akan beresiko untuk salah gizi dan
mudah terserang penyakit infeksi termasuk HIV. Pada keadaan dimana ibu
tidak bisa membeli susu formula, lingkungan yang tidak memungkinkan
seperti tidak tersedianya air bersih dan sosiokultural, bila pemberian susu
formula tidak dapat diterima, tidak menguntungkan, tidak terjangkau, tidak
berkesinambungan, tidak aman, maka bayi dapat diberi ASI ekslusif sampai
usia 4 – 6 bulan, selanjutnya segera disapih.

Sekitar 50 – 75% dari bayi yang disusui ibu ODHA, terinfeksi HIV pada 6
bulan pertama kehidupannya, tetapi bayi yang disusui secara ekslusif selama 6
bulan mempunyai resiko lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang
mendapat makanan tambahan. Pada bayi yang mendapat makanan tambahan
pada usia < 6 bulan, dapat terjadi stimulasi imunologis dini akibat kontak
dengan makanan yang terlalu dini sehingga terjadi gangguan pencernaan yang
mengakibatkan peningkatan permiabilitas usus, yang dapat merupakan tempat
masuknya HIV.

Pemberian ASI ekslusif selama 4 – 6 bulan mengurang morbiditas dan


mortalitas akibat infeksi selain HIV. Pemberian makanan tambahan juga
berkaitan dengan resiko mastitis, akibat ASI yang terakumulasi pada payudara
ibu. Cara lain menghindari penularan HIV, dengan menghangatkan ASI di atas
66 C untuk membunuh virus HIV dan mnyusui hanya dilakukan pada bulan –
bulan pertama saja.

PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dapat disiapkan dari susu hewan seperti sapi,
kerbau, kambing. Susu hewan murni mengandung terlalu banyak protein,
sehingga dapat merusak ginjal dan menganggu usus bayi, maka susu tersebut
harus dicairkan dengan air, dan ditambahkan gula untuk energi. PASI
sebaiknya diberikan dengan cangkir, sebab lebih mudah dibersihkan
dibandingkan botol. Pemberian makanan campuran seperti susu, makanan, jus,
dan air tidak diperkenankan sebab dapat meningkatkan resiko penularan dan
peningkatan angka kematian bayi.

Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan


pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera
disapih.

3. Terapi antiretroviral dan imunisasi

Sebelum mendapat pengobatan antiretroviral, ibu perlu mendapatkan


konseling. Sesuai protokol ARV, minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4.
Pengobatan antiretroviral semakin penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu
harus merawat anaknya sampai cukup besar. Tanpa pengobatan antiretroviral
dikhawatirkan usia ibu tidak cukup panjang.

Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah
dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia 18
bulan.

2. Kesimpulan
1. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT
(programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat
menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan
infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan,
perawatan, serta dukungan.
2. Perinatal HIV Guidelines Working Group
(24 Februari 2005)

Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :

1. Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS


2. CD4 < 200 sel/mm3
3. Viral load > 1000/ml

Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen :

3. Wanita hamil dengan HIV

ZDV dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3
x 200 mg, atau 2 x 300 mg

4. Persalinan

Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena

1. Bayi

Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6
minggu setelah dilahirkan.

Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada:

 Antara 48 jam setelah lahir


 Antara 1 – 2 bulan
 Antara 3 – 6 bulan

1. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan


Departemen Kesahatan Republik Indonesia

Regimen antiretroviral di negara berkembang untuk mencegah penularan dari ibu


ke janin / bayinya yang dianjurkan diantaranya:
1. Nevirapine

Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan

Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah


lahir).

2. AZT

Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3
jam selama persalinan berlangsung.

Hindari tindakan obstetrik invasif yang tidak perlu, seperti:

 Episiotomi rutin
 Ekstraksi vakum
 Ekstraksi cunam
 Pemecahan ketuban sebelum pembukaan lengkap
 Terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam
 Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah
diambil dari kulit kepala janin

Pasca persalinan, antara lain :

1. Kontrasepsi

Kontrasepsi yang dianjurkan dengan menggunakan kondom. Seorang ODHA


sudah harus menggunakan alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu post
partum.

2. Menyusui

Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan


pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera
disapih.

3. Terapi antiretroviral dan imunisasi

 Ibu minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4. Pengobatan antiretroviral


semakin penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu harus merawat anaknya
sampai cukup besar.
 Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah
dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia
18 bulan.

Author : Sarsanto W. Sarwono, Stephanus P. Nurdin, Miranti Pusparini

Diposkan oleh bobby indra utama di 05.57

Anda mungkin juga menyukai