KELOMPOK II :
A. Latar Belakang
Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul
setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-
peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu
kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan seseorang memberikan
reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan. Gejala-gejala umum
tersebut antara lain kenangan yang muncul kembali dalam ingatan dan berulang-
ulang, sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa tersebut, berusaha
menghindari keadaan-keadaan yang mengingatkan seseorang pada peristiwa tersebut,
menjadi mati rasa secara emosional dan suka menyendiri, sulit tidur dan konsentrasi,
ketakutan atas keselamatan pribadi.
Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena
banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana
seseorang terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya seseorang bereaksi. Sementara
itu penyebab sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Seseorang
beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika mempunyai riwayat
keluarga yang mengalami depresi. Kemungkinan lain adalah dilepaskannya hormon-
hormon tertentu oleh otak ( misalnya kortisol ) dan zat-zat kimia lainnya sebagai
respons terhadap rasa takut. Hormon-hormon dan zat-zat kimia ini juga akan
membangkitkan kenangan-kenangan tersebut. Orang-orang dengan
ketidakseimbangan zat kimia tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya
gangguan stres pasca trauma akan meningkat.
Semua manusia akan menghadapi stress dalam kehidupan, termasuk anak dan
remaja. Sumber stress yang ada disekitar kita setiap saat terjadi, dari menghadapi
lingkunganyang baru, kehilangan uang, kekerasan dalam rumah tangga, termasuk
pada anak dan remaja. Ada juga anak yang melihat seseorang menembak, ini
membuat trauma tersendiri dan lain-lain. Terkadang stressor dalam kehidupan kita
sangat kuat dan syok secara emosional, termasuk kehilangan rumah, banjir dan
bencana alam yang lain.
Kita menggunakan kata trauma dalam kehidupan kita yang berarti bahwa
orang yang mempunyai stress yang sangat tinggi. Seorang remaja yang tidak mampu
bicara dengan orang tuanya karena trauma di bentak orang tuanya. Seorang anak yang
takut melihat air mengalir, setelah bencana banjir, seorang remaja yang takut menikah
karena trauma dengan laki-laki. Seorang ibu yang sangat stress karena ada truma
dalam hidupnya dan sangat berpengaruhi dalam kehidupan rumah tangganya.
Kemampuan menghadapi stress adalah kemampuan seseorang untuk beradapatasi dengan
kondisi yang sangat stress. Kondisi ini dapat menghancurkan hidup seseorang atau
membuat seseorang bertambah kuat, dalam menghadapi segala bentuk stress. PTSD
sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian “bencana” yang
telah menimpa kita, PTSD juga dapat menyerang siapapun yang telah mengalami
kejadian traumatik dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin.
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini :
1. Untuk mengetahui hubungan infeksi otak dengan PTSD dalam
pembelajaran Keperawatan Jiwa II
2. Memberikan pengetahuan tentang PTSD dan Etiologinya.
C. Rumusan masalah
Rumusan masalah pada makalah kami ialah sebagai berikut :
1. Apa yang di maksud dengan Gangguan Stres Pasca Trauma (Post-
Traumatic Stress Disorder / PTSD)
2. Etiologgi Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
3. Epidemiologi Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)
4. Manifestasi Klinik Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress
Disorder / PTSD)
5. Faktor Resiko Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)
6. Teori Penyebab Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)
7. Hubungan Infeksi Otak dengan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic
Stress Disorder / PTSD)
8. Tanda dan Gejala Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder
/ PTSD)
9. Diagnosis Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
10. Diagnosis Banding Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress
Disorder / PTSD)
11. Prognosis Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
12. Penatalaksanaan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)
13. ASKEP Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
2. Epidemiologi
Insidensi Post Trauma Stress Disorder (PTSD) diperkirakan 9 sampai15
persen. Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8 persen. Pada populasi
yang mengalami resiko besar menghadapi pengalaman traumatis, prevalensinya dapat
mencapai 75%. Wanita lebih sering mengalami PTSD dibanding pria. PTSD bisa
timbul pada usia kapan saja namun lebih sering pada usia dewasa muda. Pada
umumnya, trauma pada pria berhubungan dengan peperangan sedangkan pada wanita
sering disebabkan oleh tindakan pemerkosaan. Gangguan ini lebih sering terjadi pada
orang yang, telah bercerai, orang yang menarik diri secara sosial atau orang dengan
kelas sosioekonomi yang rendah. Pasien PTSD umumnya memiliki tingkat
morbiditas yang tinggi.
3. Etiologi
9. Diagnosis
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa
timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat.
bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai
peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi penarikan diri secara
emosional, penumpulan perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin
akan mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk
diagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku
semuanya ,mempengaruhi diagnosis tapi bukan merupakan hal yang terlalu penting.
10. Diagnosis banding
Gejala PTSD dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan
gangguan cemas. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan kecemasan dan
aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk membedakan PTSD adalah relasi waktu
antara kejadian traumatik dan gejala, dan teringat-ingat mengenai trauma yang tidak
terjadi pada dua kelainan lainnya.
11. Prognosis
Kira-kira 30% pasien sembuh dengan sempurna, 40% terus menderita gejala
ringan, 20% terus menderita gejala sedang,dan 10% tidak berubah atau memburuk.
Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih mengalami kesulitan.
Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD muncul dalam waktu singkat,
durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan social yang baik dan tidak
adanya kondisi komorbid atau penyalahgunaan zat.
12. Penatalaksanaan
− Skrining gangguan psikiatrik yang timbul bersamaan dan lakukan penilaian resiko
(bunuh diri/pengabaian diri).
− Rujukan kepada kelompok-kelompok pendukung misalnya yayasan medis untuk
korban penyiksaan.
− Psikoterapi`Ada dua tipe psikoterapi utama yang dapat digunakan :
1. Terapi paparan.
Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan
bergradasi untuk mencapai desensitisasi.
2. Manajemen stress.
Tipe yang kedua ini adalah mengajari pasien cara menangani stress
termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah.
Data menunjukkan bahwa manajemen stress lebih cepat mengatasi PTSD
namun hasil dari terapi paparan berlangsung lebih lama.
Terapi individu, terapi kelompok dan terapi keluarga juga efektif pada
kasus PTSD. Terapi kelompok sangat baik untuk pasien sehingga mereka
dapat membagi pengalaman mereka satu sama lain. Terapi keluarga penting
terutama untuk mempertahankan pernikahan saat gejala sedang timbul. Bila
gejala menjadi sangat parah dapat pula dipertimbangkan untuk melakukan
rawat inap (Tomb,2004).
− Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), seperti sertralindan paroxetin
merupakan terapi garis pertama untuk PTSD. Karena obat ini cukup efektif, tolerable
dan aman. SSRIs mengurangi semua gejala pada PTSD tidak hanya gejala yang
menyerupai kecemasan atau depresi. Buspirone juga dapat digunakan, Beberapa
penelitian juga telah menunjukkan bahwa imipramin dan amitriptilin dapat
bermanfaat. Dosis yang digunakan sama seperti pada pasien depresi. Obat-obatan lain
yang berguna untuk PTSD adalah monoamine oxidaseinhibitors (MAOIs), trazodone
dan anticonvulsant. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi agitasi atau psikotik
akut (Kaplan,Sadock,&Grebb,2007)
Neurosensori
gangguan kognitif : sulit berkonsentrasi
kewaspadaan tinggi
ketakutan berlebihan
ingatan persisten atau berbicara terus tentang suatu kejadian
pengendalian keinginan yang buruk dengan ledakan perilaku yang agresif
tidak dapat diprediksi atau memunculkan perasaan (marah, dendam,benci,
sakit hati)
perubahan perilaku (murung, pesimistik, berpikir yang menyedihkan, iritabel),
tidak mempunyai kepercayaan diri, afek depresi, merasa tidak nyata,
kehidupan bisnis tidak dipedulikan lagi
ketegangan otot, gemetar, kegelisahan motorik
Nyeri atau ketidaknyamanan
nyeri fisik karena cedera mungkin diperberat melebihi keparahan cedera
Pernapasan
frekuensi pernapasan meningkat
dispneu
Keamanan
marah yang meledak-ledak
perilaku kekerasan terhadap lingkungan atau individu lain
gagasan bunuh diri
Seksualitas
hilangnya gairah
impotensi
ketidakmampuan mencapai orgasme
Interaksi sosial
menghindari oarang/tempat/kegiatan yang menimbulakan ingatan tentang
trauma, penurunan responsif, mati rasa secara psikis, pemisahan
emosi/mengasingkan diri dari orang lain
hilangnya minat secara nyata pada kegiatan yang signifikan, termasuk
pekerjaan
pembatasan rentang afek, tidak ada respon emosi
Pengajaran atau pembelajaran
terjadinya PTSD sering kali didahului atau disertai adanya
penyakit/penganiyayan fisik
penyalahgunaan alkohol atau obat-obat lain
b. Diagnosa keperawatan
Post Trauma Syndrome
Respon mal adaptif yang terus menerus terhadap kejadian traumatik, ataupun
kejadian yang sangat besar.
Risk For Post Trauma Syndrome
Beresiko untuk terjadinya respon mal adaptif yang terus menerus terhadap kejadian
traumatik, ataupun kejadian yang sangat besar.
c. Nursing outcome
Post Trauma Syndrome
Agression Self Control
Anxiety Level
Comfort Status : Psychospiritual
Risk for Post Trauma Syndrome
Abuse Cessation
Abuse Protection
Abuse Recovery
d. NIC : counseling
Bangun hubungan saling percaya (BHSP)
Menunjukkan empati, kehangatan, dan jaminan
Bantu pasien mengidentifikasi masalah atau situasi yang menyebabkan
distress
Bantu pasien mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki dan memberikan
reinforcement
Menggunakan teknik refleksi dan klarifikasi untuk mengekspresikan dari
kepedulian.
BAB III
KESIMPULAN
Simpulan
Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul
setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-
peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu
kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan seseorang memberikan
reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan. Bila gejala-gejala
gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan
ketidakmampuan.
Stressor adalah penyebab utama terjadinya Gangguan Stress Pasca Trauma.
Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang
parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara.
Penatalaksaan gangguan stress pasca trauma dapat dilakukan dengan psikoterapi
dengan dilakukannya terapi individu maupun terapi kolompok. Dapat juga ditambah
dengan menggunakan farmakoterapi
DAFTAR PUSTAKA
1. Carole Wade dan Carol Tavris. Psikologi Edisi 9 Jilid 1. Jakarta : Erlangga
2. Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
3. Hibbert A,Godwin A & Dear F.2009. Rujukan Cepat Psikiatri Alih
Bahasa:Rini Cendika. Jakarta : EGC
4. Kaplan H,Sadock B & Grebb J. 2007. Sinopsis Psikiatri,Jilid 2.Tangerang:
Binarupa Aksara
5. Mansjoer, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius
6. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri edisi 6. Jakarta : EGC PPDGJ III