Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Petani Indonesia saat ini sudah terbiasa mendengar pestisida. Pestisida sintetik di
dunia pertanian sekarang ini sudah sering digunakan. Selain biayanya yang murah dan
mudah untuk didapat, cara kerjanyapun relatif cepat dibandingkan dengan menggunakan
pestisida alami yang cara kerjanya lambat dan hanya mampu mengendalikan jumlah
hama. Pestisida sintetik yang berbahan kimia beresiko mengandung racun yang
berbahaya apabila digunakan. Namun sebagian petani lebih memikirkan keuntungan dari
pada kesehatan (Toha, 2014).
Pestisida merupakan subtansi kimia dari bahan lain serta jazad renik dan virus yang
digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Pestisida dibedakan menjadi dua
yaitu pestisida sintetik dan pestisida alami. Pestisida sintetik berasal dari bahan kimia
sintetik yang dapat membunuh atau mengendalikan hama. Sedangkan pestisida alami
adalah pestisida yang berasal dari bahan alami yang mampu mengendalikan hama.
Umumnya pestisida alami tidak membunuh tetapi hanya mengusir hama karena
kandungan bahan kimia yang tidak disukai oleh hama terebut (Toha, 2014).
Pestisida golongan organofosfat banyak digunakan karena sifatnya yang
menguntungkan. Cara kerja golongan ini selektif, tidak resisten dalam tanah, dan tidak
menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan
juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang
memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai. Kemudahan dalam penggunaannya
di lahan, juga menjadi alasan mendasar bagi para petani (Widiarti, 2012).
Meluasnya penggunaan insektisida dari golongan organofosfat dan karbamat, menjadi
masalah yang serius terutama kaitanya dengan kesehatan manusia. Penggunaan yang
tidak tepat dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan yang dapat bersifat
sistemik, mengingat yang menjadi sasaran kerusakan adalah enzim asetil cholin esterase.
Gangguan akibat insektisida ini sering dialami oleh para petani, terutama yang dalam
penyemprotan insektisida tidak menggunakan masker atau penutup hidung. Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan selain petani juga dapat mengalami gangguan kesehatan
yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat keracunan yang tinggi (Widiarti, 2012).

1
B. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian pestisida ?
b. Bagaimanakah penggolongan pestisida ?
c. Apakah pemeriksaan untuk pestisida organofosfat, karbamat dan organoklorin ?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian pestisida.
b. Untuk mengetahui penggolongan pestisida.
c. Untuk mengetahui pemeriksaan untuk pestisida organofosfat, karbamat dan
organoklorin ?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Pestisida
Pestisida merupakan bahan kimia atau bahan alami yang memberantas populasi hama
terutama dengan cara membunuh organisme hama, seperti serangga, penyakit, gulma
atau hewan. Pada tahun 1985, dunia menggunakan sekitar 2.300 juta kg pestisida
kimia. Pengertian pestisida menurut Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 dalam
Kementrian Pertanian (2011) dan Permenkes RI No. 258/Menkes/Per/III/1992
adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan
untuk : (Betaria, 2013)
a. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
b. Memberantas rerumputan.
c. Mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan.
d. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan atau ternak.
e. Memberantas atau mencegah hama-hama air.
f. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
bangunan rumah tangga alat angkutan, dan alat-alat pertanian.
g. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan tanaman, tanah dan air.
Menurut PP RI No.6 tahun 1995 dalam Soemirat (2005), pestisida juga
didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh dan perangsang
tubuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk
perlindungan tanaman (Betaria, 2013).
B. PENGGOLONGAN PESTISIDA BERDASARKAN BAHAN AKTIFNYA
a. Organofosfat
a.) Definisi
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila tertelan,
meskipun hanya dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kematian pada
manusia. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan
kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut

3
secara normal menghidrolisis acetylcholine menjadi asetat dan kholin. Pada saat
enzim dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan
dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer.
Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada
seluruh bagian tubuh (Lufanto, 2015).
b.) Memahami Diagnosis Keracunan Pestisida Organofosfat
Penegakan diagnosa dari keracunan seringkali dengan mudah dapat
ditegakkan karena keluarga atau pengantar penderita sudah mengatakan penyebab
keracunan atau membawa tempat bahan beracun kepada dokter. Tapi kadang-
kadang kita menemui kesulitan dalam menentukan penyebab keracunan terutama
bila penderita tidak sadar dan tidak ada saksi yang mengetahui kejadiannya.
Diagnosa dari keracunan terutama didasarkan pada anamnesa yang diambil dari
orang tua, keluarga, pengasuh atau orang lain yang mengetahui kejadiannya
(Lufanto, 2015).
Pada anamnesa ditanyakan kapan dan bagaimana terjadinya, tempat kejadian
dan kalau mungkin mencari penyebab keracunan. Ditanya pula kemungkinan
penggunaan obat-obatan tertentu atau resep yang mungkin baru didapat dari
dokter. Diusahakan sedapat mungkin agar tempat bekas bahan beracun diminta
untuk melihat isi bahan beracun dan kemudian diselidiki lebih lanjut.
Pemeriksaan fisik sangat penting terutama pada penderita-penderita yang belum
jelas penyebabnya adalah : (Lufanto, 2015)
1. Bau
1.) Aceton : Methanol, isopropyl alcohol, acetyl salicylic acid
2.) Coal gas : Carbon monoksida
3.) Buah per : Chloralhidrat
4.) Bawang putih : Arsen, fosfor, thalium, organofosfat
5.) Alkohol : Ethanol, methanol
6.) Minyak : Minyak tanah atau destilat minyak
2. Kulit
1.) Kemerahan : Co, cyanida, asam borax, anticholinergik
2.) Berkeringat : Amfetamin, LSD, organofosfat, cocain, barbiturate
3.) Kering : Anticholinergik
4.) Bulla : Barbiturat, carbonmonoksida
5.) Ikterus : Acetaminofen, carbontetrachlorida, besi, fosfor, jamur

4
6.) Purpura : Aspirin, warfarin, gigitan ular
3. Suhu Tubuh
1.) Hipothermia : Sedatif hipnotik, ethanol, carbonmonoksida, clonidin,
fenothiazin
2.) Hiperthermia : Anticholinergik, salisilat, amfetamin, cocain, fenothiazin,
theofili.
4. Tekanan Darah
1.) Hipertensi : Simpatomimetik, organofosfat, amfetamin
2.) Hipotensi : Sedatif hipnotik, narkotika, fenothiazin, clonidin, beta-blocker
5. Nadi
1.) Bradikardia : Digitalis, sedatif hipnotik, beta-blocker, ethchlorvynol.
2.) Tachikardia : Anticholinergik, amfetamin, simpatomimetik, alkohol,
cokain, aspirin, theofilin
3.) Arithmia : Anticholinergik, organofosfat, fenothiazin, carbonmonoksida,
cyanida, beta-blocker.
6. Selaput Lendir
1.) Kering : Anticholinergik
2.) Salivasi : Organofosfat, carbamat
c.) Dampak Penggunaan Pestisida Organofosfat
1. Parathion
Parathion merupakan phenyl organfosfat yang paling dikenal pada tahun
1946. Ethyl parathion merupakan derivate phenyl yang pertama dikenalkan
secara komersial, karena sifatnya yang sangat toksik tidak digunakan di
rumah. Methyl parathion dikenalkan 1946 dan lebih banyak digunakan
daripada ethyl parathion, karena methyl parathion kurang toksik untuk
manusia dan hewan (Lufanto, 2015).
2. Demeton
Demeton adalah organofosfat pestisida peringkat 10% bahan kimia yang
paling berbahaya teratas. Ini adalah racun bagi manusia, mamalia lain,
organisme air, dan spesies nontarget. Demeton adalah campuran isomer yang
tidak berwarna dan memiliki bau belerang yang kuat dan sebagai Inhibitor
Cholinesterase dan serius menekan sistem saraf. Cholinesterase atau
acetylcholine yang diproduksi di hati adalah salah satu dari banyak enzim
penting yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem saraf manusia, vertebrata

5
lainnya, dan serangga. Hal ini digunakan sebagai acaricide dan insektisida
pada berbagai tanaman untuk mengendalikan kutu daun, tungau, lalat putih,
thrips, dan leafminers. Demeton sangat beracun bagi manusia. Sejumlah
keracunan dan bahkan beberapa kematian pekerja yang terpapar dalam
jumlah besar demeton telah diamati.Gejala awal keracunan mungkin
termasuk keringat berlebihan, sakit kepala, lemah, pusing, mual, muntah,
hiper-air liur, sakit perut, penglihatan kabur, lakrimasi cadel bicara, buang air
kecil, diare dan otot berkedut. Kemudian mungkin ada kejang-kejang dan
koma (Lufanto, 2015).
3. Malathion
Malathion termasuk golongan organofosfat parasimpatomimetik, yang
berarti berikatan irreversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf
serangga. Akibatnya, otot tubuh serangga mengalami kejang, kemudian
lumpuh, dan akhirnya mati. Malathion digunakan dengan cara pengasapan
(fogging). Dosis yang dipakai adalah 5% yaitu campuran antara malathion
dan solar sebesar 1:19. Malathion membunuh insekta dengan cara meracun
lambung, kontak langsung dan dengan uap/pernapasan. Malathion,
mempunyai sifat yang sangat khas, dapat menghambat kerja kolinesterase
terhadap asetilkolin (Asetilcholinesterase Inhibitor) di dalam tubuh.
Insektisida mengalami proses biotransformation di dalam darah dan hati.
Sebagian malathion dapat dipecahkan dalam hati mamalia dan penurunan
jumlah dalam tubuh terjadi melalui jalan hidrolisa esterase (Lufanto, 2015).
d.) Mekanisme Kerja Pestisida Organofosfat
Pestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah senyawa yang
tergolong antikholinesterase seperti physostigmin, prostigmin,
diisopropylfluoropphosphat dan karbamat. Dampak pestisida terhadap
kesehatan bervariasi, antara lain tergantung dari golongan, intensitas
pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Dalam tubuh manusia diproduksi
asetikolin dan enzim kholinesterase. Enzim kholinesterase berfungsi memecah
asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat (Lufanto, 2015).
Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf
berikutnya, kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS), akhirnya
terjadi gerakan-gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila
tubuh terpapar secara berulang pada jangka waktu yang lama, maka

6
mekanisme kerja enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya
ganguan pada sistem syaraf. Di seluruh sistem persyarafan (the nervous
system), terdapat pusat-pusat pengalihan elektro kemikel yang dinamakan
synapses, getaran-getaran impuls syaraf elektrokemis (electrochemical nerve
impulse), dibawa menyeberangi kesenjangan antara sebuah syaraf (neuron)
dan sebuah otot atau sari neuron ke neuron. Karena getaran syaraf (sinyal)
mencapai suatu sypapse, sinyal itu merangang pembebasan asetilkolin
(Lufanto, 2015).
Asetikholinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan
yang menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan asam asetat. Sel darah
merah dapat mensintesis asetilkholin dan bahwa kholin asetilase dan
asetilkholinesterase keduanya terdapat dalam sel darah merah. Kholin asetilase
juga ditemukan tidak hanya di dalam otak tetapi juga di dalam otot rangka,
limpa dan jaringan plasenta. Adanya enzim ini dalam jaringan seperti plasenta
atau eritrosit yang tidak mempunyai persyaratan menunjukkan fungsi yang
lebih umum bagi asetilkholin dari pada funsi dalam syaraf saja. Pembentukan
dan pemecahan asetilkholin dapat dihubungkan dengan permeabilitas sel.
Perhatian lebih diarahkan pada sel darah merah, telah dicatat bahwa enzim
kholin asetilase tidak aktif baik karena pengahambatan oleh obat-obatan
maupun karena kekurangan subtrat, sel akan kehilangan permeabilitas
selektifnya dan mengalami hemolisis (Lufanto, 2015).
Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi
mengalirnya getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ di dalam
tubuh menerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel.
Pada sistem syaraf, stimulas yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut
syaraf (akson) dalam betuk impuls. Ketika pestisida organofosfat memasuki
tubuh manusia atau hewan, pestisida menempel pada enzim kholinesterase.
Karena kholinesterase tidak dapat memecahkan asetilkholin, impuls syaraf
mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu twiching yang cepat dari otot-
otot dan akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada
sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian (Lufanto, 2015).
e.) Gejala Keracunan Pestisida Organofosfat
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang
timbul sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkholin persisten atau

7
depresi yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal
seperti salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare (SLUD) terjadi pada keracunan
organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik
sehingga kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot
polos (Lufanto, 2015).
Racun pestisida golongan organofosfat masuk kedalam tubuh melalui
pernafasan, tertelan melalui mulut maupun diserap oleh tubuh. Masuknya
pestisida golongan orgaofosfat segera diikuti oleh gejala-gejala khas yang
tidak terdapat pada gejala keracunan pestisida golongan lain. Gejala keracunan
pestisida yang muncul setelah enam jam dari paparan pestisida yang terakhir,
dipastikan bukan keracunan golongan organofasfat. Organofosfat
menyebabkan fosforilasi dari ester acetylcholine esterase (sebagai choline
esterase inhibitor ) yang bersifat irreversibel sehingga enzim ini menjadi
inaktif dengan akibat terjadi penumpukan acetylcholine (Lufanto, 2015).
f.) Cara Pencegahan Keracunan Pestisida
Pengetahuan tentang pestisida yang disertai dengan praktek
penyemprotan akan dapat menghindari petani/penyemprot dari keracunan.
Ada beberapa cara untuk meghindari keracunan antara lain (Lufanto, 2015).
1) Pembelian pestisida
Dalam pembelian pestisida hendaknya selalu dalam kemasan yang asli,
masih utuh dan ada label petunjuknya
2) Perlakuan sisa kemasan
Bekas kemasan sebaiknya dikubur atau dibakar yang jauh dari sumber
mata air untuk mengindai pencemaran ke badan air dan juga jangan sekali-
kali bekas kemasan pestisida untuk tempat makanan dan minuman.
3) Penyimpanan
Setelah menggunakan pestisida apabila berlebih hendaknya di simpan
yang aman seperti jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur dengan
bahan makanan dan sediakan tempat khusus yang terkunci dan terhindar
dari sinar matahari langsung.
4) Penatalaksanaan Penyemprotan
Pada pelaksanaan penyemprotan ini banyak menyebabkan keracunan
oleh sebab itu petani di wajibkan memakai alat pelindung diri yang
lengkap setiap melakukan penyemprotan, tidak melawan arah angin atau

8
tidak melakukan penyemprotan sewaktu angin kencang, hindari kebiasaan
makan-minum serta merokok di waktu sedang menyemprot, setiap selesai
menyemprot dianjurkan untuk mandi pakai sabun dan berganti pakaian
serta pemakain alat semprot yang baik akan menghindari terjadinya
keracunan.
b. Karbamat
a.) Definisi
Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk
membunuh serangga. Insektisida dapat memengaruhi pertumbuhan,
perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, sistem
hormon,sistem pencernaan, serta aktivitas biologis lainnya hingga berujung pada
kematian serangga pengganggu tanaman. Karbamat merupakan insektisida yang
bersifat sistemik dan berspektrum luas sebagai nematosida dan akarisida.
Umumnya karbamat digunakan untuk membasmi hama tanaman pangan dan
buah-buahan pada padi, jagung, jeruk, alfalfa, ubi jalar, kacang-kacangan dan
tembakau. Dengan dilarangnya sebagian besar pestisida golongan organokhlorin
(OC) di Indonesia, maka pestisida golongan organofosfat (OP) dan karbamat
menjadi alternatif bagi petani di dalam mengendalikan hama penyakit tanaman di
lapangan (Lufanto, 2015).
b.) Dampak penggunaan Insektisida Karbamat
Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana akan menimbulkan efek samping
bagi kesehatan manusia, sumber daya hayati dan lingkungan pada umumnya.
Penggunaan pestisida pada petani jeruk dengan cara penyemprotan. Petani yang
tidak dilengkapi alat pelindung diri pada saat menggunakan pestisida, besar
kemungkinan akan terpapar pestisida yang dapat memasuki tubuh baik melalui
pernapasan maupun kontak dengan kulit. Selain kecerobohan pada saat
penggunaan pestisida di bidang pertanian, juga ketidaktahuan atau karena higiene
perorangan masyarakat yang menggangap remeh dampak buruk terhadap
kesehatan (Lufanto, 2015).
Dampak pestisida pada tubuh sebagai penghambat kerja enzim kolinesterase
dengan cara menempel enzim tersebut. Sehingga asetilkolin tidak dapat dipecah
menjadi kolin dan asam asetat oleh enzim kolinesterase. Apabila terdapat
pestisida organofosfat di dalam tubuh, kolinesterase akan mengikat pestisida
organofosfat tersebut, sehingga terjadi penumpukan substrat asetilkolin pada sel

9
efektor. Keadaan ini dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf, pemaparan
pestisida terhadap petani dapat melalui kulit, sistem pernapasan maupun oral.
Selanjutnya dijelaskan akibat pemaparan pestisida golongan organofosfat dan
karbamat dapat menimbulkan keracunan yang bersifat akut, efek sistemik
biasanya timbul setelah 30 menit terpapar melalui inhalasi, 45 menit setelah
tertelan (ingested), 2 – 3 jam setelah kontak dengan kulit (Lufanto, 2015).
c.) Gejala Keracunan Pestisida Karbamat
Gejala yang ditimbulkan dari keracunan pestisida golongan karbamat antara
lain: timbulnya gerakan otot tertentu, pupil atau mata menyempit menyebabkan
penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa dan berair liur banyak, sakit
kepala, pusing, keringat banyak, detak jantung sangat cepat, mual, muntah-
muntah, kejang perut, mencret, sukar bernafas, otot tidak dapat digerakkan atau
lumpuh dan pingsan. Mekanisme terjadi keracunan adalah pestisida berikatan
dengan enzim dalam darah yang berfungsi mengatur kerja saraf, yaitu
kolinesterase. Apabila kolinesterase terikat atau dihambat, maka enzim tidak
dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh terutama meneruskan untuk
mengirimkan perintah kepada otot-otot tertentu, sehingga otot-otot bergerak
tanpa dapat dikendalikan. Karena karbamat cepat terurai di dalam tubuh, maka
proses menghambat enzim kolinesterase ini berlangsung singkat (Lufanto, 2015).
c. Organoklorin
a.) Definisi
Organoklorin merupakan polutan yang bersifat persisten dan dapat
terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan makhluk
hidup lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat
tinggi di dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah.
Organoklorin termasuk ke dalam golongan pestisida yang bagus dan ampuh,
namun memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai pestisida,
sifat persistensinya sangat menguntungkan untuk mengontrol hama. Terdapat
pula kemungkinan terjadinya bioakumulasi dan biomagnifikasi. Dikarenakan
karakteristiknya yang sulit terbiodegradasi dan kelarutannya yang tinggi dalam
lemak, organoklorin dapat terakumulasi dalam jaringan hewan yang prosesnya
disebut biokonsentrasi. Biomagnifikasi dapat terjadi pada hewan yang terlibat
dalam rantai makanan (Raini, 2016).
b.) Toksikologi

10
Pestisida dalam kelompok ini mengandung Klorin, Hidrogen dan Karbon.
Kadang-kadang ada juga yang mengandung Oksigen dan Sulfur. Organoklorin
mengandung unsur karbon, hidrogen, dan klorin (DDT dan D3 aldrin). Daya
racun terhadap organisme tertentu dinyatakan dalam nilai LD 50 ( Lethal Dose
atau takaran yang mematikan). LD 50 menunjukkan banyaknya racun persatuan
berat organisme yang dapat membunuh 50% dari populasi jenis binatang yang
digunakan untuk pengujian, biasanya dinyatakan sebagai berat bahan racun dalam
milligram, perkilogram berat satu ekor binatang uji. Jadi semakin besar daya
racunnya semakin besar dosis pemakainnya (Raini, 2016).
Senyawa-senyawa OK (organokhlorin, chlorinated hydrocarbons) sebagian
besar menyebabkan kerusakan pada komponen-komponen selubung sel syaraf
(Schwann cells) sehingga fungsi syaraf terganggu. Peracunan dapat
menyebabkan kematian atau pulih kembali. Kepulihan bukan disebabkan karena
senyawa OK telah keluar dari tubuh tetapi karena disimpan dalam lemak tubuh.
Semua Pestisida OK sukar terurai oleh faktor-faktor lingkungan dan bersifat
persisten, mereka cenderung menempel pada lemak dan partikel tanah sehingga
dalam tubuh jasad hidup dapat terjadi akumulasi, demikian pula di dalam tanah.
Akibat peracunan biasanya terasa setelah waktu yang lama, terutama bila dose
kematian (lethal dose) telah tercapai. Hal inilah yang menyebabkan sehingga
penggunaan OK pada saat ini semakin berkurang dan dibatasi. Efek lain adalah
biomagnifikasi, yaitu peningkatan peracunan lingkungan yang terjadi karena efek
biomagnifikasi (peningkatan biologis) yaitu peningkatan daya racun suatu zat
terjadi dalam tubuh jasad hidup, karena reaksi hayati tertentu (Raini, 2016).
c.) Sasaran
Pestisida organoklorin merupakan pestisida dengan spektrum luas, jadi semua
serangga dapat dikendalikan dengan pestisida jenis ini. Pestisida organoklorin
merupakan racun kontak dan racun perut, efektif untuk mengendalikan larva,
nimfa dan imago dan kadang-kadang untuk pupa dan telur (Raini, 2016).
d.) Mekanisme keracunan
Pada serangga organoklorin membuka saluran ion natrium di neuron,
menyebabkan serangga akan secara spontan mengalami kejang dan akhirnya
kematian. Adapun cara kerja organoklorin lainnya adalah dengan terjadinya
gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya hiperaktivitas,
gemetaran, kejang-kejang dan akhirnya terjadi kerusakan syaraf dan otot serta

11
kematian. Apabila organoklorin menginhibisi enzim kholinesterase pada sistem
syaraf pusatreseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan
perifer, hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh
pada seluruh bagian tubuh (Raini, 2016).
e.) Dampak Terhadap Lingkungan dan Kesehatan
Penggunaan Pestisida organoklorin telah mengakibatkan pencemaran terhadap
udara, tanah, dan air. Area persawahan yang menggunakan banyak materi organik
akan mengandung residu pestisida yang tinggi karena tanah yang seperti ini dapat
mengabsorbsi senyawa hidrokarbon yang mengandung klor (hidrokarbon
terklorinasi). Dampak organoklorin bagi kesehatan manusia seperti kejang mirip
epilepsy, mual, muntah, sakit kepala, gelisah dan tremor. Dan juga dapat
kehiilangan kesadaran, fibrilasi ventrikel, dan depresi nafas (Raini, 2016).
d. Arsen
a.) Definisi
Arsen merupakan logam berat dengan valensi 3 atau 5, dan berwarna metal
(steel-grey). Senyawa arsen didalam alam berada dalam 3 bentuk: Arsen
trichlorida (AsCl3) berupa cairan berminyak, Arsen trioksida (As2O3, arsen
putih) berupa kristal putih dan berupa gas arsine (AsH3). Lewisite, yang sering
disebut sebagai gas perang, merupakan salah satu turunan gas arsine. Pada
umumnya arsen tidak berbau, tetapi beberapa senyawanya dapat mengeluarkan
bau bawang putih. Racun arsen pada umumnya mudah larut dalam air, khususnya
dalam air panas . Arsen merupakan unsur dari komponen obat sejak dahulu kala.
Senyawa arsen trioksida misalnya pernah digunakan sebagai tonikum, yaitu
dengan dosis 3 x 1-2 mg. Dalam jangka panjang, penggunaan tonikum ini
ternyata telah menyebabkan timbulnya gejala intoksikasi arsen kronis. Arsen
juga pernah digunakan sebagai obat untuk berbagai infeksi parasit, seperti
protozoa, cacing, amoeba, spirocheta dan tripanosoma, tetapi kemudian tidak lagi
digunakan karena ditemukannya obat lain yang lebih aman. Arsen dalam dosis
kecil sampai saat ini juga masih digunakan sebagai obat pada resep homeopathi
(Raini, 2016).
b.) Sumber pencemaran
Keberadaan arsen di alam (meliputi keberadaan di batuan (tanah) dan
sedimen, udara, air dan biota), produksi arsen di dalam industri, penggunaan dan
sumber pencemaran arsen di lingkungan (Raini, 2016).

12
1. Batuan (Tanah) dan Sedimen
Di batuan atau tanah, arsen (As) terdistribusi sebagai mineral. Kadar
As tertinggi dalam bentuk arsenida dari amalgam tembaga, timah hitam,
perak dan bentuk sulfida dari emas. Mineral lain yang mengandung arsen
adalah arsenopyrite (FeAsS), realgar (As4S4) dan orpiment (As2S3).
Secara kasar kandungan arsen di bumi antara 1,5-2 mg/kg). Bentuk oksida
arsen banyak ditemukan pada deposit/sedimen dan akan stabil bila berada
di lingkungan. Tanah yang tidak terkontaminasi arsen ditemukan
mengandung kadar As antara 0,240 mg/kg, sedang yang terkontaminasi
mengandung kadar As rata-rata lebih dari 550 mg/kg. Secara alami
kandungan arsen dalam sedimen biasanya di bawah 10 mg/kg berat kering.
Sedimen bagian bawah dapat terjadi karena kontaminasi yang berasal dari
sumber buatan kering ditemukan pada sedimen bagian bawah yang dekat
dengan buangan pelelehan tembaga (Raini, 2016).
2. Udara
Zat padat di udara (total suspended particulate = TSP) mengandung
senyawa arsen dalam bentuk anorganik dan organic, hanya 35% arsen
anorganik terlarut dalam air hujan. Di lokasi tercemar, kadar As di udara
ambien kurang dari satu gram per meter kubik (Raini, 2016).
3. Air
Beberapa tempat di bumi mengandung arsen yang cukup tinggi
sehingga dapat merembes ke air tanah. Kebanyakan wilayah dengan
kandungan arsen tertinggi adalah daerah aluvial yang merupakan endapan
lumpur sungai dan tanah dengan kaya bahan organik. Arsenik dalam air
tanah bersifat alami dan dilepaskan dari sedimen ke dalam air tanah karena
tidak adanya oksigen pada lapisan di bawah permukaan tanah. Arsen
terlarut dalam air dalam bentuk organik dan anorganik. Jenis arsen bentuk
organik adalah methylarsenic acid dan methylarsenic acid, sedang
anorganik dalam bentuk arsenit dan arsenat. Arsen dapat ditemukan pada
air permukaan, air sungai, air danau, air sumur dalam, air mengalir, serta
pada air di lokasi di mana terdapat aktivitas panas bumi (geothermal)
(Raini, 2016).
4. Biota

13
Penyerapan ion arsenat dalam tanah oleh komponen besi dan
aluminium, sebagian besar merupakan kebalikan dari penyerapan arsen
pada tanaman. Kandungan arsen dalam tanaman yang tumbuh pada tanah
yang tidak tercemari pestisida bervariasi antara 0,01-5 mg/kg berat kering.
Tanaman yang tumbuh pada tanah yang terkontaminasi arsen selayaknya
mengandung kadar arsen tinggi, khususnya di bagian akar. Beberapa
rerumputan yang mengandung kadar arsen tinggi merupakan
petunjuk/indikator kandungan arsen dalam tanah. Selain itu, ganggang laut
dan rumput laut juga umumnya mengandung sejumlah kecil arsen (Raini,
2016).
c.) Penggunaan Senyawa Arsen
Arsen banyak digunakan dalam berbagai bidang, yaitu salah satunya dalam
bidang pertanian. Di dalam pertanian, senyawa timah arsenat, tembaga
acetoarsenit, natrium arsenit, kalsium arsenat dan senyawa arsen organik
digunakan sebagai pestisida. Sebagian tembakau yang tumbuh di Amerika
Serikat, perlu diberi pestisida yang mengandung arsen untuk mengendalikan
serangga yang menjadi hama tanaman tersebut selama masa pertumbuhannya.
Tembakau ini akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan rokok (Raini,
2016).
C. PEMERIKSAAN PESTISIDA
Gangguan akibat insektisida ini sering dialami oleh para petani, terutama yang dalam
penyemprotan insektisida tidak menggunakan masker atau penutup hidung. Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan selain petani juga dapat mengalami gangguan kesehatan
yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat keracunan yang tinggi. Gangguan
kesehatan yang mungkin terjadi akibat keracunan insektisida dapat dideteksi lebih awal,
untuk menghindari keracunan lebih lanjut. Salah satunya adalah melalui pemeriksaan
enzim asetil cholin esterase (AChE) (Toha, 2014).
Alat yang digunakan pada pemeriksaan ini yaitu tabung reaksi ukuran 5 ml,
mikropipet ukuran 100 μl, spektrofotometer, spuit, tourniquet, vacum tube dan yellow
type. Dengan bahan yang digunakan serum darah dan reagen cholin esterase. Cara
Kerjanya darah probandus diambil dengan spuit sebanyak 3 cc dimasukan dalam tabung
reaksi/ vacum tube dan disentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 6000 rpm. Serum
diambil sebanyak 40 μl dan dimasukan ke dalam 4 cc reagen cholin esterase kemudian
dipindahkan ke dalam kuvet. Absorbansi pada spektrofotometer dibaca dengan panjang

14
gelombang 490 nm, tepat 60 detik pertama (A1) dan 60 detik kedua (A2). Kemudian
dihitung aktifitas AcHe dan tingkat keracunannya (Toha, 2014).

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pestisida merupakan subtansi kimia dari bahan lain serta jazad renik dan virus
yang digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Pestisida dibedakan
menjadi dua yaitu pestisida sintetik dan pestisida alami. Pestisida sintetik berasal dari
bahan kimia sintetik yang dapat membunuh atau mengendalikan hama. Sedangkan
pestisida alami adalah pestisida yang berasal dari bahan alami yang mampu
mengendalikan hama. Umumnya pestisida alami tidak membunuh tetapi hanya
mengusir hama karena kandungan bahan kimia yang tidak disukai oleh hama terebut
Pestisida digolongkan menjadi organofosfat, karbamat, dan organoklorin. Gangguan
kesehatan yang mungkin terjadi akibat keracunan insektisida dapat dideteksi lebih
awal, untuk menghindari keracunan lebih lanjut. Salah satunya adalah melalui
pemeriksaan enzim asetil cholin esterase (AChE) (Toha, 2014).
B. Saran
Meluasnya penggunaan insektisida dari golongan organofosfat dan karbamat,
menjadi masalah yang serius terutama kaitanya dengan kesehatan manusia.
Penggunaan yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan yang
dapat bersifat sistemik, mengingat yang menjadi sasaran kerusakan adalah enzim
asetil cholin esterase. Untuk mengurangi bahaya dari penggunaan pestisida ada
baiknya petani yang menyemprotkan menggunakan masker, dan mengganti pestisida
sintetik dengan pestisida alami. Jika terpaksa menggunkan pestisida sintetik perlu
dilakukan penanganan terhadap limbah dari pestisida tersebut.

15

Anda mungkin juga menyukai