1. Aspek Medikolegal
Aspek medikolegal berhubungan dengan dasar dari pengadaan Visum et Repertum
yang dibuat sesuai dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap korban penganiayaan.
Prosedur permintaan visum et repertum korban penganiayaan telah diatur dalam pasal
133 ayat 1 dan 2KUHAP:
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupum mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Pada kasus ini, surat permintaan visum belum diberikan secara tertulis sebelum
dilakukan pemeriksaan pada korban, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal
133 KUHAP yang telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan standar prosedur
operasional RSUP Dr. M.Djamil Padang tentang pelayanan Visum et Repertum korban
penganiayaan yang datang tanpa disertai Surat Permintaan Visum (SPV) tetapi
memenuhi salah satu kriteria : riwayat trauma, akibat peristiwa apapun, keracunan atau
diduga keracunan/overdosis, riwayat tidak diketahui, riwayat tidak dikenal, dugaan
bunuh diri atau pembunuhan, dugaan akibat malpraktik medis, tetap harus dibuatkan
Visum et Repertum.
Dalam KUHP dikenal luka akibat kelalaian atau karena yang disengaja. Luka yang
terjadi ini disebut Kejahatan Terhadap Tubuh atau Misdrijven Tegen Het Lijf. Jenis
kejahatan yang disebabkan karena kelalaian diatur dalam pasal 359, 360, dan 361
KUHP.
Pasal 359
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.
Pasal 360.
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka
sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat
menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau
pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Yang dikatakan luka berat pada tubuh pada pasal 90 KUHP adalah penyakit atau luka
yang tidak bisa diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat
mendatangkan bahaya maut, terus-menerus tidak cakap lagi dalam memakai salah satu
panca indera, lumpuh, berubah pikiran atau akal lebih dari empat minggu lamanya,
menggugurkan atau memnbunuh anak dari kandungan ibu.
Gambar 2.1 Bentuk dari abrasi dapat menandakan jenis permukaan yang
kontak dengan kulit. (Dikutip dari forensic pathology 2nd edition)
3.1 Insiden
Pada kasus kematian karena cedera, trauma kepala merupakan jenis trauma
terbanyak yang ditemukan yakni lebih dari 50% trauma. Pada pasien uang mengalami
trauma multipel, kepala adalah bagian yang paling sering mengalami cedera, dan pada
kecelakaan lalu-lintas yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan
pada 75% penderita.2
Setiap tahun, diperkirakan sekitar 0,3-0,5% penduduk dunia mengalami trauma
kapitis dan otak. Di Amerika Serikat, insiden cedera otak karena trauma diperkirakan
180-220 kasus per 100.000 populasi. Dengan jumlah popuasi yang mencapai 300 juta
jiwa, kira-kira 600.000 mengalami cedera kepala traumatik pertahunnya.6
Cedera kepala biasa terjadi pada dewasa muda antara 15- 44 tahun. Pada
umumnya rata-rata usia adalah sekitar 30 tahun. Laki-laki dua kali lebih sering
mengalaminya.7 Statistik negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma
kapitis mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang mengakibatkan
seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang
lebih 33 % kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut trauma kapitis. Di
luar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kapitis terjadi karena kecelakaan
lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena
kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dari
mereka yang dimasukkan rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40% meninggal
dalam satu hari dan 35% meninggal dalam satu minggu perawatan.8
Penyebab kematian dan cacat yang menetap yang diakibatkan oleh trauma
kepala yaitu 50% oleh trauma secara langsung dan 50% oleh gangguan peredaran
darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada trauma. Komplikasi
itu berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral, perubahan-perubahan yang
menyangkut sistem kardiopulmonal yang bisa menimbulkan gangguan pada tekanan
darah, PO2 arterial atau keseimbangan asam-basa.8
3.2 Anatomi
4. Otak
Menurut perkembangan embriologi, otak atau encephalon terbagi atas 3
bagian yaitu :
a) Proencephalon yang berkembang menjadi telencephalon dan
diencephalon. Telencephalon selanjutnya menjadi hemisfer cerebri yang
menempati fossa crania anterior dan media.
b) Mesencephalon
c) Rhombencepahlon yang berkembang menjadi pons dan cerebellum.
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.3
Gbr 2.
Lobus-lobus Otak
(Dikutip dari kepustakaan 3)
3) Otak
a) Contusio Cerebri
b) Laceratio Cerebri
c) Oedema Cerebri
d) Commotio Cerebri
4) Selaput Otak
a) Epidural Haemorrhage
b) Sub dural Haemorrhage
c) Sub arachnoid Haemorrhage
1. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang. Umumnya disebabkan oleh benturan dengan objek yang keras
dengan ukuran sedang, yaitu dengan luas lebih dari 5 cm2. Pada benturan yang
terjadi, sebagian besar energi tidak digunakan untuk menimbulkan deformitas lokal
pada tulang tengkorak.7,8
Bila fraktur linier ini didapatkan melintasi daerah perdarahan a.meningea media, perlu
dicurigai terjadinya hematoma epidural arterial. Bila garis fraktur yang dijumpai
melintasi daerah sinus longitudinal superior atau sinus lateralis maka perlu dicurigai
adanya hematoma epidural vena.7,8
Gambar 3. Fraktur linier disebabkan oleh benturan keras pada kepala yang mengenai jalan raya
akibat kecelakaan lalu lintas. (dikutip dari kepustakaan No.10)
2. Fraktur Diastase
Fraktur diastase adalah fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak, dan
berakibat terjadinya pemisahan sutura kranial tersebut. Fraktur ini sering terjadi pada
anak di bawah usia 3 tahun, sedangkan pada orang dewasa relatif lebih jarang. Fraktur
diastase yang terjadi pada sutura lambdoidea memiliki resiko terjadinya hematoma
epidural. 7-9
Gambar 4. Fraktur diastase pada Coronal Suture Line (CSL) dan Sagital Suture Line (SSL). Dikutip
dari kepustakaan No.10
3. Fraktur Comminuted
Fraktur comminuted adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya lebih dari satu
fragmen patahan tulang, namun masih dalam satu bidang. Beberapa literatur tidak
membedakan fraktur ini dengan fraktur linier, karena diasumsikan merupakan bentuk
fraktur linier yang multipel. 7-9
4. Fraktur Deppressed
Fraktur ini disebababkan oleh benturan dengan beban tenaga yang lebih besar
daripada fraktur linier, dengan permukaan benturan yang lebih kecil. Misalnya
benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi, dll. Fenomena kontak yang terjadi disini
lebih terfokus dan lebih padat sehingga akhirnya melebihi kapasitas elastisitas tulang
dan terjadilah perforasi tulang. Fraktur deppressed diartikan sebagai fraktur dengan
tabula eksterna pecahan fraktur yang tertekan masuk ke dalam sehingga terletak di
bawah level anatomik tabula interna tulang tengkorak sekitanya yang utuh. Sebagai
akibat impaksi tulang ini, dapat terjadi penetrasi terhadap duramater dan jaringan otak
di bawahnya, dan dapat berakibat kerusakan struktural dari jaringan otak tersebut.7,8
Gambar 6. Fraktur depressed pada tulang tengkorak
( Dikutip dari kepustakaan No.9 )
5. Fraktur Konveksitas
Fraktur konveksitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk
konveksitas (kubah) tengkorak seperti os frontalis, os temporalis, os parietalis, dan os
occipitalis. Fraktur konveksitas dapat berupa fraktur linier, deppressed, kominutif,
atau diastase.7,8
Gambar 7. Fraktur konveksitas dengan hematoma subgaleal yang luas (pemeriksaan postmortem)
(Dikutip dari kepustakaan No.7)
Gambar 9. Kontusio pada dasar lobus temporal dan frontal, disebut juga ’burst lobe’ (Dikutip
dari kepustakaan No.7)
Kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan (coup contussion), di tempat lain
(countrecoup contussion) atau dapat pula terjadi diantara lesi coup dan countercoup
yang disebut sebgai intermediate-coup contussion. 7,8
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik nekrosis, dan diikuti oleh edema
vasogenik. Kontusio tampak tidak terlalu berat, namun dapat mengakibatkan kematian
karena adanya komplikasi yang ditimbulkan, misalnya komplikasi kardiopulmonal. 7,8
Laserasi serebri
Laserasi serebri adalah kontusio serebral yang berat, dimana mengakibatkan
gangguan kontinuitas jaringan otak yang kasat mata, dan dalam hal ini terdapat
kerusakan atau robeknya piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat
dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan
oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen
fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laserasi tak langsung
disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis. 7,8
Perdarahan intrakranial
1) Hematoma Epidural
Hematoma epidural atau dalam beberapa literatur disebut pula sebagai hematoma
ekstradural, adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara duramater dan
tabula interna tulang tengkorak. Umumnya disebabkan oleh trauma tumpul kepala,
yang mengakibatkan terjadinya fraktur linier, namun dapat pula tanpa disertai fraktur.
Lokasi yang paling sering adalah di bagian temporal atau temporoparietal ( 70 % ) dan
sisanya di bagian frontal, oksipital, dan fossa serebri posterior. Darah pada hematoma
epidural membeku, berbentuk bikonveks.
Sumber perdarahan yang paling sering adalah dari cabang a.meningea media, akibat
fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun dapat pula dari arteri dan
vena lainnya, atau bahkan keduanya. Hematoma epidural yang tidak disertai fraktur
tulang tengkorak akan memiliki kecenderungan lebih berat, karena peningkatan
tekanan intrakranial akan lebih cepat terjadi. 7,8
Gambar 11. Hematoma epidural. (Dikutip dari kepustakaan No.10)
2) Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan duramater dan
arachnoidea. Perdarahan yang terjadi dapat berasal dari pecahnya bridging vein yang
melintas dari ruang subarachnoidea atau korteks serebri ke ruang subdural, dengan
bermuara dalam sinus venosus duramater. Selain itu dapat pula akibat robekan
pembuluh darah kortikal, subarachnoidea, atau arachnoidea yang disertai robeknya
lapisan arachnoidea. 7,8
Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada hematoma epidural, dan
memiliki angka mortalitas yang tinggi, antara 60-70 % untuk yang sifatnya akut. 7,8
5) Hematoma Intraventrikuler
Hematoma intraventrikuler adalah adanya darah dalam sistem ventrikel, dalam hal ini
akibat trauma. Sumber perdarahan tidak selalu mudah diketahui, bahkan biasanya sulit
ditemukan, mungkin dari robekan vena di dinding ventrikel, korpus kalosum, septum
pelusidum, forniks, atau pada pleksus koroid. Dapat pula sebagai perluasan dan
perdarahan di lobus temporal atau frontal, atau ganglia basalis. 7,8
Biasanya hematoma ini didapatkan menyertai trauma kepala dengan hematoma
subarachnoid. Cedera kepala yang sampai menyebabkan perdarahan intraventrikel ini
merupakan cedera yang sangat berat, dan karenanya memiliki mortalitas yang tinggi.
7,8
Gambar 15. hematoma intraventrikular. (Dikutip dari kepustakaan No.12)
b. Kerusakan Difus
Kerusakan difus adalah kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari
otak, dan umumnya bersifat mikroskopis. Kerusakan ini paling sering disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme akselerasi
dan deselerasi. Angulasi, rotasi, dan peregangan yang timbul menyebabkan robekan
serabut saraf pada berbagai tempat yang sifatnya menyeluruh. Berdasarkan gambaran
patologinya, kerusakan difus ini dibedakan atas: 7,8
Diffuse Axonal Injury (DAI)
DAI adalah adanya kerusakan akson yang difus dalam hemisfer serebri, korpus
kalosum, batang otak, dan serebelum (pedunkulus). Awalnya, kekuatan renggang
pada saat benturan melebihi level ketahanan akson, sehingga terjadi sobekan atau
fragmentasi aksolemma, dan keteraturan susunan sitoskeleton akson akan menjadi
rusak. Terjadi pada saat benturan, tetapi ada yang memberi batas waktu dalam 60
menit sejak kejadian (primer axotomy). 7,8
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun susunan
sitoskeleton akson terganggu. Penghantaran aksoplasma akan terbendung pada
sitoskeleton yang mengalami kerusakan sehingga terjadi pembengkakan akson
(retraction ball), yang pada akhirnya akan menyebabkan putusnya akson. Terjadi
antara 12 – 48 jam (secondary axotomy). 7,8
Diffuse Vascular Injury (DVI)
DVI ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khusunya massa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien
segera meninggal dalam beberapa menit. Pada DVI, terjadi perubahan struktur
menyeluruh pada endotel mikrovaskular otak. Sehingga terjadi ekstravasasi sel darah
merah. 7,8
2. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, edema otak, TTIK
(Tekanan Tinggi Intrakranial), hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya,
kerusakan ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu : 7,8
a. Kerusakan hipoksik – iskemik menyeluruh ( Diffuse hypoxic-ischemic
damage)
Kerusakan ini sudah berlangsung pada saat antara terjadinya trauma dan awal
pengobatan. Kerusakan ini timbul karena : 7,8
- Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
- Iskemia : berhetinya aliran darah
- Hipotensi arterial sistemik
b. Edema otak menyeluruh (Diffuse brain swelling)
Keadaan ini terjadi akibat peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau
peningkatan volume darah (intravaskuler), atau kombinasi keduanya. Pada diffuse
brain swelling sebenarnya belum jelas patogenesisnya, diperkirakan sebagai jenis
kongestif karena kehilangan tonus vasomotor. 7,8
V. Patofisiologi
A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)
Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang menentukan kemampuan tulang
tersebut untuk menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk (deformasi) saat
benturan. Hal ini juga dipengaruhi oleh umur, dengan pertambahan usia maka
elastisitas jaringan tulang akan berkurang. Keadaan tulang yang mempengaruhi
adalah tingkat elastisitas dan ketebalan tulang tengkorak.7,8
Pada saat terjadi benturan, terjadi peristiwa penekanan pada tabula eksterna di
tempat benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa peregangan
tabula interna ini tidak hanya terbatas di bawah daerah kontak, tetapi meliputi seluruh
tengkorak. Jika peregangan ini melebihi kemampuan deformasi tulang tengkorak,
terjadilah fraktur. Oleh sebab itu, peristiwa fraktur pada tulang tengkorak berawal dari
tabula interna yang kemudian disusul oleh tabula eksterna. 7,8
Benturan pada tulang tengkorak menyebabkan perubahan elastisitas pada
tulang tengkorak, mencakup lekukan ke dalam (inbending) pada bagian tulang yang
terkena dan biasa pula terjadi variasi lain dimana terjadi lekukan ke arah luar
(outbending). Apabila kekuatan benturan mengenai area yang kecil (misal: pukulan
atau senjata) maka fraktur biasanya memberikan gambaran inbending, sedangkan
apabila area yang terkena benturan itu luas, maka biasanya akan memberikan
gambaran outbending. Bentuk konveks dari tulang tengkorak menyebabkan
penyebaran energi secara efisien dimana vertex merupakan puncak dari tulang
tengkorak. Pada banyak kasus, fraktur linier akan bercabang sepanjang diastase dan
membentuk fraktur diastase. Sebaliknya, energi yang terjadi pada basis tulang
tengkorak (basis cranii) akan menyebabkan fraktur linier yang akan mengakibatkan
tejadinya kelemahan, memberikan berbagai gambaran adanya udara dalam foramina
dan sinus. 7,8
Gambar 16. Siklus defisit neurologis progresif yang menyertai lesi massa
intrakranial yang membesar (Dikutip dari kepustakaan No.13)
Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan jalan napas
Penatalaksanaan jalan napas bertujuan untuk menstabilkan jalan napas dan
menyediakan ventilasi oksigen yang cukup. Dapat dilakukan intubasi endotrakeal.
Intubasi nasal atau nasogastric tube sebaiknya dihindari terutama pada pasien yang
dicurigai fraktur basis cranial. Kegagalan pernapasan dapat terjadi karena cedera
neurologist atau cedera thoraks. 14
2. Penatalaksanaan system kardiovaskular
Normotensi dan euvolemia adalah hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan
kardiovaskular. Resusitasi volume menggunakan larutan isotonic sebaiknya dilakukan
untuk mempertahankan tekanan pengisian yang adekuat, cardiac output yang normal
dan normotensi. 14
3. Penatalaksanaan terhadap perfusi serebral dan peningkatan tekanan intracranial. 14
Penatalaksanaan peningkatan intracranial termasuk diantaranya menaikkan posisi
kepala sehingga membentuk sudut 30° terhadap tempat tidur dan mempertahankan
kepala dan leher pada posisi midline. Obat-obat sedasi dan paralisis digunakan untuk
mencegah agitasi dan aktivitas muscular yang dapat menigkatkan tekanan intracranial.
Penggunaan loop diuretic atau osmotic diuretic ditujukan untuk menurunkan produksi
cairan serebrospinal. 14
4. Penatalaksanaan Perdarahan.
Disseminated intravascular coagulopathy terjadi pada sepertiga pasien trauma kepala
dan membutuhkan manajemen yang aggresif dan koreksi factor-faktor pembekuan
untuk menurunkan resiko. 14
5. Pembedahan
Dekompresi melalui pembedahan dibutuhkan pada keadaan epidural dan subdural
hematoma yang berkembang sangat cepat yang menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial dan kompresi fokal. 14
Daftar Pustaka
19. Dimaio VD, editor. Time of Death. In: Forensic Pathology. 2nd Ed. Florida:
CRC Press LCC; 2001. pp: 178-216.
24. Vincent J. D. dan Dominick, D. 2001. Blunt Trauma Wounds. Forensic Pathology
Second Edition, Chapter 4, pp. 1-26
25. Idries, A. M. 2008. Sistematik Pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik Khusus
Pada Korban Perlukaan. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan, Bab 7, hal. 133-143. Jakarta: Sagung Seto
26. Faisal A. Hasil Pemeriksaan Ct Scan Pada Penderita Stroke. berkala ilmu
kedokteran; 1992: 13(4).