Anda di halaman 1dari 45

Pembahasan

1. Aspek Medikolegal
Aspek medikolegal berhubungan dengan dasar dari pengadaan Visum et Repertum
yang dibuat sesuai dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap korban penganiayaan.
Prosedur permintaan visum et repertum korban penganiayaan telah diatur dalam pasal
133 ayat 1 dan 2KUHAP:
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupum mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Pada kasus ini, surat permintaan visum belum diberikan secara tertulis sebelum
dilakukan pemeriksaan pada korban, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal
133 KUHAP yang telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan standar prosedur
operasional RSUP Dr. M.Djamil Padang tentang pelayanan Visum et Repertum korban
penganiayaan yang datang tanpa disertai Surat Permintaan Visum (SPV) tetapi
memenuhi salah satu kriteria : riwayat trauma, akibat peristiwa apapun, keracunan atau
diduga keracunan/overdosis, riwayat tidak diketahui, riwayat tidak dikenal, dugaan
bunuh diri atau pembunuhan, dugaan akibat malpraktik medis, tetap harus dibuatkan
Visum et Repertum.
Dalam KUHP dikenal luka akibat kelalaian atau karena yang disengaja. Luka yang
terjadi ini disebut Kejahatan Terhadap Tubuh atau Misdrijven Tegen Het Lijf. Jenis
kejahatan yang disebabkan karena kelalaian diatur dalam pasal 359, 360, dan 361
KUHP.
Pasal 359
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.
Pasal 360.
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka
sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat
menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau
pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Yang dikatakan luka berat pada tubuh pada pasal 90 KUHP adalah penyakit atau luka
yang tidak bisa diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat
mendatangkan bahaya maut, terus-menerus tidak cakap lagi dalam memakai salah satu
panca indera, lumpuh, berubah pikiran atau akal lebih dari empat minggu lamanya,
menggugurkan atau memnbunuh anak dari kandungan ibu.

2. Aspek Patologi Forensik Pada trauma tumpul kepala


2.1 Lebam dan Kaku Mayat
2.1.1 Lebam mayat (livor mortis)
Ketika terjadi kematian, jantung tidak lagi memompa darah keseluruh tubuh
dan tonus muskuler pembuluh darah menghilang. Akibatnya darah mengalami
hipostasis (penurunan) menuju daerah tubuh terendah akibat pengaruh
gravitasi.15,16Keadaan ini menimbulkan lebam berwarna merah kebiruan yang hilang
dengan penekanan. Peristiwa ini dikenal dengan nama lebam mayat.17,18
Kemunculan lebam mayat dapat menjadi indikator perkiraan lama waktu
kematian, yakni 20 menit hingga 2 jam paska kematian. Lebam akan terus bertambah
dan menetap pada 8-12 jam paska mati.22
Lebam mayat tidak selalu terlihat pada kondisi tertentu, bergantung pada usia,
kondisi darah, dan keadaan lain.Warna lebam mayat berbeda- beda sesuai penyebab
keracunan, seperti pada kasus keracunan karbon monoksida, sianida, dan hipotermia,
lebam berwarna merah terang atau merah muda. Warna coklat menunjukkan
keracunan nitrobenzen atau potasium klorat.15,17
Pada mayat Ny.D ditemukan lebam mayat pada punggung kanan bagian
belakang berwarna merah keunguan dan hilang pada penekanan. Hal ini
menandakan bahwa perkiraan waktu kematian Ny. D sudah antara 20 menit sampai 8-
12 jam.

2.1.2 Kaku mayat (rigor mortis)


Saat kematian, tonus otot akan mulai menghilang, namun tetap dipertahankan
oleh aktivitas pemecahan cadangan glikogen otot. Kaku mayat terjadi akibat habisnya
cadangan glikogen otot sehingga aktin dan miosin menggumpal.15,22
Seluruh otot tubuh mulai kaku secara bersamaan setelah kematian, namun
kekakuan ditandai dari kelompok otot kecil ke kelompok otot besar.15 Kaku mayat
mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-
otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi
lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang
sama.15,20,21
Faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku mayat antara lain umur, aktivitas
fisik sebelum mati, persediaan glikogen, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus
dengan otot kecil dan suhu lingkungan tinggi.22

2.2 Mata, Hidung, dan Telinga


Mata merupakan salah satu bagian tubuh yang diperiksa pada pemeriksaan luar.
Penilaian pada mata, antara lain: 18,23
- Mata terbuka atau tertutup
- Kekeringan sklera
- Ukuran pupil (kecil/sedang/besar) dan nilai apakah sama ukuran pupil mata
kanan dan kiri
- Perdarahan pada konjungtiva
- Lensa kontak, opasitas lensa, defek lainnya
Ukuran pupil pada mayat dipengaruhi oleh kekakuan otot iris. Ukuran pupil
dapat ditemukan sama atau berbeda (anisokor) pada kedua mata. Selain itu, pada mata
perlu diperiksa adanya bintik perdarahan pada kelopak mata, konjungtiva, maupun
sklera.18 Pada mayat ini, mata dinilai pada bagian luar mata, yaitu bulu mata, hingga
konjungtiva.
Pada hidung, hal yang dapat dinilai, antara lain keadaan tulang nasal, isi lubang
hidung, apakah terdapat sesuatu yang keluar dari lubang hidung, dan adakah
kering/kemerahan di sekitar hidung.23 Pada mayat ini, hidung mayat dinyatakan sedang
dan tidak keluar apa-apa dari lubang hidung.
Pada telinga, perlu dinilai apakah ada sesuatu yang keluar dari lubang telinga,
seperti perdarahan, atau lainnya.23 Pada mayat ini, telinga mayat dinyatakan sedang
dan tidak keluar apa-apa dari lubang telinga kanan dan kiri.
2.3 Luka-luka
Luka akibat trauma benda tumpul dapat berupa salah satu atau kombinasi dari
luka memar, luka lecet, luka robek, patah tulang atau luka tekan.
Derajat luka, perluasan luka, serta penampakan dari luka yang disebabkan oleh trauma
benda tumpul bergantung kepada:
- Kekuatan dari benda yang mengenai tubuh
- Waktu dari benda yang mengenai tubuh
- Bagian tubuh yang terkena
- Perluasan terhadap bagian tubuh yang terkena
- Jenis benda yang mengenai tubuh
Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai beberapa cara menahan kerusakan
yang disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut menimbulkan berbagai tipe luka.
Luka akibat trauma benda tumpul dibagi menurut beberapa kategori. 24
2.3.1 Luka Lecet (Abrasi)
Luka lecet adalah luka yang superfisial, kerusakan tubuh terbatas hanya pada
lapisan kulit epidermis. Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis pembuluh
darah dapat terkena sehingga terjadi perdarahan. Arah dari pengelupasan dapat
ditentukan dengan pemeriksaan luka. Dua tanda yang dapat digunakan. Tanda yang
pertama adalah arah dimana epidermis bergulung, tanda yang kedua adalah hubungan
kedalaman pada luka yang menandakan ketidakteraturan benda yang mengenainya.24
Karakteristik luka lecet :
- Sebagian/seluruh epitel hilang terbatas pada lapisan epidermis
- Disebabkan oleh pergeseran dengan benda keras dengan permukaan kasar dan
tumpul
- Permukaan tertutup exudasi yang akan mengering (krusta)
- Timbul reaksi radang (Sel PMN)
- Sembuh dalam 1-2 minggu dan biasanya pada penyembuhan tidak meninggalkan
jaringan parut
Pola dari abrasi sendiri dapat menentukan bentuk dari benda yang
mengenainya. Waktu terjadinya luka sendiri sulit dinilai dengan mata telanjang.
Perkiraan kasar usia luka dapat ditentukan secara mikroskopik. Kategori yang
digunakan untuk menentukan usia luka adalah saat ini (beberapa jam sebelum), baru
terjadi (beberapa jam sebelum sampai beberapa hari), beberapa hari lau, lebih dari
benerapa hari. Efek lanjut dari abrasi sangat jarang terjadi. Infeksi dapat terjadi pada
abrasi yang luas.25
Memperkirakan umur luka lecet:
- Hari ke 1 – 3 : warna coklat kemerahan
- Hari ke 4 – 6 : warna pelan-pelan menjadi gelap dan lebih suram
- Hari ke 7 – 14 : pembentukan epidermis baru
- Beberapa minggu : terjadi penyembuhan lengkap
Sesuai dengan mekanisme terjadinya, luka lecet dapat diklasifikasikan sebagai
luka lecet gores (scratch), luka lecet serut (scrape), luka lecet tekan (impact abrasion)
dan luka lecet berbekas (patterned abrasion).
- Luka lecet gores (Scratch)
Diakibatkan oleh benda runcing (misalnya kuku jari yang menggores kulit)
yang menggeser lapisan permukaan kulit (epidermis) di depannya dan
mengakibatkan lapisan tersebut terangkat, sehingga dapat menunjukan arah
kekerasan yang terjadi.
- Luka lecet serut (Scraping)
Adalah variasi dari luka lecet gores yang daerah persentuhannya dengan
permukaan kulit lebih lebar. Arah kekerasan di tentukan dengan melihat letak
tumpukan epitel.

Gambar 2.1 Bentuk dari abrasi dapat menandakan jenis permukaan yang
kontak dengan kulit. (Dikutip dari forensic pathology 2nd edition)

- Luka lecet tekan (Impact abrasion)


Disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit. Karena kulit adalah
jaringan yang lentur maka, bentuk luka lecet tekan belum tentu sama dengan bentuk
permukaan benda tumpul tersebut, tetapi masih memungkinkan identifikasi benda
penyebab yang mempunyai bentuk yang khas, misalnya kisi-kisi radiator mobil,
jejas gigitan dan sebagainya. Gambaran luka lecet tekan yang di temukan pada
mayat adalah daerah kulit yang kaku dengan warna yang lebih gelap dari sekitarnya
akibat menjadi lebih padatnya jaringan yang tertekan serta terjadinya pengeringan
yang berlangsung pasca kematian.

Gambar 2.2 Impact abrasion pada sisi kanan wajah.


(Dikutip dari kepustakaan forensic pathology 2nd edition)

2.3.2 Kontusio (Luka Memar)


Kontusio terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang singkat.
Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil dan dapat
menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah kulit atau organ dibawahnya. Kontusio
adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan yang terjadi
sewaktu orang masih hidup, dikarenakan pecahnya pembuluh darah kapiler akibat
kekerasan benda tumpul,24
Bila kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan luka memar terjadi pada
daerah dimana jaringan longgar, seperti di daerah mata, leher, atau pada orang yang
lanjut usia, maka luka memar yang tampak seringkali tidaka sebanding dengan
kekerasan, dalam arti seringkali lebih luas; dan adanya jaringan longgar tersebut
memungkinkan berpindahnya “memar” ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan
gravitasi.
Salah satu bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi mengenai
bentuk dari benda tumpul, ialah apa yang dikenal dengan istilah “perdarahan tepi”
(marginal haemorrhages), misalnya bila tubuh korban terlindas ban kendaraan, dimana
pada tempat yang terdapat tekanan justru tidak menunjukkan kelainan, kendaraan akan
menepi sehingga terbentuk perdarahan tepi yang bentuknya sesuai dengan bentuk celah
antara kedua kembang ban yang berdekatan. Perubahan warna pada memar
berhubungan dengan waktu lamanya luka, namun waktu tersebut bervariasi tergantung
jenis luka dan individu yang terkena. Tidak ada standar pasti untuk menentukan
lamanya luka dari warna yang terlihat secara pemeriksaan fisik.
Memperkirakan umur luka memar :
- Hari ke 1 : terjadi pembengkakan warna merah kebiruan
- Hari ke 2 – 3 : warna biru kehitaman
- Hari ke 4 – 6 : biru kehijauan–coklat
- > 1 minggu-4 minggu : menghilang / sembuh
Lebam mayat atau livor mortis sering salah diinterpretasikan dengan luka
memar. Livor mortis merupakan perubahan warna ungu kemerahan pada area
mengikuti posisi tubuh disebabkan oleh akumulasi darah oleh pembuluh darah kecil
secara gravitasi. Berikut ini perbedaan luka memar dengan lebam mayat: 24
Tabel 2. Perbedaan Luka Memar dan Lebam Mayat
LUKA MEMAR LEBAM MAYAT
Di sembarang tempat Bagian tubuh yang terendah
Pembengkakan (+) Pembengkakan (-)
Tanda Intravital (+) Tanda Intravital (-)
Ditekan tidak menghilang Ditekan Menghilang
Diiris : tidak menghilang Diiris : dibersihkan dengan kapas menjadi bersih
Luka memar atau kontusio juga dapar terjadi pada organ dan jaringan dalam.
Kontusio pada tiap organ memiliki karakteristik yang berbeda. Pada organ vital seperti
jantung dan otak jika terjadi kontusio dapat menyebabkan kelainan fungsi dan bahkan
kematian.
Kontusio pada otak, dengan perdarahan pada otak, dapat menyebabkan terjadi
peradangan dengan akumulasi bertahap produk asam yang dapat menyebabkan reaksi
peradangan bertambah hebat. Peradangan ini dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, koma dan kematian. Kontusio dan perangan yang kecil pada otak dapat
menyebabkan gangguan fungsi organ lain yang luas dan kematian jika terkena pada
bagian vital yang mengontrol pernapasan dan peredaran darah.
Hampir seluruh kontusio otak superfisial, hanya mengenai daerah abu-abu.
Beberapa dapat lebih dalam, mengenai daerah putih otak. Kontusio pada bagian
superfisial atau daerah abu-abu sangat penting dalam ilmu forensik. Rupturnya
pembuluh darah dengan terhambatnya aliran darah menuju otak menyebabkan adanya
pembengkakan dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkaran kekerasan
dapat terbentuk apabila kontusio yang terbentuk cukup besar, edema otak dapat
menghambat sirkulasi darah yang menyebabkan kematian otak, koma, dan kematian
total. Poin kedua terpenting dalam hal medikolegal adalah penyembuhan kontusio
tersebut yang dapat menyebabkan jaringan parut yang akan menyebabkan adanya
fokus epilepsi.
Perlu dipertimbangkan lokasi kontusio tipe superfisial yang berhubungan
dengan arah kekerasan yang terjadi. Hal ini bermakna jika pola luka ditemukan dalam
pemeriksaan kepala dan komponen yang terkena pada trauma sepeti pada kulit kepala,
kranium, dan otak. Ketika bagian kepala terkena benda yang keras dan berat seperti
palu atau botol bir, hasilnya dapat berupa, kurang lebihnya, yaitu abrasi, kontusio, dan
laserasi dari kulit kepala. Kranium dapat patah atau tidak. Jika jaringan dibawahnya
terkena, hal ini disebut coup. Hal ini terjadi saat kepala relatif tidak bergerak. Kita juga
harus mempertimbangkan situasi lainnya dimana kepala yang bergerak mengenai
benda yang padat dan diam. Pada keadaan ini kerusakan pada kulit kepala dan pada
kranium dapat serupa dengan apa yang ditemukan pada benda yang bergerak-kepala
yang diam. Namun, kontusio yang terjadi, bukan pada tempat trauma melainkan pada
sisi yang berlawanan. Hal ini disebut kontusio contra-coup.
Pada pemeriksaan kepala penting untuk mengetahui pola trauma. Karena foto
dari semua komponen trauma kepala dari berbagai tipe kadang tidak tepat sesuai
dengan demontrasi yang ada, diagram dapat menjelaskan hubungan trauma yang
terjadi. Kadang-kadang dapat terjadi hal yang membingungkan, dapat saja kepala yang
diam dan terkena benda yang bergerak pada akhirnya akan jatuh atau mengenai benda
keras lainnya, sehingga gambaran yang ada akan tercampur, membingungkan, yang
tidak memerlukan penjelasan mendetail.

2.3.3 Laserasi (Luka robek)


Suatu pukulan yang mengenai bagian kecil area kulit dapat menyebabkan
kontusio dari jaringan subkutan, seperti pinggiran balok kayu, ujung dari pipa,
permukaan benda tersebut cukup lancip untuk menyebabkan sobekan pada kulit yang
menyebabkan laserasi. Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya runcing
tetapi tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit dan
menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit. Tepi dari laserasi ireguler dan
kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian yang lebih rata dari
benda tersebut yang mengalami indentasi 24
Pada korban Ny. D ditemukan luka yang sesuai dengan kekerasan tumpul yaitu luka
memar pada kepala bagian belakang, dada kanan dan kiri, paha kiri, luka lecet lengan
atas kanan, mata kaki kiri, dan jari telunjuk kaki kiri. Jika pada pasien dilakukan
autopsi maka beberapa hal yang dapat ditemukan pada kasus trauma tumpul pada
kepala adalah sebagai berikut :
1. Fraktur tulang tengkorak. Pada pemeriksaan luar fraktur basis crania dapat ditemukan
adanya lebam periorbital (raccoon eyes), perdarahan sclera, perdarahan retroauricular
(Battle’s sign) dan perdarahan dari telinga. 9
Gambar: Manifestasi eksternal fraktur basis cranii. (A) Lebam periorbital (raccoon
eyes). (B) Perdarahan sclera. (C) Perdarahan dari telinga. (D) Lebam dibelakang
telinga (Battle’s sign).
2. Epidural Hematom. Temuan autopsi pada epidural hematom yang tidak ditangani
sangat jelas. Terdapat kontusio pada kulit kepala temporal di sisi hematom, hematom
yang besar pada ruang epidural dapat terlihat ketika tulang tengkorak dibuka. Edema
serebral berat difus yang hebat sebagai efek okupansi ruang intracranial oleh hematom
dapat diamati, termasuk herniasi subfalcine, yang meluas dari sisi hematom ke arah
yang berlawanan, dan herniasi transtentorial, yang biasa lebih terlihat pada sisi yang
hematom. Pembengkakan hemisfer serebral dibawah hematom menyebabkan
permukaan otak tampak mulus. 9
3. Subdural hematom.
a. Subdural hematom akut. Temuan luar pada kasus subdural hematom akut dapat
mencerminkan penyebab trauma. Banyak kasus pada pada subdural hematom akut,
baik apakah disebabkan oleh serangan atau jatuh, memiliki tanda trauma benda tumpul
pada pemeriksaa luar, lebih umum terdapat di wajah daripada di kepala. Fraktur
tengkorak umum terjadi. Pada kasus di hematom yang tidak ditangani, hematom yang
terjadi meluas pada ruang dibawah duramater karena sifat dari duramater yang kaku.
Hematoma tercetak pada permukaan otak di bawahnya sehingga undulasi kortikal
normal tetap terjaga bahkan ketika terjadi udem otak berat (berkebalikan dengan
permukaan otak yang mulus dibawah epidural hematom. Kecembungan girus pada
hemisfer pada arah yang berlawanan mendatar dan sulcus di dekatnya tertekan,
mencerminkan suatu efek space-occupying dari hematom dan udem otak sekunder.
Herniasi transtentorial dan herniasi tonsillar sering terjadi. 9
b. Subdural hematom kronik. Pada subdural hematom kronik, terdapat berbagai variasi
penampakan yang berhubungan dengan ukuran dan lamanya. Umumnya, kavitas
hematom sempit dan mengandung darah cair atau cairan yang bercampur dengan
darah. Hematom ditutup oleh lapisan tipis membrane dalam dan lapiran tebal
membrane luar. Penampilannya bermacam-macam, terbentuk dari perdarahan baru,
perdarahan lama yang kelabu, hemosidering kuning dan kolagen pucat serta jaringan
fibrotic lainnya. Jika hematom merupakan penyebab kematian, efek dari space-
occupancy akan terlihat pada herniasi subfalcine, uncal dan tonsillar. 9
4. Perdarahan subarachnoid. Perdarahan pada ruang subarachnoid yang diakibatkan oleh
trauma kranioserebral sering ekstensif karena cairan serebrospinal dan darah
subarachnoid yang tidak membeku mengalir bebas pada ruang subarachnoid. Jumlah
perdarahan subarachnoid proporsional terhadap interval antara waktu trauma dan
kematian (dapat minimal apabila kematian terjadi segera setelah trauma) dan ukuran
dari sumber perdarahan, dan, meskipun jejas darah subarachnoid dapat menyebar luas,
biasa yang paling jelas terletak dekat dengan sumbernya. 9
5. Perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral dapat terjadi dalam bentuk
kontusio-hematom, perdarahan batang otak yang menyebabkan herniasi transtentorial,
himatom jauh di dalam otak terpisah dari konveksitas hemisfer, hematom
ekstraganglion atau lobar yang soliter dan berukuran sedang-besar, hematom serebral
yang terisolasi, dan tipe yang jarang di mana terjadi robekan antara korpus kalosum
dorsolateral dan girus cingulated menyebabkan perdarahan ke dalam ventrikel dan
hematom yang membelah white matter antara dasar lateral korpus kalosum dan girus
cingulate. 9
6. Perdarahan intraventrikular. Keberadaan darah yang berlebihan pada ventrikel
keempat, terlihat melalui foramen Luschka dan Magendie sebelum pengirisan otak,
dapat diambil pada saat autopsy sebagai bukti tidak langsung dari perdarahan
intraventrikular. 9
7. Kontusi.
a. Kontusi akut. Penampakan umum dari kontusi akut pada permukaan otak bervariasi
dari permukaan otak yang pucat ke kerusakan disertai perdarahan dan nekrosis pada
area yang luas. Perubahan tersebut dapat terletak pada gray matter atau meluas dengan
derajat dan karakteristik yang bervariasi ke white matter di dekatnya. Pada irisan otak,
kontusi yang kecil atau kontusi dengan interval antara trauma dan kematian yang
dekat, tampak sebagai perdarahan linear yang sejajar dengan permukaan pial,
mencerminkan jalur pembuluh darah kortikal dan menggambarkan bagaimana
robekan pembuluh darah tersebut mempengaruhi kontusi. Kontusi-laserasi yang besar
tampak sebagai area perdarahan yang terpisah-pisah dengan bentuk yang irregular.
Kontusi koup memiliki bentuk menyempit dengan dasarnya pada permukaan pial.
Udem otak terlokalisasi disekitar kontusi yang setara dengan ukuran kontusi. 9
b. Kontusi lama. Resorpsi darah dan jaringan nekrotik dari kontusi meninggalkan kavitas
dan kistik yang jelas. 9
8. Diffuse Axonal Injury. Cedera kontak pada kulit kepala dan tulang jarang ditemukan,
tetapi bila ada dapat dihubungkan antara cedera aksonal dan kontak pada kepala.
Temuan pada permukaan otak juga jarang. Irisan otak sulit dinilai melalui mata
telanjang atau mengandung robekan perdarahan dengan dimensi yang bervariasi pada
korpus kalosum, pada sudut dorsal dari hemisfer serebral, dan pada kuadran
dorsolateral dari batang otak rostral pada sekitar pedunkel serebellar superior dan
tengah. Perdarahan pada thalamus dan ganglia basalis sering terjadi. 9
9. Diffuse Vascural Injury. Diffuse vascular injury biasanya fatal, korban dapat
meninggal pada tempat kejadian atau bertahan hidup hanya beberapa jam. Cedera
kontak pada kepala mungkin tidak tampak jelas. Pemeriksaan pada otak menunjukkan
perdarahan subarachnoid yang jarang dan perdarahan petechi yang tersebar luas. Hal
yang terakhir dapat terlihat dibawah mikroskop.Perdarahan tampak nyata pada banyak
daerah subependymal, pons lateral dan otak tengah, dan garis tengah hipotalamus dan
batang otak rostral. 9
10. Hypoxic-Ischemic Brain Injury. Otak tampak normal atau terlihat pembengkakan
difus atau local non-spesifik dan tampak pucat. Penampakan yang jelas hanya dapat
terlihat di bawah mikroskop dalam bentuk neuron dengan noda sitoplasmik merah
terang dan nuclei hiperkromatik menyusut pada area dengan hematoksilin dan eosin.
Gambaran diagnosis histologis pada nekrosis neuronal iskemik tidak tampak sebelum
6-12 jam setelah cedera. 9
11. Brain Swelling. Gambaran patologis awal dari udem otak adalah pendataran dari
permukaan girus dan penyempitan sulcus. Efek keseluruhan dari udem otak adalah
gambaran umum otak yang mulus dan datar pada undulasi normal pada permukaan
hemisfer serebral. Gambaran otak dari dewasa muda normalnya tampak full sehingga
kadang-kadang sulit untuk membedakan apakah terjadi udem otak atau tidak. 9
2.4 Pemeriksaan Penunjang
CT scan adalah test diagnostik yang memiliki informasi yang sangat tinggi. Tujuan
utama penggunaan CT scan adalah mendeteksi perdarahan intra cranial, lesi yang
memenuhi rongga otak (space occupying lesions/ SOL), edema serebral dan adanya
perubahan struktur otak. Selain itu CT scan juga dapat digunakan dalam
mengidentikasi infark , hidrosefalus dan atrofi otak. 26
Hemoragi intraserebral pada CT Scan tampak sebagai lesi hiperdens, homogen,
batas tegas, bentuknya bulat atau oval. Bayangan hiperdens disebabkan oleh
hemoglobin yang keluar dari pembuluh darah. Zona hemoragi biasanya dikelilingi oleh
daerah hipodens yang tipis, merupakan edema perifokal yang biasanya timbul pada hari
ke 3-4.26
Pada pemeriksaan Brain CT-Scan tanpa kontras Ny. D di IGD ditemukan adanya
perdarahan dalam otak (perdaratahn intra serebral) dan Pemeriksaan Rontgen panggul
dan dada di IGD tidak ada kelainan
3. Trauma kepala
Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sering berbeda dengan pengertian
medis. Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah hilangnya
diskontinuitas dari jaringan. Dalam pengertian medikolegal trauma adalah pengetahuan
tentang alat atau benda yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan seseorang.
Artiya orang yang sehat, tiba-tiba terganggu kesehatannya akibat efek dari alat atau
benda yang dapat menimbulkan cedera. Aplikasinya dalam pelayanan Kedokteran
Forensik adalah untuk membuat terang suatu tindak kekerasan yang terjadi pada
seseoang.1 Trauma tumpul adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada
permukaan tubuh yang disebabkan oleh benda-benda yang mempunyai permukaan
tumpul seperti batu, kayu, bola, martil, jatuh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu lintas,
dan sebagainya.4 Trauma tumpul pada kepala adalah kekerasan tumpul pada kepala
yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tengkorak,
selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri.2
Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik..2

3.1 Insiden
Pada kasus kematian karena cedera, trauma kepala merupakan jenis trauma
terbanyak yang ditemukan yakni lebih dari 50% trauma. Pada pasien uang mengalami
trauma multipel, kepala adalah bagian yang paling sering mengalami cedera, dan pada
kecelakaan lalu-lintas yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan
pada 75% penderita.2
Setiap tahun, diperkirakan sekitar 0,3-0,5% penduduk dunia mengalami trauma
kapitis dan otak. Di Amerika Serikat, insiden cedera otak karena trauma diperkirakan
180-220 kasus per 100.000 populasi. Dengan jumlah popuasi yang mencapai 300 juta
jiwa, kira-kira 600.000 mengalami cedera kepala traumatik pertahunnya.6
Cedera kepala biasa terjadi pada dewasa muda antara 15- 44 tahun. Pada
umumnya rata-rata usia adalah sekitar 30 tahun. Laki-laki dua kali lebih sering
mengalaminya.7 Statistik negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma
kapitis mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang mengakibatkan
seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang
lebih 33 % kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut trauma kapitis. Di
luar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kapitis terjadi karena kecelakaan
lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena
kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dari
mereka yang dimasukkan rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40% meninggal
dalam satu hari dan 35% meninggal dalam satu minggu perawatan.8
Penyebab kematian dan cacat yang menetap yang diakibatkan oleh trauma
kepala yaitu 50% oleh trauma secara langsung dan 50% oleh gangguan peredaran
darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada trauma. Komplikasi
itu berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral, perubahan-perubahan yang
menyangkut sistem kardiopulmonal yang bisa menimbulkan gangguan pada tekanan
darah, PO2 arterial atau keseimbangan asam-basa.8

3.2 Anatomi

1. Kulit Kepala (Scalp)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu:
a) skin atau kulit yang mengandung rambut dan kelenjar keringat
(kelenjar sebasea)
b) connective tissue atau jaringan penyambung di mana sebagian besar
saraf sensorik berada di lapisan ini.
c) aponeurosis atau galea aponeurotika yang merupakan jaringan ikat
berhubungan langsung dengan tengkorak di mana melekat 3 otot yakni
ke anterior m. frobtalis, posterior : m. occipitalis dan lateral : m.
temporalis.
d) loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar yang
memisahkan galea dari perikranium. Lapisan ini kaya akan pembuluh
darah sehingga pada trauma kepala dapat terjadi perdarahan yang
hebat (hematom subgaleal).
e) Pericranium yaitu bagian yang berhubungan dengan tabula eksterna
dari skull atau tengkorak..

Gambar 1. Anatomi Kulit Kepala


(Dikutip dari kepustakaan 3)
2. Tulang Tengkorak
Ruang tengkorak (cavum cranii) merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang tengkorak sebenarnya terdiri dari
dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut
tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna. Struktur demikian
memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih
ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan arteri meningea anterior,
media dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya
salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang diakibatkannya, yang
tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila
ditemukan dan diobati dengan segera. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang
yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal
adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak
rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi
dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat
lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum.10
3. Meningen
Meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Dura
mater terdiri dari 2 lamina yakni lamina endostealis dan meningealis. Pada
encephalon. Lamina endostealis melekat kuat pada permukaan inferior cranium,
terutama sutura, basis crania, dan tepi foramen magnum. Lamina meningealis
mempunyai permukaan yang licin dan membentuk 4 septa yaitu falx cerebri,
tentorium cerebella, falx cerebelli, dan diafragma sellae.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
b) Arachnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak 3,6. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam . Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.

4. Otak
Menurut perkembangan embriologi, otak atau encephalon terbagi atas 3
bagian yaitu :
a) Proencephalon yang berkembang menjadi telencephalon dan
diencephalon. Telencephalon selanjutnya menjadi hemisfer cerebri yang
menempati fossa crania anterior dan media.
b) Mesencephalon
c) Rhombencepahlon yang berkembang menjadi pons dan cerebellum.
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.3

Gbr 2.
Lobus-lobus Otak
(Dikutip dari kepustakaan 3)

5. Cairan Cerebrospinalis dan Vaskularisasi


Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen Monroe menuju ventrikel III, melalui akuaduktus Sylvius
menuju ventrikel IV. Setelah melalui 2 foramen Luschka di bagian lateral dan
foramen Magendi di medial, CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-
rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.
Otak mendapat suplai darah dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis.
Sedangkan darah dari parenkim otak bermuara ke dalam sinus-sinus venosus
yang kemudian dialirkan ke vena jugularis interna.

3.3 Gejala Dan Tanda


Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka antara lain adalah batu, besi,
sepatu, tinju, lantai, jalan dan lain-lain. Adapun definisi dari benda tumpul itu sendiri
adalah tidak bermata tajam, konsistensi keras / kenyal dan permukaan halus / kasar.
Kekerasan tumpul dapat terjadi karena 2 sebab yaitu alat atau senjata yang
mengenai atau melukai orang yang relatif tidak bergerak dan yang lain orang bergerak
ke arah objek atau alat yang tidak bergerak. Dalam bidang medikolegal kadang-kadang
hal ini perlu dijelaskan, walaupun terkadang sulit dipastikan. Luka karena kererasan
tumpul dapat berebentuk salah satu atau kombinasi dari luka memar, luka lecet, luka
robek, patah tulang atau luka tekan. Variasi mekanisme terjadinya trauma tumpul
adalah:
a) Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
b) Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika diperhatikan lebih lanjut terdapat
perbedaan hasil pada kedua mekanisme itu. Organ atau jaringan pada tubuh
mempunyai beberapa cara menahan kerusakan yang disebabkan objek atau alat, daya
tahan tersebut menimbulkan berbagai tipe luka yakni abrasi, laserasi, kontusi/ruptur,
fraktur, kompresi, dan perdarahan.
Kekerasan benda tumpul pada kepala dapat mengenai bagian-bagian kepala
tertentu dengan efek yang masing-masing yaitu pada :
1) Kulit dapat menyebabkan :
a) L. Lecet
b) L. Memar
c) L. Robek

2) Tengkorak dapat terjadi :


a) Fraktur Basis Cranii
b) Fraktur Calvaria

3) Otak

a) Contusio Cerebri
b) Laceratio Cerebri
c) Oedema Cerebri
d) Commotio Cerebri

4) Selaput Otak

a) Epidural Haemorrhage
b) Sub dural Haemorrhage
c) Sub arachnoid Haemorrhage

A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)


Beberapa klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan : 7,8
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Konveksitas (kubah tengkorak)
b. Basis cranii (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi dari ketiga klasifikasi di


atas. Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu : 7-9
a. Besarnya energi benturan
b. Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan, semakin besar nilai
perbandingan ini akan cenderung menyebabkan fraktur deppressed.
c. Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak

1. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang. Umumnya disebabkan oleh benturan dengan objek yang keras
dengan ukuran sedang, yaitu dengan luas lebih dari 5 cm2. Pada benturan yang
terjadi, sebagian besar energi tidak digunakan untuk menimbulkan deformitas lokal
pada tulang tengkorak.7,8
Bila fraktur linier ini didapatkan melintasi daerah perdarahan a.meningea media, perlu
dicurigai terjadinya hematoma epidural arterial. Bila garis fraktur yang dijumpai
melintasi daerah sinus longitudinal superior atau sinus lateralis maka perlu dicurigai
adanya hematoma epidural vena.7,8

Gambar 3. Fraktur linier disebabkan oleh benturan keras pada kepala yang mengenai jalan raya
akibat kecelakaan lalu lintas. (dikutip dari kepustakaan No.10)

2. Fraktur Diastase
Fraktur diastase adalah fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak, dan
berakibat terjadinya pemisahan sutura kranial tersebut. Fraktur ini sering terjadi pada
anak di bawah usia 3 tahun, sedangkan pada orang dewasa relatif lebih jarang. Fraktur
diastase yang terjadi pada sutura lambdoidea memiliki resiko terjadinya hematoma
epidural. 7-9
Gambar 4. Fraktur diastase pada Coronal Suture Line (CSL) dan Sagital Suture Line (SSL). Dikutip
dari kepustakaan No.10
3. Fraktur Comminuted
Fraktur comminuted adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya lebih dari satu
fragmen patahan tulang, namun masih dalam satu bidang. Beberapa literatur tidak
membedakan fraktur ini dengan fraktur linier, karena diasumsikan merupakan bentuk
fraktur linier yang multipel. 7-9

Gambar 5. Gambaran fraktur comminuted. ( Dikutip dari kepustakaan No.11

4. Fraktur Deppressed
Fraktur ini disebababkan oleh benturan dengan beban tenaga yang lebih besar
daripada fraktur linier, dengan permukaan benturan yang lebih kecil. Misalnya
benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi, dll. Fenomena kontak yang terjadi disini
lebih terfokus dan lebih padat sehingga akhirnya melebihi kapasitas elastisitas tulang
dan terjadilah perforasi tulang. Fraktur deppressed diartikan sebagai fraktur dengan
tabula eksterna pecahan fraktur yang tertekan masuk ke dalam sehingga terletak di
bawah level anatomik tabula interna tulang tengkorak sekitanya yang utuh. Sebagai
akibat impaksi tulang ini, dapat terjadi penetrasi terhadap duramater dan jaringan otak
di bawahnya, dan dapat berakibat kerusakan struktural dari jaringan otak tersebut.7,8
Gambar 6. Fraktur depressed pada tulang tengkorak
( Dikutip dari kepustakaan No.9 )

5. Fraktur Konveksitas
Fraktur konveksitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk
konveksitas (kubah) tengkorak seperti os frontalis, os temporalis, os parietalis, dan os
occipitalis. Fraktur konveksitas dapat berupa fraktur linier, deppressed, kominutif,
atau diastase.7,8

Gambar 7. Fraktur konveksitas dengan hematoma subgaleal yang luas (pemeriksaan postmortem)
(Dikutip dari kepustakaan No.7)

6. Fraktur Basis Cranii


Fraktur basis cranii adalah fraktur yang lokasinya terletak pada dasar cranium, yang
dapat terjadi pada fossa aterior, fossa media, maupun fossa posterior. Fraktur jenis ini
merupakan kondisi yang serius, dapat berakibat fatal, dan memiliki komplikasi yang
tidak ringan. Beberapa literatur memberikan perkiraan kasus fraktur basis cranii
mencapai 3 - 24 % dari total seluruh kasus cedera kepala. Fraktur basis cranii sering
disertai dengan robeknya lapsan duramater, sehingga terjadi kebocoran cairan
serebrospinal, yang akhirnya mengakibatkan terjadinya rhinorea dan otorhea. Adanya
kebocoran cairan serebrospinal memberikan resiko tinggi terjadinya infeksi selaput
otak maupun jaringan otak.7,8
Fraktur pada masing-masing fossa akan memberikan manifestasi berbeda :
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os sphenoid, processus clinoidalis
anterior dan jugum sphenoidalis. Manifestasi yang ditimbulkan adalah rhinorea cairan
serebrospinal, hematoma subkonjungtiva, dan ekimosis periorbita, bisa bilateral, biasa
disebut sebagai brill hematoma atau raccoon eyes. Ekimosis periorbita disebabkan
oleh adanya perdarahan pada struktur di belakangnya, bukan karena cedera langsung
pada derah orbital. Untuk membedakannya, dapat diperhatikan bahwa pada tanda ini
batasnya tegas, selalu terletak di bawah tepi orbita dan tidak didapatkan cedera lokal
pada lapisan kulit. 7,8
b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media
Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian posterior
dibatasi oleh pyramida petrosus os temporalis, processus clinoidalis posterior dan
dorsum sella. Manifestasi yang dapat ditemukan adalah ekimosis pada mastoid
(battle’s sign) yang muncul 24-48 jam setelah cedera kepala terjadi, otorhea, dan
hemotimpanum yaitu darah yang dijumpai pada canalis auricularis eksterna, dapat
terjadi bila membran timpani robek. 7,8
Gambar 8. Hematoma retroauriculer (battle’s sign) pada fraktur basis cranii fossa media
(Dikutip dari kepustakaan No.7)

c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior


Fossa posterior merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Fraktur pada
daerah ini kadang memberikan tanda battle’s sign, akan tetapi sering tidak disertai
dengan gejala dan tanda yang jelas, dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu
singkat karena penekanan terhadap batang otak. 7,8

B. Trauma Serebrum ( Cedera Otak )


Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder. 7,8
1. Kerusakan Primer
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi
segera saat benturan terjadi sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan
deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. 7,8
a. Kerusakan Fokal
Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari
otak, tergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang timbul
dapat berupa : 7,8
 Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater.
Istilah kontusio digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau gangguan pada
jaringan otak yang lebih berat dari konkusi (concussion), dengan memiliki
karakteristik adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, dengan titik-titik perdarahan
kapiler dan edema jaringan otak. Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus karena
bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi
benturan. 7,8

Gambar 9. Kontusio pada dasar lobus temporal dan frontal, disebut juga ’burst lobe’ (Dikutip
dari kepustakaan No.7)

Kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan (coup contussion), di tempat lain
(countrecoup contussion) atau dapat pula terjadi diantara lesi coup dan countercoup
yang disebut sebgai intermediate-coup contussion. 7,8

Gambar 10. Lesi coup dan countrecoup sehubungan dengan mekanisme


Cedera kepala (Dikutip dari kepustakaan No.7)

Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik nekrosis, dan diikuti oleh edema
vasogenik. Kontusio tampak tidak terlalu berat, namun dapat mengakibatkan kematian
karena adanya komplikasi yang ditimbulkan, misalnya komplikasi kardiopulmonal. 7,8

 Laserasi serebri
Laserasi serebri adalah kontusio serebral yang berat, dimana mengakibatkan
gangguan kontinuitas jaringan otak yang kasat mata, dan dalam hal ini terdapat
kerusakan atau robeknya piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat
dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan
oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen
fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laserasi tak langsung
disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis. 7,8

 Perdarahan intrakranial
1) Hematoma Epidural
Hematoma epidural atau dalam beberapa literatur disebut pula sebagai hematoma
ekstradural, adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara duramater dan
tabula interna tulang tengkorak. Umumnya disebabkan oleh trauma tumpul kepala,
yang mengakibatkan terjadinya fraktur linier, namun dapat pula tanpa disertai fraktur.
Lokasi yang paling sering adalah di bagian temporal atau temporoparietal ( 70 % ) dan
sisanya di bagian frontal, oksipital, dan fossa serebri posterior. Darah pada hematoma
epidural membeku, berbentuk bikonveks.
Sumber perdarahan yang paling sering adalah dari cabang a.meningea media, akibat
fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun dapat pula dari arteri dan
vena lainnya, atau bahkan keduanya. Hematoma epidural yang tidak disertai fraktur
tulang tengkorak akan memiliki kecenderungan lebih berat, karena peningkatan
tekanan intrakranial akan lebih cepat terjadi. 7,8
Gambar 11. Hematoma epidural. (Dikutip dari kepustakaan No.10)

2) Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan duramater dan
arachnoidea. Perdarahan yang terjadi dapat berasal dari pecahnya bridging vein yang
melintas dari ruang subarachnoidea atau korteks serebri ke ruang subdural, dengan
bermuara dalam sinus venosus duramater. Selain itu dapat pula akibat robekan
pembuluh darah kortikal, subarachnoidea, atau arachnoidea yang disertai robeknya
lapisan arachnoidea. 7,8
Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada hematoma epidural, dan
memiliki angka mortalitas yang tinggi, antara 60-70 % untuk yang sifatnya akut. 7,8

Gambar 12. Hematoma subdural ( Dikutip dari kepustakaan No.10 )


3) Hematoma Sub Arachnoid
Hematoma sub arachnoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang sub
arachnoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak. Robekan
pembuluh darah terjadi akibat gerakan dindingnya yang timbul kala otak bergerak atau
menggeser. Perdarahan terletak antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang
subarachnoid dan masuk ke dalam sistem cairan serebrospinalis. Umumnya lesi
disertai dengan kontusio atau laserasi serebri. Perdarahan subarachnoid yang terjadi
murni tanpa ada lesi lain hanya sekitar 10 %. Darah yang masuk ke dalam
subarachnoid dan sistem cairan serebrospinalis tersebut akan menyebabkan terjadinya
iritasi meningeal.7,8
Adanya darah dalam ruang subarachnoid ini akan berakibat arteri mengalami spasme.
Sebagai akibatnya aliran darah ke otak sangat berkurang, bahkan diduga dapat turun
hingga tinggal 40 %. Vasospasme biasanya mulai terjadi pada hari ketiga dan
mencapai puncaknya pada hari ke 6-8, dan akhirnya menghilang pada hari ke-12.
Vasospasme ini akan menyebabkan terganggunya mikrosirkulasi dalam otak dan
sebagai dampaknya akan terjadi edema otak. 7,8
Perdarahan subarachnoid yang terjadi pada cedera kepala dapat juga mengakibatkan
terjadinya hidrosefalus, baik tipe komunikan maupun non komunikan. Tipe
komunikan terjadi bila produk darah mengobstruksi villi arachnoid, sedangkan tipe
non komunikans dapat terjadi bila bekuan darah mengobstruksi ventrikel keempat atau
ketiga. 7,8
Gambar 13. Hematoma subarachnoid. (A) Hematoma subarachnoid pada lobus occipital pada kasus
Diffuse Axonal Injury. (B) Hematoma subarachnoid pada lobus frontal dan lobus parietal. (C)
Hematoma subarachnoid yang kecil pada fissura sylvii. (Dikutip dari kepustakaan No.9)
4) Hematoma intraserebri
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim
otak). Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Perdarahan dapat berlokasi di bagian mana saja, misalnya di substansia alba
hemisfer serebri, serebellum, diensefalon, atau mungkin juga di corpus callosum.
Akan tetapi lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countre-
coup). 7,8
Lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-kecil, namun dapat pula berupa perdarahan
yang luas. Perdarahan yang kecil-kecil umumnya sebagai akibat lesi akselerasi-
deselerasi, sedangkan yang besar umumnya akibat laserasi atau kontusio serebri berat.
Beberapa sumber menyatakan definisi hematoma intraserebri adalah perdarahan lebih
dari 5 cc, sedangkan bila kurang maka disebut petechial intraserebri (kontusio
serebri). Perdarahan dapat terjadi segera, dapat pula beberapa hari atau minggu
kemudian, khususnya pada pasien lanjut usia. 7,8
Perdarahan pada lobus temporal memberikan resiko besar terjadinya herniasi uncus
yang berakibat fatal. Hematoma intraserebral yang disertai dengan hematoma
subdural, kontusio atau laserasi pada daerah yang sama memiliki efek yang juga fatal,
dan disebut sebagai ”burst lobe”. Bentuk perdarahan lainnya adalah yang disebut
Bollinger’s apoplexy, yaitu hematoma intraserebral yang terjadi setelah beberapa
minggu (atau bulan) setelah cedera dan selama waktu tersebuut pasien dalam keadaan
neurologis yang normal. Hal ini berkaitan dengan keadaan hipotensi, syok, DIC, dan
konsumsi alkohol. 7,8
Gambar 14. Dua area hematoma intraserebral pada whhite matter (kiri) dan di ganglia basal (kanan).
(Dikutip dari kepustakaan No.12)

5) Hematoma Intraventrikuler
Hematoma intraventrikuler adalah adanya darah dalam sistem ventrikel, dalam hal ini
akibat trauma. Sumber perdarahan tidak selalu mudah diketahui, bahkan biasanya sulit
ditemukan, mungkin dari robekan vena di dinding ventrikel, korpus kalosum, septum
pelusidum, forniks, atau pada pleksus koroid. Dapat pula sebagai perluasan dan
perdarahan di lobus temporal atau frontal, atau ganglia basalis. 7,8
Biasanya hematoma ini didapatkan menyertai trauma kepala dengan hematoma
subarachnoid. Cedera kepala yang sampai menyebabkan perdarahan intraventrikel ini
merupakan cedera yang sangat berat, dan karenanya memiliki mortalitas yang tinggi.
7,8
Gambar 15. hematoma intraventrikular. (Dikutip dari kepustakaan No.12)

b. Kerusakan Difus
Kerusakan difus adalah kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari
otak, dan umumnya bersifat mikroskopis. Kerusakan ini paling sering disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme akselerasi
dan deselerasi. Angulasi, rotasi, dan peregangan yang timbul menyebabkan robekan
serabut saraf pada berbagai tempat yang sifatnya menyeluruh. Berdasarkan gambaran
patologinya, kerusakan difus ini dibedakan atas: 7,8
 Diffuse Axonal Injury (DAI)
DAI adalah adanya kerusakan akson yang difus dalam hemisfer serebri, korpus
kalosum, batang otak, dan serebelum (pedunkulus). Awalnya, kekuatan renggang
pada saat benturan melebihi level ketahanan akson, sehingga terjadi sobekan atau
fragmentasi aksolemma, dan keteraturan susunan sitoskeleton akson akan menjadi
rusak. Terjadi pada saat benturan, tetapi ada yang memberi batas waktu dalam 60
menit sejak kejadian (primer axotomy). 7,8
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun susunan
sitoskeleton akson terganggu. Penghantaran aksoplasma akan terbendung pada
sitoskeleton yang mengalami kerusakan sehingga terjadi pembengkakan akson
(retraction ball), yang pada akhirnya akan menyebabkan putusnya akson. Terjadi
antara 12 – 48 jam (secondary axotomy). 7,8
 Diffuse Vascular Injury (DVI)
DVI ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khusunya massa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien
segera meninggal dalam beberapa menit. Pada DVI, terjadi perubahan struktur
menyeluruh pada endotel mikrovaskular otak. Sehingga terjadi ekstravasasi sel darah
merah. 7,8
2. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, edema otak, TTIK
(Tekanan Tinggi Intrakranial), hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya,
kerusakan ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu : 7,8
a. Kerusakan hipoksik – iskemik menyeluruh ( Diffuse hypoxic-ischemic
damage)
Kerusakan ini sudah berlangsung pada saat antara terjadinya trauma dan awal
pengobatan. Kerusakan ini timbul karena : 7,8
- Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
- Iskemia : berhetinya aliran darah
- Hipotensi arterial sistemik
b. Edema otak menyeluruh (Diffuse brain swelling)
Keadaan ini terjadi akibat peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau
peningkatan volume darah (intravaskuler), atau kombinasi keduanya. Pada diffuse
brain swelling sebenarnya belum jelas patogenesisnya, diperkirakan sebagai jenis
kongestif karena kehilangan tonus vasomotor. 7,8

V. Patofisiologi
A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)
Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang menentukan kemampuan tulang
tersebut untuk menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk (deformasi) saat
benturan. Hal ini juga dipengaruhi oleh umur, dengan pertambahan usia maka
elastisitas jaringan tulang akan berkurang. Keadaan tulang yang mempengaruhi
adalah tingkat elastisitas dan ketebalan tulang tengkorak.7,8
Pada saat terjadi benturan, terjadi peristiwa penekanan pada tabula eksterna di
tempat benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa peregangan
tabula interna ini tidak hanya terbatas di bawah daerah kontak, tetapi meliputi seluruh
tengkorak. Jika peregangan ini melebihi kemampuan deformasi tulang tengkorak,
terjadilah fraktur. Oleh sebab itu, peristiwa fraktur pada tulang tengkorak berawal dari
tabula interna yang kemudian disusul oleh tabula eksterna. 7,8
Benturan pada tulang tengkorak menyebabkan perubahan elastisitas pada
tulang tengkorak, mencakup lekukan ke dalam (inbending) pada bagian tulang yang
terkena dan biasa pula terjadi variasi lain dimana terjadi lekukan ke arah luar
(outbending). Apabila kekuatan benturan mengenai area yang kecil (misal: pukulan
atau senjata) maka fraktur biasanya memberikan gambaran inbending, sedangkan
apabila area yang terkena benturan itu luas, maka biasanya akan memberikan
gambaran outbending. Bentuk konveks dari tulang tengkorak menyebabkan
penyebaran energi secara efisien dimana vertex merupakan puncak dari tulang
tengkorak. Pada banyak kasus, fraktur linier akan bercabang sepanjang diastase dan
membentuk fraktur diastase. Sebaliknya, energi yang terjadi pada basis tulang
tengkorak (basis cranii) akan menyebabkan fraktur linier yang akan mengakibatkan
tejadinya kelemahan, memberikan berbagai gambaran adanya udara dalam foramina
dan sinus. 7,8

B. Trauma Cerebrum (Otak)


Ruang intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yag tidak dapat ditekan, otak 1400 gr, cairan serebrospinal
± 75ml, dan darah ± 75 ml. Peningkatan volume salah satu diantara ketiga unsur utama
ini mengakibatkan desakan pada ruangan yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) tudak hanya
disebabkan oleh cedera kepala melainkan mempunyai banyak penyebab lainnya.13
TIK normal berkisar antara 50-200 mmH2O atau 4-15 mmHg. TIK dalam
keadaan normal dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat melebihi
batas normal. Aktivitas tersebut antara lain pernapasan perut yang dalam, batuk, dan
mengedan. Kenaikan sementara TIK tidak menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan
TIK yang menetap mempunyai akibat merusak pada kehidupan jaringan otak.13
Mekanisme yang bekerja bila salah satu dari tiga elemen intrakranial meningkat
sangat penting untuk mempertahankan integritas otak. Perubahan kompensatoris
meliputi pengalihan cairan serebrospinal ke rongga spinal, peningkatan aliran vena
dari otak, dan sedikit tekanan pada jaringan otak. Tumor, cedera otak, edema, dan
obstruksi aliran cairan serebrospinalis semua dapat meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi akan menjadi tidak efektif bila menghadapi peningkatan TIK yang serius
dan berlangsung lama. 13
Edema otak merupakan sebab yang paling lazim dari peningkatan TIK dan
memiliki banyak penyebab antara lain peningkatan cairan intrasel, hipoksia,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, iskemia serebral,meningitis, dan tentu saja
cedera kepala.
TIK pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala,
timbulnya edema memerlukan waktu 36-48 jam untuk mencapai maksimum.
Peningkatan TIK sampai 33 mmHg ( 450 mmH2O ) mengurangi Aliran Darah Otak
(ADO) secara bermakna. Iskemia yang timbul merangsang pusat vasomotor, dan
tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung
mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme
kompensasi ini dikenal sebagai refleks cushing yang membantu mempertahankan
ADO. Akan tetapi menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan
mengakibatkan vasodilatasi otak yang mengakibatkan peningkatan TIK. Tekanan
darah sistemik akan terus meningkat sebanding dengan peningkatan TIK, walaupun
akhirnya dicapai suatu titik dimana TIK melebihi tekanan arteri dan sirkulasi otak
berhenti dengan akibat kematian otak. 13
Cedera otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak Sawar
Darah Otak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema.
Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan
TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan Aliran Darah Otak (ADO), iskemia,
hipoksia, asidosis (penurunan O2 dan penigkatan CO2), dan kerusakan SDO lebih
lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut hingga terjadi kematian sel.13

Gambar 16. Siklus defisit neurologis progresif yang menyertai lesi massa
intrakranial yang membesar (Dikutip dari kepustakaan No.13)

Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan jalan napas
Penatalaksanaan jalan napas bertujuan untuk menstabilkan jalan napas dan
menyediakan ventilasi oksigen yang cukup. Dapat dilakukan intubasi endotrakeal.
Intubasi nasal atau nasogastric tube sebaiknya dihindari terutama pada pasien yang
dicurigai fraktur basis cranial. Kegagalan pernapasan dapat terjadi karena cedera
neurologist atau cedera thoraks. 14
2. Penatalaksanaan system kardiovaskular
Normotensi dan euvolemia adalah hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan
kardiovaskular. Resusitasi volume menggunakan larutan isotonic sebaiknya dilakukan
untuk mempertahankan tekanan pengisian yang adekuat, cardiac output yang normal
dan normotensi. 14
3. Penatalaksanaan terhadap perfusi serebral dan peningkatan tekanan intracranial. 14
Penatalaksanaan peningkatan intracranial termasuk diantaranya menaikkan posisi
kepala sehingga membentuk sudut 30° terhadap tempat tidur dan mempertahankan
kepala dan leher pada posisi midline. Obat-obat sedasi dan paralisis digunakan untuk
mencegah agitasi dan aktivitas muscular yang dapat menigkatkan tekanan intracranial.
Penggunaan loop diuretic atau osmotic diuretic ditujukan untuk menurunkan produksi
cairan serebrospinal. 14
4. Penatalaksanaan Perdarahan.
Disseminated intravascular coagulopathy terjadi pada sepertiga pasien trauma kepala
dan membutuhkan manajemen yang aggresif dan koreksi factor-faktor pembekuan
untuk menurunkan resiko. 14
5. Pembedahan
Dekompresi melalui pembedahan dibutuhkan pada keadaan epidural dan subdural
hematoma yang berkembang sangat cepat yang menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial dan kompresi fokal. 14
Daftar Pustaka

1. Windi, dkk. Traumatologi Forensik. Cited from:


http://www.freewebs.com/traumatologie2/traumatologi.htm. 2006.
2. Bedong Muhammad Ali. Cidera Jaringan Otak: Pengenalan dan Kemungkinan
Penatalaksanaannya.
3. Akhyar Yayan. Cedera Kepala (Head Injury). Cited from:
http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/04/25/cedera-kepala-head-injury/. 2008.
4. Mardjono Mahar, Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. PT. Dian Rakyat. Jakarta.
2003.
5. Anonimous. Cedera Kepala. Cited from:
http://info.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=687.
6. Luhulima JW. Anatomi Susunan Saraf Pusat. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 2003.
7. Japardi, Iskandar, Cedera Kepala, PT Buana Ilmu Populer, Jakarta Barat, 2004, p. 7-
27, 67-76.
8. Wahjoepramono, Cedera Kepala, ISBN 979-98173-2-3, 1 Agustus 2005, p.21-89,
137-43.
9. Shkrum Michael J, David A.Ramsay, ‘ Craniocerebral Trauma and Vertebrospinal
Trauma’, Forensic Pathology of Trauma, Humana Press, New Jersey, 2007, p. 519-
73
10. Oemichen, M, R. N. Auer, H.G. Konig, ‘Injuries of the Brain’s Coverings’, Forensic
Neuropathology and Associated Neurology, Springer, Germany, 2006, p. 112-47
11. Dolinak, David, Evan W. Matshes, Emma O. Lew, ’Forensic Neuropathology’,
Forensic Pathology Principles and Practise, Elsevier Academic Press, USA, 2005,
p.423-52
12. Oemichen, M, R. N. Auer, H.G. Konig, ‘Closed Brain Injury’, Forensic
Neuropathology and Associated Neurology, Springer, Germany, 2006, p. 178-210.
13. Lombardo, Mary Carter, ‘Cedera Susunan Saraf Pusat’, Price, Sylvia A, Lorraine M.
Wilson, Patofisiologi, Buku 2, Edisi 4, EGC, Jakarta, p. 1010-2
14. Singh Jagvir, Arabela Stock. Head Trauma: Treatment & Medication. Cited from:
http://emedicine.medscape.com/article/907273-treatment. 2006.
15. Dix J, Graham M, editors. Time of Death (Postmortem Interval) and
Decomposition. In: Time of Death, Decomposition and Identification, an Atlas.
Florida: CRC Press LCC; 1999. pp : 8-80
16. Catanese CA, editor. Postmortem Change and Time of Death. In: Color Atlas
of Forensic Medicine and Pathology. London: John Wiley & Sons Ltd; 2010.
pp: 111-146
17. James JP, Richard J, Steven BK, John M, editors. Simpson’s Forensic
Medicine. London: Hodder Arnold. 2011.
18. Knight B, Sauko P, editors. The Pathophysiology of Death. In: Knight’s
Forensic Pathology, 3rd Ed. London: Arnold.Florida: CRS Press; 2004. pp:
52–90.

19. Dimaio VD, editor. Time of Death. In: Forensic Pathology. 2nd Ed. Florida:
CRC Press LCC; 2001. pp: 178-216.

20. Dahlan S,editor. Thanatologi. Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman


Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro; 2007. pp: 47-65.

21. Mun’im A, editor. Sistematik Pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik Khusus


Pemeriksaan Mayat. Dalam: Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto; 2011. pp: 37-52.

22. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Abdul Mun'im, Sidhi,


dkk.,editors. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.
23. Madea B, editor. Handbook of Forensic Medicine. New Jersey: John Wiley &
Sons; 2014.

24. Vincent J. D. dan Dominick, D. 2001. Blunt Trauma Wounds. Forensic Pathology
Second Edition, Chapter 4, pp. 1-26
25. Idries, A. M. 2008. Sistematik Pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik Khusus
Pada Korban Perlukaan. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan, Bab 7, hal. 133-143. Jakarta: Sagung Seto
26. Faisal A. Hasil Pemeriksaan Ct Scan Pada Penderita Stroke. berkala ilmu
kedokteran; 1992: 13(4).

Anda mungkin juga menyukai