Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Busur kepulauan Indonesia menurut konsep tektonik lempeng terbentuk
akibat adanya interaksi antara tiga lempeng, yaitu Lempeng India-Australia,
Lempeng Pasifik dan Lempeng Eurasia. Dari interaksi ini terjadi deformasi
pada sistem busur kepulauan dan berperan penting dalam tatanan geologi
daerah setempat (Katili, 1973). Seluruh proses deformasi terekam dengan
baik dalam kerak bumi, yang didalamnya termasuk proses geologi
pembentukan struktur geologi di wilayah Jawa. Secara garis besar tektonik
pulau Jawa merupakan bagian dari batas tepi lempeng mikro Sunda bagian
selatan, yang dihasilkan dari interaksi konvergen antara Lempeng India -
Australia dan Lempeng Eurasia dengan Lempeng mikro Sunda, sehingga
tektonik pulau ini sangat kompleks (Satyana dan Armandita, 2004).
Diantara beberapa bagian pulau Jawa, Jawa Tengah merupakan bagian
yang tidak terlalu luas dibanding lainnya. Pada arah utara-selatan, Jawa
Tengah memiliki lebar sekitar 100-200 km. Propinsi Jawa Tengah bagian
barat berbatasan Jawa Barat, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa,
sebelah timur berbatasan dengan Jawa Timur dan bagian selatan berbatasan
dengan Samudera Hindia.
Dari survei lapangan, di Jawa Tengah memiliki fenomena-fenomena
alam yang kompleks dan menarik dilihat dari segi geografis, salah satunya
adalah Bledug Kuwu yang terdapat di Kecamatan Kradenan, yang
memperlihatkan kenampakan geologi yang berupa diapir. Berdasarkan peta
geologi lembar Ngawi oleh Datun, dkk (1996), geologi daerah Bledug Kuwu,
Kradenan teridri dari endapan aluvial, formasi Tambak Kromo (QTpt),
formasi Mundu (Tpm), serta formasi Kalibeng.
Dari kenampakan fenomena tersebut, sehingga banyak wisatawan yang
berkunjung serta peneliti yang tertarik melakukan studi tentang Bledug

1
2

Kuwu. Bledug Kuwu merupakan fenomena gunung lumpur (mud volcano)


yang berada di daerah Kuwu, Kecamatan Kradenan. Selain fenomena yang
muncul di Bledug Kuwu, juga terdapat beberapa gunung lumpur yang
tersebar di daerah Grobogan (Kradenan, Sendang harjo, Sendang rejo), dan
beberapa titik lainnya di pulau Jawa (Gambar 1.1.). Fenomena ini
memperlihatkan kenampakan yang berupa kumpulan antiklin-antiklin,
sehingga membentuk suatu antiklinarium. Antiklinarium ini berawal dari
Rembang sambung menyambung dan berakhir di Surabaya (Van Bemmelen,
1949).

Gambar 1.1. Peta geologi dan distribusi gunung lumpur di Jawa Tengah dan
Jawa Timur (Istadi, dkk, 2009).

Keberadaan gunung lumpur ini tidak lepas dari adanya sesar yang berada
di wilayah ini. Oleh sebab itu, dirasa perlu dilakukan penelitian dengan
metode geofisika tentang keberadaan sesar dan model struktur bawah
permukaan di wilayah manifestasi gunung lumpur ini. Beberapa penelitian di
3

daerah ini telah dilakukan di daerah kuwu dengan menggunakan metode


geofisika seperti metode gravitasi oleh Sardjono (1988). Pada survei ini,
penelitian dilakukan sebagai survei pendahuluan untuk mendapatkan anomali
lokal. Dari survei yang telah dilakukan, penelitian hanya difokuskan pada
satu titik gunung lumpur yaitu Bledug Kuwu. Berdasarkan hal ini, maka kami
melakukan survei penelitian guna melanjutkan dan memperbaiki penelitian
sebelumnya, dengan area yang mencakup beberapa titik gunung lumpur di
daerah Kuwu menggunakan metode gravitasi untuk mengidentifikasi
keberadaan sesar dengan melakukan pemodelan berdasarkan anomali medan
gravitasi lokal.
Metode Gravitasi merupakan salah satu metode geofisika yang
digunakan untuk menggambarkan struktur geologi bawah permukaan yang
didasarkan atas adanya perbedaan densitas batuan setempat yang
menyebabkan variasi medan gravitasi bumi secara lateral.

1.2. Perumusan Masalah


Dari uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana memodelkan anomali medan Gravitasi lokal untuk memperoleh
gambaran struktur bawah permukaan berupa sesar di daerah Bledug Kuwu
dan sekitarnya.

1.3. Batasan Masalah


Untuk mengidentifikasi keberadaan sesar, maka penelitian ini akan
dibatasi pada pemodelan dua dimensi (2D). Data yang digunakan merupakan
data lapangan dengan luas daerah survei 8 x 8 km2. Oleh karena itu,
interpretasi anomali medan gravitasi lokal dengan pemodelan 2D diharapkan
dapat memberikan informasi keberadaan sesar di daerah penelitian.

1.4. Tujuan Penelitian


Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Memetakan anomali medan gravitasi lokal di daerah Bledug Kuwu,
Groogan, Jawa Tengah.
4

2. Memodelkan anomali medan gravitasi lokal secara dua dimensi (2D),


sehingga dapat menginterpretasikan keberadaan sesar di daerah penelitian.

1.5. Manfaat Penelitian


Berdasarkan gambaran di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai struktur geologi yang mengontrol
keberadaan Bledug Kuwu.

1.6. Hipotesis
Dari analisis data Gravitasi hasil pengukuran di daerah penelitian,
memperkirakan bahwa Gunung lumpur di daerah ini disebabkan oleh
adanya struktur sesar normal.

1.7. Deskripsi Daerah penelitian


Daerah penelitian meliputi kawasan gunung lumpur Bledug Kuwu dan
sekitarnya. Daerah ini secara administrasi terletak di Kecamatan Kradenan,
Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Kondisi topografi daerah
penelitian terdiri dari daerah dataran, berada pada ketinggian sampai dengan
50 mdpl, dengan kelerengan 0-8%, daerah perbukitan, berada pada
ketinggian antara 50-100 mdpl, dengan kelerengan 8-15%, daerah dataran
tinggi,berada pada ketinggian antara 100-500 mdpl, dengan kelerengan
>15% (Indriana dkk, 2007).

Gambar 1.2. Kenampakan letupan gunung lumpur di daerah Kuwu


5

Gunung lumpur di daerah ini terdapat di beberapa tempat dengan


morfologi dan letupan yang berbeda-beda (Gambar 1.2.).
Kontur topografi dan sebaran gunung lumpur daerah penelitian dapat
dilihat pada gambar 1.3.

Gambar 1.3. Kontur topografi dan sebaran gunung lumpur daerah penelitian

1.8. Waktu Pelaksanaan dan Lokasi Daerah Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada tanggal 30 Maret 2014 – 07 April 2014, di
daerah Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Secara geografis terletak pada koordinat 1110 06' 25'' sampai dengan 1110 07'
45'' Bujur Timur dan 070 06' 10'' sampai 070 07' 40'' Lintang Selatan
(Gambar 1.4.)
6

Daerah Penelitian

Gambar 1.4. Peta lokasi daerah penelitian


(Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia Bakosurtanal Kabupaten Grobogan
skala 1:25000 edisi 1-2000)

1.9. Tinjauan Geologi Daerah Penelitian


1.9.1. Geomorfologi
Berdasarkan peta geologi lembar Ngawi oleh Datun, dkk (1996),
keadaan geologi regional daerah penelitian menunjukkan bahwa mulai dari
semarang ke arah timur hingga daerah Kuwu merupakan endapan aluvial
yang termasuk zona Randublatang. Daerah ini mempunyai kenampakkan
morfologi datar. Di bagian utara terdapat perbukitan bergelombang lemah
dan sedang sedangkan di bagian selatan dibatasi oleh bagian darat formasi
Kendeng. Di sebelah timur terdapat jalur patahan yang berarah timur barat,
yang merupakan patahan normal. Di sebelah selatan terdapat jalur patahan
yang berarah barat-timur yang merupakan patahan naik, tegak lurus patahan
tersebut terdapat patahan normal.
7

PETA GEOLOGI

Legenda :

Struktur Patahan
Endapan Aluvium
Formasi Tambakromo
Formasi Selorejo
Formasi Mundu
Formasi Ledok

Gambar 1.5. Peta Geologi daerah penelitian (Datun, dkk, 1996)

1.9.2. Stratigrafi Regional


Berdasarkan peta geologi lembar Ngawi oleh Datun, dkk (1996),
tatanan stratigrafi terdapat di daerah Grobogan dan sekitarnya terdiri dari
(Gambar 1.5.) :
1. Endapan aluvium
Endapan aluvium terdiri dari lempung, pasir dan kerikil. Terendapakan
sepanjang dataran banjir kali Lusi, kali Madiun, kali Wulung dan
Bengawan Solo.
2. Endapan Undak
Endapan Undak terdiri dari batu pasir ukuran sedang, kasar, mudah
lepas, berstruktur silang siur dan konglomerat berkomponen andesit,
tuf, opal, rijang, kaldeson, batu gamping dengan tebal diperkirakan 4 m.
3. Endapan Lawu
Endapan Lawu terdiri dari batu pasir gunungapi, batu lempung-lanau
gunungapi, breksi gunung dan lava. Satuan ini meindih tak selaras
formasi yang lebih tua di lajur Kendeng bagian selatan.
8

4. Formasi Notopuro
Formasi Notopuro terdiri atas breksi lahar, batu pasir gunungapi,
konglomerat dan batu lanau gunungapi. Lingkungan pengendapan darat
dengan tebal diperkirakan 30-40 m. Satuan ini berumur plistosen akhir
dan menindih selaras formasi kabuh.
5. Formasi Kabuh
Formasi Kabuh terdiri atas batu pasir kelabu dan terang, berstruktur
silangsiur. Dibeberapa tempat bersifat konglomerat dan berbentuk
lensa, tebal diperkirakan 45-200 m. Satuan formasi ini berumur
plistosen tengah dan mengandung fosil pelecypoda, gastropoda dan
kepingan vertebrata serta menindih selaras formasi Pucangan.
6. Formasi Pucangan
Formasi Pucangan terdiri atas breksi, batu pasir gunungapi dan batu
lempung. Bagian bawah betu lempung berlapis tipis dan di bagian atas
terdapat sedimen facies gunungapi yang terdiri dari breksi dan batu
pasir gunungapi. Satuan formasi ini mengandung fosil Pithecantropus
mojokertensis dan umurnya plistosen awal.
7. Formasi Tambakromo
Formasi Tambakromo terdiri dari batu lempung, napal, dan batu
gamping. Batu lempung, kelabu gelap, lunak, tidak berlapis, di
beberapa tempat merupakan pasiran.
8. Formasi Selorejo
Formasi Selorejo yaitu terdiri dari batu gamping putih kecoklatan,
berlapis (25-60 cm), di beberpa tempat silangsiur dan batu lempung
kelabu terang, pasiran, gampingan. Formasi ini merupakan lingkungan
pengendapan neritik dangkal dan satuan menindih selaras
FormasiMundu dan tebalnya diperkirakan 200 m.
9. Formasi Mundu
Formasi Mundu yaitu terdiri dari napal, berwarna kelabu-kuning
kecoklatan, tidak begitu keras,tidak berlapis, dibeberapa tempat pasiran.
Formasi ini merupakan lingkungan pengendapan neritik dalam dan
9

satuan dengan ketebalan 100-250 m serta menindih selaras formasi


Ledok.
10. Anggota Klitik, Formasi Kalibeng
Formasi ini terdiri dari batu gamping putih kekuning-coklatan, berlapis
20-60 cm. Dibeberapa tempat mengandung kepingan koral dan napal
putih kekuningan sebagai sisipan batu gamping dengan tebal 10-30 cm.
Kandungan fosil foraminifera, bentos dan plangton menunjukkan umur
awal pliosen dengan lingkungan pengendapan neritik dangkal. Satuan
ini memiliki ketebalan 40-150 m menjemari dengan bagian atas formasi
Kalibeng.
11. Formasi Kalibeng
Formasi ini terdiri atas napal, pejal dan sisipan batupasir (20-50 cm),
dan tufan-gampingan. Umur satuan ini miosen akhir-pliosen awal.
Lingkungan pengendapan neritik dalam-batial atas. Satuan ini
mempunyai ketebalan 5000 m dan menindih selaras formasi Kerek.
12. Anggota Banyak, Formasi Kalibeng
Formasi ini terdiri atas breksi andesit, kepingan andesit dan sedikit tuf.
Lingkungan pengendapan alur bawah laut dengan ketebalan 8-25 m.
13. Formasi Ledok
Formasi Ledok yaitu terdiri dari batu gamping dan batu gamping
glokonitan. Formasi ini merupakan lingkungan pengendapan neritik
dangkal, tebal satuan diperkirakan 100-525 cm dan satuan menindih
selaras formasi Wonocolo.
14. Formasi Kerek
Formasi Kerek terdiri dari napal, batu lempung, batu gamping dan
batupasir. Umur satuan ini miosen akhir bagian tengah. Lingkungan
pengendapan neritik dalam dengan tebal 825 m, tertindih selaras dengan
formasi Kalibeng.
15. Formasi Wonocolo
Formasi Wonocolo yaitu terdiri dari napal dan batu gamping. Bagian
bawah batu gamping tipis dan bagian atas napal dengan sisipan
10

batugamping. Formasi ini merupakan lingkungan pengendapan neritik


dangkal, tebal satuan 100-300 m dan menindih tak selaras formasi
Ngrayong.
16. Formasi Madura
Formasi Madura terdiri dari batu gamping koral dan batu gamping
kepingan. Umur satuan formasi ini akhir miosen tengah-awal miosen
akhir dengan lingkungan pengendapan neritik dangkal. Satuan ini
menjemari dengan formasi Wonocolo.
17. Formasi Ngrayong
Formasi Ngrayong yaitu terdiri dari batu lempung pasiran, batu pasir
kuarsa, napal dan batugamping. Formasi ini merupakan lingkungan
pengendapan neritik dangkal, ketebalan satuan berkisar 100-300 m dan
tertindih tak selaras oleh formasi Wonocolo.
18. Formasi Tawun
Formasi Tawun terdiri dari batu lempung dan batu gamping dengan
sisipan batu pasir, batu lanau dan kalkarenit. Umur formasi ini miosen
awal dengan lingkungan pengendapan laut dalam. Satuan ini ditindih
selaras oleh formasi Ngrayong.
11

KETERANGAN

HOLOSEN
Ketidakselarasan HOLOCONE
Unconformity
PLISTOSEN
QTpt PLEISTOCENE

Tps PLIOSEN
PLIOCENE
Tpm
AKHIR
Tmpl LATE
Tmm Tmw
TENGAH
MIDDLE

Tmn AWAL
EARLY
Tmt
OLIGOSEN
OLIGOCENE

Gambar 1.6. Tatanan stratigrafi daerah Grobogan dan sekitarnya


berdasarkan peta Geologi lembar Ngawi, Jawa (Datun, dkk,
1996)

1.9.3. Struktur Geologi Regional


Struktur geologi yang terdapat di lembar Ngawi terdiri dari antiklin,
sinklin dan sesar. Di lajur Kendeng umumnya struktur lipatan mempunyai
arah pola umum hampir timur-barat dengan bentuk lipatan yang tak
setangkup, dan sayap utara umumnya relatif lebih curam (300-650) daripada
sayap selatan (100-300), sedangkan struktur sesar dijumpai dalam jumlah
cukup banyak dan dalam skala besar. Sebagian besar berupa sesar geser,
sesar naik, dan sesar turun. Sesar geser mempunyai pola umum timur laut -
barat daya dan barat laut - tenggara, memotong sumbu lipatan berkisar 200-
400. Sesar turun dan naik mempunyai pola umum hampir timur-barat sesuai
dengan pola lipatan di lajur Kendeng.
12

Batuan yang terlipat dan tersesarkan cukup kuat yaitu batuan formasi
Kerek dan formasi Kalibeng, sedangkan formasi Pucangan, formasi Kabuh
dan formasi Notopuro memperlihatkan intensitas perlipatan yang lemah,
setelah pengendapan formasi Tuban pada miosen tengah bagian bawah.
Zona Rembang bagian selatan mengalami pengangkatan lemah dari
organesa intra miosen. Pada akhir miosen tengah terjadi gunung laut
membentuk formasi Wonocolo dan formasi Madura yang berbeda fasies dan
diikuti oleh pembentukan formasi Ledok dan formasi Mundu. Pada saat
yang hampir bersamaan di lajur Kendeng terendapkan formasi Kerek dan
formasi Kalibeng sampai awal pliosen bawah. Kemudian lajur ini
mengalami pengangkatan (pensesaran dan perlipatan) oleh suatu organesa
setelah awal pliosen bawah.
Pengangkatan tersebut kelihatannya tidak merata di seluruh lembar
Ngawi, karena di bagian utara (lajur Rembang) sedimentasi laut masih tetap
berlangsung, walaupun menunjukkan adanya proses susut laut (sedimentasi
formasi Mundu bagian atas, formasi Selorejo dan formasi Tambakromo)
sampai awal plistosen. Pada pertengahan plistosen bawah, lajur Rembang
selatan mengalami pengangkatan (pensesaran dan perlipatan) oleh adanya
organesa kuarter. Pada saat tersebut kelihatannya lajur Kendeng pada
bagian-bagian yang nisbi rendah, terisi oleh endapan lahar/bahan rombakan
hasil kegiatan gunungapi di luar lembar Ngawi yang menghasilkan batuan
formasi Pucangan, Kabuh dan Notopuro. Pengangkatan yang lemah di lajur
Kendeng masih tetap berlangsung hingga pertengahan kuarter dengan
ditandai adanya endapan Undak dari Bengawan Solo.

Anda mungkin juga menyukai