Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kegiatan Penambangan Batubara


Penambangan merupakan proses pemindahan timbunan tanah penutup
(cover burden) seperti topsoil, subsoil, batuan, dan lainnya yang di dalamnya
terdapat simpanan mineral yang dapat dipindahkan. Pertambangan adalah salah
satu bidang yang mempunyai resiko tinggi untuk keselamatan, kesehata kerja,
dan pencemaran lingkungan hidup (Miller, 1979 dalam Maryani, 2007).
Permenhut Nomor 4 Tahun 2011 menjelaskan bahwa pertambangan adalah
sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian pengelolaan
dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,
eksploitasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang
(Kemenhut 2011).
Kegiatan pertambangan diatur dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Untuk lebih
merinci pelaksanaan dari Undang-undang ini diturunkan kembali dalam bentuk
Peraturan Pemerintah (PP) yang salah satunya adalah PP No 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Berdasarkan PP ini komoditas pertambangan dikelompokkan dalam 5
golongan, yaitu:
1. Mineral radioaktif, antara lain: radium, thorium, uranium
2. Mineral logam, antara lain: emas, tembaga
3. Mineral bukan logam, antara lain: intan, bentonit
4. Batuan, antara lain: andesit, tanah liat, tanah urug, kerikil galian dari bukit,
kerikil sungai, pasir urug
5. Batubara, antara lain: batuan aspal, batubara, gambut
Metode penambangan batubara sangat tergantung pada keadaan geologi
daerah (lapisan batuan penutup, batuan dasar batubara dan struktur geologi),
keadaan lapisan batubara dan bentuk deposit. Metode penambangan batubara

3
4

terdiri dari dua tipe, yaitu metode tambang bawah tanah dan metode tambang
terbuka. Metode tambang bawah tanah dilakukan dengan jalan membuat
lubang menuju ke lapisan batubara yang akan ditambang dan membuat lubang
bukaan pada lapisan batubara. Metode tambang terbuka dilakukan dengan
mengupas material penutup batubara (Sukandar rumidi 2010 dalam Permana
2010).
Maryani (2007), menjelaskan bahwa dampak kerusakan yang ditimbulkan
oleh kegiatan penambangan dapat dilihat pada kerusakan lingkungan yang
terjadi. Dampak kerusakan tersebut yaitu penurunan kualitas lahan yang
ditunjukkan dengan adanya penurunan kualitas fisik, kimia dan biologi tanah.

B. Reklamasi Lahan Pasca Tambang


Reklamasi bekas tambang adalah usaha memperbaiki atau memulihkan
kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat
kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai dengan peruntukannya. Program reklamasi hutan meliputi penyiapan
kawasan hutan, pengaturan bentuk lahan/penataan lahan, pengendalian erosi
dan sedimentasi, pengelolaan lapisan tanah pucuk, revegetasi, dan pengamanan.
Permenhut Nomor 4 Tahun 2011 menyebutkan bahwa rehabilitasi hutan dan
lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan
fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya
dalam menjaga sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Kemenhut 2011).
Dampak negatif dari tambang terbuka antara lain berdampak
terhadaplingkungan salah satu dampak adalah rusaknya ekosistem hutan
mengakibatkan kualitas lingkungan menurun. Solusi dari dampak yang
diakibatkan oleh tambang terbuka adalah harus diadakan perencanaan dari
tahap awal hingga pasca tambang sebelum dilakukan pertambangan sebagai
upaya menjaga kelestarian lingkungan. Perencanaan pasca tambang yang tepat
untuk diterapkan adalah kegiatan reklamasi lahan tambang. Reklamasi adalah
kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata,
memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat
5

berfungsi kembali sesuai peruntukannya (Peraturan Menteri ESDM Nomor 7


Tahun 2014).
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2014 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010, areal bekas pertambangan diharuskan untuk
dilakukan kegiatan reklamasi yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan
lahan seperti sesuai peruntukannya. Pentingnya kegiatan reklamasi dalam usaha
pertambangan menjadikan teknik dalam kegiatan reklamasi harus direncanakan
secara kompleks dan konsisten agar kegiatan reklamasi dapat mencapai target
yang dinginkan.
Tujuan jangka pendek reklamasi adalah membentuk bentang alam
(landscape) yang stabil terhadap erosi. Selain itu, reklamasi juga bertujuan
untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk
digunakan sebagai lahan produktif. Bentuk lahan produktif yang akan dicapai
menyesuaikan dengan tataguna lahan pascatambang. Penentuan tataguna lahan
pascatambang sangat tergantung pada berbagai faktor, antara lain potensi
ekologis lokasi tambang, dan keinginan masyarakat dan pemerintah (Suprapto,
2010).
Reklamasi pada umumnya dilakukan dengan metode back filling, dimana
diusahakan semaksimal mungkin untuk melakukan penutupan kembali lubang
bekas tambang dengan overburden dan bahan tanah hasil penggalian
sebelumnya. Bahan tanah ditimbun pada areal yang akan dilakukan reklamasi
setelah penutupan dengan overburden dengan susunan bahan induk di bagian
bawah kemudian sub soil dan top soil diletakkan paling atas dengan ketebalan
± 1,25 m. Kompos ditambahkan pada saat lahan akan ditanami tanaman penutup
tanah (cover crop). Setelah kondisi permukaan tanah sudah tertutup dengan
baik, selanjutnya dilakukan penanaman dengan jenis sengon, buah-buahan serta
tanaman kehutanan lainnya. Jenis pohon yang akan ditanam dikoordinasikan
dengan instansi terkait dalam pelaksanaannya. Secara keseluruhan, reklamasi
meliputi pengamanan lahan bekas tambang, pengaturan bentuk lahan (land
scaping), pengaturan/ penempatan bahan tambang nilai ekonomis rendah (low
6

grade), pengelolaan top soil, pengendalian erosi, dan revegetasi (Permana,


2010).

C. Revegetasi
Dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah,
revegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna
lahan pasca tambang merupakan hal-hal yang secara umum harus diperhatikan
dan dilakukan dalam mereklamasi lahan bekas tambang. Menurut Permenhut
Nomor 60 Tahun 2009, revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan
memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan
pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan (Kemenhut 2009).
Kendala utama dalam melakukan kegiatan rehabilitasi dan revegetasi pada
lahan-lahan terbuka pasca penambangan adalah kondisi lahan yang marginal.
tanah yang memadat, minimnya kandungan unsur hara, potensi keracunan
mineral, miskinnya bahan organik, status KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang
rendah dan minimnya populasi dan aktivitas mikroba tanah potensial,
merupakan faktor-faktor penyebab buruknya pertumbuhan tanaman dan
rendahnya tingkat keberhasilan rehabilitasi (Setiadi 2006).
Menurut Setiadi (2006) dalam Putra (2010), aktivitas dalam kegiatan
revegetasi meliputi beberapa hal yaitu (i) seleksi tanaman lokal yang potensial,
(ii) produksi bibit, (iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen tanah, (v) teknik
penanaman, (vi) pemeliharaan dan (vii) program monitoring. Tujuan dari
revegetasi akan mencakup re-establishment komunitas tumbuhan asli secara
berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan
biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara
langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar,
biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air.
Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adaptif,
tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim dan kegiatan pasca
penambangan. Adapun vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu adalah vegetasi
yang termasuk dalam klasifikasi herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh,
7

sehingga dapat mengendalikan erosi tanah. Famili Leguminoceae termasuk salah


satu contoh vegetasi lahan pacsa tambang yang mampu bersimbiosis dengan
mikroorganisme tanah dan memfiksasi nitrogen (Vogel 1987).
Pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat perlu dilakukan
karena secara ekologi, spesies tanaman lokal memang dapat beradaptasi dengan
iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Pemilihan spesies ini terutama
dilakukan pada spesies yang cepat tumbuh. Langkah-langkah seperti perbaikan
lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk
dilakukan untuk menunjang keberhasilan dalam mereklamasi lahan bekas
tambang.

D. Evaluasi Keberhasilan Reklamasi dan Revegetasi


Penilaian adalah pengamatan yang dilakukan secara periodik terhadap
kegiatan reklamasi hutan untuk menjamin bahwa rencana kegiatan yang
diusulkan, jadwal kegiatan, hasil yang diinginkan dan kegiatan lain yang
diperlukan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan dijadikan dasar
perpanjangan, pengembalian izin penggunaan kawasan hutan dan untuk
mengetahui kemajuan pelaksanaan reklamasi hutan. Kriteria keberhasilan
reklamasi hutan yang ditetapkan dalam Permenhut Nomor 60 Tahun 2009, yaitu
penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, serta revegetasi atau
penanaman pohon. Penilaian aspek revegetasi atau penanaman pohon terdiri dari
luas areal penanaman, persentase tumbuh tanaman, jumlah tanaman per hektar,
komposisi jenis tanaman dan pertumbuhan atau kesehatan tanaman (Kemenhut
2009).
Kriteria keberhasilan reklamasi menurut Permen ESDM No.7 tahun 2014
tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara adalah sebagai berikut:
1. Penatagunaan Lahan
a. Penebaran tanah zona perakaran,
b. Pengendalian erosi dan pengelolaan air.
2. Revegetasi
8

a. Penanaman, meliputi:
1) Luas area penanaman,
2) Pertumbuhan tanaman.
b. Pengelolaan material pembangkit air asam tambang
3. Penyelesaian akhir, meliputi:
a. Penutupan tajuk,
b. Pemeliharaan.
Setiadi (2006) menyebutkan beberapa faktor sebagai bahan evaluasi
revegetasi, antara lain performa pertumbuhan dan kesesuaian jenis,
kesinambungan dan tingkat pemenuhan kebutuhan diri oleh tanaman,
peningkatan lingkungan mikro-habitat, pengurangan dampak terhadap
lingkungan serta keuntungan bagi masyarakat sekitar. Evaluasi keberhasilan
revegetasi adalah sebuah upaya untuk menjamin bahwa revegetasi tengah
berjalan menuju arah yang diharapkan, yaitu kondisi asli sebelum terjadinya
gangguan. Hal ini juga merupakan sebuah mekanisme untuk menentukan
keberhasilan revegetasi yang telah dilakukan, berdasarkan parameter silvikultur
dan ekologis juga sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengikat bagi
pelaksana kegiatan revegetasi, dalam hal ini perusahaan pertambangan. Status
revegetasi dikatakan berhasil apabila status daya hidup (survival rate) dan
kesehatan tumbuh (growth performance), masing-masing dapat mencapai lebih
dari 80%.

E. Tanaman Sengon
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen, juga dikenal dengan nama sengon,
merupakan salah satu jenis pionir serbaguna yang sangat penting di Indonesia.
Jenis ini dipilih sebagai salah jenis tanaman hutan tanaman industri di Indonesia
karena pertumbuhannya yang sangat cepat, mampu beradaptasi pada berbagai
jenis tanah, karakteristik silvikulturnya yang bagus dan kualitas kayunya dapat
diterima untuk industri panel dan kayu pertukangan. Di beberapa lokasi di
Indonesia, sengon berperan sangat penting baik dalam sistem pertanian
tradisional maupun komersial.
9

Kedudukan tanaman sengon dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai


berikut (Soerianegara dan Lemmens, 1993):
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Falcataria
Species : Falcataria moluccana( Miq.) Barneby & J.W Grimes
Sinonim :Albizia falcataria (L) Fosberg, Paraserianthes falcataria(L)
Nielsen
Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, termasuk tanah kering,
tanah lembap dan bahkan di tanah yang mengandung garam dan asam selama
drainasenya cukup. Di Jawa, sengon dilaporkan dapat tumbuh di berbagai jenis
tanah kecuali tanah grumusol. Pada tanah latosol, andosol, luvial dan podzolik
merah kuning, sengon tumbuh sangat cepat. Di tanah marjinal, pupuk mungkin
diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan awal; setelah itu, pertumbuhan
sengon akan lebih cepat karena kemampuan untuk mengikat nitrogen
meningkat. Sengon termasuk jenis pionir yang dapat tumbuh di hutan primer,
hutan hujan dataran rendah sekunder dan hutan pegunungan, padang rumput
dan di sepanjang pinggir jalan dekat laut. Di habitat alaminya di Papua, sengon
berasosiasi dengan jenis – jenis seperti Agathis labillardieri, Celtis spp.,
Diospyros spp., Pterocarpus indicus, Terminalia spp. dan Toona sureni
(Soerianegara dan Lemmens 1993).
Di habitat alaminya, curah hujan tahunan berkisar antara 2000 dan 2700
mm, kadang-kadang sampai 4.000 mm dengan periode musim kering lebih dari
4 bulan. Sengon mudah melakukan penguapan sehingga memerlukan iklim
yang basah; curah hujan untuk pertumbuhan optimalnya adalah 2000–3500 mm
per tahun. Curah hujan lebih rendah dari 2000 mm per tahun akan menghasilkan
kondisi pertumbuhan yang kering, sedangkan lebih dari 3.500 mm per tahun
akan menciptakan kelembapan udara sangat tinggi, yang apabila dibarengi
10

dengan intensitas cahaya matahari yang sangat rendah mungkin akan


merangsang pertumbuhan jamur. Suhu optimal untuk pertumbuhan sengon
adalah 22–29 °C dengan suhu maksimum 30–34 °C dan suhu minimum 20–
24 °C Selama bulan kering, jumlah hari hujan minimal yang diperlukan adalah
15 hari. Pada daerah yang sangat kering, pertumbuhan sengon mungkin kurang
baik dan risiko serangan hama penggerek batang akan meningkat (Krisnawati,
2011).
Menurut Garcia-Montiel dan Binkley (1998) dan Debell et al. (1989)
menyebutkan bahwa tanaman sengon dapat meningkatkan kandungan nitrogen.
Di daerah Baduy, tanaman Sengon sudah digunakan untuk mengembalikan
kondisi tanah yang kurang subur (Iskandar and Ellen, 2000). Hal ini disebabkan
oleh kemampuannya berasosiasi dengan bakteri pembintil akar. De Lajudie et
al., (1994) mengungkapkan bahwa tanaman Albizia falcataria mampu
bersimbiosis dengan Bradyrhizobium sedangkan Albizia
julibrissin dengan Bradyrhizobium, dan Rhizobium yang keduanya tergolong
dalam bakteri fast growing dan slow growing. Dengan dilakukannya
penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas
tambang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai