ISSN: 1907-4336
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Mustajab
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang melebihi negara-
negara lain, negara yang tidak saja multi-suku, multi-etnik, multi-
agama, akan tetapi juga multi-budaya. Kemajemukan tersebut
pada satu sisi merupakan kekuatan sosial dan keragaman yang
indah apabila satu sama lain bersinergi dan saling bekerja sama
untuk membangun bangsa. Namun, apabila kemajemukan terse-
but apabila tidak diurus dan dikelola dengan baik, justru akan
menjadi bomerang atau pemicu dan penyulut terjadinya konflik
dan kekerasan yang pada akhirnya akan dapat menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan bangsa.
Dalam konstelasi kehidupan semacam ini, konflik menjadi
sesuatu yang kian mudah dan bahkan sering terjadi. Bangsa In-
donesia masih dibenturkan dengan berbagai masalah SARA yang
semakin fluktuatif, tapi pada akhir-akhir ini berbagai permasala-
han SARA itu mengkerucut pada konflik antar golongan mes-
kipun permasalahan yang lain mempunyai potensi yang besar
untuk bergejolak lagi. Salah satu konflik antar golongan seperti
pertikaian antar kaum ahmadiyah dengan kaum muslim
tradisonal maupun modern yang sampai saat ini tidak ada titik
temu. Selain itu juga terjadinya konflik yang bernuansa politik
STAIN Jember
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
yang baru-baru ini terjadi di Ambon, dimana hanya persoalan
hasil Pemilukada yang kemudian harus menghancurkan fasilitas
umum seperti lembaga-lembaga pendidikan yang jelas-jelas men-
gorbankan pendidikan anak-anak generasi bangsa. Yang lebih
ironi lagi adalah bahwa terjadinya konflik itu melibatkan anak-
anak usia pendidikan tingkat dasar untuk ikut dalam peperangan
terkait dengan masalah tersebut.
Kejadian ini menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan
multikultural sangat dibutuhkan di tengah-tengah kekalutan
bangsa, dimana pendidikan multikultural ini menjadi jalan bagi
bangsa untuk melakukan sesuatu ataupun bertindak secara de-
wasa. Tindakan-tindakan kekerasan yang sering terjadi di mung-
kinkan karena pendidikan yang diterapkan selama ini bagi seba-
gian masyarakat, dianggap tidak memiliki kekuatan apa-apa,
kecuali hanya sebatas rutinitas yang menjenuhkan, sehingga ha-
rus ada pendidikan alternatif yang bisa membawa manusia ber-
fikir secara rasional dan dewasa. Dengan melihat fenomena ini,
penulis berkeyakinan bahwa mungkin hanya dengan menerapkan
pendidikan multi kultural yang dapat merubah mind set daripada
masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara.
Selain itu, pertikaian antar golongan atau kelompok tidak
hanya terjadi pada wilayah sosial-masyarakat, tetapi juga terjadi
di lembaga-lembaga pendidikan, misalnya, tawuran yang terjadi
antara para pelajar di sekolah-sekolah negeri maupun swasta
yang ditimbulkan hanya persoalan sepele (rebutan cewek) seperti
yang terjadi di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bondowoso
baru-baru ini, juga terjadi di SMP Negeri I Gondang Kab Mojok-
erto yang berawal dari persahabatan sepak bola, namun, kemudi-
an terjadi percek-cokan antar sporter yang kemudian berujung
pada perkelahian yang mengakibatkan empat siswa terluka. Pa-
dahal, dua sekolah tersebut niatnya baik, yaitu; menjalin tali per-
saudaraan antara lembaga satu dengan yang lainnya dalam rang-
Mustajab
1
http://www.scribd.com/doc/4057829/FENOMENA-TAWURAN-
ANTAR-PELAJAR
2
UU Sistem Pendidikan Nasional RI No 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar
grafika),7.
3
Nurul Zariah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Pe-
rubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008),5.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
kan proses pembudayaan dan cita persatuan bangsa.4 Pendidikan
multikultural yang sudah diperkenalkan di Indonesia memiliki
eksistensi dan potensi yang sangat signifikan untuk di transfor-
masikan di lingkungan pendidikan dalam rangka menjawab
berbagai masalah atau konflik-konflik yang terjadi pada bangsa
Indonesia.
B. Pembahasan
4
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pela-
jar,2008), VIII.
5
Mahfud, Pendidikan Multikultural,75.
6
Mahfud, Pendidikan Multikultural,74.
Mustajab
7
Babun Suharto, Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam: Inte-
grasi Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Absolute Me-
dia, 2010),18.
8
Pengembangan Agama Jakarta, Pendidikan Agama Islam,7.
9
http//www. Dampak dan Solusi Multikulturalisme di Indonesia «
Iwan Purnawan's Weblog.htm
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul karena
adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.10 Masdar
Hilmy, juga berpandangan bahwa, adanya keberagaman budaya
bagi bangsa Indonesia merupakan kenyataan sosial yang sudah
niscaya. 11
Berbagai Kekerasan yang sering terjadi di berbagai kawa-
san negara Indonesia, yang meledak secara sporadis sejak akhir
tahun 1990-an sampai sekarang, menunjukkan bahwa, betapa
rentannya rasa kebersamaan, betapa kentalnya prasangka antar
kelompok dan rendahnya rasa toleransi antar beragama, hal ini
menunjukkan, bangsa Indonesia memiliki tingkat pemahaman
nilai-nilai multikulturalisme yang sangat rendah. Terlebih konflik
agama yang selalu datang bertubi-tubi, mulai konflik yang sangat
sederhana hingga konflik yang sangat besar. Misalnya, antara ja-
maah Ahmadiyah dengan jamaah Islam tradisional maupun
modern yang berujung pada pertumpahan darah di berbagi dae-
rah di bumi Nusantara.
Hal ini, merupakan kenyataan yang tidak bisa kita elakkan
bahwa, Indonesia merupakan bangsa multikultural yang amat
besar kontribusinya terhadap tatanan kenegaraan, dan bahkan
melebihi dari negara-negara yang lain. Namun, multikulturalisme
tersebut, jauh dari idealnya. Yang mana nilai-nilai kemanusiaan,
toleransi, pluralitas agama, demokrasi dan HAM, cenderung min-
im dimiliki oleh sebagian besar kalangan masyarakat.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai konsep multikul-
turalisme sangat penting untuk ditransformasikan dan diimple-
mentasikan dalam kehidupan sehari-hari, guna menghindari kon-
flik-konflik yang sering terjadi dan mampu meredamnya.
10
Pengembangan Agama Jakarta, Pendidikan Agama Islam,87.
11
Mahfud, Pendidikan Multikultural, 78.
Mustajab
12
Suharto, Pendidikan Multikultural,30.
13
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, cet. 1,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), 75.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang
mengakui dan menilai pentingnya keberagaman budaya dan etnis
dalam pentas kehidupan.14
Lebih jauh James A.Banks menjelaskan, pendidikan mul-
tikulturalisme memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan:
content integration, the knowledge construction processs, an equity
pedagogy dan prejudice reduction.15
Pertama, content integration. Yakni, mengintegrasikan
berbagai kultur dan kelompok yang ada, guna untuk mencapai
sebuah tujuan, yakni; mengimplementasikan konsep dan teori
dalam disiplin ilmu. Dengan seperti itu, maka akan lebih mudah
untuk tercapainya sebuah tujuan tersebut.
Kedua, the knowledge construction process, yaitu mengantar-
kan peserta didik, untuk memahami implikasi budaya ke dalam
sebuah disiplin ilmu.
Ketiga, an equity pedadogy. Membuat metode pengajaran
yang sesuai dengan cara belajar peserta didik dengan tujuan
memfasilitasi prestasi akademik peserta didik yang berlatar
belakang agama, ras, budaya, dan sosial yang beragam. Dengan
kata lain, metode pembelajaran bersifat kontekstual.
Keempat, prejudice reduction. Melatih peserta didik ber-
interaksi dengan temannya dan seluruh pengajar yang mempu-
nyai latar belakang agama, etnis, dan budaya yang berbeda dalam
berbagai aktivitas untuk menciptakan budaya akademik.
Tujuannya tiada lain adalah, mereduksi segenap prasangka buruk
antar agama dan budaya.
Pendidikan multikultural selain memiliki beberapa di-
mensi, juga memiliki beberapa ciri, diantaranya;
14
Pengembangan Agama Jakarta, Pendidikan Agama Islam,8.
15
Tim Antologi Karya Mahasiswa Program DPP Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Belantara Filsafat Dan Diaspora Menuju
Tu-han, (Yogyakarta: Teras),210-211.
Mustajab
16
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, 187.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
menjadi ekslusif dan tidak bisa toleran pada sesama bahkan ber-
sikap ekstrem
Padahal Islam adalah salah satu agama yang
mengedepankan sikap terbuka dan menerima perbedaan (plural-
isme, multikulturalisme). Dalam Islam berteologi secara inklusif
dengan menampilkan wajah agama secara santun dan ramah san-
gat dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat Islam untuk
dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi
dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan
debat intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara
yang sebaik-baiknya,17 tentu saja tanpa harus menimbulkan preju-
dice atau kecurigaan di antara mereka.
Karena menurut al-Qur’an sendiri, sebagai sumber nor-
matif bagi suatu teologi inklusif. Karena bagi kaum muslimin,
tidak ada teks lain yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak
terbantahkan selain Alqur’an. Maka, Alqur’an merupakan kunci
untuk menemukan dan memahami konsep persaudaraan Islam-
terhadap agama lain. Pluralitas adalah salah satu kenyataan ob-
jektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah
Allah, sebagaimana firman Allah SWT: “Hai manusia, sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”18
Kalau kita membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan
penuh keterbukaan, pastilah kita akan menemukan suatu kes-
impulan bahwa Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas telah
menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbe-
daan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa; ada
17
Q. S al-Ankabut (29): 46.
18
Q.S. Al Hujurat (49): 13.
Mustajab
19
QS. Al Maidah (4) : 48
20
Q.S. Al Maidah (4): 82.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk
dapat menghargai agama lain dan dapat menjalin persahabatan
dan perdamaian dengan ‘mereka’ inilah Allah, di dalam al-
Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menun-
jukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa
manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya,
sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia
yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak
memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri?.21
Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoa-
lan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi “tanggung
jawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap
orang yang tidak satu dengan keyakinan kita. Bahkan Nabi
sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam.
Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan “kita” menunjukkan
sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang
lain dalam beragama.
Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa
pada dasarnya menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran
universal Yang Tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha
Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah menyampaikan ajaran
tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk
dan patuh hanya kepada-Nya saja22 dan justru berdasarkan pa-
ham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan
keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut
Budy Munawar Rahman dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan
kepada semua agama yang ada; bahwa semua agama itu pada
mulanya menganut prinsip yang sama,23 dan persis karena alasan
21
Q.S. Yunus (8): 99.
22
Q. S. al-Anbiya’ (13) : 92
23
Budy Munawar Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina 2001),
hlm. 15.
Mustajab
24
Q.S. Al Imron (3) : 64
25
Q.S al-Baqarah (2) : 62.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
rantai kritis dalam pengalaman pewahyuan umat manusia—satu
jalan universal yang dimaksudkan untuk semua makhluk.26
Secara khusus, Islam juga memiliki etos biblikal dan Kristen, dan
Islam memiliki sikap yang luar biasa inklusif terhadap Ahli Kitab,
yang dengan merekalah Islam terhubungkan melalui manusia
pertama di muka bumi.
Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap
agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif.
Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan
peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat
melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang
hal ini, Farid Asaeck telah menunjukkan bukti-bukti sebagai beri-
kut; Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai
bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an
mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu”.27 Se-
hingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli
Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada
para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan
memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-
masing.
Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan
perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa ma-
kanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah
(halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi
mereka.28 Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini
“wanita suci dari Ahli Kitab”. Jika kaum Muslim diperkenankan
hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan
yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara ek-
26
Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (New
York: Routledge, 2002), hlm. 59.
27
Q. S. al-Mu’minun: 52.
28
Q. S. al-Maidah (4) : 5.
Mustajab
29
Q. S al-Maidah (4) : 47
30
Q. S al-Maidah (4) : 42-43
31
Farid Asaeck, Qur’an, Liberation, and Pluralism, terj. Watung A. Budiman,
(Bandung: Mizan, 2000), hlm. 206-207.
32
Q. S al-Hajj (19) : 40.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
yang di wujudkan dan di buktikan pada pasal-pasal yang ada
didalam Piagam Madinah sebanyak 47 pasal, dimana dalam
pasal-pasal tersebut tidak ada satupun kalimat tentang Islam,
hadits, maupun al-Qur’an. Padahal seandainya Nabi Muhammad
mau menggunakan kekuasaannya, baik sebagai Kholifah mau-
pun Rasul sangat memungkinkan untuk bersikap otoriter,
sekaligus membumi hanguskan semua agama selain agama Islam.
Tetapi kenyataanya bahwa ternyata apa yang telah di contohkan
beliau menjadi kenyataan yang mentradisi di tengah-tengah
masyarakat yang majemuk dan pluralis.
Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang
berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat
menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat
dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh
hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya
bentuk “truth claim”.33 Baik itu dalam wilayah intern umat be-
ragama maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya,
sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya mem-
bangun tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.
Oleh al-Qur’an, kecendrungan manusia untuk mengan-
tongi “truth claim” yang potensial untuk ekplosif dan destruktif
itu, kemudian dinetralisir dalam bentuk anjuran untuk selalu
waspada terhadap bahaya ektrimitas dalam berbagai bentuknya.
Dan manusia Muslim sendiri dituntut untuk senantiasa merendahkan
hati dan bersedia dengan “kebenaran” (al-haq) dan kesabaran (al-Shabar)
dalam setiap langkah dalam perjalanan hidupnya.34
Paling tidak, dalam dataran konseptual, al-Qur’an telah
memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi
manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan uni-
33
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakar-
ta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 68.
34
Q.S. al-Ashr (123): 1-3.
Mustajab
jadinya konflik etnis, kultur dan religius, atau yang lebih dikenal
dengan SARA.
Kegagalan agama dalam memainkan perannya sebagai
problem solver bagi persoalan SARA erat kaitanya dengan
pengajaran agama secara eklusif. Maka, agar bisa keluar dari ke-
melut yang mendera bangsa Indonesia terkait persoalan SARA,
adalah sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk memunculkan
wajah pendidikan agama yang inklusif dan humanis.
Pada tataran teologis, dalam pendidikan agama perlu
mengubah paradigma teologis yang pasif, tektualis, dan eklusif.
Menuju teologi yang saling menghormati, saling mengakui eksis-
tensi, berfikir dan bersikap positif, serta saling memperkaya iman.
Hal ini dengan tujuan untuk membangun interaksi umat beraga-
ma yang tidak hanya berkonsistensi secara harmonis dan damai,
tetapi juga bersedia aktif dan pro-aktif kemanusiaan.
Sebenarnya masyarakat Indonesia telah lama akrab
dengan diktum Bhinneka Tunggal Ika. Namun sayangnya, kon-
sep ini telah mengalami pemelintiran makna dan bias interpretasi,
terutama sepanjang pemerintahan Orde Baru. Kebijakan sosial-
politik saat itu cenderung uniformistik, sehingga tampaknya bu-
daya milik kelompok dominanlah yang diajarkan dan disalurkan
oleh sekolah dari satu generasi kepada generasi lainya.
Sekolah pada saat itu juga ditengarai hanya merefleksikan
dan menggemakan stereotip dan prasangka antar kelompok yang
sudah terbentuk dan beredar dalam masyarakat, tidak berusaha
menetralisir dan menghilangkanya. Bahkan, ada indikasi bahwa
sekolah ikut mengembangkan prasangka dan mengeskalasi
ketegangan antarkelompok melalui perundang-undangan yang
mengkotak-kotakkan penyampaiaan pendidikan agama, isi ku-
rikulum yang etnosentris, dan dinamika relasi sosial antar sekolah
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
yang segregatif.35 Bukan tak mungkin segregasi sekolah berdasar-
kan kepemelukan agama juga ikut memperuncing prasangka dan
proses demonisasi antara satu kelompok dengan kelompok lainya,
baik secara langsung maupun tidak langsung .
Padahal, menurut S. Hamid Hasan, “keragaman sosial,
budaya, ekonomi, dan aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi
adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun
demikian, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi poli-
tik yang seharusnya menjadi faktor yang diperhitungkan dalam
penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi
kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum, nampaknya belum di-
jadikan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pelaksanaan kurikulum pendidikan di negara kita”.36 Maka, aki-
batnya, wajar manakala terjadi kegagalan dalam pendidikannya
(termasuk pendidikan agama), terutama sekali dalam menum-
buhkan sikap-sikap untuk menghargai adanya perbedaan dalam
masyarakat.
Selain itu, Kautsar Azhari Noer menyebutkan, paling tid-
ak ada empat faktor penyebab kegagalan pendidikan agama da-
lam menumbuhkan pluralisme. Pertama, penekanannya pada
proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi
nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap
bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan
kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang
sebelah mata; ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman
nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar agama, seper-
ti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai
35
Yayah Khisbiyah, Yayah at al., (2000), “Mencari Pendidikan Yang
Menghargai Pluralisme” dalam Membangun Masa Depan Anak-anak
Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 156-157.
36
S. Hamid Hasan, “Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Ku-
rikulum Nasional”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta, Edisi Bulan Januari-November, 2000, hlm. 511.
Mustajab
37
Kautsar Azhari Noer dalam Sumartana, et al., Pluralisme, Konflik, dan
Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
hlm. 239-240.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam
pengertian istilah ini. Dia mengartikan pendidikan multikultural
sebagai any set of proces by which schools work with rather than against
oppressed group. Banks, dalam bukunya Multicultural education:
historical development, dimension, and practice menyatakan bahwa
meskipun tidak ada konsensus tentang itu ia berkesimpulan bah-
wa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan
adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan
untuk people of color.
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan sua-
tu defenisi tentang pendidikan pluralisme yang disampaikan
Frans Magnez Suseno yaitu suatu pendidikan yang mengan-
daikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin
luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya
dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” se-
bagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun
kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar ke-
manusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.38
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan de-
fenisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan hetero-
genitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku,
dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultural yang
demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipa-
hami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat.
Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap
harkat dan martabat manusia dari mana pun dia datangnya dan
berbudaya apa pun dia. Harapannya, sekilas adalah terciptanya
kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan,
38
SKH Suara Pembaharuan, 23 September, 2000.
Mustajab
39
Naim & Sauqi, Pendidikan Multikultural, 30.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
didikan Islam berwawasan multikultural diharapkan dapat
merdam terjadinya konflik yang kian bertubi-tubi.
DAFTAR PUSTAKA