SOKOLA RIMBA
(BUTET MANURUNG)
Oleh
Nim : 3163122019
PENDIDIKAN ANTROPOLOGI
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang senantiasa telah memberkati saya dalam
menyelesaikan Critical Book Review (CBR), adapun tugas ini dikerjakan untuk memenuhi
mata kuliah Etnografi. Dalam tulisan ini, saya mencoba membuat telaah atas isi buku hasil
karya etnografi Sokola rimba menurut sudut pandang saya sendiri.
Saya berharap semoga CBR ini bisa memberikan manfaat serta dapat menambah
wawasan bagi para pembaca. Semoga CBR ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kata-kata yang
kurang berkenan. Saya juga mengharapkan kritikan yang membangun dari pembaca dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas penulisan dalam waktu selanjutnya. Akhir kata penulis
ucapkan Terimakasih
Penulis
DAFTAR ISI
a. Kesimpulan ................................................................................................... 19
b. Saran ............................................................................................................ 19
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan Critical Book Review ini adalah:
1. Mengulas isi sebuah buku secara detail kemudian mencari kelebihan dan
kelemahan buku.
2. Melatih diri untuk berfikir kritis dalam mencari informasi secara detail yang
diberikan oleh setiap bab dari buku pertama, kedua dan ketiga.
3. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Etnografi
1.3 Manfaat
Manfaat akan didapatkan dari penulisan Critical Book Report (CBR) ini adalah:
1. Menambah wawasan pengetahuan tentang batapa berarti seorang Antropolog bagi
perubahan masyarakat
2. Mempermudah pembaca mendapatkan inti dari sebuah buku yang telah di
lengkapi dengan ringkasan buku , pembahasan isi buku, serta kekurangan dan
kelebihan buku tersebut.
3. Melatih merumuskan serta mengambil kesimpulan-kesimpulan atas buku yang
dianalisis tersebut.
Jakarta menuju kota Bangko, Jambi sekitar 22-26 jam. Kantor WARSI berjarak 100m dari
jalan lintas samudra. Awalnya Butet Manurung dikira melamar sebagai sekretaris karena
pada saat itu ada 2 posisi berbeda yaitu sekretaris untuk kantor dan antropolog untuk
fasilitator pendidikan dihutan. Awal saja dalam memulai pekerjaannya Butet telah mendapat
perkataan mengejutkan “ah, masak, kurus begini, memangnya kuat? Sudah pernah masuk
hutan?”.
Kelompok Butet berjumlah 5 orang terdiri dari Butet, sopir, direktur, media specialist
WARSI, dan Amilda Antropolog yang sudah dua tahun bergabung mendampingi Orang
Rimba.
Tidak pernah terbayangkan Butet sebelumnya bahwa mendampingi “suku terasing” seperti
itu disebut pekerjaan, Butet selalu berharap tempatnya menyenangkan, Butet dan rombongan
berangkat menggunakan Jeep WARSI. Butet bertemu mereka!! Manusia yang disebut
sebagai Orang Rimba (OR). Mereka sampai dipinggir hutan sisi selatan hutan kawasan Bukit
DuaBelas. Tradisinya Butet diperkenalkan sebagai orang baru yang mau belajar tentang adat
istiadat Orang Rimba.
Orang Rimba
Orang Rimba Tinggal dikawasan hutan Bukit DuaBelas yang luasnya lebih dari 60.000
hektar, kawasan ini telah berubah status menjadi Taman Nasional Bukit DuaBelas (TNBD)
berdasarkan SK Menteri Kehutanan pada bulan Agustus tahun 2000. Sebelumnya bukit ini
berstatus cagar Biosfer dengan luas 32.000 hektar. Walaupun berubah tetapi tidak memberi
pengaruh yang berarti bagi peningkatan kualitas hutan tersebut, Orang Rimba biasanya
menyebut setali bukit. TNBD meliputi 3 kabupaten : Kab. Batang Hari, Kab. Muaro Tebo,
dan Kab. Sarolangun.
Di Rimba
Butet dan rombongan tinggal menumpang dipondok Ekowisata yang dibangun di Tijok.
Malam itu Butet membandingkan dirinya dengan sekarang dengan kehidupan nanti yang
akan dijalaninya. Sekarang Butet harus menikmati hutan dan orang-orang Rimba. Sesaat
Butet mulai terbiasa dengan kehidupan Orang Rimba, Butet diajak oleh 2 orang bapak untuk
ikut mengambil madu ada puluhan bambing (rumah lebah) yang menjuntai di cabang-
cabangnya.
Buat Orang Rimba, pohon madu sama seperti “benda pusaka” pohon ini umumnya
diwariskan kepada anak perempuan terkecil dan jika anak perempuannya ada banyak maka
semuanya akan mendapatkannya juga. Makanya pohon ini dilarang sekali ditebang, apabila
dilanggar hukuman denda adatnya akan mahal sekali, nyawa pohon sialang dianggap sama
dengan nyawa seorang manusia atau setara dengan 500 lembar kain (harga perkain adalah Rp
20.000) atau dendanya sekita 10 juta. Madu bagi Orang Rimba bukan sekedar cemilan, sekali
panen madu asli Orang Rimba bisa menyimpannya bertahun-tahun. Anak kecil pun dapat
jatah di botol plastic kecil, tetapi madu yang akan dimiliki satu keluarga disimpan dalam
jumlah yang cukup banyak, dimasak disimpan dalam botol atau kaleng kotak besar dan
ditutup rapat. Orang Rimba dapat memakannya begitu saja, dicampur dengan air hangat lalu
diminum, dicampur dengan ubi atau singkong rebus atau mereka menjualnya keluar dengan
harga Rp 6.000/lliter.
Pohon madu dipanjat dengan cara membuat lantak (tangga) kayu pisang yang
ditancapkan. Saat ingin memanjat sang dukun melantunkan mantra “mengusir hantu kayu”
suasana seketika menjadi mistis. Kayu atau pohon madu harus “dirayu” agar hantunya keluar
dari situ dan Orang Rimba diperkenankan mencicipi madu yang dikirimkan dewa untuk
mereka, setelah ritual selesai selanjutnya tinggal menancapkan tangga sambil juga
menyanyikan lagu khusus untuk merayu induk rapah (ratu lebah) agar tidak menyerbu dan
menyengat pemanjat serta mengizinkan mereka mengambil madunya. Saat madu diturunkan
masih banyak anak lebahnya yang seperti ulat kepompong putih menggeliat-geliat bermandi
madu. Butet ditawari mencicipi satu anak lebah itu, lagi dan lagi hingga Butet terbiasa.
Dicemburui
Butet belum diizinkan tinggal berdekatan dengan mereka karena Butet masih
dianggap membawa penyakit. Sendirian dihutan membuat Butet kelimpungan, tidak ada
orang yang dapat menerjemahkan bahasa nereka ke bahasa Indonesia kecuali Cerinay. Tetapi
kemudian mengundang masalah besar karena istrinya datang sambil mengacungkan tombak
dan diarahkan kepada Butet. Istrinya bicara terus cepat sekali sambil menangis, Butet lalu
menjelaskan kepada istrinya Cerinay dan istrinya Cerinay pun mereda. Butet memilih
ditinggalkan sendiri walau Butet ketakutan. Banyak hal buruk dipikirkan Butet hingga
sekumpulan anak kecil dan seorang gadis datang dan menemani Butet.
Hari itu Butet digiring ke perkampungan kecil mereka, Butet diberi makan dan
banyak berbicang dengan mereka serasa dibaptis menjadi Orang Rimba. Untuk mengintip
dan mencari celah, walau sedikit saja, soal sejauh mana pandangan mereka tentang
pendidikan, amatlah sulit. Salah-salah bisa berantakan, dan justru bisa merusak hubungan
yang sejauh ini sudah baik. Pada kunjungan hari ini Butet mengambil/menangkap
kesempatan yang masuk melalui dunia pantun mereka.
Orang Rimba mengira Butet sakti karena mampu menghapal lagu-lagu rimba padahal
Butet merekamnya dalam recorder, lalu mencatat ulang dimalam hari. Mereka bertanya
bagaimana cara Butet ikut turut bernyanyi setepat itu. Butet menjelaskan tentang recorder
tetapi orang rimba masih belum berkomentar banyak. Tetapi tiba-tiba seorang anak bertanya
kepada Butet “ jika dia bisa menulis berarti dia dapat menulis semua pantun? Lagu? Mantra?,
dan masih belum banyak komentar dari mereka.
Disaat lain ketika anak-anak memasang jerat kancil, Butet menggambarnya dengan
tulisan dibawahnya. Mereka memperhatikan dan meminta Butet untuk menggambar yang
lain. Lalu mereka mencoba ikut menggambar dengan gembira Butet membagikan pensilnya
dan mereka menggambar dengan sesuka mereka. Akhirnya mereka semua mulai
menggambar setiap mereka selesai menggambar mereka menyuruh Butet untuk menebak
benda yang mereka gambar.
Intinya, memang tidak semua orang yang melek huruf akan menjadi dokter atau insinyur
atau pemimpin masyarakat. Tidak harus, kan? Tetapi yang jelas, tidak mungkin bisa jadi
dokter kalau baca tulis saja tidak bisa.Baca tulis setidaknya akan memberikan mereka lebih
banyak pilihan karena hanya lewat pendidikanlah (yang tidak sekedar baca tulis hitung, tapi
juga peningkatan kapasitas dan jaminan habitat tempat hidup) mereka mampu memposisikan
diri terhadap dunia luar dan dengan merdeka menentukan araj pembangunannya sendiri.
Mau tidak mau, ini harus! Karena modernitas sudah mulai
Di tengah interaksi dengan mereka Butet berusaha mencari-cari orang yang bisa menerima
dan ikut serta dalam program pendidikan mereka. Namun kelihatannya Orang Rimba
perempuan sejak kecil telah diajarkan untuk “berhati-hati” terhadap orang luar, karena itu
Butet lebih kesulitan mendekati mereka (perempuan) daripada mendekati anaklaki-laki. Lain
dengan anak laki-laki mereka menyatakan keterkaitan untuk dapat menulis dan menggambar
tetapi jika mereka ditanya apakah ingin belajar supaya bisa membaca dan menulis, mereka
serempak menjawab “tidak”. Alasannya adalah “ itu tidak ada dalam adat kami Orang
Rimba”.
Pada saat Butet dan 2 orang teman lainnya pergi ke pasar Sarolangun, Butet memperhatikan
cara interaksi Orang Rimba dengan pemilik warung dan menangkap bukti bahwa
ketidaktahuan Orang Rimba akan dunia pasar telah menempatkan orang rimba pada posisi
objek penderita.
Interaksi orang rimba dengan masyarakat desa terjadi dengan penuh curiga dan merepotkan.
Saat interaksi jual beli misalnya, terlihat sekali kecurigaan diantara mereka. Maksudnya
adalah Orang Rimba (depati) membayar satu per satu barang yang dibelinya “karena takut
kena tipu” dan pemilik warung merasa lelah melayani seperti itu setiap harinya.
Banyak pendapat seperti rombongan Inhutani Pusat dari Jakarta mengatakan seolah-olah cara
hidup Orang Rimba adalah karena mereka miskin dan bodoh. Bagaimana pun Butet masih
yakin, pendidikan adalah langkah awal menuju pemberdayaan Orang Rimba menghadapi
arus agresi dari dunia luar. Mungkin pendidikan saat ini dianggap tidak penting oleh Orang
rimba, tetapi hanya lewat pendidikan lah (yang tidak sekedar baca-tulis-hitung), tapi juga
meningkatkan kesejahteraan dan jaminan habitat mereka), mereka bisa ssecara sadar
memahami eksistensi dirinya terhadap dunia luar dan kemudian merdeka menentukan arah
pembagunannya. Masih sulit bagi Butet menentukan pendidikan seperti apa yang Orang
Rimba butuhkan. Bahkan lebih dari itu apakah mereka benar-benar membutuhkannya.
Butet dan kedua temannya Willy dan Bintoro melakukan pendekatan langsung ke sasaran,
memang lebih efektif karena Willy dan Bintoro sudah jauh lebih mengenal Orang Rimba dari
pada Butet. Mereka menyampaikan lagi alasan Butet datang ke tempat tersebut adalah untuk
mengajar baca tulis bagi orang setempat supaya tidak bodoh lagi. Tapi jawaban yang muncul
sungguh tak disangka maksud baik ditolak dengan mentah mentah beberapa Orang Rimba
dewasa mengoceh tidak karuan seperti marah-marah yang dapat diterjemahkan adalah Orang
Rimba tidak suka dikatakan bodoh seperti itu. Bahkan dengan dinyatakannya secara langsung
bahwa Butet datang membawa “pendidikan”, Orang Rimba jadi ketakutan kalau kedatangan
Butet akan mengacaukan adat istiadat mereka.
Serta Orang Rimba menyarankan supaya Butet cepat pulang karena mereka tidak mau
“sekolah” dan Butet hanya dapat berkata bahwa pendidikan itu berguna untuk mencegah
supaya Orang Rimba tidak ditipu oleh orang terang (orang kota), walaupun begitu tetap saja
tidak berubah.
Tetapi Butet mulai menemukan titik terang saat 2 orang rimba datang dan bercerita ingin
belajar dalam pembicaraan tersebut mereka mengatakan baca tulis tidak mengubah agama
mereka dan adat mereka, tetapi baca tulis membantu kami dalam bekerja, mereka juga ingin
dapat menulis nama mereka, menimbang dan menghitung sendiri uang hasil mereka. Mereka
yakin orang luar sering menipu jumlah timbangan karet, tapi mereka tidak dapat
membuktikannya. Kedua orang tersebut mengetahuinya dari keganjilan jumlah uang yang
seharusnya diterima. Misalnya jumlah kilo hari ini dua kali lipat dari jumlah kilo sebelumnya
tetapi upah yang mereka terima hampir sama. Mereka ingin menguasai perhitungan berat
timbangan dan nilai uang agar dapat membuktikan penipuan. Bahkan mereka telah
menentukan waktu yang tepat untuk belajar yaitu siang dan sore serta mereka menyatakan
siap membangun susudungun yang baik dan bertanya model dan ukuran pondok seperti apa
yang Butet inginkan.
Penugasan Baru
Butet datang lagi ke hutan tersebut, dengan beban yang sama yaitu fasiliator pendidikan dan
harus mendapatkan murid bagaimana pun caranya!. Hingga butet dan Diki pergi ke kelompok
lain dan benar mereka menolak kedatangan Butet alasannya karena Butet adalah perempuan.
Tetapi Butet merasa bukan karena dia perempuan tetapi karena mereka tidak mau menerima
pendidikan.
Anak rimba mempunyai nama yang sama persis dan susah membedakannya oleh karena itu,
Butet pun menulis nama serta ciri-ciri umumnya di notes, Orang Rimba heran bagaimana
Butet dapat menghapal nama mereka dengan cepat dan disitu Butet melihat sedikit celah
untuk mengenalkan mereka baca dan tulis. Begitu juga yang dirasakan Butet pada saat Orang
Rimba sakit, mereka mendapatkan obat dan suntikan tetapi mereka meminumnya dengan
dosis sembarangan dan disitu Butet merasa jika mereka tahu angka mereka tidak akan
membagikan dan meminumnya sembarangan.
Disaat lain saat Butet bertanya tentang bahan-bahan membuat ambung kepada seorang Indok
dan izin mencatatnya , sementara budak-budak berkerumun disekitar Butet sambil mengobrol
seorang budak menarik pena Butet dan bertingkah seolah-olah sedang menulis, lalu yang
lainnya berusaha merebut. Mereka bertanya bagaimana menuliskan nama mereka. Hingga
seorang bapak yang ada disitu (bepak Bepiun,40) berkata belajarlah kalian semua menulis!.
Dan bertanya kepada Butet apa anak-anak ini nanti bisa mampu menulis?, Butet menjawab
sama seperti belajar bersepeda, kalau belajar nanti bisa juga. Bepak Bepiun lalu bertanya apa
kalau satu bulan belajar sudah pintar menulis? Butet menjawab bisa jugalah.
Mengalir Saja
Tidak disangka niat Butet mempererat hubungan lebih lanjut ternyata berkembang sangat
cepat. Sekita tujuh anak Orang Rimba mendesak Butet untuk segera mengajarkan mereka
angka dan abjad. Tetapi Butet cukup khawatir dengan orang orang tua yang terus mengawasi
Butet. Butet hanya menyobek kertas untuk mereka coret-coret dan sebuah buku berisi abjad
dalam huruf besar serta angka dari 0 sampai 9. Butet berupaya mengalihkan perhatian mereka
supaya jangan selalu bertanya soal abjad. Selam seminggu pertama Butet hanya bermain-
main saja dengan mereka, datang berkunjung, makan louk bersama, mengajar bernyanyi
(biasanya nama-nama hari dan abjad) atau bernyanyi bersama ( herannya mereka tahu
beberapa lagu dangdut dan pop). Juga mengajar menjahit, pencak silat, mengajar bersepeda,
belajar membuat tikar dari seluang, memancing lele atau ikan lainnya disungai. Lama-lama
Butet menyadari bahwa anak-anak memang jauh lebih asyik.
Suatu siang saat Butet di sawitan bersama orang Rimba, sebuah truk lewat dan tanpa disadari
beberapa anak menumpang sampai TSM untuk belajar bersepeda tanpa Butet. Filosopi
bersepeda inilah yang kemudian menjadi motivasi mereka ketika belajar berhitung dan
mengenal abjad bahwa “ segala sesuatunya memang dimulai dari tidak tahu tapi kalau belajar
terus, jadi mahir).
Butet melihat mereka menjadi semakin ingin belajar baca-tulis. Apa saja hal yang bisa
menjadi bhan untuk baca-tulis akan mereka tanyakan misalnya jam tangan digital yang Butet
pakai. Kebanyakan mereka telah dapat membaca jarum jam, walaupun hanya jarum
pendeknya saja dan selalu dihitung dari paling atas, akhirnya Butet gambarkan di satu buku
dan mereka meminjam pena Butet untuk dapat menirukannya. Mereka berebut menyalin lalu
membacanya keras-keras. Butet bercerita tentang bagaimana dunia di luar Rimba
menggunakan angka untuk berbagai tujuan termasuk menuliskan nominal uang dan
penggunaanya dalam transaksi.
Sebetulnya Butet takut sekali. Butet telah menikmati pertemanan dan proses saling kenal dan
juga saling belajar yang unik diantara mereka. Butet tidak mau hubungannya itu rusak hanya
karena introduksi baca tulis yang tergesa-gesa.
Anak-Anak Rimba yang Pemalu
Mereka berbicara bisik bahwa mereka ingin diajarkan menulis dan mereka tidak keberatan di
ajarkan di rumah itu (daripada di kampung mereka dan dimarahi orang tua mereka). Setelah
keluarga ibu Pariyan menyingkir barulah Butet dan 3 anak Orang Rimba belajar. Bila ada
anggota keluarga ibu Pariyan melongok buku mereka, mereka langsung berhenti belajar dan
menatapku sambil protes “ eh, aku tidak mau belajar ibu, nantilah!”.
Maksudnya, mereka tidak mau beljar dan akan mulai nanti kalu orang desa sudah berlalu.
Pertama-tama Butet memberi materi angka, mengingat bentuk angka, menuliskan jumlah
benda yang telah Butet gambar, misalnya gambar tiga buah pohon. Dibawahnya ada kotak
yang harus diisi dengan angka 3.
Hari kedua belajar murid Butet menjadi tujuh. Butet memberi materi penjumlahan dengan
gambar, penjumlahan dengan cerita, penjumlahan dengan angka yang sejauh ini baru sampai
angka di bawah 20. Butet coba memberikan ujian-ujian kecil dengan soal yang sama dan
membiarkan mereka bersaing dan saling menertawakan.
Di hari ketiga jumlah anak yang belajar hanya tiga orang, mungkin empat anak lain
menyingkir dan tidak mau belajar lagi karena kemarin sering ditertawakan. Hal yang paling
menjengkelkan bagi Butet adalah seringnya muncul pertanyaan yang sama di tengah-tengah
belajar atau setiap kali mereka Butet puji karena menjawab dengan benar . pertanyaannya
adalah “ jadi kalau sudah begini bu, berapa lama lagi aku bisa membaca?”.
Setelah 12 hari pergi, Butet kembali dari Bangko dan tiba di TSM SP A Tanogaro, begitu tiba
Butet langsung mendapatkan pesan yang isinya ancaman dan cerita-cerita seram berisi
peringatan yang membuat Butet gemetar. Ada orang orang desa yang datang dan menghasut
ibu Pariyan dan anak didik Orang Rimba. Mendengar ancaman dan cerita mereka, Butet
menjadi takut juga. Tetapi Butet harus mulai berusaha memahami rasa takutnya, mencari tahu
apa yang sebenarnya ditakuti dan pantaskah untuk ditakuti, dan menguatkan dalam hati “
jadi, Butet pikir yang baik-baik saja, supaya langkahmu tidak perlu terhenti”.
Tadinya Butet takut ketika datang akan disambut dingin atau justru penuh dengan acara usir-
usir lagi seperti biasa. Tetapi saat tiba di kelompok mereka, pancingan awal adalah membuka
catatan lapangan untuk melihat nama anak yang terlupakan. Indok Berenoy mngeluarkan
surat dan menyuruh Butet membacanya berulang menganggap sesuatu yang dia anggap
penting, sedangkan anak-anak semuanya mendengar dengan kagum dan penuh perhatian.
Saat ingin pulang lima orang anak ikut pulang dan langsung minta diajarkan membaca karena
huruf-huruf yang diberikan bulan lalu sudah mereka hapal.
Pagi hari hanya Gentar yang belajar tetapi tiba tiba 3 orang bapak datang dan menarik Gentar.
Gentar tidak peduli dan tetap meneruskan belajar hingga sore harinya ibu Gentar datang dan
memohon kepada Butet untuk tidak mengajari Gentar lagi bahkan ibu Gentar mengacung-
acungkan botol berisi racun pohon karet dan mengancam akan meminumnya. Ibu Gentar
hanya takut bahwa Butet akan membawa anak-anak sekolah ke Jambi bertahun-tahun dan
mengampungkan mereka. Hingga penduduk desa menyakinkan ibu Gentar dan mereka
pulang. Esok harinya Gentar datang persoalannya selesai, kesimpulannya Gentar tetap belajar
dan Gentar tetap di dalam Rimba.
Butet sudah mulai mengajarkan baca tulis, dengan metode yang masih agak kacau. Metode-
metode mulai bermunculan saat ada pertanyaan dari murid-murid Butet. Ada yang lucu,
Orang rimba selalu mengucapkan kata dengan huruf akhir “S” menjadi “Y” dan sebaliknya.
Dan hal tersebut membuat Butet repot mengajarkan materi membaca. Mulai dari itu, Butet
mulai bekerja terus untuk merumuskan metode itu, mengingat kombinasi huruf dari macam-
macam kata. Malam hingga pagi itu Butet terus mengumpulkan secara sistematis tujuh
klasifikasi dengan ratusan contoh kata.
Anak-anak kian semangat ketika Butet berikan metode pertama temuan Butet pagi ini. Ajaib,
kelihatannya mereka mudah sekali memahami dan bergairah sekali membaca setiap contoh
kata yang Butet berikan. Tak ingin berhenti sebelum membuktikkan bahwa mereka anak anak
Orang Rimba ini BISA MEMBACA. Setiap hari anak-anak datang ke rumah Ibu Pariyan
sekitar pukul 06.00 atau 06.30 dan pulang senja saat hari hampir kelam. Meteri pelajaran
baca tulis berjalan dengan lancar dan terlihat menyenangkan bagi anak-anak. Jarang sekali
diantara mereka terlihat tidak konsentrasi atau tidak serius saat belajar. Butet juga mulai
mengajarkan meteri penjumlahan, waktu penjumlahan dibawah angka 10 diajarkan dan
dikuasai dan mereka meminta-minta diajarkan angka-angka yang lebih besar dan berarti akan
diajarkan penjumlahan bersusun ke bawah. Jadi sebenarnya Butet menemukan metodenya
sama-sama saat proses belajar bersama. Butet hanya merumuskan itu saja.
Rasanya seperti disambar petir ketika mengetahui dalam 3 minggu kelompok tersebut
kehilangan lima anggotanya.emenjak kedatangan Butet hampir seluruh anak laki-laki yang
sudah atau pun belum pernah sekolah, datang melaporkan kemajuan belajar masing-masing.
Mereka membawa buku dan pensil. Beberapa anak mengalami kemajuan pesat karena sering
mendengar anak yang sekolah.
Butet dan teman-teman juga punya ide tentang sekolah yang bersifat sentra semacam
boarding school. Mereka mulai memberikan pengetahuan lain, seperti pengetahuan tentang
satwa dan tumbuhan. Mereka juga membawa anak-anak ke sidang –sidang adat Rimba yang
tengah berlangsung. Mempelajari dan memperhatikan bagaimana orang tua menciptakan
pantun untuk menyatakan sesuatu secara halus atau untuk menyampaikan curahan hatinya.
Mereka juga sering mengundang para penghulu adat di Rimba untuk sekedar mengobrol
bersama Butet di sentra SOKOLA RIMBA. Selain mengelola sentra sekolah,Butet juga suka
berkeliling pondok-pondok orang rimba.
Tanggal 13 April 2005 SOKOLA melegalkan dirinya dalam akta notaris dengan status
perkumpulan. Pada 2010 SOKOLA telah mengembangkan keiatan pendidikan baca tulis dan
advokasinya ke berbagai lokasi di Indonesia. Sekarang jumlah sudah berkembang, dari tujuh
orang menjadi 26 orang. Semuanya masih tanpa gaji yang jelas, tanpa asuransi kesehatan dan
tanpa fasilitas apa-apa dan para relawan itu pun mengatakan tidak ambil pising tentang itu. Di
Rimba tidak ada batas wilayah. Mereka juga tidak tahhu, daerah yang mereka tinggali ini
masuk ke desa atau kecamatan mana. Tapi yang pasti, koordinat sentra SOKOLA adalah 010
50`LS-102030`BT.
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Anlaisis
Sokola Rimba menceritakan perjuangan Butet Manurung, seorang sarjana dan master
Antropologi yang bertahun-tahun mendekati orang-orang dan anak-anak Rimba agar mereka
mendapat pendidikan. Butet ini awalnya bekerja di WARSI, sebuah LSM konservasi hutan di
Sumatra dan ditugaskan di bagian pendidikan. Target utama yang diberikan pada Butet waktu
itu adalah mengajar baca tulis bagi anak-anak Rimba. Orang-orang Rimba adalah sebutan
bagi suku yang mendiami Taman Nasional Bukit DuaBelas (TNBD) yang ada di
Jambi.Orang Rimba hidup di hutan, dengan berburu dan meramu. Mereka hidup
berkelompok dan berpindah-pindah .
Berbagai metode belajar ditemukan dari proses belajar dan mengajar sehingga hubungan
yang muncul adalah timbal balik. Guru tidak hanya sebatas guru dan murid tidak hanya
sebatas murid, tetapi guru dan murid menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Dan ini
yang tidak pernah ditemukan di sekolah-sekolah lainnya. Sekolah lebih cenderung
mengdiskreditnya siswa sebagai obyek yang harus menerima seluruh ilmu pengetahuan yang
diberikan oleh guru dan menerima hukuman apabila mereka tidak mampu menerimanya.
Alasan ini juga mengapa anak-anak orang rimba tidak mau bersekolah di desa, hukuman
yang diberikan oleh guru kepada murid yang tidak patuh telah mencetak gambaran buruk
tentang sekolah dibenak anak-anak orang rimba. Sokola Rimba yang didirikan oleh butet dan
beberapa temannya semasa di WARSI merupakan satu-satunya sekolah yang mencitrakan
pendidikan ala rimba. Sistem dan metode pendidikan yang fleksibel tetapi berorientasi pada
pengembangan kualitas anak membuat anak-anak merasa nyaman. Totalitas dan loyalitas
pada mimpi untuk memberdayakan orang rimba merupakan rangkaian perjuangan panjang.
Tak hanya sebatas pada transfer ilmu pengetahuan tetapi mencoba untuk masuk lebih dalam
yaitu menyadarkan orang rimba akan potensi dan eksistensi mereka sebagai orang rimba yang
hidup di hutan. Pekerjaan besar lainnya merubah ketergantungan hidup mereka terhadap
hutan. Jika hutan sudah tidak ada, mereka akan hidup dimana? Apakah akan tinggal di
rumah-rumah yang berdinding kayu dan menjadi petani seperti halnya orang desa? Atau
mereka akan semakin terpinggirkan hingga akhirnya populasi orang rimba akan punah karena
ketikdakmampuan bertahan di alam yang sudah tidak lagi berpihak pada mereka.
Buku ini merupakan sebuah hasil karya etnografi yang sangat baik dan dapat dijadikan
sebagai sebuah acuan dan contoh dalam penulisan etnografi. Karena buku ini telah mendapat
beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri jadi kualitas dari buku ini tidak perlu di
ragukan lagi.
Buku ini adalah salah satu buku yang dapat memberikan arahan dan motivasi akan
ketersadaran kita (pembaca) untuk lebih memaknai arti kehidupan sekarang. Memberikan
sesuatu dengan tulus dan tidak boleh berhenti bermimpi sebelum mewujudkannya. Kiranya
kita dapat lebih menghargai arti pengorbanan yang telah Butet Manurung hasilkan.
4.2 Saran
Buku ini layak dijadikan refrensi dalam pembelajaran etnografi baik untuk dosen dan juga
bagi mahasiswa, akar kiranya dengan menjadikan buku ini sebagai bahan pembelajaran,
mahasiswa dapat menulis penelitian etnografi dengan standart yang tinggi.
Apabila dilakukan pencetakan selanjutnya, diharapkan masukan yang telah dibuat dapat
dipertimbangkan dengan tujuan menambah kesempurnaan daripada buku tersebut
DAFTAR PUSTAKA