TINJAUAN PUSTAKA
Secara histologi prostat terdiri atas 30-50 kelenjar tubulo alveolar yang
mencurahkan sekretnya ke dalam 15-25 saluran keluar yang terpisah. Saluran ini
mencurahkan ke uretra pada kedau sisi kolikulus seminalis. Kelenjar ini terbenam
dalam stroma yang terutama terdiri dari otot polos yang dipisahkan oleh jaringan ikat
kolagen dan serat elastis. Otot membentuk massa padat dan dibungku oleh kapsula
yang tipis dan kuat serta melekat erat pada stroma. Alveoli dan tubuli kelenjar sangat
tidak teratur dan sangat beragam bentuk ukurannya, alveoli dan tubuli bercabang
berkali-kali dan keduanya mempunyai lumen yang lebar, lamina basal kurang jelas
dan epitel sangat berlipat-lipat. Jenis epitelnya berlapis atau bertingkat dan bervariasi
dari silindris sampai kubus tergantung pada status endokrin dan kegiatan kelenjar.
Sitoplasma mengandung sekret yang berbutir-butir halus, lisosom dan butir lipid.
Nukleus biasanya satu, bulat dan biasanya terletak di basal. Nukleoli biasanya terlihat
ditengah, bulat dan kecil.
Batas-batas prostat :
a. Batas superior : basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesika urinaria,
otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang lain.
b. Batas inferior : apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma
urogenitalis. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan
anterior.
c. Batas anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis,
dipisahkan dari simphisis oleh lemak ekstra peritoneal yang terdapat pada
cavum retropubica (cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan
dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum puboprostatika.
Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan kondensasi
fascia pelvis.
d. Batas posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan
permukaan anterior ampula rekti dan dipisahkan darinya oleh septum
rectovesicalis (fascia Denonvilier). Septum ini dibentuk pada massa janin oleh
fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula
menyebar ke bawah menuju corpus perinealis.
e. Batas lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m.
levator ani waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis. Ductus
ejakulatorius menembus bagian atas permukaan prostat untuk bermuara pada
uretra pars prostatika pada pinggir lateral orificium utriculus prostaticus.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior
daripada lobus medialis (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya
perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami
hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.
Mc. Neal membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah :
zona perifer, zona sentra, zona transisional, zona fibromuskular anterior dan zona
periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang
letaknya proksimal dari sfingter eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di
zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume
prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Lima zona pada kelenjar prostat :
a. Zona anterior atau ventral
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
b. Zona perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal
karsinoma terbanyak.
c. Zona sentralis
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah
meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi.
Epidemiologi
Di seluruh dunia, hampir 30 juta orang pria yang menderita gejala yang
berkaitan dengan pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria mengalami hal
yang sama.8 BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia
setelah batu saluran kemih. Sebagai gambaran hospital prevelance, di RS Cipto
Mangunkusumo ditemukan 423 kasus pembesaran kasus pembesaran prostat jinak
yang dirawat selama 3 tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617
kasus dalam periode yang sama. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya
semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia
berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran
kemih bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH. BPH
mempengaruhi kualitas kehidupan pada hampir 1/3 populasi pria berumur >50 tahun.
Faktor resiko BPH masih belum jelas, beberapa penelitian menunjukkan
adanya predisposisi genetik dan beberapa kasus dipengaruhi oleh ras. Prevalensi BPH
secara histologis pada otopsi didapatkan peningkatan dari sekitar 20% pada pria usia
41-50 tahun, 50% pada pria usia 51-60 tahun dan >90% pada pria usia >80 tahun.
Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan awal dan
pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia pemeriksaan awal harus dilakukan oleh
setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang
bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu.
1. Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit
yang dideritanya. Anamnesis meliputi :
Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah
mengganggu
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia
Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan
keluhan miksi
Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya
gejala obstruksi dan iritatif akibat pembesaran prostat adalah dengan menggunakan
International Prostate Symptoms Score (IPSS). WHO dan American Urology
Association (AUA) telah mengembangkan dan mengsahkan IPSS yang telah
terstandarisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio
suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung under-
estimate dari pada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat
teraba, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan
suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 23-34% yang
positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini
dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran
kemih, batu buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi,
diantaranya karsinoma insitu atau striktura uretra, pada pemeriksaan
urinalisis menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan
adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksan kultur urin dan
jika terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli perlu dilakukan
pemeriksaan sitologi urin. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi
urin dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak
manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritosituria
akibat pemasangan kateter.
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat
BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal
menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering
dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%) dan mortalitas
menjadi 6 kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi
didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum
normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum.
Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu
tidaknya melakukan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan kadar PSA (Prostate Spesific Antigen)
Sebelum melakukan terapi pada pasien yang mengeluhkan gejala LUTS
para ahli urologi biasanya melakukan pemeriksaan rektal toucher dan
memeriksa kadar PSA serum. PSA disintesis oleh sel-sel epitel prostat dan
bersifat organ spesific tetapi bukan cancer spesific. Kadar serum PSA
dapat digunakan untuk memprediksi perjalanan penyakit pada BPH. Kadar
PSA yang tinggi dapat berarti : pertumbuhan volume prostat yang lebih
cepat, keluhan akibat BPH/laju pancaran miksi yang jelek dan mudah
terjadinya retensi urin akut.
Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah :
40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml
50-59 tahun : 0-3,5 ng/ml
60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml
70-79 tahun : 0-6.5 ng/ml
Kadar PSA yang tinggi menunjukkan kemungkinan besar terjadi kanker
prostat, oleh karena itu sebagian besar ahli urologi merekomendasikan
pemeriksaan ini sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH,
meskipun dengan syarat berhubungan dengan usia dan harapan hidup
pasien, sehingga jika memang terdiagnosis karsinoma prostat tindakan
radikal masih ada manfaatnya.
d. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama proses miksi
secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri
dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum
(Qmax), pancaran rata-rata (Qwave), waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai pancaran maksimum dan lama pancaran. Pemeriksaan ini sangat
mudah, non invasif dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala
obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi.
Nilai Qmax dipengaruhi oleh usia, jumlah urin yang dikeluarkan serta
terdapat variasi individual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil
uroflometri menjadi bermakna jia volume urin >150 ml dan diperiksa
berulang kali pada kesempatan yang berbeda.
e. Pemeriksaan radiologi
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap
traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat.
Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian besar ahli
urologi untuk mengungkapkan adanya :
Kelainan pada saluran kemih bagian atas
Divertikel atau selule pada buli-buli
Batu pada buli-buli
Perkiraan volume residual urin
Perkiraan besarnya prostat
Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau
USG ternyata 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran
kemih bagian atas sedangkan yang menunjukkan kelanan hanya sebagian
kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain.
Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada
pemeriksaan awal diketemukan adanya:
Hematuria
Infeksi saluran kemih
Insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG)
Riwayat urolitiasis
Riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan
besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak
direkomendasikan. Namun pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai
adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai
bentuk, besar prostat dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Pemeriksaan USG prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan
rutin, kecuali jika sedang menjalani terapi :
Inhibitor 5-α reduktase
Termoterapi
Pemasangan stent
TUIP
Prostatektomi terbuka
Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui
pemeriksaan trans abdominal (TAUS) ataupun trans rektal (TRUS). Jika
terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG melalui trans rektal
sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien,
terapi yang ditawarkan tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien maupun
kondisi objektif kesehatan pasien yang disebabkan oleh penyakitnya. Pilihannya
adalah mulai dari : tanpa terapi/observasi (watchful waiting), medikamentosa dan
terapi intervensi.
Tabel 1. Pilihan terapi pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Observasi Medikamentosa Terapi Intervensi
Stent Uretra
Inhibitor reduktase 5 Endourologi :
α TUNA
TURP
TUIP ILC
TULP
Fitoterapi
Elektrovavorasi
a. Watchfull waiting
Watchfull waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan penyakit dan keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan
tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada
watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman
yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung mengandung
fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin dan (5) jangan
menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan pasien diminta untuk datang
kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang
dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urin, maupun volume residual
urin. Jika keluhan miksi bertambah jelek dari pada sebelumnya, mungkin
perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
b. Medika Mentosa
Tujuan dari terapi medika mentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi
volume prostat sebagai komponen statik. Jenis-jenis obat yang digunakan
adalah antagonis reseptor adrenergik-α, inhibitor 5α-reduktase dan
fitofarmaka.
1. Antagonis reseptor adrenergik-α
Pengobatan dengan antagonis adrenergik-α bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher
buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α
non selektif yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki laju
pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak
disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak
diharapkan, diantaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan
penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.
Ditemukannya obat antagonis reseptor adrenergik-α1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada α2 dari
fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat antagonis α1 adalah prazosin
yang diberikan 2 kali sehari, afluzosin dan doksazin yang diberikan sekali
sehari, obat golongan ini dilaporkan dapat memperbaiki keluhan miksi dan
laju pancaran urin. Antagonis reseptor-α1 merupakan obat pilihan pertama
pada laki-laki dengan gejala LUTS sedang-berat.
Akhir-akhir ini ditemukan pula golongan antagonis α1a yaitu tamsolusin
yang sangat selektif terhadap otot polos prostat. Dilaporkan bahwa obat ini
mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap
tekanan darah maupun denyut jantung.
Efektivitas obat golongan antagonis adrenergik-α tergantung pada dosis
yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang diinginkan makin
nyata, namun disamping itu komplikasi yang timbul pada sistem
kardiovaskuler semakin besar. Untuk itu sebelum dilakukan terapi jangka
panjang, dosis obat yang diberikan harus disesuaikan dulu dengan cara
meningkatkannya secara perlahan-lahan (titrasi) sehingga diperoleh dosis
yang aman dan selektif. Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari
golongan obat antagonis adrenergik-α1a (tamsulosin) tidak perlu
melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap
aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun.
2. Inhibitor 5α-reduktase
Inhibitor 5α-reduktase bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dehidrotestosteron (DHT) dari testosteron yang dikatalisis oleh enzim 5α-
reduktase didalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT akan menyebabkan
sintetis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun. Dilaporkan bahwa
pemberian obat ini (fenesteride) 5 mg sehari selama 6 bulan mampu
menyebabkan penurunan prostat hingga 28%, hal ini memperbaiki keluhan
miksi dan pancaran miksi. Inhibitor 5α-reduktase hanya diberikan dengan
gejala LUTS sedang sampai berat dan pembesaran prostat diatas 40 mg
atau pada kadar konsentrasi PSA yang tinggi (>1,4-1,6 µg/L), dikarenakan
waktu mulai kerja obat 5α-reduktase inhibitor yang lama maka obat
golongan ini cocok untuk pengobatan jangka panjang (beberapa tahun)
3. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
menurunkan gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologi
tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat
fitoterapi sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti.
Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai anti estrogen. Anti estrogen ini
merupakan kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic
fibroblast growth factor (bFGH) dan epidermal growth factor (EGH),
mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek anti inflamasi, menurunkan
outflow resistensi dan memperkecil volume prostat. Diantara fitoterapi
yang banyak dipasaran adalah Pygeum africanum, Sereno repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica, dll.
c. Operasi (pembedahan terbuka dan pembedahan endoneurologi)
Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang paling baik saat ini
adalah pembedaan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non-invasive
lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil
terapi.
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi
yang tidak puas. Hal ini dapat dikerjakan dengan operasi terbuka, reseksi
prostat transuretra (TURP) dan insisi prostat transuretra (TUIP. Pembedahan
direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang tidak menunjukkan
perbaikan setelah terapi medika mentosa, mengalami retensi urin berulang,
infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal dan timbulnya batu
saluran kemih.
1. Prostatektomi terbuka
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasive
dan paling efisien diantara tindakan BPH yang lain dan memberikan
perbaikan gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui
pendekatan transvesikal yang pertama kali diperkenalkan oleh Hryntshack
dan pendekatan retropubik yang dipopulerkan oleh Millin.
2. TURP (Trans Uretral Resection Prostate)
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dan digunakan cairan irigasi.
Cairan irigasi ini berfungsi agar darah yang direseksi tetap terang dan tidak
tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan berupa larutan non ionic yang
dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi, cairan
yang digunakan biasanya H2O steril (aquades).
Salah satu kekurangan aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
bisa masuk ke sirkulasi melalui pembuluh darah. Kelebihan H2O dapat
menimbulkan terjadinya hiponatremi relative atau gejala intoksikasi air
atau yang dikenal dengan sindroma TURP. Untuk mengurangi resiko
terjadinya sindroma TURP, operator harus membatasi untuk tidak
melakukan reseksi lebih dari satu jam. Penggunaan cairan non ionic lain
selain H2O seperti Glisin dapat mengurangi resiko hiponatremi tetapi
harganya yang cukup mahal sehingga aquades masih tetap menjadi
pilihan.
3. TUIP (Trans Uretral Insition Prostate)
TUIP direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (< 30 cm3),
tidak dijumpai pembesaran lobus medius dan tidak ditemukan adanya
kecurigaan terhadap karsinoma prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh
Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi atau bilateral
insisi menggunakan pisau colling mulai dari muara ureter, leher buli-buli
sampai ke veromontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat, waktu
operasi yang dibutuhkan lebih cepat dan sedikit menimbulkan komplikasi
dibandingkan TURP.
4. Laser Prostatektomi
Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang dari
tahun ke tahun mengalami penyempurnaan, kelenjar prostat pada suhu
600-650 C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C
mengalami vaporasi.
Terapi leher ini lebih sedikit menimbulkan komplikasi dan proses
penyembuhan pasca operasi yang lebih cepat, tetapi kemampuan dalam
meningkatkan perbaikan gejala miksi maupun Qmax tidak sebaik TURP.
Selain itu kekurangan tindakan ini adalah tidak dapat diperoleh jaringan
untuk pemeriksaan patologi.
5. TUMT (Trans Uretral Microwave Therapy)
TUMT bekerja dengan cara memancarkan gelombang radiasi mikro yang
dipancarkan oleh antena yang dimasukkan intrauretra. Radiasi gelombang
mikro ini menyalurkan energi panas pada suhu diatas ambang suhu
sitotoksik (>450 C) yang dapat menyebabkan koagulasi nekrosis pada
kelenjar prostat. Panas yang dihasilkan juga menyebabkan apoptosis dan
denervasi α reseptor sehingga mengurangi tonus otot polos uretra pars
prostatika.
6. TUNA (Trans Uretral Needle Ablation of prostate)
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
sampai 1000 C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem
ini terdiri atas kateter TUNA ang dihubungkan dengan generator yang
dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter
dimasukkan kedalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anastesi
topikal xylocain sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak
pada kelenjar prostat. Teknik ini tidak cocok pada pasien dengan volume
prostat >75 ml.
7. Stent
Stent prostat dipasang pada uretra pars prostatika untuk mengatasi
obsruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara
leher buli-buli dan disebelah proksimal verumontatum sehingga urin dapat
leluasa melewati lumen uretra pars prostatika. Stent dapat dipasang
sementara atau permanen, yang sementara dipasang selama 3-36 bulang
dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi
dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.
Stent permanen terbuat dari anyaman bahan logam super alloy, nikel atau
titanium, dalam waktu yang lama bahan ini akan diliputi oleh urotelium
sehingga jika suatu saat ingin dilepas memerlukan anastesi umum atau
regional. Pemasangan stent biasanya dilakukan pada pasien yang tidak
mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi.
Definisi
Epidemiologi
Berdasarkan data, rata-rata per tahun penderita kanker prostat yang berobat di
RS Dharmais dan RSCM Jakarta mencapai 30 hingga 60 orang. Ini baru data dari dua
rumah sakit, belum yang lainnya. Ancaman kanker prostat tak hanya mengintai kaum
pria di Indonesia. Kaum pria di Amerika Utara dan Eropa, terutama di kawasan
Skandinavia bahkan tercatat memiliki angka tertinggi untuk penderita kanker prostat.
Bahkan di Amerika Utara, penyakit kanker prostat menjadi penyakit kanker
pembunuh tertinggi bagi para pria Afro Amerika di sana. Berdasarkan hasil penelitian
para pakar urologi, setiap pria di dunia berpotensi terkena penyakit prostat. Mulai dari
pembengkakan ringan pada kelenjar prostat sampai dengan serangan kanker prostat.
Etiologi
Kemungkinan untuk menderita kanker prostat menjadi dua kali jika saudara
laki-lakinya menderita penyakit ini. Kemungkinannya naik menjadi lima kali jika
ayah dan saudaranya juga menderita. Semuanya itu menunjukkan adanya faktor
genetika yang melandasi terjadinya kanker prostat.
Diet yang banyak mengandung lemak, susu yang berasal dari binatang, daging
merah (red meat), dan hati diduga meningkatkan kejadian kanker prostat. Beberapa
nutrisi diduga dapat menurunkan insiden kanker prostat, di antaranya adalah vitamin
A, beta karoten, isoflavon atau fitoestrogen yang banyak terdapat pada kedelai,
likofen (antioksidan karotenoid yang banyak terdapat pada tomat), selenium (terdapat
pada ikan laut, daging, biji-bijian), dan vitamin E. Kebiasaan merokok dan paparan
bahan kimia Cadmium (Cd) yang banyak terdapat pada alat listrik dan baterai
berhubungan erat dengan timbulnya kanker prostat. Kebiasaan seksual memiliki
hubungan dengan kanker prostat diakibatkan oleh berhubungan seksual sebelum umur
yang matang, jumlah partner seksual, dan partner seksual yang terinfeksi human
papiloma virus dan kanker serviks.
Patogenesis
Kemungkinan tahapan patogenesis kanker adalah: kelenjar prostat normal
PIN (Prostat Intraepitelial Neoplasia) karsinoma prostat karsinoma prostat
stadium lanjut karsinoma prostat matastasis HRPC (Hormon Refractory Prostat
Cancer). Munculnya kanker prostat secara laten pada usia tua banyak terjadi. Sepuluh
persen pria usia enam puluh tahun mempunyai kanker prostat “diam” dan tidak
bergejala, pertumbuhan dari kanker prostate asimptomatis yang kebetulan ditemukan
lamban sekali. Keganasan prostat 90% biasanya berupa Adenocarsinoma yang berasal
dari kelenjar prostat yang menjadi hipotrofik pada usia dekade kelima sampai ketujuh.
Karsinoma prostat paling sering terjadi pada zona perifer (75%).
Dengan berkembangnya tumor dapat terjadi perluasan langsung ke urethra,
leher kandung kemih, dan vesikula seminalis. Karsinoma prostat dapat juga menyebar
melalui jalur limfatik dan hematogen. Secara berturut tempat yang paling sering dari
metastasis melalui jalur hematogen melalui v.vertebralis adalah ke tulang-tulang
pelvis, vertebra lumbalis, femur, vertebra torasika, dan kosta.
Penyebaran limfogen dapat ditemukan dikelenjar limfe di panggul kecil dan
lewat samping pembuluh darah besar keatas lewat samping dinding perut belakang
(kelenjar limfe retroperitoneal atas).agak jarang tumor ini menyebar ke sum-sum
tulang dan visera, khususnya hati dan paru. Tingkat penyebaran karsinoma prostat
yang lazim dipakai didasarkan pada system tingkat penyebaran “American Urological
Assosiation” (AUA) dan TNM.
Prostatic intraepithelial neoplasia (PIN) merupakan proliferasi epitel yang
atipikal pada duktus dan kelenjar prostat. PIN dibagi atas low grade (LGPIN) dan
high grade (HGPIN) berdasarkan derajat atipia selnya. Tidak terbukti adanya
hubungan antara LGPIN dengan adenokarsinoma prostat, tetapi HGPIN memiliki
hubungan erat dengan adenokarsinoma prostat dan merupakan lesi prekursornya.
Pada sekitar 80% kasus, jaringan prostat yang diambil karena karsinoma
mungkin menunjukkan lesi prekursor yang disebut dengan high grade prostatic
intraepithelial neoplasia (PIN). Lesi ini terdiri dari kelenjar-kelenjar jinak dengan
proliferasi sel-sel yang menunjukkan anaplasia inti. High grade PIN terdiri dari
kelenjar-kelenjar yang terpisah lebih jauh, kelenjar bercabang dengan struktur
papillary. Ini berbeda jauh dengan kanker yang invasif dimana karakteristiknya
adalah kelenjar-kelenjar kecil, tersusun rapat, tepi lumen yang datar (tidak
bercabang). Pada PIN, kelenjar-kelenjarnya dikelilingi oleh lapisan sel-sel basal dan
membran basal yang utuh.
Gejala klinis
Biasanya kanker prostat berkembang secara perlahan dan tidak menimbulkan
gejala sampai kanker telah mencapai stadium lanjut. Kanker prostat bisa
menyebabkan air kemih berwarna merah (karena mengandung darah) atau
menyebabkan terjadinya penahanan air kemih mendadak. Pada beberapa kasus,
kanker prostat baru terdiagnosis setelah menyebar ke tulang (terutama tulang panggul,
iga dan tulang belakang) atau ke ginjal (menyebabkan gagal ginjal). Kanker tulang
menimbulkan nyeri dan tulang menjadi rapuh sehingga mudah mengalami fraktur
(patah tulang). Setelah kanker menyebar, biasanya penderita akan mengalami anemia.
Kanker prostat juga bisa menyebar ke otak dan menyebabkan kejang serta gejala
mental atau neurologis lainnya. Gejala lainnya adalah:
Nyeri ketika berkemih
Nyeri ketika ejakulasi
Nyeri punggung bagian bawah
Nyeri ketika buang air besar
Nokturia (berkemih pada malam hari)
Inkontinensia urin
Nyeri tulang atau tulang nyeri jika ditekan
Hematuria (darah dalam air kemih)
Nyeri perut
Penurunan berat badan.
Diagnosis
Diagnosis kanker prostat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisis dan
laboratorium. Sebelum melakukan pemeriksaan sebaiknya ditanyakan mengenai
riwayat penyakit, riwayat penyakit kanker dalam keluarga dan gejala-gejala yang
dialami, khususnya yang berhubungan dengan berkemih. Berdasarkan anamnesis
tersebut barulah dianjurkan pemeriksaan yang akan dilakukan sebagaimana yang akan
dijelaskan dibawah ini.
A. Digital Rectal Examination (DRE)
DRE pada penderita kanker prostat akan menunjukkan adanya pembesaran
prostat dengan konsistensi keras, padat, noduler, irregular, permukaan yang tidak rata,
atau asimetris.
B. Prostat – Spesifik Antigen (PSA) test
PSA adalah enzim yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat dan berfungsi
mengencerkan cairan ejakulasi untuk memudahkan pergerakan sperma. Pada keadaan
normal, hanya sedikit PSA yang masuk ke dalam aliran darah. Pada proses keganasan
prostat, PSA akan menembus basal membran sel epitel dan beredar melalui pembuluh
vaskuler maka kadar PSA dalam darah meningkat.
Untuk membedakan apakah peningkatan kadar PSA disebabkan oleh BPH
atau kanker prostat, maka dianjurkan pemeriksaan rasio free-PSA—PSA total atau
rasio c-PSA—PSA total terutama bagi mereka yang memiliki kadar PSA totalnya
antara 2,6—10 ng/ ml.
C.Transrectal Ultrasound (TRUS)
Tindakan ini menggunakan gelombang suara untuk membentuk pencitraan
dari prostat. TRUS selain dapat mengukur volume prostate, dapat juga mendeteksi
kemungkinan adanya keganasan dengan memperlihatkan daerah hypoechoic, dan
dapat pula melihat adanya bendungan vesika seminalis yang tampak merupakan
gambaran kista disebelah bawah dari prostat.
D. Transabdominal Ultrasound (TAUS)
Prostat dapat pula diperiksa dengan USG transabdominal (TAUS), biasanya
dilakukan dalam keadaan vesika urinaria penuh. TAUS dapat mendeteksi bagian
prostat yang menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat
besar obstruksi, selain tentu saja dapat mendeteksi apabila ada batu didalam vesika.
E. Biopsy
Pada biopsy jaringan sample diambil dan diperiksa dengan bantuan
mikroskop untuk mengetahui ada tidaknya perubahan dari kanker. Hanya biopsy yang
dapat menentukan kanker prostat dengan pasti.
Score gleason yang tinggi memberikan gambaran kanker yang
pertumbuhannya cepat. Untuk menerapkan score gleason perlu dilakukan biopsy.
Biopsi dilakukan dengan cara prostatectomy atau dengan cara memasukkan dengan
needle kedalam kelenjar prostat melalui rectum.
Tingkat infiltrasi dan penyebaran tumor berdasarkan system TNM adalah
sebagai berikut :
T – Tumor Primer
Tx - Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 - Tidak dijumpai tumor primer
Tis – Karsinoma in situ ( PIN )
- T1a – 5 % jaringan yang direseksi mengandung sel-sel kanker, colok dubur
normal
- *T1b - > 5 % jaringan yang direseksi mengandung sel-sel kanker, colok
dubur normal.
- *T1c - Peningkatan kadar PSA, colok dubur dan TRUS normal
- *T2a - Teraba tumor pada colok dubur atau terlihat pada TRUS hanya pada
satu sisi, terbatas pada prostat
- *T3a - Ekstensi ekstrakapsuler pada satu atau dua sisi
- *T3b - Melibatkan vesikula seminalis
- *T4 - Tumor secara langsung meluas ke baldder neck, sfingter, rectum,
muskulus levator atau dinding pelvik
N – Kelenjar limfe regional ( obturator, iliaka interna, iliaka externa, limfonodus
presakral )
Nx - Tidak dapat dinilai
N0 - Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional
N1 - Metastasis ke kelenjar limfe regional
M – Metastasis jauh
Mx - Tidak dapat dinilai
M0 - Tidak ada metastasis
M1a - Metastasis jauh kelenjar limfe nonregional
M1b - Metastasis jauh ke tulang
M1c - Metastasis jauh ke tempat lain
PENATALAKSANAAN
a. Surveilance (observasi)
Surveilance biasa digunakan pada stadium awal kanker prostat dengan
pertumbuhan yang lambat yang biasa didapatkan pada usia lanjut. Tindakan
ini juga dilakukan pada pasien yang berisiko terhadap terapi bedah radio terapi
maupun terapi hormonal.
b. Terapi Hormonal
Sel hormonal biasa diberikan pada kanker prostat yang sudah
mendapat terapi pembedahan atau radioterapi untuk mencegah timbulnya
rekurensi.
Tujuan dari terapi hormonal adalah menurunkan kadar testosteron atau
untuk menghentikan kerja testosteron. Kanker prostat distimulasi oleh
testosteron dan hormon-hormon pria lainnya (androgen). Berikut ini beberapa
bentuk dari terapi hormonal.
Orchiektomy adalah suatu pembedahan yang bertujuan mengangkat
testis.
Menggunakan Agonis dari LHRH, seperti leuprolide (lupron,
viaduneligart), Gossereline (zoladex) atau Busereline (supra Fact),
untuk menghentikan produksi testosterone.
Anti Androgen yang biasa digunakan adalah flutamide (eulexine)
bisa lutamide (casodex), nilutamide dan asetat siproteron, yang
menghambat kerja testosterone dan DHT pada pasien kanker
prostat.
Obat lain yang digunakan untuk menghambat produksi androgen
pada kelenjar adrenal adalah DHEA yang mengandung ketokenazol
dan aminoglutethimide.
Estrogen dalam bentuk dietil stilbesfron, dapat juga digunakan
untuk menekan pembentukkan testosteron. Namun estrogen jarang
digunakan karena efek sampingnya yang kuat.
c. Terapi Radiasi
Radio terapi untuk kanker prostat terdiri dari terapi External-Beam radiasi dan
Brachy terapi.
Terapi External-Beam Radiasi
Suatu tehnik yang biasa disebut dengan IMRT (Intensity
Modulated Radiation Therapy) dapat digunakan untuk menunjang
External-Beam radiasi yang disesuaikan dengan ukuran tumor,
diberikan dengan dosis tinggi pada prostat dan vesikula seminalis
dengan sedikit merusak kandung kemih dan rectum. Radioterapi ini
biasanya diberikan selama 6-7 minggu, 5 hari dalam seminggu.
Keuntungan dari radio terapi jenis ini adalah mudah pelaksanaannya
dan masih tergolong aman. Kerugiannya adalah memiliki resiko
menimbulkan rekurensi maupun pertumbuhan local, biaya dan resiko
timbulnya komplikasi. Disamping itu efek samping lainnya adalah
impotensi, inkontinensia, cystitis dan prostitis.
Brachy terapi
Brachy terapi untuk kanker prostat menggunakan “Seeds” yaitu
suatu lempeng radioaktif yang kecil yang mengandung bahan
radioaktif (seperti iodin-125 atau Paladium-103) yang ditanamkan
pada tumor dengan bantuan transrectal ultrasound (TRUS).
Keuntungan dari cara radiotherapi ini adalah mudah dalam
penempatannya dan memiliki masa terapi yang singkat. Kerugiannya
memiliki biaya yang besar, menimbulkan impotensi, rekurensi,
inkontinensia (umumnya pada pasien yang telah menjalani reseksi
prostat) dan pergeseran atau migrasi kekandung kemih atau sirkulasi,
contohnya ke paru-paru.
Umumnya radioterapi diberikan apabila kanker sudah sampai
menekan medula spinalis atau kadangkala setelah dilakukan
pembedahan seperti pada kanker yang ditemukan di vesikula
semilunaris, limfonodus, diluar kapsul prostat atau daerah yang
dibiopsi.
d. Operatif
Tehnik operatif untuk penanganan kanker prostat terdiri atas dua cara :
Prostatectomy radikal
Prostatectomy radikal adalah suatu tehnik pembedahan dengan cara
mengangkat seluruh prostat. Cara ini di indikasikan untuk kanker yang
hanya mengenai prostat dan tidak menginvasi kapsula prostat,
limfonodus dan organ lain disekitarnya. Terdapat tiga cara pelaksanaan
radical prostatectomy yaitu radical retropubik prostatectomy dengan
cara melakukan insisi abdomen. Sedangkan yang kedua yaitu radikal
perineal prostatectomy, dengan melakukan prostatectomy yaitu :
prostat yang terkena, vesikula seminalis dan ampula dari vasdeferens
diangkat seluruhnya, sedangkan kandung kemih dibiarkan tetap
berhubungan dengan membrane urethra untuk membiarkan terjadinya
berkemih. Komplikasi dari cara ini antara lain inkontinensia urine dan
impotensi.
Transurethral Resection of the Prostate (TUR-P)
TUR-P merupakan suatu cara pembedahan pada kanker prostat
apabila terjadi sumbatan pada urethra yang disebabkan oleh
pembesaran prostat. TUR-P biasanya dilakukan pada penyakit-
penyakit yang tergolong ringan. Sebagian prostat diangkat
menggunakan suatu alat yang dimasukkan kedalam urethra, alat
tersebut atau yang biasa dikenal cystoscope dimasukkan kedalam penis
dan berfungsi untuk menghilangkan sumbatan pada urethra tersebut.
Tindakan ini biasanya dilakukan pada stadium awal untuk mengangkat
jaringan yang menghambat aliran urine. Pada stadium metastasis
dimana kanker telah menyebar seluruh prostat pengangkatan testis
(Orchiectomy) dilakukan untuk menurunkan kadar testosteron dan
mengendalikan pertumbuhan kanker.
e. Kemoterapi
Kemoterapi adalah cara pengobatan terakhir yang digunakan untuk
mengatasi kanker prostat.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari pemberian terapi baik dengan menggunakan
radiasi maupun pembedahan berupa:
- Gangguan ereksi (impotensi)
- Perdarahan post operasi
- Anastomosi striktur pada perineal prostatectomy
- Urocutaneus fistula (perineal prostatectomy)
- Hernia perineal (Perineal prostatectomy)
Prognosis
Harapan hidup untuk penderita kanker prostat berhubungan dengan stadium penyakit:
Stadium A (stadium T1 ) 87 %, Stadium B (stadium T2 ) 81%, Stadium C (stadium T3)
64%, stadium D (stadium T4 ) 30%.
2.5 Prostatitis
Definisi
Prostatitis adalah peradangan pada kelenjar prostat pada pria; prostatitis adalah
infeksi atau inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat di sebabkan oleh bakteri
maupun non bakteri.
Prostatitis adalah peradangan kelenjar prostat, yang dapat bersifat akut atau
kronis. Prostatitis akut paling sering disebabkan oleh bakteri gram negatif. Prostatitis
kronis biasanya hasil dari invasi bakteri dari uretra.
Epidemiologi
Prostatitis adalah salah satu penyakit yang paling sering di temui di
praktek urologi USA, terhitung hampir 2 juta pasien yang didapatkan tiap
tahunnya, dengan chronic bacterial prostatitis dan chronic pelvic pain sindrom
yang paling sering didiagnosis. Studi autopsy menemukan prevalensi
prostatitis secara histologik sekitar 64-86%. Umur penderita yang paling
sering menderita prostatitis adalah kurang dari 50 tahun
Sekitar 8,2% laki-laki mengalami prostatitis dalam kehidupannya. Dari 4
kategori prostatitis, insidensi yang paling sering terjadi ialah chronic
prostatitis and chronic pelvic pain syndrome, terhitung 90-95% dari seluruh
kasus prostatitis. Sedangkan acute bacterial prostatitis dan chronic bacterial
prostatitis sekitar 2-5% kasus. Insidensi prostatitis miobakterial meningkat di
beberapa negara berkembang (Taslan, 2010).
Klasifikasi
National Institute of Health (NIH) mengklasifikasikan prostatitis menjadi empat
kategori, yaitu :
Etiologi
a. Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis menginfeksi rata-rata pada
pria dewasa muda kurang dari 35 tahun dan memperlihatkan gejala pada
tractus urinarius (Taslan, 2010).
b. Kemacetan prostat
c. Gangguan pada system saraf : pada system saraf bagian prostat mengalami
gangguan atau kemacetan pada saraf sehingga menyebabkan prostatitis.
d. Kekebalan tubuh yang rendah
e. Adanya cedera pada daerah prostat dan sekitarnya
Faktor Resiko
Taslan (2010) mengungkapkan beberapa faktor resiko prostatitis, antara lain :
Patofisiologi
Prostatitis adalah peradangan pada prostat. Dapat bersifat akut maupun kronis
dan sebabnya dapat berupa bakterial ataupun non bakterial, prostatitis bakterial
biasanya disebabkan oleh karena bakteri escherichia coli dan kadang – kadang
enterokok. Infeksi dapat terjadi karena organisme naik keatas melalui uretra. Refluks
dari kandung kemih yang terinfeksi atau penyebaran langsung melalui aliran limfe
atau darah.
Prostatitis bakterial kronik adalah sebab utama dari infeksi saluran kemih yang
sering kambuh pada pria. Gejala – gejalanya adalah disuria, kebelet sering berkemih
dan nokturia. Nyeri dapat terjadi dipunggung bawah daerah perineum.penis, skrotum,
dan suprapubik. Pemeriksaan rektal untuk meraba prostat mungkin tidak
menghasilkan apa – apa. Seringkali orang yang bersangkutan tidak menunjukkan
gejala sampai terjadi bakteriuria yang bermakna. Acapkali terjadi sistisis simtomatik
yang rekuren. Jika diobati dengan antibody, gejala – gejala ini meredakan biakan
kemih menjadi negatif. Tetapi organismenya akan menetap didalam prostat dan
sewaktu waktu akan menginfeksi saluran kemih kembali
Prostatitis non bakterial menimbulkan gejala – gejala yang sama dengan
prostatitis kronik tetapi ada infeksi saluran kemih dan tidak ditemukan organisme
penyebabnya. Kadang – kadang orang yang bersangkutan akan menemukan benang –
benang mukus didalam kemihnya. Tidak ada pengobatan dan tindakan spesifik untuk
keadaan ini.
Menurut Taslan (2010), berikut ini merupakan gejala dan tanda yang
dapat muncul pada penderita prostatitis, setiap kategori mempunyai
karakteristik tertentu :
a. Acute bacterial prostatitis
- demam
- menggigil
- malaise
- atralgia
- myalgia
- sakit pada perineal prostat
- Disuria
- Gejala seperti obstruksi pada tractus urinarius termasuk frekuensi, urgensi,
disuria, nokturia, hesistansi, pancaran lemah dan pengosongan yang
inkomplit
- Nyeri punggung bawah
- Nyeri perut bawah
- Keluarnya cairan secara spontan melalui urethra
Pemeriksaan Penunjang
c. Radiografi
1. Ultrasonography pada trans-abdominal atau scan kandung kemih untuk
mengetahui berapa volume urin yang ada.
2. Ultrasonography transrektal
3. Doppler Ultrasonography
4. Computed Tomography berguna untuk mengevaluasi abses prostatitis
atau suspek neoplasma
5. Sistoskopi
6. Intravena uropgraphy atau voiding cystourethrography
Penatalaksanaan
a. Pengobatan Acute bacterial prostatitis
Pengobatan untuk acute bacterial prostatitis adalah antibiotik-antibiotik
oral, biasanya ciprofloxacin (Cipro) atau tetracycline (Achromycin). Perawatan
di rumah termasuk minum cairan-cairan yang banyak, obat-obat pengontrol
nyeri, dan istirahat. Jika pasiennya sakit secara akut atau mempunyai sistim
imun yang dikonmpromiskan (contoh, sedang mengambil kemoterapi atau obat-
obat penekan imun atau mempunyai HIV/AIDS), perawatan di rumah sakit
untuk antibiotik-antibiotik intravena dan perawatan mungkin diperlukan
(Taslan, 2010 ; Anonim, 2011).
b. Pengobatan Chronic bacterial prostatitis
Pengobatan chronic bacterial prostatitis adalah dengan antibiotik-
antibiotik jangka panjang, sampai delapan minggu, dengan ciprofloxacin
(Cipro, Cipro XR), obat-obat sulfa [contoh, sulfamethoxazole dan
trimethoprim,(Bactrim)], atau erythromycin. Bahkan dengan terapi yang tepat,
tipe prostatitis ini dapat kambuh. Tidak menentu kenapa, mungkin disebabkan
pengosongan kantong kemih yang buruk.
Sejumlah kecil dari urin yang retensi dapat menyebabkan terjadinya
kekambuhan infeksi. Situasi ini dapat disebabkan oleh benign prostatic
hypertrophy (BPH), batu-batu kantong kemih, ata batu-batu prostate (Taslan,
2010).
Komplikasi
Menurut Anonim (2011) komplikasi dari prostatitis adalah sebagai berikut:
Hematospermia
Acid phosphatase levels raised (plasma or serum)
Haematuria
Dysuria
Back pain
Pencegahan
1. Seftel, AD. Benign Prostatic Hyperplasia Evaluation. Int & Clin Pract. 2008
Apr. Diunduh dari: www.emedicine.Medscape
2. Umbas R. Karakteristik dan Penanganan Kanker Prostat di Indonesia ;
Pengamatan Sepuluh Tahun dalam Indonesian Journal of Surgery. Edisi Khusus
Urologi. Vol.33. No.4 2005., IKABI. Jakarta.; 2005. H. 107 – 14.
3. Umbas R, Manuputty D, Sukasaih CL, Ni Made S, Achmad IA, Bowolaksono et
all. Karsinoma Prostat. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Sjamsuhidajat R,
De Jong Wim, Karnadirhardja W, Theddeus OH, Rudiman R. Edisi 3. Jakarta:
EG.; 2010.h. 890-9.
4. Shirley OE. Kanker Prostat. Dalam: Kanker Genitourinarius dalam Keperawatan
Onkologi. Editor M.Eny. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2005.h. 141-4.
5. Thompson Am, Trasher JB, Burnett AL, Hagino DC, Michael S, Anthony V
D’Amico, et all. Guideline for the management of clinically localized prostate
cancer. Available at https://www.auanet.org/education/guidelines/prostate-
cancer.cfm . accssed on January 20 2017.
6. Sagalowsky.Arthur I. Karsinoma Prostat. In : Harrison Principles of Internal
Medicine. Editor Isselbacher. Kurt J..et all., Volume 4. Jakarta: EGC; 2002.h..
2070-85.
7. Theodorescu.Dan. Prostate Cancer : Brachytherapy (Radioactive Seed
Implantation Therapy). Available at http://www.emedicine.com. accessed on
January 27 2017.
8. Ghavamian.Reza. Prostate Cancer : Radical Retropubic Prostatectomy. Available
at http://www.emedicine.com. accessed on January 27 2017.
9. Korman.J.Howard., Prostate Cancer : Radical Perineal Prostatectomy. Available
at http://www.emedicine.com. accessed on January 27 2017.
10. Banowsky HW. Suprapubic Prostatectomy. In Stewart’s Operative Urology.
Editor Novick.AC. Volume one. Second Edition. Departement of Urology The
Cleveland Clinic Foundation: Cleveland Ohio;p. 601– 7.
11. Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8. Jakarta: EGC.