Anda di halaman 1dari 34

REFRESHING

DERMATOTERAPI DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pembimbing :
dr. Vita Noor’aini Atmadi Hartati, Sp.KK

Oleh :
Dwi Suci Hariyati
2013730138

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM SAYANG CIANJUR
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehinnga saya dapat merampungkan tugas Refreshing dengan judul
“Dermatoterapi dan Pemeriksaan Penunjang”.
Makalah ini membahas mengenai pengobatan atau terapi untuk
mengkoreksi berbagai kelainan kulit. Tujuan dibuatnya makalah ini untuk
memenuhi tugas kepaniteraan di Stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Tak ada gading yang tak retak, Sama halnya dengan makalah ini. Saya
sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karna itu kritik dan
saran yang membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Terakhir saya ucapkan terima kasih kepada semua yang telah berperan
dalam penyusunan makalah ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan kita
dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi
penulis. Aamin.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kulit merupakan organ tubuh terbesar dan memiliki banyak fungsi
penting, di antaranya adalah fungsi proteksi, termoregulasi, respon imun,
sintesis senyawa biokimia, dan peran sebagai organ sensoris.
Umumnya di departemen kulit dan kelamin pengobatan penyakit kulit
terdiri atas topikal, sistemik dan intralesi. Pengobatan topikal akan dibahas
lebih banyak karena merupakan terapi yang sering digunakan di departemen
kulit dan kelamin. Pengobatan topikal dilakukan bila lesinya sedikit, dan
jika didapatkan hasil laboratorium tidak normal, misalnya menurunnya
fungsi hati dan ginjal. Sedangkan pengobatan sistemik dilakukan apabila
lesinya luas, predileksinya sulit untuk pengobatan topikal, jika pengobatan
topikal belum memadai, pasien imunokompremais dan hasil laboratorium
normal.
Dengan adanya kemajuan-kemajuan yang pesat dalam bidang farmasi,
maka pengobatan penyakit kulit juga ikut berkembang pesat. Yang menarik
perhatian ialah kemajuan dalam bidang pengobatan topikal yang berupa
perubahan dari cara pengobatan non spesifik dan empirik menjadi
pengobatan spesifik dengan dasar yang rasional.

1
BAB II
PEMBAHASAN
Penyakit kulit dapat diobati dengan bermacam macam cara, ialah:
- Topical
- Sistemik
- Intralesi
Kalau cara pengobatan diatas ini belum memadai maka maaih dapat dipergunakan cara-cara
lain, yaitu:
- Radioterapi
- Sinar ultraviolet
- Pengobatan laser
- Krioterapi
- Bedah listrik
- Bedah skalpel

2.1 Pengobatan Topikal


2.1.1 Bentuk Sediaan Topikal
Kegunaan dan khasiat pengobatan topikal didapat dari pengaruh fisik dan kimiawi
obat-obat yang diaplikasi di atas kulit yang sakit. Pengaruh fisik antara lain ialah
mengeringkan, membasahi (hidrasi), melembutkan, lubrikasi, mendinginkan, memanaskan,
dan melindungi (proteksi) dari pengaruh buruk dari luar. Semua hal itu bermaksud untuk
mengadakan homeostasis, yaitu mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan di sekitarnya ke
keadaan fisiologik stabil secepat-cepatnya.Di samping itu untuk menghilangkan gejala-gejala
yang mengganggu, misalnya rasa gatal dan panas.
Dalam jangka waktu 20 tahun terakhir ini telah dikembangkan preparat – preparat
topical yang mempunyai khasiat kimiawi yang spesifik terhadap organism di kulit atau
terhadap kulit itu sendiri. Secara ideal maka pemberian obat topical harus berkhasiat fisis
maupun kimiawi. Kalau obat topical di gunakan secara rasional, maka hasilnya juga optimal,
sebaliknya kalau digunakan secara salah obat topical menjadi tidak efektif dapat
menyebabkan penyakit iatrogenik.
Prinsip obat topical secara umum terdiri atas 2 bagian :
 Bahan dasar (vehikulum)
 Bahan aktif

2
Formulasi vehikulum sediaan toppikal

a) Zat Pembawa (Vehikulum)


Secara umum, zat pembawa dibagi atas 3 kelompok, cairan, bedak, dan salep.
Ketiga pembagian tersebut merupakan bentuk dasar zat pembawa yang disebut
juga sebagai bentuk monofase. Kombinasi bentuk monofase ini berupa krim,
pasta, bedak kocok dan pasta pendingin.
1. Cairan
Cairan terdiri atas :
a. Solusio artinya larutan dalam air
b. Tingtura artinya larutan dalam alcohol
Solusio dibagi dalam :
1. Kompres
2. Rendam (bath), misalnya rendam kaki, rendam tangan
3. Mandi (fullbath)
Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris
(pus, krusta dan sebagainya) dan sisa – sisa obat topical yang pernah dipakai.
Disamping itu terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustule. Hasil akhir
pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan menjadi bersih
sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi.
Pengobatan cairan berguna juga untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal,
rasa terbakar, parastesi oleh bermacam – macam dermatosis.
Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan kulit
menjadi terlalu kering. Jadi pengobatan cairan harus di pantau secara teliti, kalau
keadaan sudah mulai kering pemakainnya di kurangi dan kalau perlu di hentikan
untuk diganti dengan bentuk pengobatan lainya. Cara kompres lebih di sukai dari
pada cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat pendingin dengan adanya
penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses maserasi.
Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen dan
antimicrobial. Astringen mengurangi eksudat akibat presipitasi protein.
Dikenal dua macam cara kompres, yaitu :
a. Kompres terbuka
Dasar: Penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus.
Indikasi:
 Dermatosis madidans
 Infeksi kulit dengan eritema yang mencolok, misalnya erisepelas
 Ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta.
Efek pada kulit
 Kulit yang semula eksudative menjadi kering
 Permukaan kulit mnejadi dingin
 Vasokontriksi
 Eritema berkurang
Cara
Digunakan kain kasa yang bersifat absorben dan non-iritasi serta tidak
terlalu tebal (3 lapis). Balutan jangan terlalu ketat, tidak perlu steril dan jangan
menggunakan kapas karena lekat dan menghambat penguapan.
Kasa dicelup ke dalam cairan kompres, diperas, lalu di balutkan dan
didiamkan, biasanya sehari dua kali selama 3 jam. Hendaknya jangan sampai
terjadi maserasi.Bila kering dibasahkan lagi.Daerah yang di kompres luasnya 1/3
bagian tubuh agar tidak terjadi pendinginan.
b. Kompres tertutup
 Sinonim : Kompres impermeable
 Dasar :Vasodilatasi, bukan untuk penguapan.
 Indikasi :Kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venerium.
 Cara :Digunakan pembalut tebal dan di tutup dengan bahan impermeable,
misalnya selofan atau plastic.
2. Bedak
Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang tidak melekat
erat sehingga penetrasinya sedikit sekali.Yang diharapkan dari bedak terutama ialah
efek fisis. Bahan dasarnya ialah talcum venetum. Biasanya bedak dicampur dengan
seng oksida, sebab zat ini bersifat mengabsorbsi air dan sebum, astringen, antiseptic
lemah dan antipruritus lemah.
a. Efek bedak ialah :
 Mendinginkan
 Antiinflamasi ringan karena ada sedikit efek vasokontriksi
 Antipruritus lemah
 Mengurangi pergeseran pada kulit yang berlipat ( intertrigo )
 Proteksi mekanis
b. Indikasi pemberian bedak ialah :
 Dermatosis yang kering dan superficial
 Mempertahankan vesikel/bula agar tidak pecah, misalnya pada varicela
dan herpes zoster.
c. Kontraindikasi :Dermatitis yang basah, terutama bila disertai dengan infeksi
sekunder.
3. Salap
Salap ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi
seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak.
a. Indikasi pemberian salap ialah :
 Dermatosis yang kering dan kronik
 Dermatosis yang dalam dan kronik, karena daya penetrasi salap paling
kuat jika dibandingkan dengan bahan dasar lainya.
 Dermatosis yang bersisik dan berkrusta
b. Kontraindikasi ialah : dermatitis madidans, jika kelainan kulit terdapat pada
bagian badan yang berambut, penggunaan salaptidak
dianjurkan dan salap jangan dipakai di seluruh tubuh.
4. Bedak kocok
Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak, yang biasanya di tambah dengan
glliserin sebagai bahan perekat.Supaya bedak tidak terlalu kental dan cepat emnjadi
kering, maka jumlah zat padat maksimal 40% dan jumlah gliserin 10 – 15%.Hal ini
berarti bila beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka persentase tersebut jangan
dilampaui.
a. Indikasi bedak kocok ialah :
 Dermatosis yang kering, superficial dan agak luas, yang diinginkan ialah
sedikit penetrasi.
 Pada keadaan subakut
b. Kontraindikasi :
 Dermatitis madidans
 Daerah badan yang berambut
5. Krim
Krim krim ialah campuran W (water, air), O (oil, minyak) dan emulgator. Krim ada
dua jenis :
a. Krim W/O : air merupakan fase dalam dan minyak fase luar.
b. Krim O/W : minyak merupakan fase dalam dan air fase luar.
Selain itu dipakai emulgator, dan biasanya ditambah bahan pengawet, misalnya
parabean dan juga dicampur dengan parfum. Berbagai bahan aktif dapat di masukan
di dalam krim. Indikasi penggunaan krim ialah :
 Indikasi kosmetik
 Dermatosis yang subakut dan luas, yang dikehendaki ialah penetrasi yang lebih
besar daripada bedak kocok.
 Krim boleh digunakan di daerah yang berambut.
 Kontraindikasi ialah dermatitis madidans.
6. Pasta
Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif dan
mengeringkan.
 Indikasi pengguanaan pasta ialah dermatosis yang agak basah.
 Kontraindikasi : dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut. Untuk
daerah genital eksterna dan lipatan – lipatan badan pasta tidak dianjurkan
karena terlalu melekat
7. Linimen
Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak dan salap.
 Indikasi : dermatosis yang subakut
 Kontraindikasi : dermatosis madidans
8. Gel
Ada vehikulum lain yang tidak termasuk dalam “bagan vehikulum” ialah gel. Gel
ialah sediaan hidrokoloid atau hidrofilik berupa suspense yang dibuat dari senyawa
organic. Zat untuk membuat gel diantaranya ialah karbomer, metilselulosa dan
tragakan. Bila zat -zat tersebut dicampur dengan air dengan perbandingan tertentu
akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat gel menjadi sangat jernih dan halus.Gel
segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu lapisan. Absorbsi
per kutan lebih baik daripada krim.

2.2.2 Bahan Aktif


Memilih obat topical selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang
dimaksudkan ke dalam vehikulum yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk
pengobatan topical. Khasiat bahan aktif topical dipengaruhi oleh keadaan fisiko – kimia
permukaan kulit, disamping komposisi formulasi zat yang dipakai.
Di dalam resep harus ada bahan aktif dan vehikulum. Bahan aktif dapat berinteraksi
satu sama lain. Yang penting ialah, apakah bahan yang kita campurkan itu dapat
tercampurkan atau tidak, sebab ada obat/zat yang sifatnya O.T.T ( obat tidak tercampurkan ).
Asam salisilat misalnya dapat dicampur dengan asam lainya, contohnya asam
benzoate atau dengan ter, resorsinol tidak tercampur dengan yodium, garam, besi atau bahan
yang bersifat oksidator.
Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
konsentrasi obat, kelarutanya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas dan efek vehikulum
terhadap kulit.
Bahan aktif yang digunakan di antaranya ialah :
1. Aluminium asetat
Contohnya ialah larutan Burowi yang mengandung alumunium asetat 5%.Efeknya
ialah astrinen dan antiseptic ringan.
2. Asam asetat
Dipakai sebagai larutan 5% untuk kompres, bersifat antiseptic untuk infeksi
pseudomonas.
3. Asam benzoate
Mempunyai sifat antiseptic terutama fungisidal.
4. Asam borat
Konsentrasinya 3% tidak dianjurkan untuk dipakai sebagai bedak, kompres atau
dalam salap berhubung untuk antiseptiknya sangat sedikit dan dapat bersifat toksik,
terutama pada kelainan yang luas dan erosif terlebih-lebih pada bayi.
5. Asam salisilat
Merupakan zat keratolitik yang tertua yang dikenal dalam pengobatan topical.
Efeknya ialah mengurangi proliferasi epitel dan menormalisasi keratinisasi yang
terganggu. Pada konsentrasi yang rendah (1-2%) mempunyai efek keratoplastik, yaitu
menunjang pembentukan keratin yang baru.Pada konsentrasi yang tinggi (3-20%)
bersifat keratolitik dan dipakai untuk keadaan dermatosis yang hiperkeratolitik.Pada
konsentrasi yang sangat tinggi (40%) dipakai untuk kelainan – kelainan yang dalam,
misalnya kalus dan veruka plantaris.Asam salisil dalam konsentrasi 1 % dipakai
sebagai kompres, bersifat antiseptic. Penggunaanya, misalnya untuk dermatitis
eksudatif, asam salisilat 3% - 5% juga bersifat mempertinggi absorbsi per kutan zat –
zat aktif.
6. Asam undersilenat
Bersifat antimitotik dengan knsentrasi 5% salap atau krim. Dicampur dengan garam
seng 20%.
7. Asam vit.A ( tretonin,asam retinoat )
 Efek : memeperbaiki keratinisasi menjadi normal jika terjadi gangguan,
meningkatkan sintesis D.N.A dalam epithelium germinatif, meningkatkan laju
mitosis, menebalkan staratum granulosum, menormalkan parakeratosis.
 Indikasi : penyakit dengan sumbatan folikular, penyakit dengan hiperkertaosis,
pada proses menua kulit akibat sinar matahari.
8. Benzokain
Bersifat anastesia, konsentrasinya ½-5%, tidak larut dalam air,lebih larut dalam
minyak (1:35), dan lebih larut lagi dalam alkohol. Dapat digunakan dalam venikulum
yang lain. Sering menyebabkan sensitisasi.
9. Benzyl benzoate
Cairan berkhasiat sebagai skabisid dan pedikulosid. Digunakan sebagai emulsi dengan
konsentrasi 20% dan 25%.
10. Camphora
Konsentrasinya 1-2%.Bersifat anti pruritus berdasarkan penguapan zat tersebut
sehingga terjadi pendinginan.Dapat dimasukan ke dalam bedak atau bedak kocok
yang mengandung alcohol agar dapat larut.Juga dapat di pakai dalam salap dan krim.
11. Kortikosteroid
Penggolongan kortikosteroid topikal dibagi menjadi 7 golongan besar, di antaranya
berdasarkan anti-inflamasi dan antimitotik. Dermatosis yang responsif dengan
kortikosteroid adalah: psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis kontak, dermatitis
seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis numularis, dermatitis statis,
dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa, dan dermatitis solaris (fotodermatitis).
Dipilih kortikosteroid yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan harga murah; di
samping itu ada beberapa factor yang perlu dipertimbangkan, yaitu jenis penyakit
kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas/tidaknya lesi,
dalam/dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur
penderita.
Penggunaan kortikosteroid pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3
x/hari sampai penyakit tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala
takifilaksis. Takifilaksis adalah menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid
karena pemberian obat yang berulang-ulang; berupa toleransi akut yang berarti efek
vasokonstriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek
vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat
tetap dilanjutkan. Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.
Efek samping terjadi akibat penggunaan kortikosteroid yang lama dan berlebihan dan
penggunaan kortikosteroid dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan
secara oklusif. Gejala efek sampingnya adalah atrofi, strie atrofise, telangiektasis,
purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis
perioral, menghambat penyembuhan ulkus, Infeksi mudah terjadi dan meluas. Dan
gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur.
Golongan Kortikosteroid Topikal

Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik


Golongan I : Diprolene ointment 0,05% betamethason
(super poten) dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate
Temovate ointment 0,05% clobetasol proprionate
Temovate cream
Ultravate ointment 0,05% halobetasol proprionate
Ultravate cream
Golongan II : Cyclocort ointment 0,1% amcinonide
(potensi tinggi)
Diprosone ointment 0,05% betamethason
dipropionate
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate ointment 0,05% betamethason
dipropionate
Maxivate cream
Topicort ointment 0,25% desoximetasone
Topicort cream
Topicort gel 0,05% desoximetasone

Golongan III : Aristocort A ointment 0,1% triamcinolone acetonide


(potensi tinggi)
Cutivate ointment 0,005% fluticasone propionate
Cyclocort cream 0,1% amcinonide
Cyclocort lotion
Diprosone cream 0,05% betamethason
dipropionate
Florone cream 0,05% diflorasone diacetate
Lidex E cream 0,05% fluocinonide
Maxiflor cream 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate lotion 0,05% betamethason
dipropionate
Topicort LP cream 0,05% desoximetasone
Valisone ointment 0,01% betamethason valerate

Golongan IV : Aristocort ointment 0,1% triamcinolone acetonide


(potensi medium)
Cordran ointment 0,05% flurandrenolide
Elocon cream 0,1% mometasone furoate
Elocon lotion
Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide
Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate

Golongan V : Cordran cream 0,05% flurandrenolide


(potensi medium)
Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate
Dermatop cream 0,1% prednicarbate
Diprosone lotion 0,05% betamethason
dipropionate
Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate
Locoid cream
Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide
Tridesilon ointment 0,05% desonide
Valisone cream 0,01% betamethason valerate
Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate

Golongan VI : Aciovate ointment 0,05% aclometasone


(potensi medium)
Aciovate cream
Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide
DesOwen cream 0,05% desonide
Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide
Kenalog lotion
Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate
Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide
Synalar solution
Tridesilon cream 0,05% desonide
Valisone lotion 0,01% betamethason valerate

Golongan VII : Obat topikal dengan hidrokortison, deksametason,


(potensi lemah) glumetalon, prednison, dan metilprednisolon
1. Mentol
Bersifat antipruritik seperti campora. Pemakaiannya seperti pada campora,
konsentrasinya ¼ - 2%.
2. Pedofilin
Dammar pedofilin digunakan dengan konsentrasi 25% sebagai tingtur untuk
kondiloma akuminata. Setelah 4-6 jam hendaknya di cuci.
3. Selenium disulfide
Digunakan sebagai sampo 1% untuk dermatitis seboroik pada kepala dan tinea
versikolor. Kemungkinan terjadinya efek toksik rendah.
4. Sulfur
Merupakan unsur yang telah digunakan selama berabad – abad dalam
dermatologi.Bersifat antiseboroik, anti-akne, anti scabies, antibakteri positif, gram
dan anti jamur.
5. Ter
Preparat golongan ini di dapat sebagai hasil destilasi kering dari batubara kayu dan
fosil. Preparat ter yang kami gunakan ialah likuor karbonis detergens karena tidak
berwarna hitam seperti yang lain dan tidak begitu berbau. Konsentrasinya 2-
5%.Efeknya antipruritus, anti radang, anti ekzem, anti kantosis keratoplastik, dapat
digunakan untuk psoriasis dan dermatitis kronik dan salap. Cara pengolesan digilir,
tubuh dibagi 3, hari 1 : kepala dan ekstremitas atas, hari II : batang tubuh dan hari III
ekstremitas bawah. Efek sampingnya pada pemakaian ter perlu diperhatikan adanya
reaksi fototoksik, pada ter yang berasal dari batubara dapat juga terjadi folikulitis dan
ter akne.Eek karsinogen ter batubara dapat terjadi pada pemakain yang lama.Pada
pemakain dalam waktu yang singkat efek samping ini tidak pernah terjadi.
6. Urea
Dengan konsentrasi 10% dalam krim mempunyai efek sebagai emolien, dapat dipakai
untuk iktiosis atau xerosis kutis.Pada konsentrasi 40% melarutkan protein.
7. Zat antiseptic
Zat ini bersifat atau/dan bakteriostatik.
Golongan :
a. Golongan alcohol
Etanol 70% mempunyai potensi antiseptic yang optimal. Efek sampingya
menyebabkan kulit menjadi kering.
b. Golongan fenol
 Fenol : pada konsentrasi tinggi, misalnya fenol likuifaktum yang
berkonsentrasi jenuh mempunyai efek kaustik, sedangkan pada konsentrasi
rendah bersifat bakteriostatik dan anti pruritik ( ½-1% )
 Timol : bersifat desinfektan pada konsentrasi 0.5% dalam bentuk tingtur.
 Resorsinol : efek ialah antibacterial, antimikotik, keratolitik, antiseboroik,
konsentrasi 2-3%
 Heksaklorofen : senyawa ini mengandung klor. Bersifat bakteriostatik.
c. Golongan halogen
Yodium.Bersifat bakteriostatik.
d. Zat pengoksidasi
Zat pengoksidasi dioakai sebagai desinfektan pada dermatoterapi topical.
 Permangasnas kallkus
Zat ini mempunyai efek antiseptic lemah dalam larutan encer dalam air.
 Benzol-peroksida
Zat ini merupakan zat pengoksidasi kuat pada konsentrasi 2.5% - 10%.Bersifat
antiseptic, merangsang jaringan dranulasi dan bersifat keratoplastik.
e. Senyawa logam berat
1. Merkuri
2. Perak
 Larutan perak nitrat
 Sulfadiazine perak
f. Zat warna
Zat warna masih sering dipakai dalam pengobatan topical.Efeknya ialah astringen
dan antiseptic.Misalnya :
c. Zat warna akridin, umpamanya ekridin laktat ( rivanol ) di pakai untuk
kompres dengan konsentrasi 1 %.
2.2.3 Mekanisme Kerja
Senyawa yang diaplikasikan pada permukaan kulit, termasuk obat topikal,
masuk ke dalam kulit mengikuti suatu gradien konsentrasi (difusi pasif). Gradien
konsentrasi ditimbulkan oleh perbedaan konsentrasi obat aktif dalam sediaan yang
diaplikasikan pada kulit dan konsentrasi obat aktif dalam jaringan kulit serta jaringan di
bawahnya (dermis dan subkutan). Analisis farmakokinetik dari suatu sediaan topikal
yang diaplikasikan pada kulit meliputi pembahasan mengenai tiga kompartemen yang
dilalui obat aktif, yaitu vehikulum sebagai pembawa obat aktif, stratum korneum, dan
lapisan epidermis serta dermis.
Untuk dapat masuk ke dalam lapisan kulit, bahan/obat aktif dalam suatu sediaan
topikal harus dilepaskan dari vehikulumnya setelah sediaan obat topikal diaplikasikan.
Pelepasan/disolusi bahan aktif dari vehikulumnya ditentukan oleh koefisien partisinya.
Makin besar nilai koefisien partisi, maka bahan aktif makin mudah terlepas dari
vehikulum.
Bahan aktif yang telah terlepas dari vehikulumnya akan berinteraksi dengan permukaan
kulit/stratum korneum. Bahan aktif yang telah berinteraksi dengan stratum korneum
akan segera berdifusi ke dalam stratum korneum. Difusi yang terjadi dimungkinkan
dengan adanya gradien konsentrasi. Pada awalnya, difusi bahan aktif terutama
berlangsung melalui folikel rambut (jalur transfolikular). Setelah tercapai
keseimbangan (steady state), difusi melalui stratum korneum menjadi lebih dominan.
a) Jalur transfolikular. Bahan aktif yang masuk ke dalam folikel rambut akan
berpartisi dan selanjutnya berdifusi ke dalam sebum yang terdapat di
dalam folikel rambut hingga mencapai lapisan epitel pada bagian dalam
folikel dan kemudian berdifusi menembus epitel folikel hingga mencapai
lapisan epidermis.
b) Jalur transkorneal (transepidermal). Hingga saat ini, penyerapan obat
interselular (melalui celah di antara korneosit) menjadi jalur utama pada
penyerapan obat transkorneal.
Difusi bahan/obat aktif melalui kedua jalur di atas pada akhirnya akan mencapai
lapisan yang lebih dalam yaitu epidermis hingga kemudian dermis. Dengan adanya
pembuluh darah dalam dermis, bahan aktif yang mencapai lapisan dermis kemudian
akan diresorpsi oleh sistem sirkulasi.

Skema tahapan penyerapan obat melalui kulit


2.2.3 Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik diperlukan pada kondisi kulit yang berhubungan dengan
penyakit sistemik atau jika pilihan obat topikal tidak adekuat. Obat-obatan sistemik
diantaranya adalah:
a) Glukokortikosteroid sistemik
Glukokortikosteroid/kortikosteroid sistemik (KS) banyak digunakan dalam
bidang dermatologi karena obat tersebut mempunyai obat anti-inflamasi dan
imunosupresi. Penyakit-penyakit berikut ini merupakan indikasi KS.
1. Penyakit vesikobulosa autoimun (pemfigus, pemfigoid bulosa)
2. Reaksi anafilaksis (akibat sengatan, alergi obat)
3. Penyakit jaringan ikat dan gangguan vascular autoimun (lupus
eritomatosus sistemik, dermatomyositis)
4. Reaksi kusta tipe 1
5. Urtikaria yang luasatau rekalsitran dan angioedema
6. Lain-lain; pyoderma ganggrenosum, sarcoidosis, penyakit Behcet

Kortikosteroid Sistemik
b) Antihistamin
Antihistamin digolongkan menjadi tiga kategori yaitu antihistamin penghambat
resptor H1 (AH1), antihistamin penghambat resptor H2 (AH2), antihistamin
penghambat resptor H3 (AH3). AH1 dibagi menjadi 2 golongan, yaitu AH1
generasi pertama yaitu yang memiliki efek sedasi karena memiliki kemampuan
untuk melewati sawar darah otak. Sedangkan AH1 generasi kedua tidak dapat
menembus sawar darah otak sehingga efek sedasi minimal atau tidak ada.
Antihistamin H1 digunakan secara luas untuk mengobati urtikaria, angioedema
dan mengobati pruritus akibat berbagai penyebab, misalnya DKA, berbagai
macam dermatitis eksematosa, gigitan serangga, liken planus, mastositosis,
maupun pruritus idiopatik.
Antihistamin H1 generasi pertama

Antihistamin H1 generasi kedua

Antihistamin H2

c) Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa terlarut yang dihasilkan oleh organisme yang
menghambat pertumbuhan bakteri. Mayoritas infeksi kulit dan jaringan lunak
disebabkan oleh organisme Gram positif, yang sebagian besar rentan terhadap
agen terkenal dengan spektrum aktivitas antimikroba yang relatif sempit.
Antibiotik β-laktam, makrolida, dan florokuinolon merupakan antibiotik utama
untuk infeksi kulit dan jaringan lunak yang ringan.

Antibiotik

d) Antivirus
Antivirus sekarang disetujui untuk pengobatan berbagai infeksi virus. Resistansi
antiviral adalah perhatian yang berkembang, terutama dalam pengobatan infeksi
virus human immunodeficiency. Antiviral bekerja dengan berbagai cara, dan
spektrum aktivitasnya bisa sangat spesifik (amantadine) atau cukup luas
(ribavirin). Penggunaan obat asiklovir dan gansiklovir telah meningkatkan
bioavailabilitas oral dari agen ini, yang memungkinkan perawatan rawat jalan
pada banyak infeksi herpesvirus.
e) Antifungi
Diindikasikan untuk infeksi kulit jamur yang luas, tinea pedis, onikomikosis, dan
tinea capitis. Terapi pencegahan untuk imunosupresi. Kelas utama obat antijamur
yang digunakan dalam pengaturan rawat jalan adalah allylamines (terbinafine),
triazol (itrakonazol, flukonazol) dan imidazol (ketokonazol), griseofulvin,
polyenes (nistatin, amfoterisin B), dan oligon ciclopirox. Spesimen infeksi jamur
dapat menjadi penting dalam menentukan lama pengobatan dan memilih obat
yang tepat.
f) Dapson
Dapson (4,4'-diaminodipenilsulfon) diklasifikasikan sebagai sulfonamida namun
memiliki sifat farmakologis yang unik. Penyakit dengan respon yang konsisten
terhadap dapson adalah dermatitis herpetiformis, eritema elevatum diutinum,
imunoglobulin linier. Penyakit dermatosis / kronis bulosa erupsi pada anak dan
bulosa lupus eritematosus sistemik. Penyakit dengan respon sporadis terhadap
dapson mencakup spektrum yang luas dan beragam seperti penyakit kolagen
vaskular / autoimun dan jerawat. Dapson juga efektif pada infeksi tertentu seperti
kusta, actinomycetoma, atau rhinosporidiosis. Efek sampingnya adalah hemolisis
dan methemoglobulinemia.
g) Obat imunosupresif dan imunomodulator
Tujuan utama dalam imunoterapi adalah keamanan dan efektivitas.
Tidak seperti imunomodulator, obat imunosupresif semuanya ditandai oleh
jendela terapeutik yang sempit yang memerlukan dosis yang tepat dan
pemantauan efek samping yang ketat.
h) Retinoid
Fungsi biologis dan tindakan retinoid (tidak termasuk penglihatan) meliputi:
reproduksi, pertumbuhan embrio, dan morfogenesis, modulasi proliferasi dan
diferensiasi epitel, penurunan ukuran kelenjar sebaceous (isotretinoin), efek
imunologis dan anti-inflamasi, pencegahan dan pengobatan tumor dan efek pada
komponen matriks ekstraselular. Terdapat empat jenis retinoid oral dan indikasi
utama penggunaannya adalah isotretinoin (jerawat), alitretinoin (eksim tangan
kronis), acitretin /etretinate (psoriasis, gangguan keratinisasi), dan bexarotene
(limfoma sel T kutaneous). Kontraindikasi untuk penggunaannya termasuk
kehamilan, menyusui, dan ketidakpatuhan terhadap rejimen kontrasepsi. Retinoid
harus selalu dikonsumsi dengan makanan atau susu untuk meningkatkan
penyerapan usus. Dosis sekali sehari biasanya cukup. Efek samping mukokutan
(cheilitis, xerosis, pengelupasan kulit, konjungtivitis) umum terjadi, seperti juga
hasil abnormal reversibel pada tes laboratorium [hiperlipidemia, peningkatan
tingkat enzim hati, dan hipotiroidisme (bexarotene)]. Efek samping sistem otot
dan saraf pusat jarang terjadi.
i) Sitotoksik dan anti metabolik
Agen sitotoksik dan antimetabolik digunakan dalam dermatologi untuk
mengobati penyakit serius, bertahan hidup, dan bandel. Agen umum yang
digunakan dalam dermatologi meliputi methotrexate, azathioprine,
mycophenolate mofetil, thioguanine, hydroxyurea, cyclophosphamide,
chlorambucil, dan liposomal doxorubicin.
j) Aminokuinolin (anti malaria)
Aminoquinolin telah digunakan dalam pengobatan klinis selama lebih dari satu
abad, awalnya sebagai senyawa antimalaria. Beberapa mekanisme tindakan,
terutama gangguan pengasaman lisosom oleh sel penyajian antigen,
penghambatan pembunuh alami dan aktivasi sel T, dan penghambatan mediator
lipid peradangan. Kecenderungan untuk pigmen melanin, menyerap sinar
ultraviolet, dan menunjukkan sifat photoprotective terhadap luka yang dimediasi
sinar ultraviolet pada kulit. Aminoquinolin yang digunakan untuk mengobati
kondisi dermatologis meliputi hydroxychloroquine, chloroquine, dan quinacrine.
k) Antiangiogenik
Agen antiangiogenik "langsung" bertindak langsung pada sel endotel yang tidak
dapat ditransformasikan untuk mencegah proliferasi, migrasi, dan kelangsungan
hidup. Agen antiangiogenik “tidak langsung” menghambat protein onkogen yang
diproduksi tumor yang mempromosikan keadaan proangiogenik. Agen
antiangiogenik adalah golongan obat yang menjanjikan karena efektif melawan
tumor yang tumbuh lambat.

2.4 Pemeriksaan Penunjang kulit


Teknik khusus yang digunakan dalam pemeriksan klinis kulit termasuklah:
1. Pemeriksaan Lampu Wood
Lampu Wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm, (atau sinar “hitam”) yang dapat
digunakan untuk membantu evaluasi penyakit-penyakit kulit dan rambut tertentu.
Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna pigmentasi melanin
yang subtle bisa divisualisasi;
Prinsip:
Sinar Wood diarahkan ke lesi akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul
metabolit organisme penyebab, sehingga menimbulkan indeks bias berbeda, dan
menghasilkan pendaran warna tertentu.
Alat :
Lampu Wood dan ruangan kedap cahaya
Cara :
 Kulit dan rambut yang akan diperiksa harus dalam keadaan sealamiah mungkin.
 Obat topikal, bahan kosmetik, lemak, eksudat harus dibersihkan terlebih dahulu
karena dapat memberikan hasil positif palsu.
 Pemeriksaan harus dilakukan di dalam ruangan kedap cahaya agar perbedaan
warna lebih kontras.
 Jarak lampu Wood dengan lesi yang akan diperiksa ±10-15cm
 Lampu Wood diarahkan ke bagian lesi dengan pendaran paling besar/jelas

Fluoresensi merah muda koral pada eritrasma di alat kelamin laki-laki


Vitiligo sebelum disinar lampu Wood (kiri) dan setelah disinar lampu Wood
(kanan)

Kegunaan Lampu Wood


2. Diaskopi
Diaskopi terdiri dari penekanan pada lesi dengan menggunakan sebuah lensa
datar transparan atau objek lain (seperti slide kaca atau sekeping plastik yang tidak
berwarna, jernih, dan kaku). Alat ini mengkompresi darah dari pembuluh darah kecil,
supaya warna lain pada lesi dapat dievaluasi. Diaskopi membantu pemeriksa menilai
seberapa banyak darah intravaskular sebuah lesi yang merah atau ungu. Jika lesi
terutama terdiri dari kongesti vaskular, diakopi akan memucat. Tekanan yang lebih
kuat pada kapiler akan mendorong sel darah merah ke dalam pembuluh darah di
sekitarnya yang mempunyai tekanan yang lebih rendah. Jika pada diaskopi gagal
terjadi pucat, atau pucat tidak sempurna, hal ini bermakna banyak sel darah merah
mengalami ekstravasasi atau jaringan pembuluh yang berisi darah tersebut abnormal,
sehingga tidak memungkinkan sel lewat dengan sempurna. Sarkoma Kaposi
mencakup baik pembuluh darah neoplastik aberan maupun eritrosit yang ekstravasasi,
sehingga tidak memucat. Pada nodul granulomatous, tampak gambaran warna
kecoklatan yang trasnlusen, dikenal sebagai nodul ‘apple jelly’ (contohnya pada lupus
vulgaris).

Diascopy highlights the "apple jelly" coloration of cutaneous sarcoidosis.

Granulomatous rosacea after diascopy


3. Dermoskopi
Dermoskop, juga dikenal sebagai mikroskop epiluminesens adalah lensa tangan
dengan built-in lighting dan magnifikasi 10x hingga 30x ; dermoskop membantu
inspeksi terhadap lapisan kulit epidermis yang lebih dalam dan dalam lagi secara non-
invasif. Dermoskopi sangat berguna untuk lesi pigmentasi bagi membedakan corak
pertumbuhan yang jinak atau ganas.

Dermoskop

Dermoskopi digital terutama bermanfaat dalam memonitor lesi kulit pigmentasi karena
gambaran atau imej yang diperiksa disimpan secara elektronik dan bisa didapatkan kembali
dan diperiksa di kemudian hari agar bisa dibandingkan secara kuantitatif dan kualitatif serta
untuk mendeteksi perubahan lesi seiring dengan waktu. Dermoskopi digital menggunakan
program analisis imej komputer (computer image analysis program) yang bisa:
-menyediakan pengukuran yang objektif terhadap perubahan
-penyimpanan, pengambilan, dan transmisi imej yang cepat kepada spesialis untuk
diskusi lanjutan (teledermatology)
-ekstraksi gambaran morfologi untuk analisis numerikal.
Namun yang demikian, dermoskopi dan dermoskopi digital memerlukan pelatihan yang
khusus.
Dermoskop digital

Dermoscopy signs in favor of seborrheic keratosis


4. Uji Sensibilitas atau Fungsi saraf sensoris
Uji ini dilakukan guna menilai gangguan sensibilitas kulit terutama pada lesi kulit
pasien morbushansen atau kusta (lepra) dari pada pasien dengan neurologi.
5. Tes Tempel (Patch Test)
Metode ini adalah dengan menerapkan alergi untuk sebuah patch yang kemudian
diletakkan pada kulit. Hal tersebut dapat dilakukan untuk menunjukkan yang memicu
dermatitis kontak alergi. Jika ada alergi antibodi dalam sistem tubuh, kulit akan
menjadi jengkel dan mungkin gatal, lebih mirip gigitan nyamuk. Reaksi ini berarti
pasien alergi terhadap zat tersebut
Pemeriksaan status imunologik selular dapat dilakukan secara in vivo maupun secara in
vitro. Uji kulit tipe lambat digunakan untuk mengukur reaksi imunologi selular secara
in vivo dengan melihat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat setelah
penyuntikan antigen yang sudah dikenal sebelumnya (recall antigen) pada kulit.

Uji ini menggunakan antigen spesifik yang disuntikkan secara intradermal. Antigen
yang digunakan biasanya yang telah berkontak dengan individu normal, misalnya

tetanus, difteria, streptokokus, tuberkulin (OT), Candida albicans, trikofiton, dan


proteus.

Sebuah aplikator sekali pakai yang berisi semua antigen tersebut dengan larutan
gliserin sebagai kontrol, misalnya seperti Multi-test CMI buatan Merieux Institute
sekarang banyak dipakai. Kit ini mengandung 7 jenis antigen (Candida albicans,
toksoid tetanus, toksoid difteri, streptokinase, old tuberculine, trikofiton, dan proteus)
serta kontrol gliserin secara bersamaan sekaligus dapat diuji.
Hasil pemeriksaan

Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam. Bila setelah 24 jam hasil tes tetap negatif maka
cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih kuat. Indurasi yang terjadi
harus diraba dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur dalam mm dengan diameter
melintang (a) dan memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula (a+b):2. Suatu
reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih.

6. Prick Test (Uji tusuk)


Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Tempat uji
kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2
sentimeter dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam
gliserin (50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit
ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau
dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk. Dengan menggunakan sekitar 5 ml
ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah.
Uji tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji intradermal, tetapi
sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah. Reaksi
dikatakan positif bila terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan adanya
indurasi yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter terbesar (D) dan diameter
terkecil (d) diukur dan reaksi dinyatakan ukuran (D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan
dengan melingkari indurasi dengan pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian
diukur diameternya. Kertas dapat disimpan untuk dokumentasi. Dengan teknik dan
interpretasi yang benar, alergen dengan kualitas yang baik maka uji ini mempunyai
spesifitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat, murah, aman dan tidak
menyakitkan. Uji gores kulit (SPT) disarankan sebagai metode utama untuk diagnosis
alergi yang dimediasi IgE dalam sebagian besar penyakit alergi. Memiliki keuntungan
relatif sensitivitas dan spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik
tolerabilitas, dan demonstrasi yang jelas kepada pasien alergi mereka.
Namun akurasinya tergantung pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas.

7. Tzank Smear
Standar diagnosis untuk menegakkan diagnosis vesikobulosa pada saat keraguan
adanya infeksi virus atau bukan. Contohnya untuk membedakan infeksi virus HSV-1
atau HSV-2 dengan pemfigus vulgaris. Caranya adalah mengerok dasar vesikel baru
dengan pisau scalpel dan hasil kerokan tersebut dioleskan tipit ke permukaan kaca
objek. Slide dipulas dengan Giemsa atau Wright, dibawah mikroskop akan tampak
sel akantolisis (sel keratinosist berinti besar) atau multinucleated giant cells, yang
menujukkan sel keratinosit tersebut telah terinfeksi virus.
8. Ekstraksi komedo sebagai bukti pasien menderita acne vulgaris
9. Uji TEWL untuk menilai kemampuan kulit menahan air.
10. Uji Acetowhite untuk melihat langsung kulit atau mukosa yang terinfeksi virus HPV.
Larutan asam asetat 5% dioleskan di permukaan kulit atau mukosa yang diduga
terinfeksi HPV, hasil positif bila berubah warna menjadi putih.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pengambilan duh tubuh
2. Pengambilan pus
3. Kerokan kuku

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
1. Biopsi kulit.

2.2 Tanda-tanda klinis (Clinical signs)

1. Tanda Nikolsky merupakan satu teknik pemeriksaan guna menilai adanya


epidermioloisis secara cepat pada pasien dengan lesi vesikobulosa. Dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu :
- Tanda Nikolsky langsung : bila dilakukan penekanan langsung dengan jari tangan
pada vesikel/bula kemudian terlihat bula melebar ke kulit di sekitarnya, berarti
Mikolsky positif (terdapat epidermiolisis)
- Tanda Nikolsky tidak langsung : bila kulit di antara 2 bula ditekan dan digeser
dengan telunjuk maka tampak kulit terangkat seakan-akan lepas dari dasarnya atau
terbentuk bula, yang berarti terjadi pelepasan epidermis (epidermiolisis),
epidermiolisis terjadi pada pasien pemfigus vulgaris, staphylococcus scaldede skin
syndrome (SSSS) dan sindrom Stevens Jhonson (SSJ-TEN).
2. Fenomena tetesan lilin terjadi pada pasien dengan psoriasis. Skuama psoriasis
umumnya tebal, berlapis, kering, putih bening, transparant serupa mika. Bila lesi
digores dengan ujung benda yang agak tajam, maka bagian yang putih bening tersebut
akan tampak lebih putih daripada sekitarnya, tidak transparan lagi, dan berbentuk
linier sesuai goresan.
3. Fenomena Kobner (fenomena isomorfik) bila pada kulit pasien dilakukan goresan
atau digaruk berulang-ulang maka setelah goresan/garukankurang lebih 3 minggu
ditempat goresan /garukan tersebut akan muncul lesi serupa dengan lesi asal, hal ini
disebut fenomena kobner positif. Contohnya pada pasien psoriasis dan liken planus.
4. Pitting nails. Psoriasis dapat mengenai kulit, mukosa, kuku, dan sendi. Gangguan
keratinisasi di kuku menyebabkan permukaan kuku tidak rata dan terbentuk sumur-
sumur (lubang-lubang di permukaan kuku) yang dapat dilihat dengan mata kasat dan
disebut sebagai pitting nails.
5. Dermografisme adalah reaksi kulit digosok dengan benda tumpul, misalnya ujung
kuku atau ujung pinsil yang tumpul maka di tempat tersebut muncul garis kemerahan
diikuti urtika (edema berbentuk linier sesuai goresan), kadang disebut juga sebagai
urtika akibat trauma fisik.
6. White dermografism. Bila ditempat goresan tidak timbul urtika linier melainkan
garis putih, disebut sebagai fenomena white dermographism. Garis ini merupakan
salah satu tanda minor pada dermatitis atopik. Namun, hal tersebut dapat terjadi pada
15% orang normal.
7. Darrier sign. Untuk membedakan lesi pigmentasi di kulit dengan mastositosis atau
urtika pigmentosa (UP). Bila kulit pasien UP digores dengan benda tumpul kemudian
muncul urtika linier maka disebut tanda Darier positif.
8. Fenomena Button hole. Sifat utama dari neurofibromatosis, neurofibrom memiliki
kapsul atau kantong sehingga bila ditekan tumor tersebut akan melesak masuk ke
dalam kantong tersebut.
9. Uji fungsi saraf motorik. Khusus untuk penyandang kusta.
10. Pull test. Merupakan uji diagnostik guna menilai kerontokan rambuy. Rambut
dianggap rontok patologis jika >100 lembar per hari. Menilai cepat kerontokan
rambut dengan ibu jari tangan dan telunjuk, sejumput rambut dijepit dan ditarik
dengan kekuatan sedang. bila rambut dicabut maka pull test positif.
11. Auspitz sign. Auspitz’ Sign, atau Auspitz’ Symptom (dinamai dari Heinrich Auspitz,
1835-1886), merupakan perdarahan pin-point dan lambat yang terjadi setelah sisik
psoriasis diangkat. Auspitz’ Sign terjadi karena dibawah lesi psoriasis, kapiler-
kapiler di bawah epidermis adalah sangat banyak dan berlingkar-lingkar, dan berada
sangat dekat dengan permukaan kulit, sehingga pengangkatan skuama tersebut pada
dasarnya akan menarik bagian atas kapiler-kapiler tersebut, yang akhirnya
menyebabkan perdarahan. Kulit yang menebal, meradang, dengan skuama yang
berwarna silver dan Auspitz’ Sign merupakan ciri unik dari psoriasis. Cara untuk
melakukan tes ini adalah dengan mengerok skuama dengan perlahan menggunakan
object glass hingga skuama habis. Hasilnya positif apabila terdapat bintik-bintik
perdarahan sebagai akibat dari papilomatosis.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengobatan yang tepat didasarkan atas kausa, yaitu menyingkirkan
penyebabnya. Kadang diketahui penyebab yang multifaktor atau juga tidak
diketahui dengan pasti. Jadi pengobatan bersifat simtomatis, yaitu dengan
menghilangkan atau mengurangi keluhan dan gejala, dan menekan
peradangan.
Pada terapi atau pengobatan kulit, banyak jenis dan bentuk sediaan
obat yang dapat digunakan. Jenis pengobatannya ada yang menggunakan
obat-obatan seperti penggunaan topikal dan sistemik, selain itu dengan
pengobatan fisik seperti tindakan atau operatif, sinar radiasi, sinar laser dan
berbagai macam jenis tindakan dalam pengobatan kulit.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Asmara A, Daili SF, Noegrohowati T, Zubaedah I. Vehikulum dalam


dermatoterapi topikal. MDVI. 2012; 39(1): p. 25-35.
2. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 8th ed. New York: Mc Graw
Hill Medical; 2012. p. 2643-2076
3. Hamzah M. Dermato-terapi. In Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: FKUI; 2015. p. 426-435.
4. Menaldi, Sri Linuwih SW.Bramono, Kusmarina.Indriatmi, Wresti.Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Ketujuh.2016; p 57-68
5. Djuanda A, Effendi EH. Kortikosteroid sistemik. In Menaldi SLS, Bramono K,
Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: FKUI; 2015. p.
408-410.
6. Wisesa TW. Penggunaan antihistamin dalam bidang dermatologi. In Menaldi
SLS, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dn kelamin. Jakarta:
FKUI; 2015. p. 411-416.

Anda mungkin juga menyukai