Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal


Secara garis besar dikenal tiga konsep utama dalam pengembangan wilayah,
yaitu Konsep Pembangunan dari atas (Development from Above), Konsep Pembangunan
dari Bawah (Development from Bellow) dan Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal
(Local Economic Development). Konsep pertama dan kedua ternyata belum mampu
menjawab seluruh dampak yang terjadi, khususnya dampak negatif berupa terjadinya
disparitas wilayah. Konsep pertama cenderung menguntungkan wilayah yang lebih
besar. Wilayah dengan potensi sumberdaya lebih kaya akan menghisap sumberdaya
wilayah dibelakangnya (backwash effect) sehingga mengakibatkan terjadinya disparitas
wilayah.
Konsep Pembangunan dari Bawah secara konsepsi memungkinkan wilayah yang
lebih kecil membangun dirinya sendiri karena terpisah dari wilayah lainnya. Namun pada
kenyataannya, pembangunan lebih mengarah pada sistem pasar. Akibatnya hubungan
antara wilayah menjadi tidak ada batas, yang kemudian dikenal dengan istilah
globalisasi. Ini berarti Konsep Pembangunan dari Bawah sulit sekali diterapkan.
Kondisi tersebut diatas mendorong timbulnya Konsep Pengembangan Wilayah
dengan pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Konsep ini telah
dikembangkan pada konteks Eropa Barat, namun semakin dirasakan relevansinya untuk
negara berkembang seperti Indonesia (Firman,1996). Fenomena yang terjadi di Indonesia
bahwa beberapa wilayah masih sangat bergantung kepada pemerintah pusat dan belum
dapat secara optimal memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki sebagai pendorong
pengembangan wilayahnya.
Pengembangan Ekonomi Lokal diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas
secara sosial-ekonomi dengan lebih mandiri berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki,
baik sumberdaya alam, geografis, kelembagaan, kewiraswastaan, pendidikan tinggi,
asosiasi profesi dan lain-lain. Hal ini harus dilakukan pada skala yang kecil (skala
komunitas). Titik sentralnya adalah mengorganisir serta mentransformasi potensi-potensi
tersebut menjadi penggerak bagi pengembangan ekonomi lokal (Firman, 1999).
Blakely (1989) menambahkan bahwa pengembangan ekonomi lokal adalah suatu
proses dimana pemerintah daerah dan atau kelompok masyarakat mengelola sumberdaya
yang ada dan mengambil bagian dalam susunan persekutuan (partnership) dengan sektor
16
swasta atau yang lainnya, menciptakan lapangan kerja dan merangsang kegiatan
ekonomi dalam zona perekonomian yang telah ditetapkan dengan baik. Ciri utama dari
pengembangan ekonomi lokal ini didasarkan pada kebijakan pengembangan endogen
(endogenous development) yang menggunakan kekuatan lokal sumberdaya manusia,
kelembagaan dan fisik. Selanjutnya Blakely menambahkan bahwa pemerintah daerah,
lembaga kemasyarakatan dan sektor swasta merupakan partner penting dalam proses
pengembangan perekonomian lokal.
Selanjutnya Coffey dan Polese (1984) dalam Taufik 2005 memberikan pengertian
PEL sebagai peningkatan peran elemen-elemen endogenous dalam kehidupan sosial
ekonomi suatu lokalitas dengan tetap melihat keterkaitan serta integrasinya secara
fungsional dan spatial dengan wilayah yang lebih luas. Pada intinya PEL diartikan
sebagai tumbuhnya kewirausahaan lokal serta berkembangnya perusahaan lokal.
Sejalan dengan pernyataan diatas, Schumpeter (1961) dalam Coffey dan Polese (1984),
menambahkan bahwa konsep PEL yang dibangun atas dasar semangat jiwa
kewirausahaan dapat dijadikan penggerak utama ekonomi masyarakat. Peningkatan
ekonomi masyarakat merupakan salah satu indikasi didalam pengembangan wilayah.
Empat tahapan dari proses pengembangan lokal menurut Coffey dan Polese
(1984) adalah sebagai berikut :
1. Tumbuh kembangnya kewiraswastaan lokal, yaitu masyarakat lokal mulai
membuka bisnis kecil-kecilan, mulai mengambil resiko keuangan dengan
menginvestasikan modalnya dalam kegiatan bisnis baru.
2. Pertumbuhan dan perluasan perusahaan-perusahaan lokal, yaitu lebih banyak
perusahaan yang mulai beroperasi dan perusahaan-perusahaan yang sudah ada
semakin bertambah besar dalam hal penjualan, tenaga kerja dan keuntungannya
(lepas landasnya perusahaan lokal)
3. Berkembangnya perusahaan-perusahaan lokal keluar lokalitas
4. Terbentuknya suatu perekonomian wilayah yang bertumpu pada kegiatan dan
inisiatif lokal serta keunggulan komparatif aktivitas ekonomi lokal tersebut.

Dengan demikian pengembangan perekonomian lokal umumnya merujuk pada


pengembangan lokal dengan pertumbuhan ekonomi sebagai landasannya, atau dengan
kata lain pengembangan lokal adalah pertumbuhan ekonomi yang dimulai pada tingkat
lokal dan terjadi dalam kondisi lokal yang sudah ada (sistem pasar bebas yang sudah
ada). Dengan istilah sederhana, pengembangan ekonomi lokal menunjuk pada suatu
17
bentuk khusus dari pengembangan lokal dimana faktor-faktor internal atau lokal
memainkan peran utama atau dapat juga menggunakan istilah pengembangan yang
didasarkan pada lokalitas (locally based development).
Aplikasi dari Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal dapat dilakukan melalui
pengembangan industri, terutama melalui industri kecil. Peranan industri dalam
pertumbuhan wilayah salah satunya dikemukakan oleh Yeates and Gardner (dalam
Tambunan dkk, 2002) bahwa kegiatan industri merupakan salah satu faktor penting
dalam mekanisme perkembangan dan pertumbuhan wilayah. Kaitan perkembangan
wilayah dengan kegiatan industri merupakan proses yang simultan. Hal ini disebabkan
oleh adanya efek multiplier dan inovasi yang ditimbulkan oleh kegiatan industri
berinteraksi dengan potensi dan kendala yang dimiliki wilayah.

II.2. Peranan Industri Kecil Kerajinan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal.


Konsep pembangunan seringkali dikaitkan sebagai suatu proses. Proses
industrialisasi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Industrialisasi juga tidak lepas dari usaha untuk meningkatkan mutu sumberdaya
manusia dan kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal.
Soepono (2000) dalam Wibowo menyatakan bahwa peranan industri kecil di
Indonesia adalah karena persebarannya yang merata diseluruh tanah air, membentuk
suatu saluran pemasaran barang dan jasa yang efektif, memanfaatkan bahan baku lokal
dalam proses produksinya, menyediakan peluang kerja, sarana mengembangkan
kewirausahaan, memperkuat struktur ekonomi dengan kemampuannya untuk mengaitkan
dengan industri menengah dan besar.
Industri kecil atau industri kerajinan mempunyai peranan yang strategis, baik
dalam aspek pemerataan kesempatan berusaha yang menumbuhkan banyak wiraswasta
dalam sektor industri; pemerataan penyebaran lokasi industri yang mendorong
pembangunan daerah; pemerataan kesempatan kerja; maupun dalam menunjang program
ekspor non migas dan melestarikan seni budaya bangsa.

II.2.1. Pengertian Industri Kecil


Diberbagai Negara dan lembaga terdapat berbagai pengertian yang berbeda
mengenai industri kecil yang dianut. Di Indonesia terdapat berbagai pengertian, masing-
masing dengan kriteria yang berbeda. Industri kecil adalah kegiatan manufaktur dengan
jumlah tenaga kerja 5 – 19 orang (Biro Pusat Statistik), dengan modal kurang dari Rp. 20

18
juta dan modal maksimum untuk satu siklus produksi Rp. 25 juta (Bank Indonesia).
Secara lebih lengkap, Deperindag mendefinisikan industri kecil adalah industri dengan
teknologi madya (tradisional), merupakan organisasi padat karya dengan kekayaan
keseluruhan tidak lebih dari Rp. 600 juta, investasi per pekerja tidak lebih dari Rp. 625
ribu dan investasi peralatan (tidak termasuk tanah, gedung dan pembangkit listrik) tidak
lebih dari Rp. 300 juta.
Industri kecil tergolong dalam batasan Usaha Kecil menurut Undang-undang No.
9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, maka batasan Industri kecil didefinisikan sebagai
berikut :
“ Industri Kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah
tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk
diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp.
200 juta, dan mempunyai nilai penjualan pertahun sebesar Rp. 1 milyar atau kurang”.
Berdasarkan karakteristik faktor produksinya yaitu bahan baku, tenaga kerja,
permodalan, teknologi, pemasaran, misi, pengelolaan dan keterkaitannya, industri kecil
dibedakan ke dalam 3 jenis (Rosyidie, 1987 ; Wie, 1996) yaitu :
a. Industri Kecil Modern (IKM) meliputi industri kecil dengan ciri-ciri menggunakan
teknologi madya; skala produksi yang terbatas; tergantung pada dukungan litbang
dan industri-industri rekayasa (industri besar); dilibatkan dalam sistem produksi
industri besar dan menengah melalui sistem subkontrak, menggunakan mesin khusus
dan alat perlengkapan modal lainnya; kualitas produk relatif baik dengan
kemampuan bersaing dan jangkauan pasar relatif luas; dengan sistem pemasaran
domestik dan eksport; lebih berorientasi profit dibandingkan perluasan lapangan
kerja; sistem pengelolaan industri formal dengan pembagian kerja yang jelas.
b. Industri Kecil Tradisional (IKT) dengan ciri – ciri : menggunakan teknologi proses
sederhana; teknologi pada bantuan unit pelayanan teknis (UPT) yang disediakan
pemerintah sebagai bagian dari program bantuan teknis; mesin yang digunakan dan
alat perlengkapan modal relatif sederhana; tenaga kerja tidak berkeahlian khusus;
bahan baku dan modal industri terbatas; produk dengan jumlah dan kualitas terbatas;
akses untuk menjangkau pasar diluar lingkungan langsungnya yang berdekatan
terbatas; lokasinya di daerah perdesaan dan memiliki kaitan dengan sektor lain
(pertanian, perdagangan, tenaga kerja)
c. Industri Kecil Kerajinan (IKK) yang meliputi berbagai industri kecil yang sangat
beragam mulai dari industri kecil yang menggunakan teknologi sederhana, teknologi
19
madya dan bahkan teknologi tinggi; tenaga kerja dengan ketrampilan khusus; produk
barang kerajinan dan khas dengan jangkauan pasar lokal hingga eksport.
Berdasarkan kriteria diatas maka dapat dikatakan bahwa industri kecil kerajinan
adalah bagian dari industri kecil yang dalam proses produksinya membutuhkan
ketrampilan khusus dari tenaga kerjanya. Hasil produksi industri kerajinan ini memiliki
nilai seni yang tinggi dan membutuhkan kreatifitas dari pengrajin. Industri kecil
kerajinan ini sebagian besar masih berskala industri rumah tangga, maka oleh sebab itu
industri kecil kerajinan dikelompokkan kedalam industri kecil kerajinan rumah tangga.
Industri kerajinan ini dalam proses produksinya dibedakan atas dua yaitu industri
kerajinan tangan yang lebih dikenal dengan handycraft dan industri kerajinan
(menggunakan mesin).

II.2.2. Pengembangan Industri Kecil Kerajinan untuk menunjang Pengembangan


Ekonomi Lokal
Industri kecil, khususnya industri kecil kerajinan seringkali dipandang sebagai
sektor marginal dengan berbagai kelemahan yang antara lain sebagai berikut :
 Tidak mempunyai perencanaan tertulis baik perencanaan produksi, perencanaan
pasokan barang, perencanaan tenaga kerja dan sebagainya
 Kurang berorientasi pada masa depan
 Kurang memperhatikan administrasi dan sumberdaya manusia
 Standarisasi dan spesialisasi produk kurang terjaga
 Kapasitas peralatan dan mesin yang terbatas sehingga hanya mampu mengerjakan
pekerjaan yang sederhana, akibatnya pada ukuran-ukuran dan kapasitas tertentu
akan lebih mahal
 Perancangan (disain), riset dan pengembangan produk kurang diperhatikan.
 Memiliki posisi tawar yang lemah dalam pasar
 Akses kepermodalan yang lemah
Namun demikian, industri kecil kerajinan juga memiliki kekuatan yang perlu
diperhatikan antara lain :
 Hubungan antara aspek fisik dan rekayasa
Faktor ini ditandai dengan adanya keselarasan hubungan antara aspek fisik dan
rekayasa dalam proses produksi. Hubungan ini menyebabkan produk-produk
tertentu hanya menguntungkan apabila dibuat oleh industri kecil, akibat sifat

20
produknya yang ringan dan kecil, membutuhkan tingkat ketelitian sedang, dapat
dikerjakan dengan mesin-mesin ringan dalam proses perakitan yang sederhana
dengan tingkat pulang pokok yang dapat dicapai dalam kuantitas yang rendah.
 Produk yang membutuhkan tenaga kerja yang sangat terampil dan ketelitian yang
tinggi.
 Produk yang hanya dibuat dalam jumlah kecil dan tidak baku, dibuat bervariasi
sesuai dengan permintaan konsumen
 Produk dengan keunggulan khusus dalam aspek desain ataupun produk khusus
yang memerlukan inovasi dan kreatifitas dalam pembuatannya
 Hubungan antara pekerja dan pimpinan erat, maupun antar pekerja sendiri. Hal
ini dapat meningkatkan produktivitas dan langkanya pemutusan hubungan kerja
 Pelayanan penjualan yang lebih baik
 Cepat memanfaatkan kesempatan yang sedang berkembang.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa keberadaan industri kecil
kerajinan memiliki potensi untuk mewujudkan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) di
suatu wilayah. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal berupaya memberdayakan
potensi-potensi lokal dengan cara meningkatkan kewirausahaan lokal untuk mencapai
pertumbuhan dan kemandirian lokalitas. Konsep ini selaras dengan karakteristik industri
kecil kerajinan yang umumnya berbasiskan pada sumberdaya lokal. Dalam hal ini
industri kecil kerajinan dapat menjadi pemicu bagi pengimplementasian pengembangan
ekonomi lokal suatu wilayah.
Namun demikian, untuk mewujudkan PEL disuatu wilayah memerlukan
prasyarat tertentu, baik dari industri kecil kerajinan itu sendiri (sebagai komponen
pemicu), kondisi pengembangan wilayah suatu daerah, dan pemerintah daerah setempat
(Firman, 1999). Prasyarat yang dimaksud adalah bagaimana ketiga komponen diatas
dapat mendorong timbulnya kewirausahaan lokal sebagai indikasi berjalannya konsep
PEL di suatu wilayah.
Keberadaan industri kecil kerajinan dapat memberikan peran dalam
pengembangan wilayah karena industri tersebut dapat membentuk jaringan (linkage) di
wilayah tersebut.
Keterkaitan jaringan pada sentra industri kecil kerajinan dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu :

21
1. Jaringan/keterkaitan industri dengan pelaku usaha lainnya yang terkait dengan
input-output dalam proses produksi, misalnya hubungan industri kecil kerajinan
dengan penghasil faktor produksi dan penerima hasil produksi.
2. Jaringan/keterkaitan industri kecil kerajinan dalam sentra industri dengan sesama
industri kecil lainnya dalam semua jenis kegiatan yang dapat dilakukan bersama.
3. Jaringan/keterkaitan industri dengan berbagai institusi/lembaga terkait. Jaringan
inilah yang menjadi kunci eksistensi industri kecil dalam mewujudkan PEL suatu
wilayah.
Adanya jaringan diatas pada satu sisi akan dapat mengembangkan usaha industri kecil,
disisi lain akan dapat memberikan kontribusi terhadap ekonomi lokal berupa :
- Pertumbuhan : penambahan jumlah aktivitas ekonomi di wilayah tersebut
- Pemerataan : kesempatan masyarakat lokal untuk ikut serta dalam kegiatan
ekonomi baik pada industri kerajinan tersebut maupun kegiatan ikutannya
- Pemberdayaan : peningkatan kesejahteraan yang dialami penduduk lokal.
Sementara itu, disisi pemerintah yang diperlukan adalah kebijakan-kebijakan apa yang
telah dikeluarkan untuk mendorong tumbuhnya kewirausahaan lokal. Kebijakan ini dapat
berupa kebijakan sektoral maupun spasial. Kebijakan dan regulasi pemerintah tidak
selalu kondusif bagi perkembangan industri kecil. Kebijakan pemerintah untuk
menciptakan kondisi persaingan domestik, struktur industri dan strategi
pengembangannya akan kondusif bagi perkembangan industri.

II.2.3. Kebijakan Pembinaan Industri Kecil

Sejak lama Pemerintah sudah melakukan pembinaan terhadap Industri kecil.


Berdasarkan Program Pembangunan Nasional ditetapkan program pokok pembinaan
industri kecil, sebagai berikut:
1. Program penciptaan Iklim Industri yang Kondusif.
Program ini bertujuan untuk membuka kesempatan berindustri seluas-luasnya, serta
menjamin kepastian industri dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai
prasyarat untuk berkembangnya industri kecil. Sedangkan sasaran yang akan dicapai
adalah menurunnya biaya transaksi dan meningkatnya skala industri kecil dalam
kegiatan ekonomi.
2. Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan industri kecil dalam
memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber
22
daya lokal yang tersedia. Sedangkan sasarannya adalah tersedianya lembaga
pendukung untuk meningkatkan akses industri kecil terhadap sumber daya produktif,
seperti SDM, modal, pasar, teknologi dan informasi.
3. Program Pengembangan Kewirausahaan dan industri kecil berkeunggulan kompetitif.
Tujuannya untuk mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan daya
saing industri kecil. Sedangkan sasaran adalah meningkatnya pengetahuan serta sikap
wirausahawan dan meningkatnya produktivitas industri kecil.
Sebelum dilaksanakannya kebijakan Otonomi Daerah pembinaan terhadap
industri kecil, ditangani langsung oleh jajaran Departemen Perindustrian yang berada di
daerah. Sedangkan pemerintah daerah hanya sekedar memfasilitasi, kalau tidak boleh
dikatakan hanya sebagai penonton. Semua kebijakan dan pedoman pelaksanaannya
merupakan kebijakan yang telah ditetapkan dari pusat, sementara aparat di lapangan
hanya sebagai pelaksana. Pembinaan yang diberikan tersebut cenderung dilakukan secara
seragam terhadap seluruh daerah dan lebih bersifat mobilisasi dibandingkan
pemberdayaan terhadap industri kecil.
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka pembinaan terhadap industri
kecil perlu dirumuskan dalam suatu pola pembinaan yang dapat memberdayakan dan
mendorong peningkatan kapasitas industri kecil tersebut. Pola pembinaan tersebut harus
memperhatikan kondisi perkembangan lingkungan strategis yang meliputi perkembangan
global, regional dan nasional. Disamping itu juga pola pembinaan tersebut hendaknya
belajar kepada pengalaman pembinaan terhadap industri kecil yang telah dilaksanakan
selama ini. Salah satu strategi pemberdayaan industri kecil adalah melalui kemitraan

II.3. Kemitraan Usaha


Kemitraan usaha bukanlah suatu konsep baru. Kemitraan usaha mengandung
pengertian adanya hubungan kerja sama usaha diantara berbagai pihak yang sinergis,
bersifat sukarela, dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, saling menghidupi,
saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Prinsip kerja sama seperti itu dapat
mengatasi pembatas potensi usaha yang melekat pada satu unit usaha.
Kemitraan ada yang bersifat vertikal (antar skala usaha), yaitu antara usaha kecil
dengan usaha menengah atau usaha besar, dan ada pula yang bersifat horisontal pada
skala usaha yang sama. Namun, yang pada umumnya dimaksud dengan kemitraan adalah
antar skala usaha. Ditinjau dari aspek bentuk usaha para pelakunya, kemitraan dapat
terjalin antara koperasi, usaha swasta, dan BUMN.
23
Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun1997 terutama
dalam Pasal 1 menyatakan bahwa :
“Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan
atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah
dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan”.
Dalam Kepmenkeu RI No. 316/KMK.016/1994 sebagaimana telah dirubah
dengan Kepmenkeu RI No. 60/KMK.016/1996 tentang “Pedoman Pembinaan Usaha
Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN”, mewajibkan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan dana pembinaan sebesar 1 % - 3 %
dari keuntungan bersih, sistem keterkaitan Bapak Angkat Mitra Usaha, penjualan saham
perusahaan besar yang sehat kepada koperasi dan lain sebagainya.
Kemitraan usaha akan menghasilkan efisiensi dan sinergi sumber daya yang
dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra dan karenanya menguntungkan semua pihak
yang bermitra. Selain dapat memberikan kelenturan dan kelincahan bagi usaha besar,
kemitraan usaha juga dapat menjawab masalah diseconomies of scale yang sering
dihadapi oleh usaha besar. Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan
usaha yang efisien dan produktif sehingga dapat mengalihkan dari kecenderungan
monopoli/monopsoni atau oligopoli/oligopsoni. Bagi usaha kecil kemitraan jelas
menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi,
manajemen, dan kewirausahaan yang dikuasai oleh usaha besar. Usaha besar juga dapat
mengambil keuntungan dari keluwesan dan kelincahan usaha kecil.

II.3.1. Unsur-Unsur Kemitraan


Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan
dengan berbagai macam bentuk kerjasama dalam menghidupi dan memperkuat satu
sama lainnya. Julius Bobo menyatakan, bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk
mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth
Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan
dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya.
Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka kemitraan itu
mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha dengan prinsip
saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan yaitu :

24
1. Kerjasama Usaha
Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang
dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada
kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak
yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha
besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan
hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang
saling mengeksploitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di
antara para pihak dalam mengembangkan usahanya.
2. Antara Pengusaha Besar atau Menengah Dengan Pengusaha Kecil
Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar
atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan
pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih
berdaya dan tangguh didalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan.
3. Pembinaan dan Pengembangan
Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang
biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan
dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada
hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan
didalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan
peningkatan sumber daya manusia (SDM), pembinaan manajemen produksi, pembinaan
mutu produksi, teknologi, pemasaran serta menyangkut pula pembinaan didalam
pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi.
Berdasarkan uraian diatas bahwa kemitraan dapat didefinisikan merupakan
jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak
atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan
pengembangan, hal ini dapat terlihat karena pada dasarnya masing - masing pihak pasti
mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masing-
masing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan mengisi dengan
cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya.

25
II.3.2. Pola Kemitraan
Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan usaha,
maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang
dimitrakan. Pola kemitraan yang umumnya telah banyak dilaksanakan mengacu pada
pola kemitraan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha
Kecil yang dijelaskan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan adalah sebagai berikut :
- Pola Bapak Angkat
- Kredit Bunga Lunak
- Pola Subkontrak
- Pola Dagang Umum
- Pola Keagenan
- Pola Waralaba
- Bentuk - bentuk Lain
Pola kemitraan yang dimaksud adalah bentuk atau sistem kerjasama antara dua pihak
yang pelaksanaannya sesuai kesepakatan bersama.
Pola kemitraan tersebut dapat dijelaskan dibawah ini.
1. Pola Bapak Angkat
Pola hubungan ini dapat dibagi menjadi “keterkaitan langsung” (direct economic
linkages) dalam bentuk “subkontrak”. Pola lain adalah hubungan “keterkaitan tidak
langsung” (indirect economic linkages) di mana industri besar membantu industri kecil
yang produknya diluar “bisnis utama” (line of business) industri besar. Dalam hal ini
berupa hubungan dagang (pemasaran, pengadaan kebutuhan operasional) dan
pembinaan. Dalam pola bapak angkat ini pihak perusahaan besar atau BUMN membina
usaha kecil yang menjadi mitranya dalam bimbingan teknis produksi, manajemen,
membantu memasarkan produk mitra binaan atau dengan pemberian bantuan fasilitas
promosi pemasaran. Bapak angkat juga memfasilitasi mitra binaannya dalam bantuan
modal usaha. Pola hubungan “bapak-anak angkat” yang murni, didasari oleh semangat
kemitraan yang tinggi.
2. Kredit Bunga Lunak
Kredit bunga lunak diberikan oleh BUMN kepada usaha kecil sebagai bantuan
modal usaha. Kredit bunga lunak ini sebagai bagian dari pola kemitraan bapak angkat
dimana BUMN menyalurkan kredit dengan bunga lunak untuk membantu permodalan
usaha bagi usaha kecil. Bantuan kredit ini ada yang dengan persyaratan jaminan dan ada
26
juga yang tanpa jaminan. Usaha kecil dapat mengakses kredit ini dengan penilaian
kelayakan usaha dari BUMN.
3. Pola Subkontrak
Subkontrak adalah keadaan dimana sebuah perusahaan induk, dari pada
melakukan pekerjaan sendiri, memesan pada sebuah perusahaan independen lainya untuk
melakukan seluruh atau sebagian dari sebuah order yang telah diterima, dengan tetap
bertanggung jawab untuk pekerjaan tersebut terhadap sipembeli” (Watanabe, 1972 dalam
Julissar, 2007).
Hubungan subkontrak terdapat di mana sebuah perusahaan (pihak prinsipal) memberi
pesanan kepada pihak lain (subkontraktor) untuk menghasilkan bagian-bagian,
komponen-komponen, subassemblies atau assemblies untuk diintegrasikan ke dalam
suatu produk yang akan dipasarkan oleh pihak prinsipal” (UNIDO, 1974 dalam Julissar,
2007).
Pola subkontrak adalah pola hubungan kemitraan yang dibangun oleh perusahaan
dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan oleh
perusahaan sebagai bagian dari proses produksinya. Ciri khas dari bentuk subkontrak ini
adalah membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu
penyelesaian/penyerahan produk kepada pemesan. Pola ini mempunyai keuntungan yang
dapat mendorong terciptanya alih teknologi, modal dan ketrampilan serta menjamin
pemasaran produk kelompok mitra usahanya.
Di Jepang subkontrak merupakan salah satu kebanggaan atas sumber-sumber
kemajuan ekonomi mereka. Subkontrak memungkinkan terjadinya pembagian kerja yang
ideal dari berbagai pelaku usaha. Subkontrak juga merupakan faktor penting dalam
mencapai efisiensi ekonomi. Disamping itu subkontrak juga menyediakan kesempatan
berusaha yang lebih luas bagi masyarakat.
Dalam implementasinya, subkontrak bisa dibeda-bedakan menurut jenisnya
(Dicken, 1986 dalam Julissar, 2007) :
- Subkontrak Industrial : mengerjakan proses-proses tertentu, atau menghasilkan
komponen-komponen tertentu (tetapi bukan barang jadi) yang akan diolah lebih lanjut
oleh pihak pemesan. Dalam hal ini bisa berupa subkontrak komponen dan subkontrak
proses.
- Subkontrak Komersial : mengerjakan/menghasilkan barang jadi yang tinggal
dipasarkan oleh pihak pemesan. Dalam hal ini umumnya pihak prinsipal bukanlah
suatu industri manufaktur, tapi lebih merupakan perusahaan dagang.
27
4. Pola Dagang Umum
Pola hubungan dagang umum tidak terlalu kompleks untuk diterapkan karena
hanya merupakan wujud yang lebih formal dari transaksi dagang sepanjang saling ada
kebutuhan. Dalam kemitraan dagang umum, kelompok mitra memasok kebutuhan yang
diperlukan perusahaan mitra atau perusahaan mitra memasarkan hasil produksi
kelompok mitra. Pola kemitraan dagang umum ini memiliki kelemahan antara lain
kurangnya jaminan pemasaran, kelompok mitra sangat tergantung pada order dari
perusahaan mitra. Disamping itu praktek pemasaran konsinyasi yang sering merugikan
kelompok mitra, dimana berdampak langsung pada perputaran modal kelompok mitra
yang umumnya terbatas dalam hal permodalan.
5. Pola Keagenan
Merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan dimana industri kecil diberi
hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar
sebagai mitranya yang bertanggungjawab terhadap produk yang dihasilkan, sedangkan
industri kecil diberi kewajiban untuk memasarkan barang dan jasa tersebut, bahkan
disertai dengan target yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
6. Pola Waralaba
Merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan
perusahaan pemberi hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaannya kepada
kelompok mitra usahanya sebagai penerima waralaba yang disertai dengan bantuan
manajemen. Pemilik waralaba bertanggungjawab terhadap sistem operasi, pelatihan,
program pemasaran, merek dagang dan hal lainnya kepada mitra pemegang usaha
waralaba. Pemegang waralaba hanya mengikuti pola yang ditetapkan pemilik serta
memberikan sebagian pendapatan berupa royalty dan biaya yang terkait dengan kegiatan
usaha tersebut.
7. Bentuk-bentuk lainnya
Selain daripada pola-pola seperti yang telah disebutkan di atas, seiring dengan
semakin berkembangnya lalu lintas usaha (bisnis) dimungkinkan pula dalam
perjalanannya nanti adanya timbul bentuk pola-pola lain yang mungkin saat ini atau pada
saat yang mendatang akan atau sudah berkembang tetapi belum dibakukan.
Pada studi ini pola kemitraan yang digunakan sebagai indikator untuk
mengidentifikasi kemitraan yang terjadi antar stakeholders adalah pola kemitraan yang
sudah biasa dilaksanakan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar
yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP Nomor 44
28
Tahun 1997 tentang Kemitraan dan bentuk kemitraan lainnya yang disesuaikan dengan
kebutuhan pembinaan bagi industri kecil. Pembinaan bagi usaha kecil dilaksanakan
untuk mengatasi permasalahan dasar yang dihadapi usaha kecil terutama dalam
lemahnya struktur permodalan dan keterbatasan untuk mengakses sumber-sumber
permodalan, kelemahan dalam menangkap peluang pasar, kelemahan dalam akses
terhadap teknologi, sulitnya mendapatkan bahan baku dan bahan penolong yang
disebabkan ketatnya persaingan usaha, masalah perbaikan kualitas produk, lemahnya
sumberdaya manusia (Kuncoro, 2000). Menurut Kuncoro, pembinaan bagi usaha kecil
ini dapat dilakukan melalui program pembinaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
pendukung usaha kecil antara lain dapat dilihat pada tabel II.1 berikut :

Tabel II.1. Program Lembaga-lembaga pendukung pengembangan usaha kecil


No. Lembaga Pendukung Program
1. Pemerintah (Deperin) - Pendidikan dan pelatihan
- Penelitian dan pengembangan teknologi
produksi melalui riset & development
- Pelayanan teknis melalui unit pelayanan teknis
(UPT)
- Pelayanan informasi dan konsultasi
- Perantara usaha kecil dengan bapak angkat
2. Swasta - Peningkatan SDM melalui pendidikan dan
latihan
- Program keterkaitan usaha besar dan usaha
kecil melalui kemitraan
3. LSM - Pelatihan teknis produksi dan pengelolaan
administrasi
- Penelitian dan konsultasi
4. Lembaga penelitian di - Penelitian dan pengembangan teknologi
Perguruan Tinggi produksi, sumberdaya manusia
- Pelatihan dan teknis manajemen
- Konsultasi dan pembinaan
Sumber : Mudrajat Kuncoro, 2000

Berdasarkan pola kemitraan antara usaha besar dan usaha kecil serta program pembinaan
usaha kecil oleh lembaga-lembaga pendukung usaha kecil tersebut dijadikan sebagai
indikator dalam mengidentifikasi kemitraan antar stakeholders dalam pengembangan
industri kecil kerajinan. Penetapan indikator ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing stakeholders dalam menjalin kerjasama melalui kemitraan.

29
II.3.3. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Kemitraan
Bila disarikan dari berbagai tulisan mengenai kemitraan usaha, maka faktor-
faktor yang menentukan keberhasilan kemitraan dapat dilihat pada tabel II.2 sebagai
berikut.

Tabel II.2. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan kemitraan

Penulis/Tahun Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan kemitraan


1. Marrioti (1993) Hubungan kemitraan harus didasarkan atas etika bisnis yaitu :
1. Karakter, integritas dan kejujuran
2. Kepercayaan
3. Komunikasi yang terbuka
4. Adil
5. Keinginan pribadi dari pihak yang bermitra (motivasi/minat)
6. Keseimbangan antara insentif dan resiko
2. Ratcheva and Hubungan kemitraan biasanya dimulai antara dua pihak yang saling
Vyakarnam mengenal sehingga kredibilitas masing-masing tidak diragukan.
(2001) Hubungan kemitraan tersebut harus didasarkan atas :
1. Kepercayaan, sehingga akan terjadi komunikasi dan saling
berbagi informasi
2. Kemitraan tersebut dijalin bukan hanya atas hubungan
komplementer namun pengertian adanya keuntungan jika terjalin
kerjasama
3. Hubungan kerjasama harus dilegalkan

Keberhasilan hubungan kemitraan sangat tergantung pada hubungan yang melibatkan


interaksi pihak-pihak yang bermitra. Keeratan hubungan antar pelaku sedikit banyak
berpengaruh pada pelaksanaan kemitraan antara kelompok mitra dan perusahaan mitra
baik di sisi produksi ataupun di sisi pemasaran. Hubungan tersebut antara lain :
1. Hubungan saling mengenal.
Banyak hubungan kemitraan yang dimulai atas dasar koneksitas, artinya pihak yang
ingin menjalin kemitraan telah mengenal sebelumnya karakter dari calon mitranya.
Alasan utama biasanya karena bemitra dengan orang yang sudah dikenal sebelumnya
karakter orang tersebut sudah diketahui terutama kejujuran.
2. Saling percaya
Kepercayaan merupakan landasan utama dalam bermitra, kepercayaan bisa tumbuh
karena telah saling mengenal sebelumnya atau tumbuh karena jangka waktu
pelaksanaan kemitraan. Bila telah ada saling percaya satu sama lain maka hubungan
bermitra pun berjalan lebih baik. Hal tersebut karena tidak timbulnya rasa curiga dan

30
disisi lainpun antara pihak bermitra lebih transparan dalam hal-hal yang terkait
langsung dengan usaha mereka. Kegagalan dalam membangun kemitraan biasanya
bermula dari rasa curiga dan akhirnya sikap saling tidak percaya. Oleh karena itu
sangat penting bila di antara pihak yang bermitra saling percaya sehingga
memudahkan dalam melaksanakan kesepakatan yang telah disusun bersama.
3. Komunikasi
Komunikasi merupakan hal penting dalam kerjasama. Melalui komunikasi maka
setiap kendala, informasi dan gagasan bisa saling dipertukarkan. Komunikasi yang
terbuka bisa berdampak pada kemajuan usaha.
4. Keinginan dari pihak yang bermitra
Sebelum menjalin kemitraan, masing-masing pihak pasti memiliki keinginan untuk
meningkatkan nilai tambah. Nilai tambah ini baik dari sisi ekonomi seperti
penanaman modal, peningkatan keuntungan dan perluasan pasar. Dari sisi non
ekonomi adalah penguasaan manajemen, penguasaan teknologi dan sebagainya.

Kemitraan hanya dapat berlangsung secara efektif dan berkesinambungan jika


kemitraan dijalankan dalam kerangka berfikir pembangunan ekonomi, dan bukan
semata-mata konsep sosial yang dilandasi motif belas kasihan atau kedermawanan.
Kemitraan yang dilandasi motif belas kasihan cenderung mengarah kepada inefisiensi
sehingga tidak akan berkembang secara sinambung.
Pemerintah juga berperan penting dalam memberikan informasi peluang
kemitraan dan bantuan teknis kepada usaha kecil dalam perencanaan kemitraan dan
negosiasi bisnis. Pemerintah dapat mendukung kemitraan dengan memantapkan sarana-
prasarana dan memperkuat kelembagaan pendukung kemitraan antara lain dengan
mengembangkan sistem dan lembaga keuangan yang efektif bagi usaha kecil.
Pemerintah juga dapat berperan dalam memberikan pedoman dan rambu-rambu tentang
kemitraan melalui peraturan perundangan, misalnya bagaimana kemitraan itu dapat
dijalankan secara saling menguntungkan, apa saja kriteria yang menjamin penanggungan
resiko dan pembagian keuntungan secara adil, serta bagaimana mengatasi perselisihan
yang terjadi diantara pihak-pihak yang bermitra.

31
II.4. Kajian Pengumpulan Data, Stakeholders dan Analisis Data
Pada subbab ini terdapat beberapa bagian yang membahas tentang teori
pengumpulan data, analisis stakeholders dan analisis data yang dilakukan dalam
penelitian ini.
II.4.1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam studi berhubungan dengan
tujuan dan keluaran yang diharapkan. Dalam penelitian kualitatif ada 3 macam teknik
pengumpulan data (M.Q. Patton, 1990) yaitu :
1. Observasi langsung yaitu kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran
detail tentang aktivitas, prilaku serta tindakan orang-orang dan rentang
menyeluruh dari interaksi antarpersonal serta proses-proses keorganisasian yang
menjadi bagian pengalaman manusia yang dapat diobservasi.
2. Wawancara mendalam yang terdiri dari 3 bentuk yaitu :
a. Wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara yang mengacu kepada
pertanyaan-pertanyaan yang dihasilkan secara spontan dalam alur interaksi
yang alami.
b. Wawancara semi terstruktur, yaitu wawancara yang mencakup tampilan
serangkaian isu yang akan dieksplor kepada setiap responden yang biasa
disebut dengan checklist wawancara.
c. Wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang terdiri dari serangkaian
pertanyaan yang disusun dan diatur dengan hati-hati dengan tujuan untuk
mengarahkan tiap responden melalui pertanyaan yang sama dengan kata-kata
yang sama secara mendasar,
3. Dokumen tertulis, yaitu pengumpulan data kualitatif dalam bentuk petikan,
kutipan atau keseluruhan bagian rekaman program, klinis, atau keorganisasian,
memorandum dan korespondensi, laporan resmi, catatan harian personal dan
respon terbuka yang tertulis berdasarkan survey dan kuesioner.

Wawancara yang dilakukan dalam studi ini adalah wawancara semi terstruktur.
Jenis wawancara ini dipilih karena dengan begitu responden dapat menjawab secara
bebas dan lengkap tanpa adanya batasan tertentu. Meskipun begitu, serangkaian
pertanyaan ditetapkan untuk menjaga agar wawancara tetap berada di dalam lingkup
materi penelitian. Observasi langsung dan pengumpulan dokumen tertulis juga dilakukan
untuk melengkapi data hasil wawancara.
32
II.4.2. Definisi Stakeholders
Stakeholders didefinisikan sebagai individu, grup atau institusi yang memiliki
kepentingan terhadap suatu proyek atau program. Secara lebih rinci, UN HABITAT
(2000) mendefinisikan stakeholderss sebagai individu atau grup yang :
- memiliki kepentingan, baik dalam mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
aktivitas/kegiatan yang menjadi isu utama
- memiliki informasi, sumber daya dan keahlian yang dibutuhkan untuk
penyusunan dan implementasi dari strategi
- memiliki kontrol terhadap alat atau implementasi yang relevan
Definisi stakeholders lainnya adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi
dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu (Freedman,1982 dalam
Ramizes, 1999). Sedangkan definisi stakeholders menurut Bank Dunia (1998), yaitu
masyarakat, kelompok atau lembaga yang kemungkinannya dipengaruhi oleh intervensi
yang diajukan (secara positif atau negatif), atau yang dapat mempengaruhi hasil
intervensi. Definisi stakeholders menurut McCracken, 1998 dalam Sayuti, 2003 adalah
orang, kelompok atau institusi yang dikenai dampak dari sebuah intervensi program
(baik posistif maupun negatif) atau pihak-pihak yang dapat mempengaruhi dan atau
dipengaruhi hasil intervensi tersebut.
Untuk pengelompokan stakeholders, UNDP (1999) telah membagi dalam tiga kelompok
yaitu pemerintah (state), masyarakat (society) dan swasta (privat sector).
Dalam penelitian ini, stakeholders didefinisikan sebagai individu atau kelompok
yang memiliki kepentingan, baik dalam mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
aktivitas/kegiatan yang menjadi isu utama. Berdasarkan definisi tersebut, stakeholders
dalam pengembangan industri kecil kerajinan dapat dikelompokkan dalam :
1. Kelompok regulator (pemerintah). Pemerintah dalam hal ini dinas teknis terkait
dalam pengembangan industri kecil yaitu Dinas Perindagkop DIY,
Disperindagkop Gunungkidul, UPT Balai Bisnis DIY, Dekranasda
2. Industri kecil dalam hal ini industri kecil kerajinan sebagai anggota masyarakat
yang menjadi sasaran proses perubahan dan diharapkan keterlibatannya dalam
proses pemberdayaan.
3. Pihak swasta (pedagang/eksportir, BUMN, Asosiasi/yayasan), berfungsi sebagai
mitra usaha industri kecil kerajinan

33
4. Lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai pakar, penyedia informasi IPTEK
dan dukungan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan sebagai perwujudan Tri
Dharma Perguruan Tinggi
II.4.3. Metode Analisi Data
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga
dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Bogdan
dalam Sugiyono, 2007). Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,
memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat
diceritakan kepada orang lain. Metode penelitian kualitatif dibedakan dengan metode
penelitian kuantitatif dalam arti metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti
berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistik. Bahan untuk analisis
kualitatif adalah pembicaraan yang sebenarnya, isyarat dan tanda sosial lainnya
(Mulyana, 2000).
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data
berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat
wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai.
Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis belum memuaskan, maka peneliti
akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai tahap tertentu diperoleh data yang dianggap
kredibel. Miles dan Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai
tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Secara umum terdapat 3 tahap yang perlu
dilakukan dalam analisis kualitatif, yaitu :
1. Reduksi data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan
tertulis di lapangan. Reduksi data bukanlah sesuatu yang terpisah dari analisis.
Pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, bagian mana yang dibuang,
pola-pola mana saja yang meringkas bagian yang tersebar, cerita yang sedang
berkembang, semuanya merupakan pilihan analisis. Reduksi data merupakan
suatu bentuk analisis yang mengarahkan, membuang yang tidak perlu,
mengorganisasikan data, dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan final
bisa ditarik dan diverifikasi.
34
2. Tampilan/penyajian data (data display)
Penyajian data adalah penyusunan informasi untuk memungkinkan proses
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif dapat
berupa teks naratif, bagan, matriks atau grafik. Semuanya dirancang untuk
menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan
mudah dicerna. Dalam proses penyajian data, yang dilakukan oleh peneliti adalah
dengan memberikan gambaran dan rangkaian wawancara yang disajikan secara
sistematis kemudian diperkuat oleh cuplikan atau penggalan kalimat dari
responden yang diwawancarai. Penggalan kalimat tersebut untuk mempertegas
pernyataan yang sudah dikemukakan oleh peneliti.
3. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan adalah mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan,
pola, kejelasan, konfigurasi yang mungkin dan alur sebab akibat dengan menguji
kebenaran, kekokohan dan kecocokan makna-makna yang muncul dari data.
Tipe analisis kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif
kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan dalam menganalisis data berupa
dokumen-dokumen (literatur) dan hasil wawancara. Dalam metode analisis kualitatif,
prosedur penelitian akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan Tailor dalam Moleong, 2001).

35

Anda mungkin juga menyukai