Anda di halaman 1dari 14

PERITONITIS

Pembimbing :
dr. Yanti Daryanti, Sp. B-KBD

Oleh :
Dwi Suci Hariyati (2013730138)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RSUD R SYAMSUDIN SH

2018
Anatomi

Peritoneum adalah membran serosa yang berkelanjutan/melebar, berkilat, dan licin yang
membatasi ruang abdominopelvic dan merupakan tempat tertanamnya viscera. Peritoneum
merupakan membran serosa paling besar yang terdiri dari mesotelium (simple squamous
epithelium) yang disokong oleh areolar connective tissue.

Terdapat 2 lapisan peritoneum, yaitu:

1. Parietal peritoneum: bagian yang membatasi lapisan internal dinding abdominopelvic


2. Visceral peritoneum: tempat tertanamnya organ-organ viscera seperti lambung dan usus.

Diantara kedua lapisan peritoneum tersebut terdapat ruang yang berisi cairan serosa disebut
dengan peritoneal cavity. Cairan serosa di ruang peritoneal normalnya mengandung protein
<30g/l dan sel darah putih <300/microliter.

Pada peritoneum terdapat beberapa lipatan diantara viscera. Lipatan tersebut


mengikat/melekatkan organ satu dengan lainnya ke dinding pada ruang abdomen (abdominal
cavity). Terdapat lima lipatan utama peritoneal :

1. Greater Omentum

 Paling besar
 Membungkus transverse colon dan small intestine
 Melekat dengan bentuk memanjang di stomach dan duodenum lalu memanjang ke
bawah anterior ke small intestine lalu kembali memanjang keatas dan menempel ke
transverse colon
 Terdapat banyak kelenjar getah bening

2. Falciform ligament

 Berbentuk sabit

 Melekatkan liver ke dinding abdomen anterior dan diafragma

 Liver hanya satu-satunya organ yang melekat ke dinding abdomen anterior


3. Lesser omentum

 Dua lipatan serosa pada lambung dan duodenum, menghubungkan lambung dan
duodenum dari liver

4. Mesenteric

 Berbentuk seperti kipas

 Melekatkan small intestine ke dinding abdomen posterior

 Memanjang dari dinding abdomen posterior ke sekitar small intestine dan kembali ke
tempat awal

 Membentuk dua lapisan, diantara dua lapisan tersebut terdapat pembuluh limfatik,
pembuluh darah, dan kelenjar getah bening.

5. Mesocolon

 Lipatan peritoneum yang mengikat large intestine ke dinding posterior abdomen

 Terdapat pembuluh darah dan limfatik yang menuju intestine

 Mesenteri dan mesocolon sama-sama menahan intestine namun tetap memungkinkan


pergerakan kontraksi dari organ-organ tersebut.
Definisi
Peritonitis adalah proses inflamasi pada peritoneum. Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau
aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan
bakterecemia atau sepsis. Peritonitis dibagi menjadi 2, peritonitis local (peradangan pada bagian
tertentu dari peritoneum) dan peritonitis general (peradangan menyeluruh pada peritoneum).
Epidemiologi

Peritonitis termasuk kasus gawat abdomen (akut abdomen) yang memerlukan penanganan segera
dan biasanya berupa tindak bedah

 Penyebab morbiditas & mortalitas yg penting

 Era antibiotika : Mortalitas 10 – 20 %.

 Di Indonesia : Penyebab tersering: perforasi appendisitis, perforasi typhus abdominalis,


trauma organ hollow viscus.

Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
 Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum, melalui penyebaran limfatik dan hematogen. Penyebab paling sering
dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit
hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan
berkembang menjadi peritonitis bakterial. Kejadiannya jarang, insidensinya hanya terjadi
kurang dari 1.
 Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon
sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus. Berbeda
dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang
berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam
waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari
bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan
mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang
didominasi organisme gram negatif.
Table 1 Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal Penyebab
Boerhaave syndrome
Malignancy
Esophagus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal
Stomach stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Duodenum Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or
common duct
Biliary
Malignancy
tract
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Small Closed loop obstruction
bowel Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Ischemic bowel
Diverti
culitis
Large
MalignancyUlcerative colitis and Crohn disease
bowel and
Appendicitis
appendix
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-
Uterus,
ovarian abscess, ovarian cyst)
salpinx,
Malignancy (rare)
and ovaries
Trauma (uncommon)

 Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan
operasi sebelumnya.
Patofisiologi
Gambaran Klinis

• peritonitis dengan onset yang tiba tiba dapat dicurigai sebagai perforasi akut dari hollow
viscus.

• Gambaran awalnya tergantung pada keparahan dan luasnya peritonitis. Peritonitis luas
yang mengenai abdomen aspek diagfragma dapat disertai nyeri pada bahu. Muntah sering
terjadi pada awal penyakit. Pasien lemas , demam, dan mucul eksudat purulenta.

• Peritonitis yang disebabkan apendisitis biasanya disertai peningkatan suhu lebih dari 38
drajat celsius.

• Pemeriksaan abdomen menunjukkan nyeri tekan lokal pada area tertentu atau nyeri
diseluruh lapang perut jika cavitas peritonium yang terkena luas. Palpasi harus dimulai
dari area terjauh dari sumber nyeri terberat pasien. Adanya ‘boardlike abdomen’ pada
palpasi tidak boleh dilupakan sebagai diagnosis peritonitis. Voluntary guarding dengan
nyeri tekan yang ringan dapat dikira sebagai rigiditas oleh pemeriksa jika pasien cemas
dan palpasi terlalu keras.

• Abdomen tidak bersuara saat di auskultasi. Dan pada pemeriksaan rectum menunjukkan
nyeri tekan pelvic peritonium. Pada perkembangan penyakit, abdomen menjadi
membesar, tanda udara bebas dalam peritonium dapat ditemukan, muntah jarang terjadi,
pasien pucat, kulit basah dan sianosis
Diagnosis

Gambaran klinis dan pada pemeriksaan:

• Radiografi abdomen menunjukan terdapat udara bebas pada subdiagframa dari perforasi
hollow viscus.

• Pada pemeriksaan laboraturium didapatkan peningkatan wbc dengan gambaran


peningkatan neutrofil

• Pemeriksaan lainnya yang dapat digunakan CT dan peritoneal lavage

Management

Terapi efektif membutuhkan control sumber infeksi dengan reseksi atau perbaikan organ yang
bermasalah, debridement necrotic, jaringan terinfeksi dan debris, serta administrasi agen
antimicrobial untuk aerob dan anaerob.

• Kontrol sumber infeksi

• Membersihkan bakteri dan racun

• Memperbaiki fungsi organ

• Mengontrol proses inflamasi

Medical Management

1. Supportive Therapy

a. Terapi cairan : Cairan isotonic rehidrasi, pasang kateter urine

b. Analgesics : NSAID

c. Dekompresi : NGT

d. Nutrisi : Pasien dipuasakan dan diberi nutrisi parenteral.

e. Oxygen therapy : nasal cannula atau masker


2. Antibiotic Therapy
a. Primary bacterial peritonitis : terapi gram negative aerobic bacilli dan gram positif
cocci 

 Cephalosporin generasi ke-3 (cefotaxime 2g q8h IV).

 Antibiotik broad spectrum seperti penicillin/β-lactamase inhibitor combination


atau

 Ceftriaxone (2g q24h IV).

 Secara empiris antiotik untuk anaerob tidak diperlukan.

 antimicrobial untuk 5-14 hari

b. Secondary Peritonitis (flora campuran)


 Mild – moderate :

 broad spectrum penicillin/ β-lactamase inhibitor kombinasi (c/


ticarcillin/clavulanat 3.1g q4-6h IV) cefoxitin (2g q4-6h IV) atau kombinasi
floro quinolone (c/ levofloxacin 750mg q24h IV), atau

 cephalosporin generasi ke-3 (c/ceftriaxone 2g q24h IV) plus metronidazole


(500mg q8h IV).

 Intensive care unit :

 imipenem (500mg q6h IV),

 meropenem (1g q8h IV), atau

 kombinasi obat, seperti ampicillin plus metronidazole plus ciprofloxacin.

c. CAPD Peritonitis : terapi empirisnya berfokus pada S.aureus, coagulase negative


staphylococcus dan gram negative bacilli  sampai hasil kultur dipastikan.

 Cephalosporin generasi 1 (cefazolin : gram positif) dan floroquinolon atau

 Cephalosporin generasi ke-3 (Ceftazidime : gram negatif)


d. Tuberculous Peritonitis

 Pengobatan Tuberculosis ekstrapulmonal (OAT)

Surgical Management

• Prinsip operasi (Kirschner):

• Eliminasi sumber infeksi;

• Reduksi jumlah bakteri;

• Cegah infeksi persisten & rekuren

• Kontrol Sumber infeksi

• Eksisi : pembuangan fokus septik

• Resection : reseksi intestine dgn/tanpa anastomosis

• Lavase peritoneum (peritonitis difuse)

• dengan menggunakan larutan kristaloid (saline)

• Setelah lavase selsai dilakukan dilakukan aspirasi seluruh cairan dalam rongga
abdomen

• Drainase

• Catether drainase dibiarkan in situ sampai bersih atau cavitasnya collaps,

• output <10-20mL/d  tidak ada kontaminasi lanjutan, dan umumnya kondisi


Pasien membaik.1

Post-Surgical Management

• Tercapainya stabilitas hemodinamik.

• Pemberian antibiotik dilanjutkan 10 – 14 hari post operasi


• Oral-feeding: diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan
tidak ada distensi abdomen

Komplikasi

• Ileus

• Persistent (tertiary) peritonitis

• Shock ( karena septicemia dan hypovolemia)

Prognosis

• Response rate terhadap control sumber dan penggunaan antibiotik yang tepat berkisar
antara 70-90%

• Pasien yang gagal terapi standar umumnya : intraabdominal abses, kebocoran dari dari
anastomosis gastrointestinal  post operatif peritonitis, atau tertiary (persistent)
peritonitis.

• Kontrol antibiotik :

• Kegagalan control infeksi dengan antibiotik : Mortality rate >40%

• Keberhasilan control infeksi dengan antibiotik : mortality rate 5-6%


DAFTAR PUSTAKA

1. Wittmann CH, Walker AP, Condon RE Intraabdominal Infection at Principle of Surgery


10th ed. Schwartz SI McGraw Hill pg 149-150

2. Sabiston DC. Textbook od Surgery 19th ed. P 256

3. Harrison’s pcinciple of internal med ed 18th

4. Moore LK, Dalley AF. Clinically Oriented Anatomy. 5th edition. United States of
America: Lippincott and Wilkins. Chapter 2 : p231-233.

5. Tortora GJ, Derrickson B. Principle of anatomy and physiology. 11th edition. United
States of America: Biological sciences textbooks, Inc. Chapter 24: p900-902

6. Yamada Tadataka. Gastroenterology. 5th edition. United States of America: Willey Black
Well. Chapter 100:p2505-2509.

Anda mungkin juga menyukai