Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Kematian maternal 70% disebabkan oleh perdarahan 24%, infeksi 15%, aborsi
tidak aman 13%, tekanan darah tinggi 12% dan persalinan lama 8%. Masalah ini
merupakan pertanyaan bagi pusat pelayanan kesehatan dalam upaya menurunkan jumlah
kematian maternal tersebut. Perdarahan dan infeksi dapat dicegah dengan tindakan
kuretase. Abortus merupakan salah satu penyebab terjadinya perdarahan dan merupakan
indikasi dilakukanya kuretase. Angka ini turut meningkat seiring bertambahnya jumlah
kejadian aborsi di Indonesia, didapatkan dua juta kasus/tahun. Kuretase pada pasien
abortus baik dilakukan untuk mempersiapkan kehamilan selanjutnya.
Kuretase merupakan salah satu prosedur obstetrik dan ginekologi yang sering
dilakukan. Baik untuk pengosongan sisa konsepsi dari kavum uteri akibat abortus.
Ataupun untuk mengetahui kelainan perdarahan uterus pada kasus ginekologi. Prosedur
ini berlangsung dalam waktu singkat. Kasus yang membutuhkan tindakan kuretase
bermacam-macam, diantaranya abortus, blighted ovum, sisa plasenta, dan mola
hidatidosa. Ada juga kasus kuret yang ditujukan untuk diagnostik seperti biopsi
endometrium. Pengerukan yang terlalu dalam dapat menyebabkan sisa kerukan pada
dinding rahim, perdarahan, infeksi serta gangguan haid merupakan dampak dari kuretase.
Komplikasi dapat terjadi selama proses dilatasi dan kuretase, diperlukan tindakan
yang hati-hati dalam mendeteksi dan menangani kejadian ini. Beberapa komplikasi yang
sering terjadi adalah perdarahan, cedera pada serviks, perforasi uterus, infeksi, dan adhesi
intrauterus pasca prosedur. Terkadang komplikasi perdarahan tidak disadari, ataupun
ditangani terlambat akibat pengawasan yang kurang akan tanda-tanda perdarahan pasca
prosedur.
Oleh sebab tingginya jumlah kasus-kasus yang memerlukan tindakan kuretase,
dan tingginya angka kejadian komplikasi dari tindakan kuretase, maka diperlukan
pengetahuan dan kemampuan bagi para dokter dalam melakukan prosedur ini untuk
meningkatkan keberhasilan prosedur, mengurangi kejadian komplikasi, dan menurunkan
angka kematian ibu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kuretase


Kuretase adalah cara membersihkan hasil konsepsi memakai alat kuretase (sendok
kerokan). Kuretase adalah serangkaian proses pelepasan jaringan yang melekat pada
dinding kavum uteri dengan melakukan invasi dan memanipulasi instrument (sendok
kuret) ke dalam kavum uteri. Kuretase adalah cara membersihkan hasil konsepsi
memakai alat kuretase (sendok kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus
melakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan
besarnya uterus. Gunanya untuk mencegah terjadinya bahaya kecelakaan misalnya
perforasi. Kuret berfungsi untuk mengeluarkan jaringan dari dalam rahim. Jaringan itu
sendiri bisa berupa tumor, selaput rahim, atau janin yang dinyatakan tidak berkembang
maupun sudah meninggal. Dengan alasan medis, tidak ada cara lain jaringan semacam itu
harus dikeluarkan.

Sebuah kuret adalah alat bedah yang dirancang untuk mengorek jaringan biologis
atau puing di sebuah biopsi, eksisi, atau prosedur pembersihan. (Michelson, 1988).

2.2. Tujuan Kuretase

Menurut ginekolog dari Morula Fertility Clinic, RS Bunda, Jakarta, tujuan kuret ada
dua yaitu:
a. Sebagai terapi pada kasus-kasus abortus. Intinya, kuret ditempuh oleh dokter
untuk membersihkan rahim dan dinding rahim dari benda-benda atau
jaringan yang tidak diharapkan.
c. Penegakan diagnosis. Semisal mencari tahu gangguan yang terdapat pada
rahim, apakah sejenis tumor atau gangguan lain. Meski tujuannya berbeda,
tindakan yang dilakukan pada dasarnya sama saja. Begitu juga persiapan
yang harus dilakukan pasien sebelum menjalani kuret.
2.3 Metode curettage
1. Metode Penyedotan (Suction Curettage)
Pada 1-3 bulan pertama dalam kehidupan janin, aborsi dilakukan dengan metode
penyedotan. Teknik inilah yang paling banyak dilakukan untuk kehamilan usia dini.
Mesin penyedot bertenaga kuat dengan ujung tajam dimasukkan ke dalam rahim lewat
mulut rahim yang sengaja dimekarkan. Penyedotan ini mengakibatkan tubuh bayi
berantakan dan menarik ari-ari (plasenta) dari dinding rahim. Hasil penyedotan berupa
darah, cairan ketuban, bagian-bagian plasenta dan tubuh janin terkumpul dalam botol
yang dihubungkan dengan alat penyedot ini. Ketelitian dan kehati-hatian dalam menjalani
metode ini sangat perlu dijaga guna menghindari robeknya rahim akibat salah sedot yang
dapat mengakibatkan pendarahan hebat yang terkadang berakhir pada operasi
pengangkatan rahim. Peradangan dapat terjadi dengan mudahnya jika masih ada sisa-sisa
plasenta atau bagian dari janin yang tertinggal di dalam rahim. Hal inilah yang paling
sering terjadi yang dikenal dengan komplikasi paska-aborsi.

2. Metode D&C Dilatasi dan Kerokan


Dalam teknik ini, mulut rahim dibuka atau dimekarkan dengan paksa untuk
memasukkan pisau baja yang tajam. Bagian tubuh janin dipotong berkeping-keping dan
diangkat, sedangkan plasenta dikerok dari dinding rahim. Darah yang hilang selama
dilakukannya metode ini lebih banyak dibandingkan dengan metode penyedotan. Begitu
juga dengan perobekan rahim dan radang paling sering terjadi. Metode ini tidak sama
dengan metode D&C yang dilakukan pada wanita-wanita dengan keluhan penyakit rahim
(seperti pendarahan rahim, tidak terjadinya menstruasi, dsb). Komplikasi yang sering
terjadi antara lain robeknya dinding rahim yang dapat menjurus hingga ke kandung
kencing.
Keterangan gambar:
Alat kuret dimasukkan ke dalam rahim untuk mulai mengerok janin, ari-ari, dan air
ketuban dari rahim.
Trimester Kedua:
3. Metode Dilatasi dan Evakuasi (D&E)
Metode ini digunakan untuk membuang janin hingga usia 24 minggu. Metode ini
sejenis dengan D&C, hanya dalam D&E digunakan tang penjepit (forsep) dengan ujung
pisau tajam untuk merobek-robek janin. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga seluruh
tubuh janin dikeluarkan dari rahim. Karena pada usia kehamilan ini tengkorak janin
sudah mengeras, maka tengkorak ini perlu dihancurkan supaya dapat dikeluarkan dari
rahim. Jika tidak berhati-hati dalam pengeluarannya, potongan tulang-tulang yang
runcing mungkin dapat menusuk dinding rahim dan menimbulkan luka rahim.
Pendarahan mungkin juga terjadi. Dr. Warren Hern dari Boulder, Colorado, Amerika
Serikat, seorang dokter aborsi yang sering melakukan D&E mengatakan, hal ini sering
membuat masalah bagi karyawan klinik dan menimbulkan kekuatiran akan efek D&E
pada wanita yang menjalani aborsi. Dokter Hern juga melihat trauma yang terjadi pada
para dokter yang melakukan aborsi, ia mengatakan, tidak dapat disangkal lagi,
penghancuran terjadi di depan mata kita sendiri. Penghancuran janin lewat forsep itu
seperti arus listrik.
Keterangan gambar:
Tang penjepit dan alat sedot tengah dimasukan ke dalam rahim untuk menghancurkan
janin.

2.4. Indikasi Kuretase

Umumnya dilakukan karena terjadinya keguguran (abortus). Penyebab keguguran


sebagian besar tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa sebab antara lain :

a. Faktor pertumbuhan hasil konsepsi


Kelainan kromosom
Lingkungan endometrium
Gizi ibu kurang
Radiasi
Kelainan plasenta

b. Penyakit ibu
Penyakit secara langsung mempengaruhi pertumbuhan janin dalam
kandungan melalui plasenta yaitu penyakit infeksi seprti pneumonia, tifus
abdominalis, malaria, sypilis, toxin, bakteri, virus, atau plasmodium sehingga
menyebabkan kematian janin dan terjadi abortus.

c. Kelainan traktus genitalis


Retroversion uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat
menyebabkan abortus.

1. Mola hidatidosa
Mola hidatidosa dicirikan dengan poliferasi abnormal vilus korion. Mola
Hidatidosa adalah gumpalan atau tumor dalam rahim yang terjadi karena
degenerasi atau gangguan perkembangan sel telur yang telah dibuahi. Mola
hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak
ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan hidropik.
Yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih,
dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai satu atau dua
sentimeter.
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada wanita dengan amenore,
perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan dan untuk
diagnosis pasti dilakukan pemeriksaan kadar HCG dalam darah, urin maupun
biopsy, atau dengan USG.

2. Blighted Ovum
Blighted Ovum adalah buah kehamilan yang dengan pemeriksaan USG
tampak gestasional sac saja, tanpa adanya fetal pole, kantong amnion tampak
telah tidak teratur Blighted Ovum (kehamilan unembrionik) adalah kehamilan
patologik, dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal. Disamping mudigah,
kantong kuning telur juga ikut tidak terbentuk. Blighted ovum harus dibedakan
dari kehamilan muda yang normal, dimana mudigah masih terlalu kecil untuk
dapat dideteksi dengan alat USG (biasanya kehamilan 5-6 minggu).
Kehamilan yang berkembang dengan tidak sempurna ini disebabkan oleh
kelainan gen dan kromosom pada ovum (sel telur), sperma, atau keduanya.
Kelainan ini biasa diturunkan dari bapak atau ibu penderita. Rendahnya kualitas
sel telur dan sperma juga berperan. Bisa juga sel telur dan sperma normal, namun
saat terjadi proses pembelahan kromosom terjadi kelainan berupa translokasi
(saling bertukarnya bagian kromosom yang non-homolog atau tak sejenis).
Penyebab lainnya multifaktor, meliputi: infeksi karena campak Jerman (rubella),
cytomegalovirus, herpes simpleks, virus toxoplasma, bakteri Listeria
monocytogenes, penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tak terkendali,
dan kelainan imunologi.
Diagnosis blighted ovum dapat ditegakkan bila pada kantong gestasi yang
berdiameter sedikitnya 30 mm (penulis lain memakai ukuran 25 mm), tidak
dijumpai adanya struktur mudigah atau kantong kuning telur. Jika telah
didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah mengeluarkan hasil
konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil kuretase akan dianalisa untuk memastikan
apa penyebab blighted ovum lalu mengatasi penyebabnya. Jika karena infeksi
maka dapat diobati sehingga kejadian ini tidak berulang. Jika penyebabnya
antibodi maka dapat dilakukan program imunoterapi sehingga kelak dapat hamil
sungguhan.

3. Misssed Abortion
Retensi janin mati (Missed Abortion) adalah perdarahan pada kehamilan
muda disertai dengan retensi hasil konsepsi yang telah mati hingga 8 minggu atau
lebih. Missed Abortion adalah kehilangan kehamilan dimana produk-produk
konsepsi tidak keluar dari tubuh. Diagnosa missed abortion secara USG dapat
ditegakkan bila dijumpai mudigah dengan jarak kepala-bokong 10 mm atau lebih
yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ukuran uterus lebih kecil dari
usia kehamilan, bentuk kantong gestasi dan mudigah tidak utuh lagi dan cairan
ketuban biasanya tinggal sedikit.
Pengeluaran hasil konsepsi pada missed abortion merupakan satu tindakan
yang tidak lepas dari bahaya karena plasenta dapat melekat erat pada dinding
uterus dan kadang-kadang terdapat hipofibrinogenemia. Apabila diputuskan untuk
mengeluarkan hasil konsepsi itu, pada uterus yang besarnya tidak melebihi 12
minggu sebaiknya dilakukan pembukaan serviks uteri dengan memasukkan
laminaria selama kira-kira 12 jam dalam kanalis servikalis yang kemudian dapat
diperbesar dengan busi hegar sampai cunam ovum atau jari dapat masuk kedalam
kavum uteri. Dengan demikian, hasil konsepsi dapat dikeluarkan lebih mudah
serta aman, dan sisa-sisanya kemudian dibersihkan dengan kuret tajam.

4. Sisa Plasenta
Perdarahan postpartum dini dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya sisa
plasenta atau selaput janin. Bila hal tersebut terjadi, harus dikeluarkan secara
manual atau dikuret, disusul dengan pemberian obat-obatan oksitoksika intravena.
Sisa plasenta dalam nifas menyebabkan perdarahan dan infeksi. Perdarahan yang
banyak dalam nifas hampir selalu disebabkan oleh sisa plasenta. Dengan
perlindungan antibiotik, sisa plasenta dikeluarkan secara digital atau dengan kuret
besar. Jika ada demam ditunggu dulu sampai suhu turun dengan pemberian
antibiotik dan 3-4 hari kemudian rahim dibersihkan, tetapi bila ada perdarahan
banyak, rahim segera dibersihkan walaupun ada demam.
Sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang
dapat menimbulkan perdarahan postpartum primer atau perdarahn postpartum
sekunder. Perdarahan postpartum dini dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya
sisa plasenta atau selaput janin. Bila hal tersebut terjadi, harus dikeluarkan secara
manual atau dikuretase disusul dengan pemberian obat-obat uterotonika intravena.
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes, dengan pemeriksaan dalam
dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo dengan cara ini
dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina, hematoma dan adanya sisa-
sisa plasenta.
Tindakan penanganan meliputi pemasangan infus profilaksis, pemberian
antibiotik adekuat, pemberian uterotonik (oksitosin atau metergin), dan tindakan
definitif dengan kuratase dan dilakukan pemeriksaan patologi-anatomik (PA).

2.5. Kontraindikasi Kuretase


Kontraindikasi absolut dari prosedur dilatasi dan kuretase meliputi:
1. Kehamilan intra uterus yang diperkirakan viable.
2. Ostium uteri dan serviks tidak terlihat.
3. Vagina yang terobstruksi.
Kontraindikasi relatif dari prosedur dilatasi dan kuretase meliputi:
1. Stenosis serviks yang berat.
2. Kelainan serviks/uterus.
3. Riwayat ablasi endometrium.
4. Gangguan perdarahan (kelainan pembekuan darah).
5. Infeksi pelvis akut (kecuali dengan tujuan mengeluarkan isi endometrium
yang terinfeksi).

2.6. Persiapan Kuretase

A. Persiapan Pasien
1. Puasa
Saat akan menjalani kuretase, biasanya ibu harus mempersiapkan dirinya.
Misal, berpuasa 4-6 jam sebelumnya. Tujuannya supaya perut dalam keadaan
kosong sehingga kuret bisa dilakukan dengan maksimal.
2. Persiapan Psikologis
Setiap ibu memiliki pengalaman berbeda dalam menjalani kuret.
Sebenarnya, seperti halnya persalinan normal, sakit tidaknya kuret sangat
individual. Sebab, segi psikis sangat berperan dalam menentukan hal ini. Bila
ibu sudah ketakutan bahkan syok lebih dulu sebelum kuret, maka munculnya
rasa sakit sangat mungkin terjadi. Sebab rasa takut akan menambah kuat rasa
sakit. Bila ketakutannya begitu luar biasa, maka obat bius yang diberikan bisa
tidak mempan karena secara psikis rasa takutnya sudah bekerja lebih dahulu.
Sebaliknya, bila saat akan dilakukan kuret ibu bisa tenang dan bisa
mengatasi rasa takut, biasanya rasa sakit bisa teratasi dengan baik. Meskipun
obat bius yang diberikan kecil sudah bisa bekerja dengan baik. Untuk itu
sebaiknya sebelum menjalani kuret ibu harus mempersiapkan psikisnya
dahulu supaya kuret dapat berjalan dengan baik. Persiapan psikis bisa dengan
berusaha menenangkan diri untuk mengatasi rasa takut, pahami bahwa kuret
adalah jalan yang terbaik untuk mengatasi masalah yang ada. Sangat baik bila
ibu meminta bantuan kepada orang terdekat seperti suami, orangtua, sahabat,
dan lainnya.

B. Persiapan Tenaga Kesehatan Sebelum Kuretase


Melakukan USG terlebih dahulu, mengukur tekanan darah pasien, dan
melakukan pemeriksaan Hb, menghitung pernapasan, mengatasi perdarahan,
dan memastikan pasien dalam kondisi sehat.

Alat-Alat Kuretasi
No Gambar Alat Nama Alat
1. Spekulum

2. Klem ovum

3. Sonde Uterus

4. Tenakulum
5. Retraktor

6. Kuretase set

Obat-obatan :
Analgetik ( petidin 1-2 mg/Kg BB
Indikasi
Nyeri sedang sampai berat, nyeri pasca bedah
Kontra indikasi
Depresi pernafasan akut, alkoholisme akut, penyakit perut akut, peningkatan
tekanan otak atau cedera kepala
Efek samping
Mual, muntah, konstipasi, ketergantungan / adiksi pada over dosis menimbulkan
Sediaan Petidin (generik) injeksi 50 mg/ml, tabl 50 mg
Ketamin HCL 0.5 ml/ Kg BB
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki
struktur mirip dengan phencyclidine. 11 Ketamin pertama kali disintesis tahun
1962, dimana awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik
yang lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan
kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika selama perang
Vietnam. Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin,
merupakan rapid acting non barbiturate general anesthesia. Ketalar sebagai
nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun
1965 yang digunakan sebagai anestesi umum. Ketamin kurang digemari untuk
induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi ,
hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah
muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan
terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang
mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.
Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam
otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi
terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek
analgesik.
Efek farmakologis
Efek pada susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak
mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan
yang tidak disadari, seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang.
Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit,
sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan
sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat,
menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial.
Efek pada mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi
peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus
koroidalis.
Efek pada sistem kardiovaskular.
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa
meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek
inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Efek pada sistem respirasi
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat
menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga
merupakan obat pilihan pada pasien ashma.
Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila
akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak anak. Ketamin
bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. dosis induksi
adalah 1 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif
lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek
yang diinginkan. Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau
kontinyu. Emberian secara intermitten diulang setiap 10 15 menitdengan dosis
setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.
Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada
mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan
mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek
mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan
intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah
disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada
pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan
seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya pada trauma kepala,
tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya
pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita
penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat obat simpatomimetik, seperti ;
hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.
Tramadol 1-2 mg/ BB
Indikasi
Nyeri sedang sampai berat
Kontra indikasi
Depresi pernafasan akut, alkoholisme akut, penyakit perut akut, peningkatan
tekanan otak atau cedera kepala

Efek samping

Mual, muntah, konstpasi, ketergantungan / adiksi pada over dosis menimbulkan


keracunan dan dapat menyebabkan kematian. Sediaan Tramadol (generik)
injeksi 50 mg/ml, tablet 50 mg

Sedativa ( diazepam 10 mg)

Indikasi

Pemakaian jangka pendek pada ansietas atau insomnia, tambahan pada putus
alkohol akut, status epileptikus, kejang demam, spasme otot.

Cara Pemberian

Injeksi i.m atau injeksi i.v lambat : (kedalam vena besar dengan kecepatan tidak
lebih dari 5 mg/menit)untuk ansietas akut berat, pengendalian serangan panik
akut, penghentian alkohol akut, 10 mg, jika perlu ulangi setelah 4 jam.Catatan :
Rute i.m hanya digunakan jika rute oral dan i.v tidak mungkin diberikan.
Kontraindikasi
Depresi pernafasan, gangguan hati berat, miastenia gravis, insufisiensi pulmoner
akut, glaukoma sudut sempit akut, serangan asma akut, trimester pertama
kehamilan, bayi prematur; tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal pada
depresi atau ansietas yang disertai dengan depresi.

Efek Samping

Efek samping pada susunan saraf pusat : rasa lelah, ataksia, rasa malas, vertigo,
sakit kepala, mimpi buruk dan efek amnesia. Efek lain : gangguan pada saluran
pencernaan, konstipasi, nafsu makan berubah, anoreksia, penurunan atau
kenaikan berat badan, mulut kering, salivasi, sekresi bronkial atau rasa pahit
pada mulut.

Atropine sulfas 0.25- 0.50 mg/ml

Indikasi

Spasme/kejang pada kandung empedu, kandung kemih dan usus, keracunan


fosfor organik.
Kontraindikasi
Glaukoma sudut tertutup, obstruksi/sumbatan saluran pencernaan dan saluran
kemih, atoni (tidak adanya ketegangan atau kekuatan otot) saluran pencernaan,
ileus paralitikum, asma, miastenia gravis, kolitis ulserativa, hernia hiatal,
penyakit hati dan ginjal yang serius.
Dosis : 0.25- 0.50 mg/ml
Oksigen dan regulator

Pemberian oksigen dilakukan setelah post operasi pasien diberikan oksigen 2


liter/menit melalui nasal kanule dan tetap observasi keadaan pasien sampai
dipindahkan ke ruangan perawatan.
Contoh Prosedur Kuretase pada Contoh Prosedur Kuretase Pasca
Abortus Inkomplit Persalinan

LANGKAH/KEGIATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
1. Sapa pasien dan keluarganya, perkenalkan bahwa anda adalah
petugas yang akan melakukan tindakan medik.
2. Jelaskan tentang diagnosis dan penatalaksanaan Abortus Inkomplit atau pembersihan
sisa jaringan pasca persalinan
3. Jelaskan bahwa setiap tindakan medik mengandung risiko, baik yang telah diduga
sebelumnya maupun tidak.

4. Pastikan bahwa pasien dan keluarganya telah mengerti dan jelas


tentang penjelasan tersebut di atas.
5. Beri kesempatan kepada pasien dan keluarganya untuk mendapatkan
penjelasan ulang apabila ragu atau belum mengerti.

6. Setelah pasien dan keluarga mengerti dan memberikan persetujuan


untuk dilakukan tindakan ini, mintakan persetujuan secara tertulis,
dengan mengisi dan menandatangani formulir yang telah disediakan.
7. Masukkan lembar Persetuan Tindakan Medik yang telah diisi dan
ditandatangani ke dalam catatan medik pasien.
8. Serahkan kembali catatan medik pasien setelah diperiksa
kelengkapannya, catatan kondisi pasien dan pelaksanaan instruksi.
PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
A. PASIEN
9. Cairan dan selang infus sudah terpasang. Perut bawah dan lipat paha sudah
dibersihkan dengan air dan sabun.
10. Uji fungsi dan kelengkapan peralatan resusitasi kardipulmoner.
11. Siapkan kain alas bokong, sarung kaki, dan penutup perut bawah
12. Medikamentosa
a. analgetika (pethidin 1-2 mg/kg BB, ketamin HCl 0,5 mg/kg BB, tramadol 1-2
mg/kg BB)
b. sedative (diazepam 10 mg)
c. atropin sulfas 0,25 0,50 mg/m3
13. Larutan antiseptic (povidone iodine 10%)
14. Oksigen dengan regulator
15. Instrumen
a. cunam tampon: 1
b. cunam peluru atau tenakulum: 1
c. klem ovum (foersier/ fenstrar dampt) lurus dan lengkung: 2
d. sendok kuret: 1 set
e. penala kavum uteri (uterine sound/ sondage): 1
f. spikulum sims atau L dan kateter karet: 2 dan 1
g. tabung 5 ml dan jarum suntik
B. PENOLONG (operator dan asisten)
16. Baju kamar tindakan, pelapis plastic, masker dan kaca mata pelindung: 3 set
17. Sarung tangan DTT/steril: 4 pasang
18. Alas kaki (sepatu/boot karet): 3 pasang
19. Instrumen
a. lampu sorot : 1
b. mangkok logam: 2
c. penampung darah dan jaringan: 1
PENCEGAHAN INFEKSI SEBELUM TINDAKAN
20. Cuci tangan dan lengan dengan sabun hingga ke siku dibawah air mengalir
21. Keringkan tangan dengan handuk DTT
22. Pakai baju dan alas kaki kamar ttindakan, masker, kaca mata pelindung
23. Pakai sarung tangan DTT/ stereo 24 pasien dengan posisi litotomi, pasangkan alas
bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah, fiksasi dengan klem kain (ingat:
sarung tangan tidak boleh menyentuh bagian yang tidak aman)
TINDAKAN
25. Instruksikan asisten untuk memberikan sedative dan analgetika melalui karet infuse
(pethidin diberikan secara intramuskuler)
26. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri sisihkan labium mayus kiri dan kanan ke
lateral hingga tampak muara uretra. Masukkan kateter ke uretra dengan ibu jari
dan telunjuk tangan kanan hingga 0,5 cm. pindahkan telunjuk kiri ke dinding
denpan vagina (dasar uretra) dorong kateter (dengan tuntunan telunjuk kiri) hingga
memasuki kandung kemih (keluar air kemih)
27. Setelah kandung kemih dikosongkan, lepaskan kateter, masukkan kedalam tempat
yang tersedia. Buka introitas vagina dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri,
masukkan telunjuk dan jari tengah tangan kanan kedalam lumen vagina,
pindahakan tangan kiri ke perut bawah (suprasimfisis) untuk memeriksa besar dan
lengkung uterus, bukaan servik, jaringan yang terkumpul divagina atau terjepit di
kanalis servik (pemeriksaaan dalam)
28. Celupkan tangan kanan yang masih memakai sarung tangan kedalam larutan klorin
0,5%, bersihkan darah atau jaringna yang melekay di sarung tangan, lepaskan
sarung tangna secara terbalik.
29. Pakai sarung tangan DDT/steril yang baru
30. Pegang speculum sims L dengan tangan kanan, masukkan bilahnya secara vertical
kedalam vagina, setelah itu putar kebawah sehingga posisi bilah menjadi
transversal
31. Minta asisten untuk menahan speculum bawah pada posisinya.
32. Dengan sedikit menarik speculum bawah (hingga lumen vagina tampak jelas)
masukkan bilah speculum atas secara vertical kemudian putar dan tarik ke atas
hingga jelas terlihat servik
33. Minta asisten untuk memegang speculum atas pada posisinya
34. Jepit kapas (yang telah dibasahi dengan larutan antiseptic) dengan cunam tampon,
bersihkan jaringan dan darah dalam vagina tentukan bagian servik yang akan di
jepit( posisi jam 11 dan 13)
35. Dengan tangan kanan, jepit servik dengan tenakulum, setelah terjepit dengan baik,
pegang gagang tenakulum dengan tangan kiri
36. Lakukan pemeriksaaan dalam dan lengkung uterus dengan penala (sondase)
37. Sementara tangan kiri menahan servik masukkan klem ovum yang sesuai dengan
bukaan kanalis servik hingga menyentuh fundus uteri (keluarkan dulu jaringan
yang tetahan pada kanalis
38. Lakukan pengambilan jaringan dengan jalan membuka dan menutup klem (dorong
klem dalam keadaan terbuka hingga menyentuh fundus kemudian tutup dan tarik)
pilih klem ovum yang mempunyai permukaan bulatan, halus dan rata, agar tidak
melukai dinding dalan uterus
39. Keluarkan klem ovum jika dirasakan sudah tidak ada lagi jarinagn yang
terjepit/keluar
40. Pegang gagang sendok kuret dengan ibu jari dan telunjuk , masukkan ujung sendok
kuret ( sesuai lengkung uterus) melalui kanalis servik kedalam uterus hingga
menyentuh fundus
41. Lakukan kerokan dinding uterus secara sistematis dan searah jarum jam hingga
bersih
42. Untuk diding kavum uteri yang berlawanan dengan lengkung kavum uteri,
masukkan sendok kuret sesuai denagn lengkung uteri setelah mencapai fundus,
putar gagang sendok 180 derajat baru dilakukan pengerokan
43. Keluarkan semua jaringan dan bersihkan darah yang menggenangi lumen vagina
bagian belakang
44. Lepaskan tenakulum
45. Lepaskan speculum atas dan bawah
DEKONTAMINASI
46. Sebelum melepas sarung tangan, kumpulkan dan masukkan instrument kewadah
yang berisi klorin 0,5%
47. Kumpulkan bahan habis pakai yang terkena darah atau cairan tubuh pasien ,
masukkan ketempat sampah yang tersedia
48. Bubuhi benda-benda daklam kamar tindakan yang terkena cairan tubuh atau darah
pasien dengan cairan klorin 0,5%
49. Bersihkan sarung tangan dari noda darah dan cairan tubuh pasien kemudian
lepaskan secara terbalik dan rendam dalam cairan klorin 0,5%
CUCI TANGAN PASCA TINDAKAN
50. Cuci tangan dengan sabun dibawah air mengalir
51. Keringkan tangan dengan handuk/tissue yang bersih
PERAWATAN PASCA TINDAKAN
52. Periksa kembali tanda vital pasien, segara lakukan tindakan instruksi apabila terjadi
komplikasi/kelainan
53. Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan didalam kolom yang tersedia dalam
status pasien. Bila keadaan umum pasien cukup baik, setelah cairan habis le[askan
peralatan infus
54. Buat instruksi pegobatan lanjutan dan pemantauan kondisi pasien
55. Beritahukan kepada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi
pasien masih memerlukan perawatan
56. Bersama petugas yang akan merawat pasien , jelaskan jenis perawatan yang masih
diperlukan, lama perawatan dan laporkan kapada petugas tersebut bila ada
keluhan/gangguan pasca tindakan
57. Tegaskan pada petugas yang merawat untuk menjalankan instruksi perawatan dan
pengobatan serta laporkan segera bila pada pemantauan lanjut ditemukan
perubahan-perubahan seperti yang ditulis dalam catatan pascatindakan.

2.7. Perawatan Setelah Kuretase


Perawatan usai kuretase pada umumnya sama dengan operasi-operasi lain. Harus
menjaga bekas operasinya dengan baik, tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat,
tidak melakukan hubungan intim untuk jangka waktu tertentu sampai keluhannya benar-
benar hilang, dan meminum obat secara teratur. Obat yang diberikan biasanya adalah
antibiotik dan penghilang rasa sakit. Jika ternyata muncul keluhan, sakit yang terus
berkepanjangan atau muncul perdarahan, segeralah memeriksakan diri ke dokter.
Mungkin perlu dilakukan tindakan kuret yang kedua karena bisa saja ada sisa jaringan
yang tertinggal. Jika keluhan tak muncul, biasanya kuret berjalan dengan baik dan pasien
tinggal menunggu kesembuhannya. Hal-hal yang perlu juga dilakukan:
1. Setelah pasien sudah dirapihkan, maka perawat mengobservasi keadaan pasien dan
terus memastikan apakah pasien sudah bernapas spontan atau belum.
2. Setelah itu pasien dipindahkan ke recovery room.
3. Melakukan observasi keadaan umum pasien hingga kesadaran pulih.
4. Pasien diberikan oksigen 2 liter/menit melalui nasal kanule dan tetap observasi
keadaan pasien sampai dipindahkan ke ruangan perawatan.
5. Konseling pasca tindakan.
6. Melakukan dekontaminasi alat dan bahan bekas operasi.

2.9. Dampak Setelah Kuretase


a. Perdarahan
Bila saat kuret jaringan tidak diambil dengan bersih, dikhawatirkan terjadi perdarahan.
Untuk itu jaringan harus diambil dengan bersih dan tidak boleh tersisa sedikit pun. Bila
ada sisa kemudian terjadi perdarahan, maka kuret kedua harus segera dilakukan.
Biasanya hal ini terjadi pada kasus jaringan yang sudah membatu. Banyak dokter
kesulitan melakukan pembersihan dalam sekali tindakan sehingga ada jaringan yang
tersisa. Namun biasanya bila dokter tidak yakin sudah bersih, dia akan memberi tahu
kepada si ibu, Jika terjadi perdarahan maka segera datang lagi ke dokter.

b. Cerukan di Dinding Rahim


Pengerokan jaringan pun harus tepat sasaran, jangan sampai meninggalkan
cerukan di dinding rahim. Jika menyisakan cerukan, dikhawatirkan akan mengganggu
kesehatan rahim.
Laserasi serviks terjadi umumnya pada saat traksi. Hal ini sering terjadi pada
penggunaan tenakulum single-tooth, utamanya ketika diletakkan sevara vertikal di bibir
serviks. Tenakulum multi-toothed mempenetrasi tidak terlalu dalam pada jaringan serviks
dan melingkupi area yang lebih luas, sehingga lebih disarankan untuk mengurangi risiko
cedera. Laserasi biasanya ditangani dengan jahitan interuptus ataupun interlocking
sepanjang laserasi. Penempatan tenakulum tidak disarankan pada bagian lateral serviks,
karena lokasi tersebut merupakan tempat percabangan dari arteri uterus.
Perforasi uterus merupakan salah satu komplikasi tersering dari dilatasi dan
kuretase. Risikonya meningkat pada ibu yang sedang hamil atau yang baru saja
melahirkan (5,1%), dan risikonya berkurang pada wanita yang melakukan prosedur ini
jauh dari waktu kehamilan (0,3% pada wanita premenopause dan 2,6% pada wanita pasca
menopause).
Kejadian infeksi terkait prosedur diagnosis dilatasi dan kuretase sangat jarang
terjadi, dan lebih mungkin terjadi bila memang ditemukann servisitis pada saat prosedur
dikerjakan. Salah satu penelitian menunjukkan 5% insiden bakteremia pasca prosedur
dilatasi dan kuretase, dengan kejadian septicemia yang sangat jarang terjadi. Antibiotik
profilaksis tidak disarankan pada prosedur ini.
Adhesi intra uterus umumnya terjadi akibat kuretase pasca melahirkan atau
abortus yang menyebabkan cedera pada endometrium, yang kemudian berkembang
menjadi proses adhesi yang lebih dikenal sebagai sindrom Asherman. Perkembangan
sinekia intra uterus ini juga terkait dengan prosedur ablasi endometrium sebelumnya.
Adhesi intra uterus kedepannya akan menyebabkan diagnosis menggunakan kuretase
menjadi semakin sulit dan meningkatkan risiko perforasi uterus.

c. Gangguan Haid
Jika pengerokan yang dilakukan sampai menyentuh selaput otot rahim,
dikhawatirkan akan mengganggu kelancaran siklus haid.

d. Infeksi
Jika jaringan tersisa di dalam rahim, muncul luka, cerukan, dikhawatirkan bisa
memicu terjadinya infeksi. Sebab, kuman senang sekali dengan daerah-daerah yang basah
oleh cairan seperti darah.
e. Kanker
Sebenarnya kecil kemungkinan terjadi kanker, hanya sekitar 1%. Namun bila
kuret tidak dilakukan dengan baik, ada sisa yang tertinggal kemudian tidak mendapatkan
penanganan yang tepat, bisa saja memicu munculnya kanker. Disebut kanker trofoblast
atau kanker yang disebabkan oleh sisa plasenta yang ada di dinding rahim.

f. Perforasi Usus
Risiko komplikasi seperti perforasi uterus, dapat meningkat pada pasien dengan
riwayat penyakit tropoblastik gestasional, riwayat ablasi endometrium, kelainan anatomi
serviks dan uterus, stenosis serviks, ataupun mengalami infeksi uterus akut.
DAFTAR PUSTAKA

Asih Y. Penatalaksanaan Bedah Obstetri, Ginekologi dan Traumatologi di Rumah Sakit,


edisi pertama, Jakarta: EGC 1993: 63

Bernstein, P, Strategies to Reduce the Incidence of Cesarean Delivery, XVI World


Conggress of the International Federation of Gynecology and Obstetric, 2000
Bacon JL. Diagnostic Dilation and Curettage. Emedicine Medscape [Internet] 2015;
(Cited 2016May 31). Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1848239-overview#showall
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Bilstrap LC, Wenstrom KD, editors.
Abortion In William Obsetrics. 22nd ed. USA : The McGraw-Hills Companies,
Inc ; 2005 : p. 231-247.
Cunningham, MacDonald, Grant: Operative Obstetric, cesarean Delivery and Postpartum
Hysterectomi. William Obstetric 21th ed, 2001, 537-60
Division of Maternal Fetal Medicine & Prenatal Diagnosis Risk of Uterine Rupture
during Labor among Women with a Prior Cesarean Delivery

Fernando Arias, M.D. PhD, 2010,Practical Guide to High Risk Pregnancy and Delivery

Guttmacher Institute (2008). In Brief: Facts on Induced Abortion in the United States.
Available online: http://www.guttmacher.org/pubs/fb_induced_abortion.html.

Husodo L. 2012, Usaha menghentikan kehamilan, dalam: Wiknjosastro H, ed. Ilmu


Kebidanan, edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan. Reproduksi. Asuhan Pascakeguguran ed


2. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2002.
Pedoman Diagnosis Terapi Dan Bagian Alur Pelayanan Pasien, Lab/SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah Denpasar.
2003.

Untoro R, dkk. Buku Panduan Pelatih, Pelatihan Keterampilan Klinik Esensial Dasar
Obstetri dan Neonatal, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Keluarga: Jakarta,
2012

Anda mungkin juga menyukai