Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Asam laktat pertama kali diisolasi dari susu asam pada abad ke-18. Pada

tahun 1918, para ilmuwan mengamati kasus di mana asidosis metabolik memiliki

kaitan dengan aliran darah yang menurun disertai syok. Di tahun 1970-an dan 80-

an, karya penelitian Huckabee dan Cohen akhirnya menggambarkan sindrom

klinis asidosis laktat seperti yang kita ketahui saat ini. Kondisi klinis dan

fisiologis dari asidosis metabolik sendiri telah diketahui selama hampir satu abad,

namun saat ini kita menemukan sebuah pendekatan yang baru untuk diagnosis dan

penatalaksanaannya (Bloomkalns, 2007).

Pencarian penanda yang akurat atau suatu set penanda untuk diagnosis,

prognosis dan pengobatan masih terus berlangsung. Estimasi nilai serum laktat

dianggap membantu memprediksi morbiditas dan mortalitas pada korban trauma.

Ada bukti untuk mendukung penggunaan kadar laktat darah sebagai titik akhir

resusitasi. Peningkatan kadar asam laktat yang tinggi dalam serum dapat

mengarahkan dokter yang merawat untuk melakukan intervensinya dengan aman

dan benar. Interfensi dilakukan dengan identifikasi awal dan tindakan resusitasi

agresif yang ditujukan untuk memperbaiki gangguan disfungsi metabolik,

meningkatkan kemungkinan hidup dan mengurangi komplikasi pada pasien

(Lamichhane, 2011).

Berbagai cara digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien yang

dirawat di ICU. Sistem skoring yang umum dipergunakan antara lain Acute

1
Physiologic and Chronic Health Evaluation (APACHE), Mortality Probability

Model (MPM), Simplified Acute Physiology Score (SAPS) dan Sequential Organ

Failure Assesment (SOFA). Keempat sistem skoring ini berdasarkan nilai

parameter klinis dan laboratorium. Kendala yang dapat dihadapi dalam

menerapkan sistem skoring tersebut ialah banyaknya parameter laboratorium yang

mungkin tidak tersedia di semua Intensive Care Unit (ICU) di Indonesia. Selain

itu dengan banyaknya parameter laboratorium yang diperiksa juga meningkatkan

pembiayaan bagi pasien-pasien yang dirawat di ICU. Oleh karena itu dibutuhkan

parameter lain yang lebih umum diperiksa yang dapat menggantikan sistem

skoring tersebut. Saat ini ada berbagai parameter independen yang telah diteliti

untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di ICU seperti pH, defisit basa,

laktat, anion gap, strong ion difference (SID) dan strong ion gap (SIG).Salah satu

parameter yang sekarang banyak diteliti dan diduga dapat memprediksi mortalitas

di ICU adalah kadar laktat dalam darah (Benjamin, 2000).

Pada pasien kritis dengan sepsis, parameter hemodinamik global seringkali

tidak dapat digunakan sebagai acuan. Untuk itu diperlukan suatu penanda untuk

menilai gangguan perfusi jaringan (shock microcirculation). Pada keadaan ini

peningkatan kadar laktat dalam darah diduga dapat dijadikan penanda adanya

gangguan/gagal perfusi jaringan atau gagal sirkulasi. Penentuan kadar laktat

penting pada pasien dengan syok, sepsis, asma, pasca operasi, cedera otak, gagal

hati, cedera paru akut (acute lung injury), dan keracunan (Agrawal, 2004).

Sirkulasi adalah sistem dimana peningkatan permintaan oksigen terpenuhi

oleh peningkatan pengiriman oksigen melalui peningkatan aliran darah. Jaringan

hipoksia dengan demikian dapat didefinisikan sebagai keadaan di mana kebutuhan

2
oksigen jaringan tidak dipenuhi oleh pengiriman oksigen jaringan. Penurunan

kadar hemoglobin dan saturasi oksigen arterial biasanya dikompensasi oleh

peningkatan curah jantung untuk mempertahankan pengiriman oksigen global,

dan hipoksia jaringan biasanya tidak terjadi. Ketika fungsi jantung terbatas

mekanisme kompensasi ini gagal dan hipoksia jaringan terjadi dengan cepat.

Banyak studi eksperimental dan klinis telah menunjukkan bahwa tingkat laktat

darah mulai meningkat ketika hipoksia jaringan terjadi (Bakker, 2004).

Kadar laktat yang tinggi pada pemeriksaan awal secara bermakna

berhubungan dengan peningkatan angka mortalitas. Husein et al. pada tahun 1999

melaporkan kadar laktat pada pasien dengan asidosis metabolik setelah dirawat 24

jam di ruang perawatan intensif sebesar > 2,2 mmol/L memiliki angka mortalitas

sampai dengan 58%. Kadar laktat yang diukur pada 24 jam setelah pasien masuk

rumah sakit memiliki sensitivitas 55,6% dan spesifisitas 97,2% untuk

memperkirakan prognosis pasien dengan sakit berat (Benjamin, 2000).

Memahami bagaimana kadar laktat dapat digunakan dalam praktek klinis

memerlukan pemahaman tentang bagaimana tubuh memproduksi dan

mengeluarkan laktat. Dalam kondisi yang stabil dan normal disertai dengan

oksigenasi pada jaringan yang baik, energi sel dapat lebih banyak diekstraksi

secara aerobik melalui siklus asam sitrat dan rantai transpor elektron. Dalam hal

ini, sel-sel mengubah piruvat menjadi asetil CoA melalui dekarboksilasi oksidatif.

Sebaliknya, ketika tubuh mengalami perfusi jaringan yang tidak memadai. Maka

piruvat akan dimetabolisme menjadi laktat (Bloomkalns, 2007).

Produksi laktat terjadi pada semua jaringan, seperti otot rangka, otak, sel

darah merah, dan ginjal. Bahkan pada kondisi basal dan dalam kondisi kaya

3
oksigen yang normal. Laktat pada subyek manusia normal dikeluarkan sangat

cepat hingga 320 mmol/L dalam 24 jam, kebanyakan dimetabolisme oleh hati dan

rekonversi laktat kembali menjadi piruvat. Tindakan ini membuat tingkat basal

laktat di bawah 1 mmol/L pada darah arteri dan vena. Latihan yang berat, kejang,

dan menggigil adalah contoh dari kondisi umum yang juga dapat menyebabkan

asidosis laktat. Dalam kasus ini, tubuh membersihkan laktat dengan cepat dan

peningkatan serum yang signifikan tidak terjadi (Bloomkalns, 2007).

Peningkatan produksi laktat ketika perfusi darah yang tidak cukup,

mungkin berguna sebagai penanda metabolisme sel yang terganggu. Seperti pada

sepsis, trauma, penurunan volume, kehilangan darah, syok septik, dan sindrom

inflamasi sistemik. Mengetahui nilai kadar laktat, terutama pada stadium awal,

dapat memberikan informasi berharga untuk membantu penilaian dan

memberikan penatalaksanaan (Bloomkalns, 2007).

Beberapa studi menunjukkan manfaat pengukuran laktat pada pasien

trauma dan pasien kritis. Studi oleh Abramson et al. penelitian prospektif pada 76

pasien multi-trauma dirawat di ICU, dilakukan pengukuran laktat serial dan

klirens laktat lebih dari 48 jam. Dari 27 pasien yang nilai laktatnya kembali

normal (≤ 2 mmol/L) dalam 24 jam, semuanya selamat, dan 3 dari 22 (13,6%)

pasien yang tidak berhasil mengeluarkan kelebihan laktatnya dalam 48 jam yang

mampu bertahan hidup. Para penulis menyimpulkan bahwa waktu yang

dibutuhkan untuk menormalkan kadar laktat dapat digunakan sebagai indikator

prognostik pada pasien (Bloomkalns, 2007).

Kadar awal laktat sangat berkorelasi dengan mortalitas. Ketika nilai kadar

laktat kurang dari 2,5 mg/dL, 5,4% (95% confidence interval [CI], 4,5-6,2%) dari

4
pasien akan meninggal, dengan perubahan kadar laktat 2,5 mg/dL menjadi 4,0

mg/dL, angka kematian menjadi 6,4% (95% CI, 5,1-7,8%), dengan kadar laktat

4,0 mg/dL atau lebih besar, angka kematian meningkat menjadi 18,8% (95% CI,

15,7-21,9%). Setelah penyesuaian usia, Injury Severity Score (ISS), Glasgow

Coma Scale (GCS), denyut jantung, dan tekanan darah, laktat awal tetap

independen terkait dengan peningkatan mortalitas, dengan odds ratio yang

disesuaikan 1,0, 1,5 (95% CI, 1.1 -2,0) dan 3,8 (95% CI, 2,8-5,3), untuk kadar

laktat kurang dari 2,5 mg/dL, 2,5 mg/dL berubah menjadi 4,0 mg/dL, dan 4,0

mg/dL atau lebih secara bermakna (Odom, 2013).

Di antara pasien dengan kadar laktat awal yang tinggi (≥ 4.0 mg/dL),

laktat kliren yang lebih rendah pada 6 jam pertama memprediksi peningkatan

risiko kematian dengan akurasi yang baik dan independen. Untuk laktat kliren dari

60% atau lebih, 30% sampai 59%, dan kurang dari 30%, odds ratio yang

disesuaikan untuk kematian adalah 1.0, 3.5 (95% CI 1,2-10,4), dan 4,3 (95% CI,

1,5-12,6 ), masing-masing. Dapat disimpulkan bahwa dari pengukuran laktat awal

dan laktat klirens pada 6 jam pertama secara independen dapat memprediksi

kematian pada pasien (Odom, 2013).

Laktat adalah biomarker yang sering digunakan pada kasus trauma dan

sepsis. Skenario pertama berkaitan dengan respon hipoksia jaringan terhadap

akumulasi piruvat yang merupakan prekursor laktat. Sebaliknya, pada sepsis ada

disfungsi enzim piruvat dehidrogenase, yang bertanggung jawab untuk mengubah

piruvat menjadi AcetylCoA, mengakibatkan peningkatan kadar laktat dengan

adanya oksigen (Sabogal, 2014).

5
Mengenai konsekuensi metabolik syok dan manajemen hemodinamik, ada

alat monitoring sederhana lainnya seperti pemeriksaan kadar laktat dan nilai

defisit basa yang dapat digunakan pada kasus penyakit kritis. Ketika diukur saat

masuk dan pada hari-hari pertama perawatan ICU, variabel ini menjadi penanda

penting keluaran pada pasien yang diresusitasi (Park, 2006).

Meskipun asidosis laktat telah menarik studi yang cukup banyak pada

pasien sakit kritis, asidosis metabolik dapat dihasilkan dari berbagai kondisi.

Meskipun literatur yang ada tidak menunjukkan hubungan yang kuat antara jenis

asidosis dan hasil akhirnya, metode tradisional yang digunakan

mengklasifikasikan dan menganalisis kelainan asam basa memiliki keterbatasan

yang signifikan , terutama pada pasien dengan sakit kritis. Studi sebelumnya yang

mengevaluasi hubungan asidosis metabolik dan keluarannya pada pasien sakit

kritis telah berfokus pada kedua etiologi spesifik ( misalnya laktat ) atau asidosis

pada tingkat tertentu ( misalnya base excess ) (Gunnerson, 2006).

Asidosis metabolik adalah gangguan klinis yang ditandai dengan

peningkatan keasaman pada plasma. Asidosis metabolik harus dianggap sebagai

tanda dari proses penyakit yang mendasari. Asidosis metabolik umum pada pasien

septik dan sakit kritis. Asidosis mungkin diakibatkan dari patofisiologi yang

mendasarinya, tapi mungkin juga hasil dari cara bagaimana pasien dikelola.

Tingkat keparahan asidosis metabolik dikaitkan dengan hasil klinis yang buruk.

Namun belum jelas apakah ada atau tidak hubungan kausal antara asidosis dan

patofisiologi sindroma septik. Beberapa temuan eksperimental telah menunjukkan

dampak modulasi asidosis pada pelepasan mediator inflamasi dan fungsi

kardiovaskular (Maciel, 2010).

6
Asidosis metabolik merupakan temuan biokimia yang umum pada pasien

dengan sakit kritis. Pentingnya prognostik kondisi ini terbukti dalam banyak

penilaian skor risiko kematian, di mana risiko meningkat sebanding dengan

tingkat keparahan asidosis. Metoda yang paling umum untuk mengukur asidosis

metabolik adalah defisit basa. Meskipun defisit basa adalah ukuran yang akurat

untuk gangguan total asam-basa akut, namun tidak dapat menggambarkan

berbagai etiologi yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya asidosis. Termasuk

kondisi asam pada jaringan, hiperkloremia dan asam lemah. Tidak umum untuk

tiga etiologi tersebut muncul berdampingan pada pasien sakit kritis. Selanjutnya,

kontribusi relatif dari masing-masing etiologi dapat bervariasi dari waktu ke

waktu (O’Dell, 2005).

Asidosis metabolik memiliki efek penting dalam sistem kardiovaskular .

Efek ini bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan asidosis . Asidosis ringan

mengaktifkan sistem simpatik, rilis katekolamin dan menginduksi depresi

miokard . Jika asidemia lebih parah, depresi miokard mendominasi dan hipotensi

terjadi karena resistensi perifer terhadap katekolamin . Dalam kondisi sepsis ,

produksi oksida nitrat (NO) meningkat dan dianggap salah satu mekanisme utama

hipotensi diakibatkan sepsis karena NO memiliki sifat vasodilator poten (Maciel,

2010).

Asidosis metabolik kompleks umum terjadi pada pasien septik dan sakit

kritis . Selanjutnya, tingkat keparahan dikaitkan dengan hasil klinis yang buruk

dan disfungsi organ . Efek nyata dari asidosis metabolik pada fungsi organ dan

patofisiologi sepsis masih belum bisa dipastikan. Namun ditemukan beberapa

bukti eksperimental terjadinya modulasi asidosis pada senyawa inflamasi dan

7
fungsi kardiovaskular . Pengobatan asidosis metabolik didasarkan pada kontrol

terhadap proses yang mendasari dan dukungan untuk disfungsi organ yang terjadi

(Maciel, 2010).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan

permasalah penelitian sebagai berikut : Apakah kadar asam laktat awal dapat

dijadikan sebagai parameter untuk prediktor mortalitas pada pasien sepsis yang

dirawat di ruang ICU RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ?

C. Pertanyaan Penelitian

Apakah kadar asam laktat awal memiliki nilai prediktor mortalitas yang

kuat dan dapat digunakan sebagai parameter untuk memprediksi mortalitas pada

pasien sepsis yang dirawat di ruang ICU RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

D. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah kadar asam laktat awal pada pasien sepsis

mempunyai nilai prediktif untuk mortalitas pasien sepsis yang dirawat di ICU

RSUP Dr. Sardjito.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

1. Manfaat praktis

Dari penelitian ini diharapkan menjadi acuan dalam melakukan

penilaian dan penatalaksanaan pasien sepsis. Diharapkan juga penanganan

8
pasien sepsis memiliki luaran yang lebih baik dengan penggunaan kadar

laktat sebagai prediktor mortalitas.

2. Manfaat akademik

Sebagai informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya

terutama dalam lingkup bidang anestesiologi dan terapi intensif.

F. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 mencantumkan beberapa penelitian prediksi mortalitas pada

pasien dengan menggunakan parameter kadar asam laktat di dalam darah.

Tabel 1.1. Penelitian tentang kadar asam laktat sebagai prediktor mortalitas.

No. Peneliti Jumlah Populasi Desain Hasil Penelitian


(Tahun) Sampel Penelitian Penelitian
1. Khosravani 9036 Pasien di ICU, Retrospektif Laktat sebagai
et al., 2009 (≥ 18 tahun). prediktor independen
terhadap kematian:
Kadar laktat 2-5 mM: OR 1.94
darah arteri atau (1.62-2.32);
vena saat masuk 5-10 mM: OR 3.38
ke ICU. (2.64-4.33);
10-15 mM: OR 4.41
Yang diteliti: (2.99-6.5);
Kematian di 15-20 mM: OR 7.58
ICU. (3.93-14.6);
20-max: OR 10.89
(4.85-24.48).
2. Nichol et 7155 Pasien di ICU. Retrospektif Dibandingkan laktat
al., 2010 Kadar laktat < 0.75 mM, nilai
darah arteri saat laktat saat masuk >

9
masuk ICU. 2.0 mM memiliki OR
kematian 2.1 (1.3-
Yang diteliti: 3.5, p = 0.01).
Kematian di RS. Laktat antara 0.75-
1.0 mM memiliki OR
= 2.0 (p < 0.0001).
Laktat > 2.0 mM
memiliki OR = 3.7
(1.9-7.0, p < 0.0001).
3. Smith et 148 Pasien di ICU Prospektif Laktat masuk > 1.5
al., 2001 Kadar laktat mMol berhubungan
darah arteri pada dengan kematian
saat masuk ICU. dalam 28 hari (p <
Serial: 24 jam 0.0001). Area under
kemudian. ROC curve = 0.78.
Yang diteliti:
Kematian 28
hari di RS.
4. Suistomaa 98 Pasien di ICU. Prospektif, Nilai puncak median
et al., Kadar laktat Observasional laktat pada kelompok
2000 darah arteri pada meninggal adalah 5.3
saat masuk ICU. mM (IQR, 1.9-7.5)
Serial: setiap 2 vs. 1.9 mM (IQR,
jam dalam 24 1.3-2.9) untuk yang
jam pertama. hidup, p = 0.003.
Yang diteliti: Hiperlaktatemia saat
Kematian di RS. masuk ICU
berhubungan dengan
kematian lebih tinggi
dibandingkan
hiperlaktatemia yang
terjadi setelah masuk

10
perawatan (29.0% vs.
5.9%, p = 0.003).
Hiperlaktatemia (> 6
jam) berhubungan
dengan mortalitas
lebih tinggi (36.8%
vs. 0%, p = 0.008).
5. Nguyen et 111 Pasien dengan Prospektif, Kliren laktat kurang
al., 2004 severe sepsis Observasional dari 10% dalam 6
atau syok septik jam berhubungan
(> 18 tahun). dengan angka
Kadar laktat saat kematian 60 hari
masuk ke IGD yang lebih tinggi,
Serial: dalam 6 dibandingkan kliren
jam. laktat yang lebih dari
Yang diteliti: 10% (p = 0.007).
Kematian 60 Sens. 44.7% and
hari di RS. spec. 84.4%.
6. Jansen et 394 Pasien ICU Prospektif, Koreksi laktat dalam
al., 2009 dengan sepsis, Observasional 24 jam pertama
perdarahan, atau berkaitan dengan
kondisi lain penurunan mortalitas
rendah oksigen. yang signifikan pada
Laktat arteri saat kelompok sepsis (p =
masuk ICU. 0.003), tapi tidak
Serial: 12 & 24. bermakna pada
Yang diteliti: kelompok yang lain,
Kematian di RS (p = 0.42).

11
7. Lee et al., 126 Pasien dengan Prospektif, Tidak didapatkan
2008 severe sepsis Observasional perbedaan signifikan
atau syok septik kematian yang
(≥ 20 tahun). didapatkan antara
Kadar laktat pasien dengan
arteri pada saat peningkatan laktat
masuk IGD. dibanding laktat
Serial: 4 jam. normal, selama pH
Yang diteliti: masih berada dalam
Kematian di RS batas normal.

Sejauh ini peneliti belum menemukan penelitian yang meneliti tentang

pemeriksaan kadar asam laktat sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis

yang dirawat di ruang ICU RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai