Anda di halaman 1dari 5

Berita kematian terkait HIV/AIDS di Kab Cianjur, Jawa Barat, yang mencapai 32 dari 278 kasus

kumulatif HIV/AIDS ternyata tidak memberikan gambaran ril tentang epidemi HIV/AIDS di
Kab Cianjur (32 dari 278 Pengidap HIV/AIDS di Cianjur
Meninggal, radarsukabumi.com, 30/3- 2012).

Kematian 32 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) itu tidak memberikan makna terhadap
masyarakat. Jumlah kematian itu hanya berupa angka semata.

Padahal, kalau dikaitkan dengan epidemi HIV, maka 32 kematian Odha pada rentang waktu
2005 – 2012 menunjukkan penularan HIV kepada 32 Odha yang meninggal itu terjadi antara
tahun1990 dan 2007 (Lihat Gambar).Data itu terkait dengan mata rantai penyebaran HIV di
masyarakat, terutama malalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.Sebelum 32 Odha itu meninggal mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain pada
rentang waktu antara tahun 1990 – 2007. Kalau satu Odha yang meningal mempunyai satu
pasangan, seperti istri atau suami, tentulah sudah ada lagi 32 yang berisiko tertular HIV.

Angka itu akan tambah banyak kalau di antara yang tertular ada istri sehingga ada risiko
penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak.

Mata rantai penyebaran kian luas kalau di antara 32 yang meninggal itu ada pekerja seks
komersial (PSK). Jika satu malam seorang PSK meladeni tiga laki-laki, maka sudah ada3.600 –
10.800 ( 1 PSK x 3 laki-laki x 20 hari/bulan x 5 atau 15 tahun) laki-laki yang berisiko tertular
HIV.

Realitas inilah yang sering tidak muncul dalam berita sehingga banyak orang yang tidak
memahami epidemi HIV.

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kab Cianjur, Hilman Kurnia,
sepanjang tahun 2011 hingga bulan Maret 2012 penyakit yang mematikan itu telah menjangkiti
11 orang dengan 1 korban meninggal dunia.

Tentu saja pernyataan Hilman itu tidak akurat. Tidak bisa dipastikan kapan seseorang rertular
HIV, dalam hal ini melalui hubungan seksual. Maka, 11 kasus itu tidak bisa dibuktikan terjangkit
(tertular) HIV pada tahun 2011-2012. Yang pasti adalah pada kurun waktu 2011 – 2012
terdeteksi 11 kasus HIV/AIDS, salah satu di antaranya meninggal.

Biar pun ada yang meninggal, tapi perlu diingat kematian itu bukan karena HIV atau AIDS atau
dua-duanya. Kematian pada Odha terjadi di masa AIDS (setelah tertular HIV antara 5 – 15
tahun) karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. Maka,
HIV/AIDS bukan penyakit mematikan.
Disebutkan: Memang penyakit dengan nama lengkap Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) saat ini tengah mengalami peningkatan luar
biasa.

Pernyataan di atas juga tidak akurat. HIV adalah virus, sedangkan AIDS ada kondisi seseorang
yang sudah mengidap HIV.

Terkait dengan jumlah kasus yang terdeteksi dalam bentuk laporan angka akan terus bertambah
atau ‘peningkatan luar biasa’ karena cara pelaporan kasusHIV/AIDS di Indonesia dilakukan
dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga
angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun banyak Odha yang meninggal.

Dikabarkan pula: “Lebih memprihatinkan lagi adalah makin meningkatnya HIV/AIDS di


kalangan ibu rumah tangga dan bayi yang tak berdosa.”

Fakta yang tidak muncul dalam berita ini adalah yang membuat prihatin bukan karena penularan
HIV pada ibu rumah tangga, tapi perilaku seksual suami mereka sehingga tertular HIV.

Kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga terjadi karena mereka ditulari suaminya.
Sedangkan anak-anak tertular dari ibu yang mengidap HIV.

Tidak ada kaitan dosa dengan penularan HIV. Pernyataan ‘bayi yang tak berdosa’ mengesankan
HIV untuk pendosa.

Karena tidak ada langkah konkret yang dilakukan Pemkab Cianjur dalam menanggulangi
HIV/AIDS, maka penyebaran HIV di wilayah Kab Cianjur akan terus terjadi. Pada waktunya
akan terjadi ‘ledakan AIDS’.
Cianjur, Akuratnews.com – Dinas Kesehatan Cianjur, Jawa Barat, mencatat
sepanjang tahun 2017, terdapat 168 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) baru, 86 di
antaranya gay.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Cianjur Neneng Efa
Fatimah mengatakan, ODHA yang berasal dari kaum gay memang berisiko tinggi
menularkan HIV/AIDS dibandingkan pekerja seks komersial (PSK) atau kategori risiko
tertular lain.

“Awal tahun ini kami belum mendapatkan laporan karena masih mengumpulkan data.
Berdasarkan laporan dari LSM dan pihak lainnya, jumlah gay di Cianjur terus
bertambah, namun kami akan memastikan data,” kata Efa di Cianjur, Selasa
(30/01/18).

Dinkes Cianjur masih terus memvalidasi data serta mendorong pelaku seks
menyimpang untuk melakukan tes agar dapat diketahui jumlah pasti penderita
HIV/AIDS. Dia berharap ada kerja sama dari semua pihak untuk mencegah penyebaran
seks menyimpang, terlebih risiko penularan HIV/AIDS lebih tinggi terhadap pelaku seks
menyimpang.

“Kami akan mengerakkan penyuluhan untuk mencegah penularan penyakit mematikan


itu. Yang terpenting mencegah terjadinya perilaku seks menyimpang melalui penguatan
keluarga dan lingkungan yang agamis,” kata Efa.

Koordinator Lapangan Komunitas Lensa Cianjur Tedi Rustandi mengatakan, Komunitas


Lensa telah mengumpulkan data gay baru sebanyak 10 orang dalam rentang waktu 4-
12 Januari. Mulai 15-24 Januari ditemukan kembali 40 gay baru.

“Cukup signifikan penambahannya. Itu belum pendataan terbaru hingga akhir Januari
dimungkinkan bertambah lagi,” katanya.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Cianjur Hilman mengatakan, pihaknya


bersama instansi terkait mengupayakan penanganan terhadap LSL yang telah terdata
dengan melakukan tes kesehatan guna memastikan LSL tersebut tidak terjangkit
HIV/AIDS. (As)
Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Cianjur, Jawa Barat mencatat hingga
bulan September 2017 ditemukan 60 kasus baru penderita HIV/AIDS.
Pengidap terbanyak didominasi kaum gay di wilayah itu.
"Hasil survei yang kami temukan di lapangan 70 persen pengidap merupakan
(gay) sedangkan 30 persen lainnya dari berbagai kalangan," kata Sekretaris
KPA Cianjur Hilman, seperti dilansir Antara, Selasa (26/9).
Pengidap yang terjangkit virus mematikan itu dari kalangan usia produktif
kisaran usia 15 - 35 tahun. Untuk 30 persen lainnya dari kalangan ibu rumah
tangga dan penjaja seks komersil.
Hilman kemudian membandingkan data tahun ini dengan tahun sebelumnya.
Ia menuturkan tahun 2016 kasus pengidap HIV/AID di Cianjur berjumlah 142
kasus, didominasi 60 persen gay dan 40 persen pengidap campur, mulai dari
ibu rumah tangga, PSK serta anak-anak.
"Dari tahun sebelumnya gay merupakan tingkat tertinggi pengidap HIV/AIDS
sedangkan anak-anak hanya satu persen. Penularan pada anak-anak
biasanya akibat dari ibunya yang telah mengidap HIV/AIDS, melalui air susu
ibu (ASI)," katanya.
Hingga saat ini, tambah dia KPA gencar osialisasikan pencegahan penularan
HIV/AIDS ke berbagai kalangan karena Cianjur merupakan kabupaten yang
mendapatkan peringkat ke 11 terbanyak kasus pengidap HIV/AIDS se Jawa
Barat.
"Penanggulangan HIV/AIDS ini bukan hanya tanggung jawab KPA, namun
semua kalangan dengan harapan instansi pemerintahan maupun warga ikut
menyosialisasikan dan memberikan penyuluhan sehingga Cianjur dapat
mencegah penyebaran penyakit mematikan itu," katanya.(KR,FKR)

https://kumparan.com/@kumparannews/gay-menjadi-penyebab-utama-pengidap-hiv-aids-di-cianjur-
bertambah
Komisi Penanggualangan AIDS Provinsi Banten harus mewaspadai peningkatan kasus HIV AIDS, karena
menurut angka kasus capaian nasional tercatat pada akhir tahun 2016 telah melewati 300,000. Provinsi
Banten pada tahun 2016 ini mengalami peningkatan mencapai 989 kasus (sumber: Laporan Ditjen P2P,
Kemenkes RI, 8 Februari 2017), padahal pada periode 2014-2015 angka kasus mampu dikendalikan
hingga turun mencapai 4.5%.

Bila jumlah infeksi HIV di Provinsi Banten pada 2014 mencapai 680 dan pada 2015 dilaporkan 649,
maka pada tahun 2016 tercatat 989 kasus, presentasi kenaikan Provinsi Banten mencapai 52% . Di
tahun 2016 Provinsi Jawa Timur masih tercatat sebagai provinsi dengan kasus HIV terbanyak secara
nasional (6.513 kasus), disusul provinsi DKI Jakarta (6.019 kasus) dan Jawa Barat di tempat ke tiga (5.466
kasus). Provinsi Banten masih masuk dalam 10 Provinsi dengan kasus HIV Terbanyak Tahun 2016
karena menempati posisi ke 8.

Sedangkan penyebaran kasus AIDS pada tahun 2016 dilaporkan Provinsi Banten menduduki posisi
no.9 dengan 195 kasus yang terjadi pada Triwulan 2 tahun 2016, dibawah Jawa Tengah (1.395 kasus),
Jawa Timur (1.108 kasus) dan Bali (882 kasus).

Penyebaran kasus HIV yang begitu cepat di provinsi Banten perlu di evaluasi secara mendalam oleh
semua pihak-pihak terkait. Apakah ini adalah kegagalan dalam upaya penanggulangan dan
pengendalian HIV atau ini sebuah keberhasilan dalam penemuan angka kasus baru sehingga zero
infection di tahun 2030 bisa tercapai?

Secara nasional kita tetap prihatin karena kasus HIV AIDS sudah melampaui 300.000 kasus, tepatnya
mencapai 319.103 kasus. Dengan temuan jumlah infeksi HIV 232.323 dan AIDS 86.780. Yang tetap
menjadi perhatian secara teritorial yaitu Provinsi Jawa Timur yang berhasil menggusur kompleks
pelacuran terbesar di Asia Tenggara Dolly dan Provinsi DKI Jakarta yang berhasil membumi hanguskan
kompleks pelacuran tertua di Jakarta Kali Jodoh, ternyata memegang rekor tertinggi jumlah kasus HIV
AIDS (DKI Jakarta 54.003 kasus Jawa Timur 48.340 kasus). Sementara provinsi Banten di urutan ke
sebelas dengan total 7.241. (Sumber: Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 8 Februari 2017).
Apakah Provinsi Banten yang sudah merelokasi Dadap Cengin pada tahun 2016 lalu akan mengikuti
potret Jawa Timur dan DKI Jakarta?.

Sekarang kita sudah memasuki bulan ke empat di tahun 2017, upaya pencegahan dan pengendalian
HIV AIDS apa yang paling bisa mengurangi jumlah orang tertular HIV AIDS?. Tidak lain dan tidak bukan
adalah kesanggupan para lelaki untuk tidak melakukan seks beresiko. Kalaupun masih berani
melakukan seks beresiko, janganlah lupa menggunakan pengaman (kondom) serta edukasi yang
menyeluruh tentang HIV AIDS.

Kita semua wajib peduli terhadap upaya pencegahan penularan HIV AIDS. Kita harus berani
mengedukasi komunitas terdekat kita. Semoga tahun 2017, kita sanggup menahan laju perkembangan
orang tertular HIV AIDS agar tidak melampaui angka 400.000. Jika pun demikian pemerintah sudah
harus siap dengan menyiapkan pengobatannya dan antisipasi dampak sosial ekonomi bagi Orang
Dengan HIV AIDS (ODHA

Anda mungkin juga menyukai