Anda di halaman 1dari 28

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Januari 2018


Universitas Halu oleo

HENOCH SCHONLEIN PURPURA

Oleh :

Elda Citra Sari, S.Ked

( K1 A1 13 110 )

Pembimbing

dr. Hasniah Bombang,M, Sc, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2018
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Silfa Yuanita
Tanggal Lahir : 11-07-2011
Umur : 6 tahun 5 bulan
Agama : Islam
Alamat : Desa Palingi Barat Kec. Wawinii Utara
Suku : Wawoni
BBL : 3,1 Kg
PBL : Lupa
No. RM : 51 70 29
Tanggal masuk: 9 Desember 2017
Ruangan : Lambu Barakati Anak K20
Cara Masuk : IGD
Nama Ayah : Tn. Irpan
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : PNS
Nama Ibu : Ny. Ani
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : IRT
B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien
Keluhan utama : Nyeri perut
An. S, perempuan, 6 tahun 5 bulan pasien rujukan RS Aliyah II dengan
keluhan nyeri perut, nyeri dirasakan pada seluruh perut, sejak 10 hari yang lalu
dan dirasakan hilang timbul. Pasien juga mengeluh demam sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit dan dirasakan terus-menerus. Demam tidak disertai kejang.
Batuk (-), pilek (-) dan sesak (-). Pasien juga mengeluh mual dan muntah
sebanyak 5 kali 1 hari sebelum masuk RS, muntah berisi makanan dan darah
segar. Pasien juga mengeluh BAB berdarah sejak 8 hari sebelum masuk RS,
BAB berisi darah segar, sedikit-sedikit dan disertai lendir. BAK kesan biasa.
Riwayat keluhan yang sama (-)
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-)
Riwayat pengobatan dengan paracetamol
Riwayat kehamilan : ANC rutin dan tidak ada penyakit yang diderita ibu selama
hamil.
Riwayat kelahiran : cukup bulan, spontan, di RS dan ditolong dokter, langsung
menangis. Kebiruan (-)
Riwayat imunisasi lengkap
Riwayat tumbuh kembang kesan normal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit berat, sadar, gizi kurang
Antropometri : BB : 15 kg │ TB :115 cm │LK : 49 cm │LD :54 cm │LP :
53 cm │LLA : 16 cm
Tanda Vital
TekananDarah :- Pernapasan : 38x/menit
Nadi : 120x/menit Suhu : 37,0oC
Pucat : (-)
Ikterus : (-)
Sianosis : (-)
Turgor : Baik
Tonus : Baik
Busung : (+)
Kepala : Normocephal
Ubun-ubun Besar : menutup (+) , membonjol (-), cekung (-)
Muka : Simetris kanan dan kiri, pucat (-), ikterik (-)
Rambut : Berwarna hitam, tidak mudah tercabut
Telinga : Otorhea (-), perdarahan (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-)
Hidung : Rinorhea (+), epistaksis (-) pernapasan cuping hidung (-)
Bibir : Kering (-), pucat (-),
Lidah : Kotor (-), tremor (-)
Mulut : Stomatitis (-)
Tenggorokan : Hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1, Hiperemis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-) , kaku kuduk(-), massa (-)
Paru :
PP : Bentuk dada barrel chest (-) Simetris kiri dan kanan, retraksi
interkostal (-)
PR : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), krepitasi (-)
PK : Sonor kedua lapangan paru
Batas Paru belakang kiri V Th XI
Batas Paru belakang kanan V Th X
Batas Paru hepar ICS VI midclavicularis dextra
PD : Bronkovesikular, rhonki -/-, wheezing-/-
Jantung
PP : Iktus kordis tidak tampak
PR : Iktus kordis tidak teraba
PK : Batas jantung kiri ICS V linea midclavicula sinistra
Batas jantung kananICS IV linea parasternal dextra
PD : Bunyi Jantung I dan II murni regular, murmur (-)
Abdomen
PP : Cembung, ikut gerak nafas
PD : Peristaltik (+), kesan normal
PK : Timpani (+) kesan normal
PR : Massa tumor (-), distensi (-), nyeri tekan (+)
Limpa : Tidak ada pembesaran
Hati : Tidak ada pembesaran
Kelenjar Limfe : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anggota Gerak : Tidak ada kelainan
Kulit : Tidak ada kelainan
Tasbeh : Tidakada
Col. Vertebralis : Skoliosis (-)
Refleks Patologis : Babinski (-/-)
Kaku kuduk : (-)
Ukur lingkar lengan atas: 16 cm
Ukur lingkar kepala: 49 cm
Ukur lingkar dada : 54 cm
Ukur lingkar perut: 53 cm

D. RESUME

An. S, perempuan, 6 tahun 5 bulan, nyeri pada seluruh perut, 10 hari,


hilang timbul. Demam 1 hari, terus-menerus. Kejang (-), batuk (-), pilek (-),
sesak (-). Muntah 5 kali 1 hari sebelum masuk RS, muntah berisi makanan
dan darah segar. BAB berdarah, 8 hari sebelum masuk RS, BAB berisi darah
segar, sedikit-sedikit dan disertai lendir. BAK kesan biasa.
Hasil pemeriksaan fisis sakit berat, sadar, status gizi kurang. Tekanan
darah: -, nadi 120 x/menit, pernapasan 38x/menit, suhu 37oC. Nyeri tekan
abdomen. Pada permeriksaan kepala, leher, jantung, dan paru tidak
didapatkan kelainan.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG ABDOMEN, 4 DESEMBER 2017
Kesan: Ascites minimal
DARAH RUTIN, 2 DESEMBER 2017
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 16.2 x 103/uL 4.00 – 10.0
HGB 11.3 g/Dl 12.0 – 16.00
MCV 86.9 fL 80.0 – 97.0
MCH 24.4 pg 26.5 – 33.5
MCHC 28.1 g/dL 31.5 – 35.0
PLT 393 x 103/uL 52.0 – 75.0

DARAH RUTIN, 6 DESEMBER 2017


Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 22.7 x 103/uL 4.00 – 10.0
HGB 9.3 g/Dl 12.0 – 16.00
MCV 87 fL 80.0 – 97.0
MCH 24 pg 26.5 – 33.5
MCHC 28 g/dL 31.5 – 35.0
NEUT 346 x 103/uL 52.0 – 75.0

DARAH RUTIN, 9 DESEMBER 2017


Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 9.89 x 103/uL 4.00 – 10.0
RBC 6.01 x 106/uL 4.00 – 6.00
HGB 12.7 g/Dl 12.0 – 16.00
MCV 65 fL 80.0 – 97.0
MCH 21 pg 26.5 – 33.5
MCHC 32 g/dL 31.5 – 35.0
NEUT 48 x 103/uL 52.0 – 75.0

URIN LENGKAP 12 DESEMBER 2017


PARAMETER NILAI RUJUKAN
A. Makro
Warna Kuning Kuning muda
Jernih/Keruh Jernih Jernih
B. Kimia
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
BJ 1,015 1,003- 1.030
Blood Trace Negatif
pH 7.0 6.0
Protein ++ Negatif
Urobilin 0,2 Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Trace Negatif
C. Sedimen
Leukosit + 0-2
Eritrosit 3-5 0-2
Epitel sel 1-2 0-2
Amorf ++

F. DIAGNOSIS KERJA
Henoch Schonlein Purpura
Glomerulonefritis akut

G. PENATALAKSAAN
IVFD D5%: ½ NS 10 tetes per menit
Buscopan ½ ampul/iv (ekstra)
Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
Ranitidin ½ ampul/12 j/iv
Paracetamol 140mg/6 j/iv
Prednisolone 2x2 mg

H. FOLLOW UP

Tanggal
10/12/2017 S: Nyeri perut (+), P : - IVFD D5% ½ NS 10 TPM Mikro
demam (+) -Buscopan ½ ampul/iv (ekstra)
O: demam (+) -Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
O: artralgia (+), nyeri -Ranitidin ½ ampul/12 j/iv
tekan abdomen, -Paracetamol 140mg/6 j/iv
epigastrium. Peteki -Prednisolone 2x2 mg
dan ekemosis pada
ekstremitas bawah.
TD; (-) BB :
15 Kg
N : 144x/m
P : 36x/m
S : 38°C
A : GNA+HSP
S: Nyeri perut (+), P : - IVFD KAEN 3B 10 TPM Mikro
11/12/2017 mual (+), muntah (+), -Buscopan ½ ampul/iv (ekstra)
demam (+) -Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
O: nyeri tekan -Ranitidin ½ ampul/12 j/iv
abdomen, epigastrium. -Paracetamol 140mg/6 j/iv
Peteki dan ekemosis -Prednisolone 2x2 mg
pada ekstremitas -Zinc 1x1 tab
bawah. TD; (-)
BB : 16 Kg
N : 124x/m
P : 44x/m
S : 36.7°C
A : GNA+HSP
12/12/2017 S: Nyeri perut (+), P : - IVFD D5% ½ NS 10 TPM Mikro
O: nyeri tekan -Buscopan 2x½ tab
abdomen, epigastrium. -Cefixime 2x75 mg
Peteki dan ekemosis -Prednisolone 2x2 mg
pada ekstremitas -Zinc 1x1 tab
bawah. TD; 90/60
mmHg BB : 16
Kg
N : 100x/m
P : 36x/m
S : 36.4°C
A : GNA+HSP
13/12/2017 S: Nyeri perut (+), P : - IVFD D5% ½ NS 10 TPM Mikro
O: nyeri tekan -Buscopan 2x½ tab
abdomen, epigastrium. -Cefixime 2x75 mg
Peteki dan ekemosis -Prednisolone 2x2 mg
pada ekstremitas -Zinc 1x1 tab
bawah. TD; 90/60
mmHg BB : 16
Kg
N : 100x/m
P : 36x/m
S : 36.4°C
A : GNA+HSP
BAB II
ANALISIS KASUS

A. DEFINISI
Henoch–Schönlein purpura, disebut juga sebagai Allergic purpura, atau
anaphylactoid purpura atau vascular purpura , adalah penyakit sistemik berupa
vaskulitis, dimana terjadi peradangan pada pembuluh darah, yang
dikarakteristikkan oleh deposit kompleks imun, antibody Ig A, pada terutama
kulit dan ginjal.1
Sementara pada Nelson Text book of Pediatrics disebutkan bahwa HSP
adalah vaskulitis pembuluh darah kecil yang memiliki kekhasan, adanya purpura,
arthritis, nyeri abdomen, dan glomerulonefritis, sehingga dapat berupa manifestasi
nya HSP nefritis dan Ig A nefropati.2

B. EPIDEMIOLOGI
Insidens HSP berkisar 13,5-18 per 100.000 anak. Penyakit ini dapat terjadi
pada usia 6 bulan hingga dewasa, namun 50% kasus terjadi pada anak berusia
kurang dari 5 tahun, 75% pada usia di bawah 10 tahun, dan banyak terjadi pada
laki-laki. Kelainan HSP seringkali berkaitan dengan infeksi saluran napas
sebelumnya, terutama infeksi streptokokus.3
Morbiditas dan mortalitas jangka panjang HSP seringkali berkaitan
dengan keterlibatan ginjal. Pada anak dengan gagal ginjal terminal, 5%-15%
diantaranya disebabkan oleh HSP.9 Insidens kelainan ginjal pada PHS berkisar
10%-60%, 80% diantaranya terjadi dalam 4 minggu pertama. Hematuria dengan
atau tanpa proteinuria merupakan manifestasi ginjal tersering pada PHS. Sindrom
nefritik akut dapat berkaitan dengan insufisiensi ginjal atau sindrom nefrotik.3
Pada kasus, pasien berjenis kelamin perempuan berusia 6 tahun 5 bulan,
dimana pada kepustakaan telah disebutkan bahwa 75% kasus HSP ditemukan
pada usia di bawah 10 tahun dan banyak terjadi pada laki-laki.

C. ETIOLOGI
Sampai sekarang penyebab penyakit ini belum diketahui. Diduga beberapa
faktor memegang peranan, antara lain faktor genetik, infeksi traktus respiratorius
bagian atas, makanan, imunisasi (vaksin varisela, rubella, rubeola, hepatitis A dan
B) dan obat-obatan (ampisilin, eritromisin, kina). Infeksi bisa berasal dari bakteri
(spesies Haemophilus, Mycoplasma, Parainfluenza, Legionella, Yersinia,
Salmonella, dan Shigella) ataupun virus (adenovirus, varisela). Vaskulitis juga
dapat berkembang setelah terapi antireumatik, termasuk penggunaan metrotreksat
dan agen anti TNF (Tumor Necrosis Factor). Namun, IgA jelas mempunyai
peranan penting, ditandai dengan peningkatan kosentrasi IgA serum, kompleks
imun dan deposit IgA di dinding pembuluh darah dan mesangium renal.4
Pada kasus, etiologi pasti HSP yang diderita pasien masih belum
diketahui. Namun, berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa penyebab HSP
salah satunya diduga akibat adanya infeksi bakteri salmonella, dimana pada
pemeriksaan widal test hasil positif didapatkan pada Antigen O,AH,BH dan H
Salmonella Typhi.

D. PATOFISIOLOGI

Dari biopsi lesi pada kulit atau ginjal, diketahui adanya deposit kompleks
imun yang mengandung IgA dan adanya aktivasi komplemen jalur alternatif.
Deposit kompleks imun dan aktivasi komplemen mengakibatkan aktivasi
mediator inflamasi termasuk prostaglandin vaskular, sehingga terjadi inflamasi
pada pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi dan abdomen dan terjadi purpura
di kulit, nefritis, artritis dan perdarahan gastrointerstinalis. Secara histologis
terlihat berupa leukositoklastik. Pada kelainan ini terdapat infiltrasi leukosit
polimorfonuklear di pembuluh darah yang menyebabkan nekroris.4
Berbagai macam patogen infeksi dilaporkan dapat menjadi penyebab
terjadinya LcV pada HSP.5 22% kasus vaskulitis pada kulit biasanya berhubungan
dengan suatu infeksi, dimana organisme apapun memungkinkan terjadinya
kondisi ini.6 Sebanyak 50% penderita HSP biasanya didahului oleh suatu infeksi
saluran pernapasan.7 Group A beta-hemolytic streptococcus (GAS) ditemukan
pada 20-50% penderita dengan HSP akut melalui tes serologi maupun kultur
bakteri. Baru-baru ini, reseptor plasmin yang berhubungan dengan nefritis
(nephritis-associated plasmin reseptor/NAPlr) yang merupakan antigen GAS
ditemukan pada mesangium glomerular pada anak dengan HSP nefritis (HSN).
Penemuan ini menunjukkan bahwa GAS memiliki peran pada awal terjadinya
maupun berkembangnya HSN, meskipun demikian pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya peningkatan anti-streptolisin-O-titre
(ASOT) pada penderita HSP. ASOT yang meningkat pada serum banyak
dijumpai pada HSN dibandingkan HSP tanpa nefritis.7,8,9,10 Terdapat empat
hipotesa mengenai mekanisme patogenik yang dapat terjadi melalui infeksi.
Hipotesis pertama adalah molecular mimicry, sebagai contoh: mikroba dan
pembuluh darah kecil pejamu memiliki epitop yang sama. Bersamaan dengan
invasi patogen tersebut, respons imunitas seluler dan humoral akan teraktivasi dan
terjadi reaksi silang dengan pembuluh darah. Hipotesis kedua adalah patogen
dapat memulai proses inflamasi yang dapat menimbulkan kerusakan sel dan
jaringan. Proses ini akan menimbulkan suatu autoantigen yang biasanya tidak
terpapar oleh suatu sistem imun. Hipotesis ketiga adalah bila mikroba yang sangat
invasif secara langsung berinteraksi dengan protein pembuluh darah, maka akan
terbentuk suatu antigen yang baru (neo-antigen) yang kemudian akan
mengaktivasi suatu reaksi imun. Dan yang keempat yaitu hipotesis superantigen,
dimana pada beberapa bakteri seperti Streptococcus dan virus dapat menjadi suatu
superantigen. Tanpa adanya suatu proses dan presentasi suatu sel penyaji antigen,
suatu superantigen akan langsung berinteraksi dan mengaktifkan sel-T. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa tidak ada mikroba khusus yang menyebabkan
terjadinya HSP.5,11

Gambar 1. Imunopatogenesis HSP akibat infeksi.11

Seperti dijelaskan diatas, HSP merupakan suatu penyakit inflamasi


sistemik. Limfokin mempunyai peranan penting pada terjadinya lesi vaskular.5
Sitokin pro-inflamasi non spesifik seperti tumor necrosis alpha (TNF-α),
interleukin (IL)-6 dan IL-1β biasanya didapatkan lebih tinggi pada anak-anak
dengan HSP fase akut.5,12 Baik TNF-α maupun IL-1 dapat menstimulasi
endotelium untuk mengaktifkan jalur koagulasi instrinsik dan ekstrinsik serta
mengurangi aktivitas fibrinolitik. Hal inilah yang dapat menerangkan adanya
trombosis yang terjadi pada vaskulitis.12 Besbas dan kawan-kawan dalam
penelitiannya mengungkapkanbahwa sitokin-sitokin pro inflamasi diatas dapat
menstimulasi pelepasan kemokin dari sel endotel, dengan demikian sitokin
tersebut dapat menarik sel-sel inflamasi, menginduksi ekspresi sel molekul adhesi
pada sel endotel serta memperantarai perlekatan molekul tersebut pada dinding
pembuluh darah. Yang dan kawan-kawan dalam penelitiannya menyimpulkan
bahwa beberapa faktor tertentu pada serum anak-anak dengan HSP yang aktif
dapat berinteraksi dengan sel endotel dan sel endotel yang teraktivasi kemudian
dapat menghasilkan beberapa kemotraktan yang potent, seperti IL-8 dan
meningkatkan ekspresi molekul adhesi.5
LcV yang terjadi pada HSP biasanya muncul sebagai suatu makula
eritematosa atau suatu purpura yang palpabel dengan predileksi pada tempat
tertentu pada bagian tubuh, khususnya pada bagian bawah tungkai. Lesi yang
dapat timbul meliputi vesikel/bula haemoragik, nodul, ulkus berkrusta, livedo
retikularis dan pustul atau lesi anular (kondisi yang HSP merupakan penyakit
yang diperantarai oleh kompleks imun).13 Terjadinya suatu reaksi kompleks imun
pada HSP ini kurang lebih sama dengan reaksi kompleks imun yang terjadi pada
reaksi Arthus, suatu reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coombs and Gell.
Suatu kompleks imun yang menyebabkan penyakit dibentuk oleh ikatan antibodi
dengan self antigen maupun antigen asing. Dengan demikian, penyakit yang
diperantarai kompleks imun cenderung bermanifestasi sistemik.14 Kompleks
antigen-antibodi diproduksi selama terjadi respons imun normal, tetapi keadaan
ini dapat menimbulkan suatu penyakit bila kompleks imun yang dihasilkan dalam
jumlah banyak dan tidak dibebaskan/dibersihkan secara efisien yang pada
akhirnya akan terdeposit di jaringan. Deposit kompleks imun pada dinding
pembuluh darah menyebabkan inflamasi pembuluh darah dan kerusakkan
jaringan di sekitarnya yang diperantarai oleh komplemen dan reseptor Fc.14 Pada
HSP, kompleks IgA terbentuk dan terdeposit di kulit, saluran pencernaan dan
glomeruli, menyebabkan respons inflamasi lokal. LcV pada akhirnya timbul
disertai dengan nekrosis pada pembuluh darah kecil. Normalnya IgA ditemukan
di serum dan di cairan mukosa.5,13Sebagai contoh, yang terjadi pada HSP yaitu
kompleks yang terbentuk adalah IgA1 yang berbentuk polimerik. IgA1 yang
abnormal ini dikenal dengan Gal-d IgA1 (galactose deficiency of the O-linked
glycan pada hingeregion IgA1), yang lebih banyak ditemukan pada HSP
nefritis.13 Glikosilasi pada hinge region IgA1 yang tidak normal ini akan
menyebabkan defisiensi galaktosa dan atau asam sialik, dimana molekul-molekul
ini menyebabkan agregasi IgA dan dengan demikian terjadi kompleks
makromolekul.15
Bermacam-macam autoantibodi IgA dapat berhubungan dengan HSP.
ANCA terdiri dari kelompok antibodi terhadap bagian sitoplasma netrofil,
khususnya proteinase-3 (PR3) dan mieloperoksidase (MPO). Bagaimanapun juga
peran ANCA pada HSP masih kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan
klas IgA ANCA ditemukan pada beberapa persen penderita HSP, dimana
penelitian lain tidak dapat menunjukkan IgA ANCA pada penderita HSP.
Autoantibodi lain meliputi IgA rheumatoid factor dan IgA anticardiolipin
antibodies (aCL) yang juga dapat ditemukan pada beberapa penderita HSP akut.5
LcV yang terjadi pada HSP biasanya muncul sebagai suatu makula eritematosa
atau suatu purpura yang palpabel dengan predileksi pada tempat tertentu pada
bagian tubuh, khususnya pada bagian bawah tungkai. Lesi yang dapat timbul
meliputi vesikel/bula haemoragik, nodul, ulkus berkrusta, livedo retikularis dan
pustul atau lesi anular (kondisi yang jarang). Manifestasi ekstrakutan terjadi pada
20% individu meliputi artralgia, miositis, demam ringan dan malaise. Lebih
jarang lagi, juga dapat terjadi gangguan ginjal, gastrointestinal, paru dan
neurologi. Beratnya perubahan histopatologi tidak dapat memprediksikan adanya
keterlibatan ekstrakutan.16

E. MANIFESTASI KLINIS

Ruam di kulit menjadi penanda awal pasien dengan HSP. Keterlibatan


organ lain dapat muncul bersamaan dengan ruam, atau bermanifestasi setelah
beberapa hari atau beberapa minggu. Banyak kasus HSP didahului infeksi saluran
pernafasan akut, oleh karena itu HSP dapat didahului beberapa gejala sistemik
seperti demam dan malaise. Sebuah studi menyebutkan nyeri perut atau arthritis
muncul setelah 1-14 hari ruam muncul. Namun, penelitian Calvino et al
menyatakan bahwa 30-43% mengalami gejala pada sendi dan perut 1-14 hari
sebelum ruam muncul. Hal ini dapat mengaburkan diagnosis sehingga terjadi
tindakan-tindakan yang tidak perlu seperti laparotomy atu orchidectomy pada
pasien yang mengalami nyeri perut atau nyeri skrotal.
Gejala-gejala ekstrarenal dilaporkan merupakan self-limited disease yang
akan membaik dalam 2 minggu pada 83% pasien, dan hampir seluruh pasien
membaik dalam 6-8 minggu. Kekambuhan seringkali terjadi, meskipun biasanya
lebih ringan dan durasinya lebih singkat dari kejadian primernya. Biasanya
kekambuhan berhenti terjadi setelah 4 bulan.
Dalam sebuah systematic review dari 12 studi, 91% pasien yang
mengalami gejala pada ginjal mengalami kekambuhan dalam 6 minggu setelah
gejala pada ginjal pertama kali muncul, sedangkan 97% pasien dalam 6 bulan.
Nefritis cenderung ringan dan self-limited, namun beberapa anak menjadi
penyakit ginjal yang persisten dan dapat berkembang menjadi end-stage renal
disease. Prognosis HSP baik pada pasien tanpa penyakit ginjal, namun perdarahan
Dalam sebuah systematic review dari 12 studi, 91% pasien yang mengalami gejala
pada ginjal mengalami kekambuhan dalam 6 minggu setelah gejala pada ginjal
pertama kali muncul, sedangkan 97% pasien dalam 6 bulan. Nefritis cenderung
ringan dan self-limited, namun beberapa anak menjadi penyakit ginjal yang
persisten dan dapat berkembang menjadi end-stage renal disease. Prognosis HSP
baik pada pasien tanpa penyakit ginjal, namun perdarahan saluran cerna atau
intussusepsi dapat menyebabkan komplikasi akut. Pada HSP dengan keterlibatan
ginjal prognosisnya tidak dapat diprediksi, morbiditas jangka panjang pada ginjal
dapat bermanifestasi bahkan hingga bertahun-tahun setelah pemulihan.
1. Kulit
Ruam khas HSP adalah palpable purpura yang distribusinya simetris
pada ekstensor, tungkai bawah dan bokong. Beberapa kasus melibatkan
lengan, wajah dan telinga tetapi biasanya hanya sekitar batang tubuh. Purpura
HSP dapat berupa petechiae, ekimosis besar, dan dapat didahului dengan
urtikaria atau eritematosa, makulopapular lesi. Lesi bulosa yang parah jarang
terjadi pada anak-anak, hanya sekitar 2% dari pasien.
2. Gastrointestinal
Kejadian keterlibatan gastrointestinal dilaporkan umumnya antara 50-
75% dari kasus dengan presentasi yang paling umum adalah nyeri perut kolik.
Gejala lain termasuk muntah dan perdarahan gastrointestinal bermanifestasi
sebagai darah samar pada tinja atau tampak secara makroskopik. Perdarahan
gastrointestinal masif jarang ditemukan, hanya dilaporkan pada sekitar 2%
dari pasien. Gejala tersebut merupakan hasil dari edema dan perdarahan
dinding usus akibat vaskulitis. Intususepsi juga merupakan komplikasi yang
jarang terjadi namun penting untuk ditegakkan segera karena keterlambatan
manajemen dapat mengakibatkan usus iskemik. Enteropati, pankreatitis, dan
hidrops kandung empedu dapat juga terjadi. Harus diingat bahwa edema
sekunder akibat hipoalbuminemia mungkin terjadi karena sindrom nefrotik
atau kehilangan protein pada enteropati atau kombinasi keduanya.
3. Persendian

Arthritis atau athralgia terjadi pada 15-25% kasus namun hingga 82%
pasien mengalami gejala pada persendian selama penyakit berlangsung.
Arthritis biasanya mengenai persendian besar pada anggota gerak bagian
bawah termasuk lutut, pergelangan kaki, tumit, dan panggul. Namun tidak
menutup kemungkinan anggota gerak atas juga terlibat. Pada sebuah review
retrospektif 100 pasien, 72% pasien mengalami gejala pada sendi tumit dan
pergelangan kaki, 50% pasien mengalami gejala pada lutut, 26% pasien
mengalami gejala pada tangan dan pergelangan tangan, dan 10% pada sendi
siku. Gejala yang terjadi meliputi nyeri sendi, bengkak dan penurunan range
of movement. Meskipun keterlibatan sendi tampak memperberat penyakit,
namun hal ini tidak menyebabkan kerusakan permanen.
4. Renal
Keterlibatan ginjal pada HSP dilaporkan terjadi pada 12-92% kasus.
Penyakit ginjal bermanifestasi sebagai hematuria, proteinuria, sindrom
nefrotik/nefritis, renal impairment, dan hipertensi. Kondisi ini berkembang
dalam 4 minggu pada 75-80% kasus dan dalam 3 bulan pada 97-100% kasus.
Pada kasus yang tidak khas, insiden peyakit ginjal yang berat meliputi nefritis
akut, sindrom nefrotik, atau renal impairment 5-7%. Hipertensi dapat terjadi
pada kasus yang melibatkan ginjal. Apabila penyakit ginjal tidak membaik
saat HSP membaik, diperlukan investigasi lebih lanjut.

Pada kasus, pasien datang dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan
pada seluruh perut sejak 10 hari yang lalu. Pada kepustakaan sebuah studi
menyebutkan nyeri perut atau arthritis muncul setelah 1-14 hari ruam muncul.
Namun, penelitian Calvino et al menyatakan bahwa 30-43% mengalami
gejala pada sendi dan perut 1-14 hari sebelum ruam muncul. Kejadian
keterlibatan gastrointestinal dilaporkan umumnya antara 50-75% dari kasus
dengan presentasi yang paling umum adalah nyeri perut kolik.
Banyak kasus HSP didahului infeksi saluran pernafasan akut, oleh
karena itu HSP dapat didahului beberapa gejala sistemik seperti demam dan
malaise. Pada kasus, pasien mengalami demam 1 hari sebelum masuk RS,
yang dirasakan terus-menerus, namun tidak ditemukan adanya tanda infeksi
saluran pernapasan.
Gejala lain termasuk muntah dan perdarahan gastrointestinal
bermanifestasi sebagai darah samar pada tinja atau tampak secara
makroskopik. Perdarahan gastrointestinal masif jarang ditemukan, hanya
dilaporkan pada sekitar 2% dari pasien. Pada kasus, pasien mengeluh mual
dan muntah sebanyak 5 kali 1 hari sebelum masuk RS, muntah berisi
makanan dan darah segar dan BAB berdarah sejak 8 hari sebelum masuk RS,
BAB berisi darah segar, sedikit-sedikit dan disertai lendir.
Pada kasus, ditemukan adanya peteki dan ekimosis terutama pada
ekstremitas bawah yang simestris. Pada kepustakaan disebutkan ruam khas
HSP adalah palpable purpura yang distribusinya simetris pada ekstensor,
tungkai bawah dan bokong. Purpura HSP dapat berupa petechiae, ekimosis
besar, dan dapat didahului dengan urtikaria atau eritematosa, makulopapular
lesi.
Arthritis atau athralgia terjadi pada 15-25% kasus namun hingga 82%
pasien mengalami gejala pada persendian selama penyakit berlangsung.
Arthritis biasanya mengenai persendian besar pada anggota gerak bagian
bawah termasuk lutut, pergelangan kaki, tumit, dan panggul. Pada kasus,
pasien juga mengeluh adanya nyeri pada sendi.
Keterlibatan ginjal pada HSP dilaporkan terjadi pada 12-92% kasus.
Penyakit ginjal bermanifestasi sebagai hematuria, proteinuria, sindrom
nefrotik/nefritis, renal impairment, dan hipertensi. Pada kasus, hasil
pemeriksaan urin lengkap menunjukkan adanya hematuria dan proteinuria
serta pada pengkuran tekanan darah ditemukan adanya hipertensi.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada kasus HSP ditujukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding dan mendeteksi komplikasi penyakit HSP. Pemeriksaan
penunjang yang umum dilakukan antara lain:17,18
 Pemeriksaan kadar IgA dalam serum
Pemeriksaan kadar IgA dalam serum bukan merupakan pemeriksaan spesifik
untuk HSP, namun adanya peningkatan kadar IgA dapat mengarahkan
diagnosis penyakit HSP dibanding tipe vaskulitis lain. Kadar IgA serum yang
meningkat dapat ditemui pada 25 – 50% kasus HSP, namun besarnya
peningkatan tidak sebanding dengan beratnya gejala HSP.
 Pemeriksaan darah lengkap
Pada HSP umumnya didapatkan kadar trombosit yang meningkat. Kadar
hemoglobin yang rendah mungkin ditemui jika terjadi perdarahan saluran
cerna atau hematuria berat akibat komplikasi HSP. Leukositosis dijumpai
pada kasus kasus HSP yang didasari oleh adanya infeksi bakteri.
 Urinalisis
Urinalisis dilakukan untuk mendeteksi adanya hematuria ataupun proteinuria
yang menjadi salah satu kriteria diagnosis untuk HSP.
 Pemeriksaan gangguan fungsi pembekuan darah
Pemeriksaan seperti PPT (Plasma Prothrombin Time), APTT (Activated
Partial Thromboplastin Time),dan CT (clotting time) dapat dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan purpura akibat gangguan pembekuan darah.
Pada HSP umumnya ditemui fungsi pembekuan darah yang normal.
 Pemeriksaan laju endap darah
Laju endap darah merupakan pertanda non spesifik dari adanya proses
inflamasi. Pada 60% kasus HSP dapat ditemui laju endap darah yang
meningkat.
 Pemeriksaan kadar serum kreatinin (SC) dan kadar urea dalam darah (Blood
Urea Nitrogen / BUN)
Kadar BUN-SC akan meningkat pada beberapa kasus HSP dengan penurunan
fungsi filtrasi glomerulus akibat adanya kerusakan pembuluh darah ginjal.
 Pemeriksaan faktor XIII dalam plasma
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kasus yang atipiikal. Aktivitas faktor
XIII dalam plasma dilaporkan menurun pada 70% pasien HSP, terutama pada
pasien yang memiliki gejala gastrointestinal yang berat. Kaneko et al (2004)
mengatakan bahwa faktor XIII dapat menjadi salah satu marker yang dapat
membantu menegakkan diagnosis HSP, bahkan sebelum onset purpura
muncul. Namun studi lebih lanjut mengenai faktor XIII masih diperlukan.
 Pemeriksaan antineutrofil cytoplasmic antibodies (ANCA)
Pada HSP, tidak ada peningkatan ANCA. Hal ini dapat membedakan HSP
dengan vasculitides tipe ANCA positif.
 Pemeriksaan darah samar
Hasil positif dari Occult faecal blood test mungkin menunjukkan adanya
perdarahan saluran cerna terkait HSP.

Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk diagnosis HSP, namun


mungkin perlu dilakukan pada kasus kasus HSP dengan kecurigaan komplikasi
pada organ lain seperti ginjal, saluran cerna dan otak. Pemeriksaan ultrasound
(USG) berguna sebagai skrining bila ditemui gejala nyeri perut yang hebat. USG
dapat mendeteksi adanya intususepsi atau perforasi usus. USG ginjal juga dapat
melihat adanya kelainan ginjal yang biasa ditemui pada kasus HNP yang berat.
Endoskopi digunakan untuk mengevaluasi perdarahan saluran cerna dan
neuroimaging digunakan bila ada kecurigaan keterlibatan serebral.1,11
Biopsi kulit, mukosa lambung atau ginjal dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis HSP. Temuan tipikal dari hasil biopsi jaringan tersebut
berupa deposit IgA yang menyebar, dan sering disertai dengan adanya IgG atau
C3 dalam mesangium dengan infiltrat selular.17,18
Pada kasus, pasien dilakukan pemeriksaan darah rutin dan urin lengkap.
Pada pemeriksaan darah, didapatkan leukosit yang meningkat dan hemoglobin
yang rendah sedangkan pada pemeriksaan urin lengkap ditemukan adanya
hematuria dan proteinuria.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis HSP dapat ditegakkan melalui gejala klinis berdasarkan
kriteria dari konsensus European League against Rheumatism (EULAR) dan the
Pediatric Rheumatology European Society (PRES) tahun 2008 dengan
sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 87% untuk diagnosis HSP.
Kriteria diagnosis HSP yaitu adanya purpura atau petekie yang predominan pada
tungkai bawah diikuti dengan salah satu dari tanda berikut: adanya nyeri perut
yang menyebar, arthritis / arthralgia akut, deposisi predominan IgA pada hasil
biopsi, dan keterlibatan ginjal seperti hematuria dan/atau proteinuria.17
Pada kasus, diagnosis didasarkan pada anamnesis , pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis diketahui adanya gejala yang
mendukung diagnosis yaitu adanya nyeri perut yang menyebar dan arthralgia.
Pada pemeriksaan fisis adanya peteki serta ekimosis terutama pada ekstremitas
bawah yang bersifat simetris. Pada pemeriksaan urin lengkap ditemukan adanya
hematuria dan proteinuria.

H. DIAGNOSIS BANDING
Anak – anak dibawah 17 tahun dengan palpable purpura dan keterlibatan
multisistem (gastrointestinal, ginjal dan sendi) tanpa adanya trombositopenia
mengarahkan diagnosis ke HSP. Diagnosis banding untuk HSP antara lain:17,19

 Immunologic trombocytopenia purpura (ITP). Trombositopenia yang ditemui


pada ITP merupakan pembeda utama ITP dengan HSP dimana kadar
trombosit pada HSP normal atau meningkat.
 Erupsi Obat, Urtikaria dan Eritema Multiformis. Manifestasi kulit pada
penyakit tersebut dapat menyerupai lesi pada HSP. Namun pada HSP,
predileksi lesi khas predominan pada tungkai bawah dan harus disertai salah
satu dari kriteria diagnosis lainnya. Bila diagnosis masih diragukan, diagnosis
HSP harus dikonfirmasi dengan biopsi kulit atau ginjal.
 Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Inflamasi vaskuler sekunder akibat
SLE dapat menyerupai HSP. Pemeriksaan antibodi DNA double stranded dan
antinuklear dapat menyingkirkan diagnosis SLE.
I. TATA LAKSANA
HSP dapat membaik dengan sendirinya (self-limiting) pada 94% pasien.
Terapi yang diberikan merupakan terapi simtomatis. Tirah baring dan terapi
analgesik diberikan pada pasien dengan nyeri sendi akut dan nyeri perut.
Acetaminophen dapat menjadi pilihan pengobatan. Pemberian aspirin sebaiknya
dihindari. Non steroidal anti inflammatory (NSAID) sebaiknya dihindari terutama
pada pasien dengan keterlibatan ginjal dan saluran cerna. Cairan intravena dapat
diberikan pada pasien dengan nyeri abdomen hebat dan muntah.17,19
Kortikosteroid oral diindikasikan pada pasien dengan rash yang berat,
edema, nyeri abdomen hebat tanpa mual muntah, dan keterlibatan ginjal, skrotum
serta testis. Prednison atau methylprednisolone dapat diberikan dengan dosis awal
1-2 mg/kgBB per hari selama satu hingga dua minggu. Selanjutnya, dosis
diturunkan secara bertahap menjadi 0,5 mg/kgBB/hari untuk satu minggu
selanjutnya. Steroid intravena dapat diberikan apabila pasien tidak toleran
terhadap steroid oral.19
Menurut beberapa studi, terapi steroid dapat meringankan gejala
gastrointestinal, mengurangi rekurensi HSP, dan mengurangi progresivitas
kerusakan ginjal. Steroid juga dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan
gastrointestinal atau intususepsi. Ronkainen et al (2006) melakukan sebuat
randomized controlled trial (RCT) dan prednison daikatakan mampu mengurangi
gejala dan durasi nyeri perut serta gejala sendi dan mempercepat perbaikan
nefritis ringan pada pasien HSP.
Plasmapharesis atau terapi imunoglobulin intravena dosis tinggi
direkomendasikan untuk pasien dengan perburukan fungsi ginjal. Pasien dengan
keterlibatan ginjal yang parah sebaiknya dirujuk ke ahli nefrologi dan dilakukan
biopsi ginjal. Beberapa studi juga mengatakan bahwa dapson atau colchicine
dapat memberikan manfaat untuk pasien HSP kronis. 19
Pasien HSP dengan perdarahan gastrointestinal dan komplikasi pulmonal
jarang ditemui. Namun bila terjadi hal demikian, intervensi seperti pembedahan
mungkin dilakukan jika ada indikasi. Steroid intravena pada kasus HSP dengan
perdarahan saluran cerna hanya merupakan terapi suportif jangka pendek untuk
mengurangi gejala, namun tidak memperbaiki perdarahan saluran cerna yang
terjadi.18
Selain terapi simtomatis, pemberian faktor XIII secara intravena dapat
dilakukan sebagai terapi adjunctive pada pasien HSP. Faktor XIII berkorelasi
dengan keparahan gejala gastrointestinal pada pasien serta kadarnya ditemukan
rendah pada pasien HSP. Beberapa studi seperti yang dilakukan oleh Fukui
(1989) megatakan bahwa administrasi faktor XIII memberikan perbaikan nyata
pada gejala HSP dalam 3 hari. Studi lain oleh Davin (2011) melaporkan adanya
perbaikan drastis pada gejala berat dari sistem gastrointestinal, pulmonal dan
serebral setelah dilakukannya plasma exchange. 17, 19
Pada kasus, terapi yang diberikan berupa buscopan, ceftriaxone,
ranitidine, paracetamol dan prednisolone.

J. PROGNOSIS
Sebagian besar kasus HSP dapat membaik dengan sendirinya, prognosis
umumnya baik dengan five-year survival rates sebesar 95%. Satu dari tiga pasien
mengalami relaps dengan durasi yang lebih singkat dan gejala yang lebih ringan,
umumnya dalam waktu 4 bulan dan megenai organ yang sama. Prognosis pasien
berdasarkan pada usia saat onset penyakit, keterlibatan organ ginjal, keterlibatan
organ kulit, ketidakseimbangan imunoglobulin, dan keterlibatan neurologis.19
Beberapa faktor prognosis buruk pada pasien HSP antara lain:19
 Usia lebih dari 8 tahun
 Sering relaps
 Kadar serum kreatinin yang lebih tinggi pada onset penyakit
 Proteinuria lebih dari 1 gram per hari
 Adanya hematuria dan anemia saat diagnosis
 Hipertensi
 Membranoproliferaive glomerulonephritis
 Adanya demam
 Adanya purpura diatas garis pinggang
 Adanya peningkatan laju sedimentasi
 Peningkatan konsentrasi IgA dengan penurunan konsentrasi IgM saat diagnosis
 Kadar faktor XIII yang rendah
DAFTAR PUSTAKA

1. KleinmanRE, Oliver G, Giorgina F, Ian S, Phillip MS.Walker’s Pediatrics


Gastrointestinal Disease. USA: PMPH, 2005. p. 55-7
2. Kliegman, Behrman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition.
Pennyslvania: WB Saunders Company, 2009. p. 1044-6
3. Tizard EJ. Henoch-Schonlein purpura. Arch Dis Child 1999;80:380-3.
4. Matondang CS, Roma J. Buku Ajar Alergi - Imunologi Anak. 2nd ed. Jakarta:
Penerbit IDAI; 2007.
5. Yang YH, Chuang YH, Wang LC, Huang HY, Gershwin ME, Chiang BL.
The immunobiology of Henoch-Schonlein Purpura. Autoimmune Review
2008;7:179-84.
6. Chalkias S, Samson SN, Tiniakou E, Sofair AN. Poststreptococcal cutaneous
leukocytoclastic vasculitis: a case report. Conn Med 2010; 74(7): 399-402.
7. Carlson JA. Cutaneous vasculitis. In: Busam LK, editor. Dermatophatology.
New York: Saunders Elsevier; 2010.p.184-209.
8. Reamy BV, William PM, Lindsay TJ. Henoch-Schonlein purpura. Am Fam
Physician 2009; 80(7): 697-704.
9. Gonzales MA, Calvino MC, Lopez-Vasquez ME, Porrua-Garcia C, Iglesias-
Fernandez JL, Dierssen T, Llorca J. Implications of upper respiratory tract
infections and drugs in the clinical of Henoch-Schonlein Purpura in children.
Clin Exp Rheumatol 2004; 22: 781-84.
10. Al-Sheyyab M, Batieha A, El-Shanti H, Daoud A. Henoch-Schonlein Purpura
and Streptococcal infections: a prospective case-control study. Ann Trop
Paediatr 1999; 19: 153-255.
11. Sohagia AB, Gunturu SG, Tong TR, Hertan HI. Henoch-Schonlein Purpura-a
12. Weedon D. Skin Pathology. 3ed. Philadephia: Elsevier; 2010. p.195-244.
13. McCarthy H, Tizard E. Clinical practice: Diagnosis and management of
Henoch-Schönlein purpura. Eur J Pediatr 2010; 169(6):643-50.
14. Abbas AK, Licthman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology.
Sixth Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
15. Sunderkotter C. Leukocytoclastic vasculitis. CME Dermatol 2008; 3(1):32-50.
16. Sunderkotter C. Vasculitis of small blood vessel – some riddles about IgA and
about the complexity of transmigration. Experimental Dermatology 2009;
18:91-96.
17. Jauloha O, Henoch-Schönlein purpura in children.. Acta Univ. Oul. D 2012;
1151
18. Sinclair P. Henoch-Schönlein purpura-a review. Current Allergy & Clinical
Immunology, August 2010 Vol 23, No. 3
19. Sohagia AB, Gunturu SG, Tong TR, Hertan HI. Henoch-Schönlein purpura- a
case report and review of literature. Gastroenterology Research and Practice
Volume 2010.

Anda mungkin juga menyukai