Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

KONSEP DASAR GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA


(POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER / PTSD) (INFEKSI OTAK)

KELOMPOK II :

Sri Untari I1B110004 Citra Irawan I1B110040


Nur Annisa Fitri I1B110005 Fitri Ayatul Azlina I1B110201
Reza Surya P I1B110013 M. Reza Pahlevi I1B110204
M.Darkuni I1B110018 Karina Danisha I. K I1B110205
Istia Arisandy I1B110024 Syaiful Rakhman I1B110211
Devi Indah Permata I1B110029 Tity Riezka Rianthi I1B110214
Chairunnisa Astari I1B110030 Annisa Febriana I1B110216
Havita Nirmala .S. I1B110032

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul
setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-
peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu
kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan seseorang memberikan
reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan. Gejala-gejala umum
tersebut antara lain kenangan yang muncul kembali dalam ingatan dan berulang-
ulang, sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa tersebut, berusaha
menghindari keadaan-keadaan yang mengingatkan seseorang pada peristiwa tersebut,
menjadi mati rasa secara emosional dan suka menyendiri, sulit tidur dan konsentrasi,
ketakutan atas keselamatan pribadi.
Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena
banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana
seseorang terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya seseorang bereaksi. Sementara
itu penyebab sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Seseorang
beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika mempunyai riwayat
keluarga yang mengalami depresi. Kemungkinan lain adalah dilepaskannya hormon-
hormon tertentu oleh otak ( misalnya kortisol ) dan zat-zat kimia lainnya sebagai
respons terhadap rasa takut. Hormon-hormon dan zat-zat kimia ini juga akan
membangkitkan kenangan-kenangan tersebut. Orang-orang dengan
ketidakseimbangan zat kimia tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya
gangguan stres pasca trauma akan meningkat.
Semua manusia akan menghadapi stress dalam kehidupan, termasuk anak dan
remaja. Sumber stress yang ada disekitar kita setiap saat terjadi, dari menghadapi
lingkunganyang baru, kehilangan uang, kekerasan dalam rumah tangga, termasuk
pada anak dan remaja. Ada juga anak yang melihat seseorang menembak, ini
membuat trauma tersendiri dan lain-lain. Terkadang stressor dalam kehidupan kita
sangat kuat dan syok secara emosional, termasuk kehilangan rumah, banjir dan
bencana alam yang lain.
Kita menggunakan kata trauma dalam kehidupan kita yang berarti bahwa
orang yang mempunyai stress yang sangat tinggi. Seorang remaja yang tidak mampu
bicara dengan orang tuanya karena trauma di bentak orang tuanya. Seorang anak yang
takut melihat air mengalir, setelah bencana banjir, seorang remaja yang takut menikah
karena trauma dengan laki-laki. Seorang ibu yang sangat stress karena ada truma
dalam hidupnya dan sangat berpengaruhi dalam kehidupan rumah tangganya.
Kemampuan menghadapi stress adalah kemampuan seseorang untuk beradapatasi dengan
kondisi yang sangat stress. Kondisi ini dapat menghancurkan hidup seseorang atau
membuat seseorang bertambah kuat, dalam menghadapi segala bentuk stress. PTSD
sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian “bencana” yang
telah menimpa kita, PTSD juga dapat menyerang siapapun yang telah mengalami
kejadian traumatik dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin.

B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini :
1. Untuk mengetahui hubungan infeksi otak dengan PTSD dalam
pembelajaran Keperawatan Jiwa II
2. Memberikan pengetahuan tentang PTSD dan Etiologinya.

C. Rumusan masalah
Rumusan masalah pada makalah kami ialah sebagai berikut :
1. Apa yang di maksud dengan Gangguan Stres Pasca Trauma (Post-
Traumatic Stress Disorder / PTSD)
2. Etiologgi Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
3. Epidemiologi Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)
4. Manifestasi Klinik Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress
Disorder / PTSD)
5. Faktor Resiko Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)
6. Teori Penyebab Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)
7. Hubungan Infeksi Otak dengan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic
Stress Disorder / PTSD)
8. Tanda dan Gejala Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder
/ PTSD)
9. Diagnosis Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
10. Diagnosis Banding Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress
Disorder / PTSD)
11. Prognosis Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
12. Penatalaksanaan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)
13. ASKEP Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi

Gangguan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)


dimasukkan sebagai diagnostic dalam DSM-III, mencakup respons ekstrem terhadap
suatu stressor yang berat, termasuk meningkatnya kecemasan, penghindaran stimuli
yang diasosiasikan dengan trauma, dan tumpulnya respon emosional. Walaupun
selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa stress perang dapat menimbulkan efek
negative yang sangat kuat pada para tentara, namun berakhirnya perang Vietnamlah
yang mendorong diterimanya diagnostic baru tersebut. Seperti halnya gangguan lain
dalam DSM, PTSD ditentukan oleh sekelompok gejala. Namun, tidak seperti definisi
gangguan psikologi lain, definisi PTSD mencakup bagian dari asumsi etiologinya
yaitu, suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau disaksikan
secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera
serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atau diri seseorang. Kejadian tersebut
harus menciptakan ketakutan ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya.
Trauma merupakan cidera, kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara
trauma psikis dalam psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak
akibat peristiwa dilingkungan seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk
bertahan, mengatasi atau menghindar. Post-Traumatic Stres Disorder / PTSD
merupakan sindrom kecemasan, Namun menjadi tidak wajar jika reaksi tersebut
berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama dan cenderung mempunyai efek
yang negatif pada seseorang yang mengalaminya. Kecemasan normal merupakan hal
yang sehat, karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan jiwa dan tubuh manusia
supaya dapat mempertahankan diri dan kecemasan juga dapat bersifat konstruktif.
Menurut teori psikoanalitik, Freud, menyatakan bahwa kecemasan sebagai sinyal,
kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensive terhadap tekanan
dari dalam diri.
Pada gangguan stress pasca trauma, orang mengalami frekwensi, ingatan yang
tidak diinginkan menimbulkan kembali peristiwa traumatic. Mimpi buruk adalah
biasa. Kadangkala peristiwa hidup kembali sebagaimana jika terjadi (flashback).
Gangguan hebat sering kali terjadi ketika berhadapan dengan peristiwa atau keadaan
yang mengingatkan mereka kepada trauma asal. Orang secara terus menerus
menghindari benda yang mengingatkan pada trauma. Mereka bisa juga berusaha
untuk menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan mengenai peristiwa traumatic
dan menghindari kegiatan, keadaan, atau orang yang bisa mengingatkan.
Penghindaran bisa juga termasuk kehilangan ingatan (amnesia) untuk aspek
tertentu pada peristiwa yang traumatic. Orang mengalami mati rasa atau kematian
pada reaksi emosional dan gejala yang muncul meningkat (seperti kesulitan tidur,
menjadi waspada terhadap tanda bahaya beresiko, atau menjadi mudah terkejut).
Gejala pada depresi adalah umum, dan orang yang menunjukkan sedikit ketertarikan
kepada aktivitas menyenangkan sebelumnya. Perasaan bersalah juga biasa. Misal,
mereka bisa merasa bersalah bahwa ketika mereka bertahan hidup ketika orang lain
tidak (pada korban kecelakaan).
Gangguan stress pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) adalah
reaksi maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis.
Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah factor resiko mayor untuk
PTSD, karena banyak orang dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD.
Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah suatu reaksi maladaptive
yang terjadi pada bulan pertama pada pengalaman traumatis. Berlawanan dengan
ASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau sampai
beberapa decade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah
adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis. Terdapat perbedaan antara gangguan
stress pasca trauma dengan gangguan stress akut, suatu diagnostic yang pertama kali
muncul dalam DSM-IV. Hampir semua orang yang mengalami trauma akan
mengalami stress, kadangkala hingga tingkat yang sangat berat. Hal itu normal. Jika
stressor menyebabkan kerusakan signifikan dalam keberfungsian social dan pekerjaan
selama kurang dari satu bulan, diagnosis yang ditegakkan adalah gangguan stress
akut. Jumlah orang yang mengalami jumlah stress akut berbeda sesuai dengan tipe
trauma yang mereka alami. Dalam peristiwa pemerkosaan, angka penderitanya sangat
tinggi –lebih dari 90%. Trauma yang tidak seberat itu, seperti berada ditengah
penembakan massal atau mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, angka
penderitanya jauh lebih rendah, contohnya 13% pada korban kecelakaan kendaraan
bermotor. Walaupun beberapa orang dapat mengatasi gangguan stress akut yang
mereka alami, jumlah yang signifikan kemudian menderita PTSD. Dengan demikian,
PTDS dapat dipertimbangkan sebagai reaksi negative terberat terhadap stress.

2. Epidemiologi
Insidensi Post Trauma Stress Disorder (PTSD) diperkirakan 9 sampai15
persen. Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8 persen. Pada populasi
yang mengalami resiko besar menghadapi pengalaman traumatis, prevalensinya dapat
mencapai 75%. Wanita lebih sering mengalami PTSD dibanding pria. PTSD bisa
timbul pada usia kapan saja namun lebih sering pada usia dewasa muda. Pada
umumnya, trauma pada pria berhubungan dengan peperangan sedangkan pada wanita
sering disebabkan oleh tindakan pemerkosaan. Gangguan ini lebih sering terjadi pada
orang yang, telah bercerai, orang yang menarik diri secara sosial atau orang dengan
kelas sosioekonomi yang rendah. Pasien PTSD umumnya memiliki tingkat
morbiditas yang tinggi.

3. Etiologi

Stressor adalah penyebab utama terjadinya gangguan stress pasca trauma.


Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang
parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, dipenjara. Namun
tidak semua orang yang mengalami stressor yang berat mengalami PTSD. Trauma
sendiri tidak cukup untuk menyebabkan PTSD. Respon pasien terhadap trauma
haruslah takut yang sangat kuat bahkan horor. Dokter harus menilai faktor biologis
dan psikososial yang ada pada orang yang telah mengalami trauma (Kaplan,Sadock,&
Grebb,2007)
Seseorang mengembangkan PTSD adalah akibat respon terhadap suatu trauma
yang ekstrem – sebuah kejadian yang mengerikan yang seseorang alami, saksikan,
atau dipelajari, terutama yang mengancam hidup atau yang menyebabkan penderita
fisik. Pengalaman tersebut menyebabkan seseorang merasakan takut yang sangat
kuat, atau perasaan tidak berdaya. Peristiwa penuh tekanan yang memungkinkan
menjadi traumatis jika :
a) Terjadinya secara tiba-tiba
b) Anda tidak siap dengan kejadiannya
c) Anda merasa tidak berdaya untuk mencegahnya
d) Terjadi berulang-ulang
e) Dilakukan seseorang dengan sengaja
f) Terjadi pada waktu kecil

4. Tanda dan Gejala


Gejala Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
dikelompokkan dalam 3 kategori utama. Diagnostic dapat ditegakkan jika
simtomsimtom dalam tiap kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan.
a) Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
Individu kerap teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang
hal itu. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang
menyimbolkan kejadian tersebut, atau tanggal terjadinya pengalaman tertentu.
Pentingnya “mengalami kejadian kembali” tidak dapat diremehkan karena
kemungkinan merupakan penyebab simtom-simtom kategori lain. Beberapa teori
PTSD membuat “mengalami kembali” sebagai ciri utama dengan mengotribusikan
gangguan tersebut pada ketidakmampuan untuk berhasil mengintegrasikan kejadian
traumatic ke dalam skema yang ada saat ini.
b) Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati
rasa dalam responsivitas (Avoidance)
Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berfikir tentang trauma atau
menghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut. Mati rasa adalah
menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan
ketidakmampuan untuk merasakan sebagai emosi positif. Simtom-simtom ini
tampaknya hampir kontradiktif dengan simtom-simtom pada item. Pada PTSD
kenyataannya terdapat suatu fluktuasi; penderita bergantian mengalami kembali dan
mati rasa.
c) Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)
Simtom-simtom ini mencakup sulit tidur atau mempertahankannya, sulit
berkonsentrasi, waspada berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan. Berbagai
studi laboratorium menegaskan simtom-simtom klinis ini dengan
mendokumentasikan meningkatnya reaktifitas fisiologis pada pasien penderita PTSD
terhadap pencitraan pertempuran dan respon-respon terkejut yang sangat
tinggi.Masalah lain yang sering dihubungkan dengan PTSD adalah gangguan enxietas
lain, depresi, kemarahan, rasa bersalah, penyalahgunaan zat, masalah perkawinan,
kesehatan fisik yang rendah, dan disfungsi seksual. Pikiran dan rencana untuk bunuh
diri umum terjadi. Menurut DSM, anak-anak dapat menderita PTSD sering kali
merupakan respon karena menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau
mengalami penyiksaan fisik.
Gambaran klinis PTSD pada anak-anak tampaknya berbeda dengan orang
dewasa. Gangguan tidur dengan mimpi buruk dengan monster umum terjadi,
sebagaimana juga perubahan perilaku. Sebagai contoh, seorang anak semula periang
menjadi pendiam atau menarik diri atau seorang anak yang bermula pendiam menjadi
kasar dan agresif. Beberapa anak yang mengalami trauma mulai berfikir bahwa
mereka tidak akan hidup hingga mencapai usia dewasa. Beberapa anak kehilangan
keterampilan perkembangan yang sudah dikuasai, seperti berbicara atau
menggunakan toilet. Terakhir, anak-anak jauh lebih sulit berbicara tentang perasaan
mereka dibanding orang dewasa, suatu hal yang sangat penting untuk diingat bila
terdapat kemungkinan penyiksaan fisik atau seksual.
5. Manifestasi klinis
Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptif terhadap
stress berat atau stress berkelanjutan dimana mekanisme penyesuaian tidak berhasil
mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam fungsi sosialnya. Gangguan ini
terjadi berminggu-minggu/berbulan-bulan setelah kejadian biasanya dalam 6 bulan.
Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD:
1) Perubahan pikiran
a) Tidak dapat menerima kenyataan
b) Teringat- ingat
c) Mimpi buruk
d) Susah konsentrasi
e) Menjadi pelupa
2) Perubahan perasaan
a) Takut yang berlebihan
b) Cemas
c) Sedih
d) Bimbang
e) Merasa tak pantas hidup lagi
3) Perubahan tingkah laku
a) Sesak nafas
b) Susah tidur
c) Jantung berdebar-debar
d) Nafsu makan berkurang
e) Menarik diri dari orang lain
f) Mudah terkejut
g) Kepala pusing dan pingsan
6. Faktor Resiko

Penelitian dan teori mengenai penyebab PTSD berfokus pada faktor-faktor


resiko terhadap gangguan tersebut dan juga faktor- faktor psikologis dan biologis.
a. Faktor- faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor PTSD. Memiliki kejadian traumatis yang dialami,
prediktor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan terhadap nyawa, berjenis
kelamin perempuan, pemisahan dengan orang tua di masa kecil, riwayat gangguan
dalam keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya dan gangguan-gangguan
yang dialami sebelumnya. Memiliki intelegensi tinggi tampaknya menjadi factor
protektif, mungkin karena hal itu diasosiasikan dengan keterampilan coping yang
lebih baik. Beberapa faktor risiko lain yang menyebabkan PTSD yaitu :
 Mengalami kejadian yang membahayakan maupun menyebabkan trauma
 Memiliki riwayat gangguan jiwa
 Mengalami cedera
 Melihat orang terluka/terbunuh
 Merasa horor, tidak memiliki harapan, ketakutan yang ekstrem
 Memiliki dukungan sosial sedikit/tidak sama sekali setelah kejadian

Cedera yang mungkin terjadi pada seseorang adalah cedera otak.

 Ensefalitis : infeksi pada parenkim otak, gejala hemiparesis,kejang, gangguan


kognitif, agitasi, sakit kepala jika terjadi abses akibatpeningkatan tekanan
intrakranial.
 M eningitis : infeksi pada meningen (selaput otak) gejala khasnya adalah kaku
kuduk dan sakit kepala. Kaku kuduk terjadi karenairitsi meninges sementara sakit
kepala karena peningkatan TIK.
 Vaskulitis : infeksi pada pembuluh darah otak. Gejala fokal sepertistroke. Gejala
yang lain yang cukup umum untuk ketiga infeksi adalah demam, Sakit kepala
karena TIK meningkat, kelumpuhan saraf cranial, gangguan kognitif, kejang
Prevalensi PTSD juga meningkat sejalan dengan parahnya kejadian traumatic.
Simtom-simtom disosiatif pada saat trauma juga meningkatkan kemungkinan
terjadinya PTSD, seperti juga upaya menghapus ingatan tentang trauma tersebut dari
pikiran seseorang. Disosiasi dapat memiliki peran dalam menetapnya gangguan
karena mencegah pasien menghadapi ingatan tentang trauma tersebut.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah kecenderungan untuk menganggap
kegagalan sebagai kesalahan diri sendiri dan menyesuaikan diri terhadap stress
dengan mengfokuskanpada emosi, bukan pada masala hanya.
b. Teori-teori Psikologis
Para teoris belajar berasumsi bahwa PTSD terjadi karena pengkondisian
klasik terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa contohnya, dapat
merasa takut untuk berjalan di lingkungan tertentu (CS) karena diperkosa disana
(UCS). Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut, terjadi
pengindraan, yang secara negative dikuatkan oleh berkurangnya rasa takut yang
dihasilkan oleh ketidakberadaan dalam CS. PTSD merupakan contoh utama dalam
teori dua factor mengenai avoidance learning yang diajukan bertahun-tahun lalu oleh
Mowrer. Suatu teori yang diajukan oleh Horowitz menyatakan bahwa ingatan tentang
kejadian traumatic muncul secara konstan dalam pikiran seseorang dan sangat
menyakitkan sehinga secara sadar mereka mensupresinya atau merepresinya. Orang
yang bersangkutan diyakini mengalami semacam perjuangan internal untuk
mengintegrasikan trauma ke dalam keyakinannya tentang dirinya dan dunia agar
dapat menerimanya secara masuk akal.
c. Teori-teori Biologis
Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan kemungkinan
diathesis genetik dalam PTSD. Terlebih lagi, trauma dapat mengaktifkan system
noradrenergic, meningkatkan level norepinefrin sehingga membuat orang yang
bersangkutan lebih mudah terkejut dan lebih cepat mengekspresikan emosi
disbanding kondisi normal. Konsisten dengan pandangan ini adalah penemuan bahwa
level norepinefrin lebih tinggi pada pasien penderita PTSD dibanding pada kelompok
kontrol. Selain itu, menstimulasi system noradrenergic me nyebabkan serangan panic
pada 70% dan kilas balik pada 40 % penderita PTSD; tidak ada satu pun dari peserta
kelompok control mengalami hal itu. Terakhir, terdapat bukti mengenai
meningkatnya sensivitas reseptor-reseptor noradrenergic pada penderita PTSD.

PTSD dan kesatuan respons yang bersifat body and mind


Ketertarikan antara individu, tubuh, dan pikiran dalam merespon bahaya yang
datang dari lingkungan sangat erat. Rothchild, menyatakan ketika menghadapi
bahaya, simtem limbic akan mengaktifkan system sarat simpatetik (SNS) dan
melepaskan hormon-hormon yang berfungsi menggerakkan tubuh untuk melawan
atau melarikan diri (fight or flight). Proses ini ditandai dengan meningkatkannya
detak jantung, pernapasan untuk mendapatkan oksigen lebih banyak, memindahkan
darah dari kulit kearah otot agar dapat bergerak lebih cepat. Apabila kejadian
traumatis sudah terlalu atau usaha melarikan diri atau melawan telah berhasil, maka
cortisol yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal, akan menghambat kerja respons alarm
dan produksi epinephrine. Hal tersebut akan membantu tercapainya kembali
keseimbangan tubuh. Aktivitas system saraf otonom oleh system limbic merupakan
respon pertahanan diri yang normal. Namun pada individu yang mengalami PTSD,
system syaraf otomon tetap dalam kondisi siaga meskipun peristiwa traumatis tetap
berlalu dan individu telah terselamatkan. Aktivitas hippocampus dan amigalda
sebagai area yang berkaitan dengan penyimpanan memori memiliki peranan penting
dalam prosestersebut. Aktivitas hippocampus telambat selama individu mengalami
ancaman sehingga tidak dapat melakukan fungsinya dalam memproses dan
menyimpan memori tentang kejadian. Akibatnya individu memiliki persepsi bahwa
kejadian traumatis tetap berlangsung dan individu merasa upaya pertahanan dirinya
tidak berhasil. Mekanisne ini melatarbelakangi munculnya gejala kilas balik
(flashback).
Kondisi individu yang mengalami PTSD digambarkan oleh Robinson bahwa
pengalaman hidup, terluka, dan distress somatic, akan berakibat pada penurunan
kesadaran pada tubuh, yang menjauhkan hubungan dengan selfnya, dengan orang
lain, dan dengan dunia tempat dia berada, karena perasaan dirinya bukan sebagai
bagian dari dunia tersebut atau karena perasaan hilangnya sebagian pengalaman.
Perhatian menjadi menyempit, dan sering kali hal yang bersifat negative memenuhi
pikiran dan tidak dapat dikendalikan. Pada umumnya kesadaran sensoris terhadap diri
sendiri seperti menghilang, sedangkan sensori terhadap dunia luar berfungsi jika
stimulus sangat kuat. Informasi yang baik dan bermaanfaat terhambat oleh adanya
berbagai pikiran negative yang menganggu.

7. Teori – Teori Penyebab PTSD


Psikodinamika
 Ego klien telah mengalami trauma berat >>>> sebagai ancaman terhadap
integritas fisik atau konsep diri >>>> ansietas berat yang tidak dapat
dikendalikan oleh ego >>>> dimanifestasikan dalam bentuk perilaku
simtomatik.
 ego menjadi rentan >> superego dapat menghukum >>>>menyebabkan
individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut >>>> Id dapat
menjadi domianan, menyebabkan perilaku impulsif tidak terkendali.
Biologi
 abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi katekolamin yang
mempengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan
hipokampus.
 Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak
dapat belajar.
 Amigdala sebagai penyimpan memori. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat
menghambat otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga
menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan
gejala-gejala fisik lain.
 Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang.
Dinamika keluarga
 Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan
perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD.
 Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku orang tua
yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan
PTSD.
8. Hubungan antara Infeksi Otak dengan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic
Stress Disorder / PTSD)
Infeksi otak merupakan etiologi dari dengan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic
Stress Disorder / PTSD), sehingga kesimpulan dari diskusi kami infeksi otak
mempengerahui stressor seseorang karena infeksi dari otak bermacam serta akibat
yang muncul pun beragam mulai dari kelumpuhan sebagian tubuh hingga lumpuh
total. Hal ini, tentu mempengaruhi mental seseorang yang terkena infek otak
tersebut. Karena akan berimbas pada interaksi social, individu serta komunitas
yang dia jalani di kehidupan dia pada saat dia berada dalam keadaan normal.
Serta penerimaan akan dirinya yang terkena infeksi otak dan terjadinya
efek dari infeksi tersebut. Karena, penerimaan stress tiap orang berbeda-beda.
Ada yang dapat menerima dirinya, ada juga yang tidak. Oleh karena itu, Stres
Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD) dapat timbul dan
menyebabkan kesehatan jiwa dirinya terganggu. Seperti terisolasi social, depresi
dan regresi dari lingkungannya.

9. Diagnosis
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa
timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat.
bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai
peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi penarikan diri secara
emosional, penumpulan perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin
akan mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk
diagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku
semuanya ,mempengaruhi diagnosis tapi bukan merupakan hal yang terlalu penting.
10. Diagnosis banding
Gejala PTSD dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan
gangguan cemas. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan kecemasan dan
aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk membedakan PTSD adalah relasi waktu
antara kejadian traumatik dan gejala, dan teringat-ingat mengenai trauma yang tidak
terjadi pada dua kelainan lainnya.

11. Prognosis
Kira-kira 30% pasien sembuh dengan sempurna, 40% terus menderita gejala
ringan, 20% terus menderita gejala sedang,dan 10% tidak berubah atau memburuk.
Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih mengalami kesulitan.
Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD muncul dalam waktu singkat,
durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan social yang baik dan tidak
adanya kondisi komorbid atau penyalahgunaan zat.

12. Penatalaksanaan
− Skrining gangguan psikiatrik yang timbul bersamaan dan lakukan penilaian resiko
(bunuh diri/pengabaian diri).
− Rujukan kepada kelompok-kelompok pendukung misalnya yayasan medis untuk
korban penyiksaan.
− Psikoterapi`Ada dua tipe psikoterapi utama yang dapat digunakan :
1. Terapi paparan.
Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan
bergradasi untuk mencapai desensitisasi.
2. Manajemen stress.
Tipe yang kedua ini adalah mengajari pasien cara menangani stress
termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah.
Data menunjukkan bahwa manajemen stress lebih cepat mengatasi PTSD
namun hasil dari terapi paparan berlangsung lebih lama.
Terapi individu, terapi kelompok dan terapi keluarga juga efektif pada
kasus PTSD. Terapi kelompok sangat baik untuk pasien sehingga mereka
dapat membagi pengalaman mereka satu sama lain. Terapi keluarga penting
terutama untuk mempertahankan pernikahan saat gejala sedang timbul. Bila
gejala menjadi sangat parah dapat pula dipertimbangkan untuk melakukan
rawat inap (Tomb,2004).
− Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), seperti sertralindan paroxetin
merupakan terapi garis pertama untuk PTSD. Karena obat ini cukup efektif, tolerable
dan aman. SSRIs mengurangi semua gejala pada PTSD tidak hanya gejala yang
menyerupai kecemasan atau depresi. Buspirone juga dapat digunakan, Beberapa
penelitian juga telah menunjukkan bahwa imipramin dan amitriptilin dapat
bermanfaat. Dosis yang digunakan sama seperti pada pasien depresi. Obat-obatan lain
yang berguna untuk PTSD adalah monoamine oxidaseinhibitors (MAOIs), trazodone
dan anticonvulsant. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi agitasi atau psikotik
akut (Kaplan,Sadock,&Grebb,2007)

13. Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Aktivitas atau istirahat
 gangguan tidur
 mimpi buruk
 hipersomnia
 mudah letih
 keletihan kronis
Sirkulasi
 denyut jantung meningkat
 palpitasi
 tekanan darah meningkat
 terasa panas
Integritas Ego
 derajat ansietas bervariasi dengan gejala yang berlangsung berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan
 PTSD akut : gejala kurang dari 3 bulan
 PTSD kronik : gejala lebih dari 3 bulan
 Melambat , awitan sedikitnya 6 bulan setelah peristiwa traumatik
 kesulitan mencari bantuan atau menggerakkan sumber personal (menceritakan
pengalaman pada anggota keluarga/teman)
 perasaan bersalah, tidak berdaya, isolasi
 perasaan malu terhadap ketidakberdayaan sendiri; demoralisasi
 perasaan tentang masa depan yang suram atau memendek

Neurosensori
 gangguan kognitif : sulit berkonsentrasi
 kewaspadaan tinggi
 ketakutan berlebihan
 ingatan persisten atau berbicara terus tentang suatu kejadian
 pengendalian keinginan yang buruk dengan ledakan perilaku yang agresif
tidak dapat diprediksi atau memunculkan perasaan (marah, dendam,benci,
sakit hati)
 perubahan perilaku (murung, pesimistik, berpikir yang menyedihkan, iritabel),
tidak mempunyai kepercayaan diri, afek depresi, merasa tidak nyata,
kehidupan bisnis tidak dipedulikan lagi
 ketegangan otot, gemetar, kegelisahan motorik
Nyeri atau ketidaknyamanan
 nyeri fisik karena cedera mungkin diperberat melebihi keparahan cedera
Pernapasan
 frekuensi pernapasan meningkat
 dispneu
Keamanan
 marah yang meledak-ledak
 perilaku kekerasan terhadap lingkungan atau individu lain
 gagasan bunuh diri
Seksualitas
 hilangnya gairah
 impotensi
 ketidakmampuan mencapai orgasme
Interaksi sosial
 menghindari oarang/tempat/kegiatan yang menimbulakan ingatan tentang
trauma, penurunan responsif, mati rasa secara psikis, pemisahan
emosi/mengasingkan diri dari orang lain
 hilangnya minat secara nyata pada kegiatan yang signifikan, termasuk
pekerjaan
 pembatasan rentang afek, tidak ada respon emosi
 Pengajaran atau pembelajaran
 terjadinya PTSD sering kali didahului atau disertai adanya
penyakit/penganiyayan fisik
 penyalahgunaan alkohol atau obat-obat lain

b. Diagnosa keperawatan
 Post Trauma Syndrome
Respon mal adaptif yang terus menerus terhadap kejadian traumatik, ataupun
kejadian yang sangat besar.
 Risk For Post Trauma Syndrome
Beresiko untuk terjadinya respon mal adaptif yang terus menerus terhadap kejadian
traumatik, ataupun kejadian yang sangat besar.

c. Nursing outcome
 Post Trauma Syndrome
Agression Self Control
Anxiety Level
Comfort Status : Psychospiritual
 Risk for Post Trauma Syndrome
Abuse Cessation
Abuse Protection
Abuse Recovery

d. NIC : counseling
 Bangun hubungan saling percaya (BHSP)
 Menunjukkan empati, kehangatan, dan jaminan
 Bantu pasien mengidentifikasi masalah atau situasi yang menyebabkan
distress
 Bantu pasien mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki dan memberikan
reinforcement
 Menggunakan teknik refleksi dan klarifikasi untuk mengekspresikan dari
kepedulian.
BAB III
KESIMPULAN

Simpulan
Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul
setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-
peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu
kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan seseorang memberikan
reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan. Bila gejala-gejala
gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan
ketidakmampuan.
Stressor adalah penyebab utama terjadinya Gangguan Stress Pasca Trauma.
Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang
parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara.
Penatalaksaan gangguan stress pasca trauma dapat dilakukan dengan psikoterapi
dengan dilakukannya terapi individu maupun terapi kolompok. Dapat juga ditambah
dengan menggunakan farmakoterapi
DAFTAR PUSTAKA

1. Carole Wade dan Carol Tavris. Psikologi Edisi 9 Jilid 1. Jakarta : Erlangga
2. Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
3. Hibbert A,Godwin A & Dear F.2009. Rujukan Cepat Psikiatri Alih
Bahasa:Rini Cendika. Jakarta : EGC
4. Kaplan H,Sadock B & Grebb J. 2007. Sinopsis Psikiatri,Jilid 2.Tangerang:
Binarupa Aksara
5. Mansjoer, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius
6. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri edisi 6. Jakarta : EGC PPDGJ III

Anda mungkin juga menyukai