Anda di halaman 1dari 4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penambangan Batubara
Menurut KepMen LH No 113 Tahun 2003, usaha dan atau kegiatan
pertambangan batubara adalah serangkaian kegiatan penambangan dan
kegiatan pengolahan/pencucian batubara. Kegiatan penambangan batubara
adalah pengambilan batubara yang meliputi penggalian, pengangkutan dan
penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah.
Kegiatan pengolahan/pencucian batubara adalah proses peremukan,
pencucian, pemekatan dan atau penghilangan batuan/mineral pengotor dan
atau senyawa belerang dari batubara tanpa mengubah sifat kimianya.
Pertambangan yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan penggalian ke
dalam tanah (bumi) untuk mendapatkan sesuatu yang berupa hasil tambang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009,
pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
kegiatan pascatambang (Supramono, 2012).
Pengertian pertambangan mineral dan pertambangan batubara jelaslah
berbeda. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang
berupa bijih atau batuan, diluar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air
tanah. Sedangkan yang dimaksud dengan pertambangan batubara adalah
pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk
bitumen padat, gambut, dan batuan aspal (Supramono, 2012)
Kegiatan penambangan terdapat dua jenis yaitu (Sitorus, 2000):
1. Penambangan permukaan (surface/ shallow mining), meliputi tambang
terbuka, penambangan dalam jalur dan penambangan hidrolik.
2. Penambangan dalam (subsurfarce/ deep mining).

4
5

B. Kerusakan Lahan akibat Penambangan Batubara


Penambangan menyebabkan perubahan bentang lahan dan kualitas tanah
hasil penimbunan setelah penambangan. Struktur tanah penutup rusak sebagai
mana sebelumnya, juga tanah lapisan atas bercampur ataupun terbenam di
lapisan dalam. Tanah bagian atas digantikan tanah dari lapisan bawah yang
kurang subur, sebaliknya tanah lapisan atas yang subur berada di lapisan
bawah. Demikian juga populasi hayati tanah yang ada di tanah lapisan atas
menjadi terbenam, sehingga hilang/mati dan tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Daya dukung tanah lapisan atas pasca penambangan untuk
pertumbuhan tanaman menjadi rendah (Subowo, 2011).
Menurut Marganingrum (2010) usaha tambang batubara di Indonesia
umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka (open mining), walaupun
ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground
mining). PT. Berau Coal sendiri sebagai perusahan batubara dengan open
mining yang berdiri sebagai perusahaan berbadan hukum dan pemegang izin
Perjanjian Karya Pengusaha Penambangan Batubara (PKP2B), dengan
mengawali kegiatan eksplorasinya sejak tahuk 1983 dan memulai produksi
pada tahun 1994. Sampai sekarang telah berproduksi lebih dari 21 juta
MT/tahun dengan wilayah konsesi kurang lebih sebesar 118.400 hektar yang
juga terdiri dari 3 lokasi penambangan dan produksi, yaitu site Lati,
Binungan, dan Sambarata.
Luas wilayah lokasi penambangan secara terbuka mengakibatkan dampak
negatif terhadap lingkungan diantaranya adalah sebagai berikut (Raden,
2010):
1. Terjadinya kerusakan pada bentang alam, karena terbentuknya lubang-
lubang besar akibat dari aktivitas penggalian tambang batubara,
2. Penurunan kesuburan tanah, dan Penurunan muka tanah atau
terbentuknya cekungan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke
dalam lubang galian,
3. Rusaknya flora dan fauna endemik,
4. Penurunan kualitas udara akibat meningkatnya kandungan debu di udara,
6

5. Terjadinya erosi dan sedimen yang memicu timbulnya banjir,


6. Adanya limbah (air asam tambang) yang dapat masuk ke lahan pertanian
dan sungai sehingga merusak biota perairan dan mencemari sumber air
dari masyarakat sekitar
7. Mengganggu proses penanaman kembali reklamasi pada galian tambang
yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat
bahan beracun, kurang bahan organik humus atau unsur hara telah tercuci.

C. Revegetasi Lahan Pasca Penambangan Batubara


Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 18
tahun 2008 Tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, reklamasi adalah
kegiatan yang bertujuan rnemperbaiki atau menata kegunaan lahan yang
terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi
dan berdaya guna sesuai peruntukannya.
Secara ekologis revegetasi merupakan bagian dari program reklamasi
lahan tambang. Dalam pelaksanaannya revegetasi lahan tambang seringkali
mengalami kesulitan akibat sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya. Tidak adanya
tanah pucuk merupakan gambaran yang umum pada lahan tambang.
Kalaupun ada, kandungan nitrogennya sangat rendah sehingga tidak
memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman. Keadaan ini akibat tidak
adanya bahan organik tanah yang disediakan oleh pelapukan material
tanaman yang telah mati. Selain itu kurangnya mikroflora tanah membatasi
pembusukan material tanaman. Kondisi ini juga diperburuk oleh lapisan
permukaan lahan yang berbatu sehingga mempersulit perkembangan vegetasi
akibat rendahnya laju infiltrasi dan retensi air (Singh 2004).
Revegetasi umumnya dilakukan dalam tiga tahap, mulai dari penanaman
vegetasi penutup tanah (cover crops), kemudian penanaman pohon cepat
tumbuh (fast growing species) dan terakhir menanam tanaman sisipan dengan
jenis pohon lokal klimaks (climax species) (Darmawan & Irawan, 2009).
Dalam program revegetasi di lahan pasca penambangan harus memilih jenis
tanaman yang sesuai dan didukung oleh beberapa variabel ekologis, seperti
7

kapasitasnya dalam menstabilkan tanah, meningkatkan bahan organik tanah,


dan penyediaan hara tanah. Pada tahap awal revegetasi, tanaman makanan
ternak merupakan jenis tanaman yang disarankan untuk ditanam, hal ini akan
memperbaiki hara dan kandungan bahan organik tanah (Singh 2004).

Anda mungkin juga menyukai