Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MATA KULIAH

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Oleh
AHMAD FAHMI
NPM. 250120170012

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
1. Contoh spesies yang berperan sebagai endemic species, keystone species, dan umbrella
species adalah Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus)

Kindom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Proboscidea
Family : Elephantidae
Genus : Elephas
Spesies : Elephas maximus L.
Sub Spesies : Elephas maximus
sumatranus

 Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) sebagai endemic species


Spesies endemik adalah spesies asli yang hanya bisa ditemukan di sebuah wilayah
tertentu dan tidak ditemukan di wilayah lain. Wilayah di sini dapat berupa pulau, negara, atau
zona tertentu (wikipedia).
Gajah Sumatera merupakan satwa endemik Sumatera, Indonesia, yang tersebar hampir di
seluruh wilayah Sumatera, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi,
Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung (Ribai, 2011).
Ciri-ciri Gajah Sumatera (World Wild Fund, 2013) :
Gajah Sumatera memiliki ciri khas tertentu, terutama bila diamati dari bentuk fisiknya. Ciri-ciri
Gajah Sumatera secara umum adalah sebagai berikut:
 Gajah Sumatera berukuran lebih kecil dibandingkan gajah Afrika, berat Gajah Sumatera
mencapai 6 ton dan tinggi 3,5 m.
 Kulitnya terlihat lebih terang dibanding gajah Asia lain dan dibagian kupingnya sering
terlihat depigmentasi, terlihat seperti flek putih kemerahan.
 Hanya gajah jantan yang memiliki gading yang panjang. Pada betina, kalaupun ada
gadingnya pendek hampir tidak kelihatan. Berbeda dengan gajah Afrika dimana jantan
dan betina sama-sama punya gading.
 Ciri mencolok lainnya ada pada bagian atas kepala. Gajah Sumatera memiliki dua
tonjolan sedangkan gajah Afrika cenderung datar.
 Kuping Gajah Sumatera lebih kecil dan berbentuk segitiga sedangkan gajah Afrika
kupingnya besar dan berbentuk kotak.
 Gajah Sumatera memiliki 5 kuku di kaki bagian depan dan 4 kuku di kaki belakang.

Saat ini Gajah Sumatera sudah masuk dalam kategori yang nasibnya paling
mengenaskan, mungkin Gajah Sumatera adalah satwa liar yang menduduki peringkat teratas
dalam hal penurunan populasinya. Salah satu mamalia terbesar di dunia, yang hanya dijumpai di
Pulau Sumatera ini nasibnya benar-benar di ujung tanduk.
Data dari Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mencatat sedikitnya 150 ekor lebih
gajah terbunuh sejak tahun 2012 hingga sekarang. Data kematian gajah sebelum tahun 2012
diperkirakan jauh lebih besar. Populasi gajah menurun drastis hingga 70% dalam kurun 20-30
tahun. Populasi Gajah Sumatera yang awalnya sekitar 4800-5000 ekor di tahun 1980-an, menu-
run menjadi sekitar 2800 ekor di tahun 1990-an, dan hanya tersisa sekitar 1970-an di tahun 2013.
Tahun 2016 sampai April 2017 sudah ada beberapa ekor gajah yang mati di beberapa kawasan
termasuk di areal perkebunan,
Berdasar pada catatan FKGI, ada 28 gajah terbunuh di tahun 2012, 33 ekor di tahun
2013, 46 ekor di tahun 2014, 40 ekor di tahun 2015 dan 3 ekor pada 2 bulan pertama tahun 2016.
Kasus kematian gajah tersebut terkonsentrasi di Aceh, Riau dan Lampung, yang justru meru-
pakan habitat terpenting Gajah Sumatera.
Gajah Sumatera memiliki keunikaan sebagai gajah terkecil dengan bentuk tubuh lebih
gendut dan lebar dibandingkan gajah Afrika maupun gajah India. Merosotnya jumlah populasi
Gajah Sumatera pun berbanding lurus dengan angka kerusakan hutan serta pertumbuhan
penduduk. BPS (Badan Pusat Statistik) memproyeksikan pertumbuhan penduduk mencapai
20,7% untuk tahun 2000 dan 22,7% untuk tahun 2025. Sedangkan laju kerusakan hutan selama
10 tahun terakhir telah menembus angka hampir 2 juta hektar.
Makin menurunnya jumlah populasi Gajah Sumatera diakibatkan oleh banyak hal, yaitu
hilangnya habitat gajah (hutan) akibat pembalakan liar, monokultur (perkebunan dengan satu
jenis tanaman, seperti sawit dan karet), konflik dengan manusia, perburuan liar, dan perdagangan
ilegal untuk gading gajah.
Data Kementerian Kehutanan, sejak tahun 2003 terdapat 12 pemburu dan cukong gading
yang telah menjual 1.260 kg gading (setara dengan pembunuhan 47 ekor gajah) di Taman Nasio-
nal Bukit Barisan Selatan, dan terdapat 19 pemburu lainnya yang berhasil menjual 1.785 kg ga-
ding (setara dengan pembunuhan 52 ekor gajah) di Way Kambas. Gading gajah banyak dieskpor
ke berbagai negara di Asia untuk pengobatan.
 Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) sebagai keystone species
Keystone species adalah spesies di mana keberadaan sebagian besar spesies lain yang ada
dalam suatu ekosistem tergantung. Jika suatu keystone spesies hilang atau musnah dari suatu
sistem, spesies yang tergantung kepadanya juga akan hilang. Keystone species bisa berasal dari
top carnivores (karnivora puncak) yang menjadi penjaga keberadaan mangsa, herbivora besar
yang membentuk suatu sistem dengan spesies lain, tumbuhan tertentu yang menyokong
kehidupan serangga tertentu yang menjadi mangsa burung, kelelawar yang menyebarluaskan
biji-bijian tanaman, dan banyak lagi organisme lain (Paine, 1969).
Keystone species adalah spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman
hidup dan yang kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan
lain. Keystone species adalah spesies yang dampaknya terhadap komunitas dan ekosistem tempat
dia hidup sangat besar, dan tak seimbang dengan kelimpahannya (Power dan Mills, 1995).
Dapat disimpulkan bahwa keystone species adalah spesies yang memperkaya fungsi
ekosistem dalam suatu cara yang unik dan nyata melalui aktivitasnya, dan efeknya adalah
ketidakseimbangan terhadap kelimpahan numeriknya. Kepunahan atau diambilnya spesies ini
menyebabkan bermulanya perubahan pada struktur ekosistem dan selalu mengurangi keragaman
(diversitas).
Gajah Sumatera merupakan keystone species, sebagai contoh pada ekosistem padang
rumput. Ini berarti, tanpa gajah, padang rumput akan berhenti menjadi padang rumput, padang
rumput akan ditumbuhi oleh tumbuhan berkayu, berubah menjadi hutan atau semak belukar.
Sebagai keystone species, gajah menghalangi perubahan padang rumput menjadi hutan atau
belukar dengan melakukan penyiangan pohon dan semak. Gajah memakan tunas-tunas tumbuhan
berkayu, merenggut pohon-pohon muda sampai keakar-akarnya. Cepat atau lambat gajah akan
mendorong tumbuhan yang besar, merenggut tanaman yang kecil, atau membunuh secara
perlahan.
Sebagai pengganti dari usaha gajah mencegah terjadinya penghutanan padang rumput,
gajah berpesta pora dengan rumput yang menghijau. Pemamahan ini tidak akan merusak padang
rumput, bahkan telah terjadi keharmonisan antara padang rumput dan perumput. Rumput hidup
menyenangkan dengan perumput dengan pengorbanan sedikit daunnya untuk menjaga akar dan
pertumbuhan. Rumput dan perumput hidup dalam keharmonisan.
Gajah Sumatera merupakan mamalia darat berbadan besar, membutuhkan wilayah jelajah
yang sangat luas. Ukuran wilayah jelajahnya bervariasi antara 32,4–166,9 km2. Wilayah jelajah
Gajah Sumatera di hutan primer berukuran dua kali lebih luas dibandingkan wilayah jelajah di
hutan sekunder (Hariyanto, 2009).
Gajah banyak melakukan pergerakan dalam wilayah jelajah yang luas sehingga
menggunakan lebih dari satu tipe habitat yaitu hutan rawa, hutan rawa gambut, hutan dataran
rendah (0-750 meter di atas permukaan laut) dan hutan hujan pegunungan rendah (750-1.500
meter di atas permukaan laut). Jenis-jenis vegetasi pada habitat Gajah Sumatera antara lain:
Gluta renghas, Campenosperma auriculata, Alstonia spp, Eugenia spp, Gonystilus bancanus,
Dyera costulata, Licuala spinosa, Shorea spp., Alstonia spp., dan Eugenia spp, famili
Dipterocarpaceae, Altingia excelsa, Dipterocarpus spp., Shorea spp., Quercus spp., dan
Castanopsis spp (Badan Perencanaan dan Pembagunan Daerah Kota Pekan Baru, 2013).
Gajah Sumatera memiliki persyaratan untuk hidup di alam, antara lain naungan. Vegetasi
yang sering dijadikan naungan dan tempat istirahatnya di siang hari adalah vegetasi hutan yang
lebat (World Wide Fund, 2014).
Gajah Sumatera termasuk satwa herbivora, membutuhkan ketersediaan pakan hijauan
yang cukup di habitatnya. Habitat yang dibutuhkan oleh gajah, mempunyai vegetasi pohon untuk
makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium guna memperkuat tulang, gigi,
dan gading. Makanan yang dibutuhkan, 200-300 kg biomassa per hari untuk setiap ekor gajah
dewasa atau 5-10% dari berat badannya (Ribai, 2011). Makanan yang dikonsumsi berbeda untuk
setiap tipe hutan, dipengaruhi oleh vegetasi penyusun habitat dan topografi habitat gajah. Jumlah
konsumsi harian gajah yang besar membuat gajah melakukan aktifitas makan yang aktif
(Yudarini, Soma, dan Widyastuti, 2013).
Gajah merupakan mamalia terestrial yang aktif baik di siang maupun malam hari, sering
mencari makan sambil berjalan di malam hari selama 16-18 jam sehari, sebagian besar aktif dari
2 jam sebelum petang sampai 2 jam setelah fajar untuk mencari makan. Gajah cenderung
meninggalkan banyak sisa makanan bila terdapat makanan yang lebih baik (Badan Perencanaan
dan Pembangunan Daerah Kota Pekan Baru, 2013).
Seekor Gajah Sumatera membutuhkan air minum sebanyak 20-50 liter/hari. Ketika
sumber sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50-
100 cm di dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya. Pada
waktu berendam di sungai, gajah minum dengan mulutnya. Sementara, pada waktu di sungai
yang dangkal atau di rawa gajah menggunakan belalainya. Gajah mampu menghisap mencapai 9
liter air dalam satu kali isap (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Pekan Baru,
2013)
Gajah juga membutuhkan garam mineral, seperti: kalsium, magnesium, dan kalium.
Garam diperoleh dengan cara memakan gumpalan tanah yang mengandung garam,
menggemburkan tanah tebing yang keras dengan kaki depan dan gadingnya, dan makan pada
saat hujan atau setelah hujan (Ribai, Setiawan, dan Darmawan, 2012).
Dengan banyaknya dan beragamnya asupan makanan yang dikonsumsi Gajah Sumatera
dan daya jelajah yang sangat luas. Memungkinkan biji tanaman dalam kotoran gajah akan
tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya yang mengakibatkan keanekaragaman tumbuh
tumbuhan, yang bermanfaat bagi makanan herbivora, sedang keberadaan herbivoran dalam
rantai makanan sangat bermanfaat bagi karnivora, keberlanjutan dalam rantai makanan dapat
mencipatakan keseimbangan dalam ekosistem, hal ini memperlihatkan peran gajah sebagai
keystone species.

 Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) sebagai umbrella species

Umbrella species adalah spesies yang memiliki penyebaran dan menempati daerah yang
luas sehingga perlindungan jenis ini juga melindungi spesies lain yang juga menempati daerah
yang sama. Umbrella species disematkan kepada hewan yang badannya relatif lebih besar dan
jenis vertebrata tingkat tinggi (wikipedia).
Menurut Roberge dkk (2008) Umbrella species adalah jenis spesies yang akan
memayungi atau melindungi spesies lain yang berada disekitarnya secara alami dalam sebuah
habitat konservasi.
Umbrella species adalah spesies yang dipilih dalam rangka pembuatan keputusan
konservasi; karena sulit menentukan status dari banyak spesies, pemilihan satu spesies payung
dapat memudahkan pengambilan keputusan konservasi. Segala upaya konservasi terhadap
spesies payung akan berdampak positif (mengonservasi) juga bagi spesies lain. Spesies payung
dapat digunakan untuk membantu memilih lokasi yang sesuai dalam rangka melakukan
pencagaran, menentukan luas, dan mengetahui komposisi, struktur, dan proses-proses ekosistem.
(Gunawan dkk, 2015).
Berdarsakan teori-teori diatas Gajah Sumatera dapat dikategorikan sebagai umbrella
species bagi habitatnya dan mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks
tempatnya hidup. Artinya, konservasi mamalia besar ini akan membantu mempertahankan
keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga akhirnya ikut
menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya.
Sebagai contoh dalam satu hari, gajah mengonsumsi sekitar 150 kilogram makanan dan
180 liter air dan membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman
dalam kotoran gajah akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya dan akhirnya
membantu proses regenerasi hutan.
2. Contoh spesies yang berperan sebagai flagship species adalah Anoa (Bubalus spp)

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Family : Bovidae
Genus : Bubalus
Spesies : Bubalus quarlesi & Bubalus depressicornis
Sub Spesies : Bubalus spp

Flagship species adalah spesies yang dipilih untuk menggambarkan kondisi lingkungan
atau ekosistem yang membutuhkan upaya konservasi. Spesies ini dipilih karena kerentanan, daya
tarik, atau keunikannya dalam rangka membangkitkan dukungan dan penghargaan publik bagi
konservasi keseluruhan ekosistem dan spesies di dalamnya (Gunawan dkk, 2015). Flagship
species adalah spesies yang menjadi ikon: Keberadaannya mampu menggalang aksi,
meningkatkan kesadartahuan dan dukungan bagi upaya konservasi dalam skala luas. (WWF).
Flagship species adalah spesies yang dipilih sebagai duta besar, ikon atau simbol untuk
mendefinisikan suatu habitat, isu, kampanye atau dampak lingkungan. Dengan memfokuskan
dan mengusahakan konservasi jenis ini, status dari jenis lain yang menempati habitat yang sama
atau rawan menjadi ancaman yang sama juga akan menjadi lebih baik. Flagship species bisa
merupakan keystone species, atau indicator species maupun tidak sama sekali (wikipedia).
Anoa merupakan satwa dengan ukuran tubuh terkecil dalam marga kerbau, Bubalus,
namun ada juga yang menganggap Anoa sebagai sapi hutan atau sapi kerdil Sulawesi karena
secara morfologi lebih menyerupai sapi. Anoa termasuk salah satu satwa endemik Pulau
Sulawesi dan Pulau Buton. Namanya dikenal bahkan hampir identik dengan Pulau Sulawesi,
yang merupakan salah satu daerah yang penting untuk konservasi keanekaragaman hayati,
biodiversity hotspots, di wilayah Wallacea.
Anoa telah menjadi maskot fauna dan Flagship Spesies konservasi di Sulawesi. Dengan
status ini Anoa menjadi simbol untuk meningkatkan kesadaran konservasi serta menggalang
partisipasi semua pihak dalam aksi konservasi. Kelestarian Anoa juga menjamin kelestarian
hutan yang menjadi habitatnya maupun kelestarian makhluk hidup lainnya. Sebagai mamalia
terbesar di Sulawesi, Anoa dinilai memiliki potensi besar menjadi ikon pariwisata Indonesia,
Anoa menjadi duta yang memperkenalkan Sulawesi baik di tingkat nasional maupun
internasional. Anoa sebagai logo daerah di Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu
bentuk dukungan politis dari pemerintah.
Secara historis, penyebaran Anoa meliputi seluruh Pulau Sulawesi dan Pulau Buton, akan
tetapi saat ini jenis satwa langka ini tidak dijumpai di semenanjung selatan dan bagian ujung dari
semenanjung utara (Burton et al., 2005). Sedangkan beberapa pulau kecil di sekitar Pulau
Sulawesi seperti Kepulauan Togian, Kepulauan Banggai, Pulau Wawonii, Pulau Muna, Pulau
Kabaena, dan Kepulauan Tukang Besi (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko) tidak
terdapat Anoa (Mustari, 2003).
Di Indonesia Anoa dilindungi oleh undang-undang sejak tahun 1931 dan dipertegas
dengan Peraturan Menteri Kehutanan Tahun 2013 Nomor 54 tentang Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi Anoa Tahun 2013-2022 . Pada tingkat international, Anoa masuk dalam katagori
Endangered Spesies dalam IUCN Red List yaitu satwa yang terancam punah apabila tidak segera
diambil tindakan konservasi terhadap habitat dan populasinya. Jenis ini juga termasuk dalam
Appendix I CITES yaitu satwa yang tidak boleh diburu, dibunuh dan diperdagangkan baik hidup
ataupun mati, dan atau dalam keadaan utuh maupun bagian-bagian satwa ini.
Anoa termasuk satwa soliter, umumnya ditemukan dalam kelompok satu atau dua ekor
yaitu jantan dan betina dewasa pada musim kawin, atau induk beserta anaknya. Anoa juga
termasuk satwa yang sulit didomestikasi meskipun sudah beberapa tahun dipelihara. Anoa
bersifat lebih agresif saat musim birahi, atau induk yang sedang memiliki anak (Mustari, 2003).
Anoa merupakan salah satu satwa liar yang relatif sulit berkembang biak karena hanya
melahirkan 1 individu dalam sekali kelahiran dengan masa kebuntingan sembilan bulan. Jarak
antar kebuntingan paling cepat 2 tahun, serta dewasa kelamin saat berumur 3 tahun untuk betina
dan 4 tahun untuk jantan. Walaupun belum terbukti secara ilmiah, berdasarkan beberapa catatan
di ex-situ, masa produktif Anoa sampai dengan umur 20 tahun.
Data kepadatan populasi Anoa di habitat alamnya masih sangat terbatas, sehingga sulit
memperkirakan ukuran populasi secara akurat. Data populasi Anoa hanya tersedia pada beberapa
kawasan konservasi, diantaranya di Suaka Margasatwa (SM) Tanjung Amolengo (luas 604 ha)
dengan kepadatan populasi 1,3 - 2,0 Anoa/ km2 terdapat 8 - 12 Anoa dataran rendah (Mustari,
1995); di SM Tanjung Peropa (luas 38.927 ha), kepadatan populasi Anoa 0,9 individu/km2,
sehingga populasinya diperkirakan sekitar 350 individu (Mustari, 2003); di SM Lambusango
(luas 27.700 ha), Pulau Buton, diperkirakan kepadatan populasi Anoa berkisar antara 0,25 - 0,33
Anoa/km2, sehingga perkiraan populasi sekitar 150 - 200 Anoa (Wheeler, unpublished report,
2006). Dengan menggunakan data perkiraan kepadatan Anoa yang minimal yaitu berkisar 0,25 -
0,33 ekor/km2, maka diperirakan populasi Anoa di seluruh Sulawesi kurang dari 5.000 individu
(IUCN Red List, 2009).
Perburuan liar, meningkatnya laju deforestasi dan fragmentasi habitat menyebabkan
populasi Anoa semakin menurun. Sementara itu untuk mempertahankan variasi genetik dari
berbagai ancaman termasuk juga perubahan lingkungan diperlukan populasi yang cukup besar.
Karena populasi yang kecil dan terfragmentasi memiliki resiko hilang variasi genetik sehingga
rentan terjadi kepunahan. Selain itu populasi kecil juga berpeluang lebih besar punah saat terjadi
wabah penyakit atau bencana alam.
Dengan menetapkan Anoa sebagai flagship species yang merupakan ikon satwa di
Sulawesi dengan kondisi jumlah populasi yang semakin menurun, diharapkan dapat
memunculkan kesadaran, dukungan dan partisipasi publik bagi konservasi Anoa dan
ekosistemnya.

3. Contoh spesies yang berperan sebagai charismatic species adalah Badak Jawa
(Rhinoceros Sondaicus)

Kindom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Perissodactyla
Family : Rhinocerotadae
Genus : Rhinoceros
Spesies : Rhinoceros Sondaicus

Charismatic species merupakan speseis yang dapat berperan sebagai keystone species,
umbrella species, flagship species dan indicator species.
Badak Jawa merupakan salah satu mamalia besar terlangka di dunia yang ada diambang
kepunahan. Dengan hanya sekitar 50 ekor individu di alam liar, spesies ini diklasifikasikan
sebagai sangat terancam (critically endangered) dalam Daftar Merah IUCN. Ujung Kulon
menjadi satu-satunya habitat yang tersisa bagi Badak Jawa. Populasi Badak Jawa di Vietnam
telah dinyatakan punah. Status Badak Jawa dilindungi sejak 1931 di Indonesia, yang diperkuat
dengan penetapan Ujung Kulon di barat daya pulau Jawa sebagai taman nasional sejak 1992.
Berdasarkan keberadaannya saat ini dalam suatu ekosistem global, Badak Jawa dikategorikan
sebagai spesies karismatik di dunia sekaligus menjadi warisan alam yang harus dilindungi
kelestariannya (WWF).
Berdasarkan penelitian dari WWF, Badak Jawa memiliki ciri fisik sebagai berikut :
 Cula kecil dengan panjang sekitar 25 cm untuk badak jantan sementara badak betina
hanya memiliki cula kecil atau tidak sama sekali.
 Berat badan antara 900 – 2.300 kg, dengan panjang badan 2 – 4 meter dan tinggi 1.7
meter.
 Berwarna abu-abu dengan tekstur kulit yang tidak rata dan berbintik.
 Badak jantan mencapai fase dewasa setelah 10 tahun, sementara betina pada usia 5
sampai 7 tahun dengan masa mengandung selama 15 – 16 bulan.
 Bagian atas bibirnya meruncing untuk mempermudah mengambil daun dan ranting.
 Mata yang relatif kecil membuat Badak Jawa kurang dapat melihat dengan baik (rabun
dekat). Akan tetapi, indera pendengaran dan penciuman Badak Jawa, sangat peka,
sehingga sulit didekati oleh manusia
Di antara semua jenis badak, Badak Jawa adalah spesies yang paling langka dan memiliki
resiko kepunahan paling tinggi. Badak Jawa memiliki ukuran sedikit lebih besar dari Badak
Sumatera yang ditetapkan sebagai spesies badak terkecil di dunia

Gambar Perbandingan tinggi tubuh spesies badak


Sumber: wikimedia.org
Taksonomi Badak Jawa
Studi tentang Badak Jawa, dilaporkan telah dimulai sejak tahun 1787, ketika dua ekor
badak berhasil ditembak di Pulau Jawa. Beberapa tahun kemudian, Alfred Duvaucel, seorang
penjelajah asal Perancis berhasil menembak mati seekor badak di Sumatera dan mengirim
sampel tengkoraknya ke Georges Cuvier (ilmuwan Perancis yang terkenal). Sampel tersebut
kemudian diidentifikasi lebih lanjut oleh Desmarest dan diberi nama Rhinoceros sondaicus pada
tahun 1822.
Nama ilmiah Badak Jawa berasal dari bahasa Yunani. Rhino = hidung, ceros = tanduk,
sondaicus = sunda, suatu daerah biogeografi yang sangat luas (paparan sunda) meliputi Pulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan pulau- pulau kecil di sekitarnya.

Daerah Sebaran
Di masa lalu, Badak Jawa tersebar luas di Asia Tenggara meliputi: Bangladesh,
Myanmar, Thailand, Vietnam, Semenanjung Malaya hingga Pulau Sumatera dan Jawa.
Berdasarkan daerah sebarannya, dikenal 3 subspesies Badak Jawa, yaitu:

 Rhinoceros sondaicus sondaicus, tersebar di Pulau Sumatera dan Jawa.


 Rhinoceros sondaicus annamiticus, tersebar di Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand hingga
Semenanjung Malaya. Populasi subspesies ini tergolong sangat kritis dengan jumlah
diperkirakan kurang dari 10 ekor. Lokasi terakhir badak ini dilaporkan berada di sekitar
aliran Sungai Dong Nai, Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Berdasarkan dimensi jejak
kaki, badak ini diketahui memiliki ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan
kerabatnya di Taman Nasional Ujung Kulon.
 Rhinoceros sondaicus inermis, tersebar di Bangladesh hingga Burma. Badak ini memiliki
ukuran tubuh paling besar dibandingkan subspesies Badak Jawa lainnya. Anehnya, cula
badak ini sangat kecil dan tidak berkembang dengan baik. Inermis= tak bersenjata (tak
bercula).
Gambar Daerah sebaran Badak Jawa.
Sumber: wikimedia.org.; dephut RI; rrc.com; dody94.wordpress.com-modified).

Antara tahun 1600-1700, Badak Jawa masih tersebar luas di Indonesia, khususnya di
Pulau Sumatera dan Jawa. Berbeda dengan kerabatnya Badak Sumatera, Badak Jawa tidak
ditemukan di Pulau Kalimantan. Badak Jawa juga tidak ditemukan di daerah Jawa Timur yang
beriklim lebih kering (lihat gambar di atas). Beberapa catatan menunjukkan, daerah pegunungan
besar dan terpencil di Jawa tengah dan Jawa Barat, menjadi habitat terakhir bagi Badak Jawa,
sebelum seluruh populasinya disapu bersih oleh pemburu hingga punah di awal abad ke 20. Kini
seluruh populasi Badak Jawa hanya terpusat di Semenanjung Ujung Kulon, suatu tonjolan
daratan berbentuk segitiga seluas 30,000 ha di ujung barat Pulau Jawa.
Habitat
Menurut Putro (1997), Badak Jawa hidup di hutan dataran rendah yang selalu menghijau
dengan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Di masa lalu, Badak Jawa dapat ditemukan
dengan mudah di hutan-hutan yang dibuka manusia untuk perkebunan. Populasinya yang masih
banyak dirasakan cukup mengganggu, sehingga badak ini dianggap sebagai hama pertanian.
Bahkan, antara tahun 1747-1749 dan 1820, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan
hadiah bagi siapa saja yang dapat membunuh Badak Jawa.
Dari hasil studi yang telah dilakukan, Rahmat et al. (2008), dilaporkan bahwa penyebaran
Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), lebih cenderung mengelompok. Badak
Jawa umumnya menyukai habitat berupa hutan terbuka yang landai dengan jumlah tumbuhan
pakan yang melimpah, memiliki sumber air serta daerah berkubang. Dengan demikian, tidak
semua wilayah di Taman Nasional Ujung Kulon dihuni oleh Badak Jawa. Di TNUK populasi
Badak Jawa terpecah menjadi 2 kelompok besar, yaitu di bagian utara semenanjung yang
meliputi daerah Cigenter, Cikarang, Tanjung Balagadigi, Nyiur, Citelanca serta Citerjun dan
bagian selatan mencakup daerah Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan dan Cibunar.
Putro (1997), menambahkan bahwa habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon
sangatlah bervariasi dan memiliki keragaman jenis tumbuhan yang tinggi. Dari hasil analisis
vegetasi yang dilakukannya, tercatat setidaknya ada 6 tipe vegetasi yang mencirikan habitat
Badak Jawa, yaitu: Asosiasi Langkap (Arenga obtusifolia), Nibung (Oncosperma horridum),
Jambu-jambuan (Eugenia sub-glauca), Daun Salam (Eugenia polyantha), Lampeni (Ardisia
humilis) dan Cangcaratan (Neonauclea calycina).
Sebagaimana jenis badak lainnya, Badak Jawa membutuhkan daerah berair dalam jumlah
yang mencukupi untuk berendam dan berkubang. Sumber garam (salt lick) juga sangat vital bagi
kehidupan Badak Jawa. Dimasa yang lalu, alih fungsi hutan dataran rendah menjadi daerah
pertanian dan pemukiman, menyebabkan populasi Badak Jawa di luar Ujung Kulon terdesak
hingga ke wilayah gunung-gunung terpencil, sebelum akhirnya punah sama sekali di awal abad
ke-20.

Perilaku
Badak Jawa memulai aktivitasnya dengan mencari makan saat hari masih pagi-pagi
sekali. Menjelang siang, sang Badak akan menuju sungai untuk minum dan berendam. Sebagian
lainnya akan berkubang untuk mendinginkan tubuh. Meskipun berkulit tebal, Badak Jawa tidak
terlalu tahan dengan panas terik di siang hari, sehingga akan terus beristirahat hingga sore hari.
Saat malam tiba, badak akan kembali menjelajah hutan untuk mencari makan.
Badak Jawa hidup menyendiri (soliter) kecuali saat musim kawin atau menyusui.
Kadang, beberapa ekor badak akan berkumpul bersama di sekitar sumber garam dan kubangan
lumpur. Garam merupakan salah satu sumber mineral paling penting bagi proses fisiologi dan
metabolisme Badak Jawa. Jika sumber garam tidak ditemukan di daratan, Badak Jawa dan juga
Banteng, akan menuju tepi pantai untuk meminum air laut sesuai kebutuhan.
Selain mencari garam, aktifitas berkubang atau mandi lumpur merupakan kegiatan
penting bagi Badak Jawa. Tujuannya adalah untuk mendinginkan suhu tubuh dan melindungi
kulit dari parasit atau sumber penyakit lainnya. Badak Jawa biasanya memanfaatkan kubangan
lumpur yang dibuat oleh hewan lain. Agar sesuai dengan ukuran tubuhnya, kubangan lumpur
digali lebih dalam dan lebar oleh badak menggunakan culanya.
Di kubangan yang becek dan beraroma tajam, Badak Jawa menghabiskan waktu selama
1-3 jam untuk merawat diri dengan mandi lumpur. Selain digunakan oleh badak, kubangan
berlumpur juga digunakan oleh hewan lain seperti Babi hutan dan biawak.
Salah satu perilaku yang unik dari Badak Jawa adalah aktifitas penandaan batas teritorial.
Badak Jawa diketahui, sering membanjiri kubangan lumpur dengan air seninya sendiri.
Campuran air seni dan lumpur ini kemudian diaduk-aduk, saat sang badak berkubang. Saat
kembali menjelajahi hutan, Badak Jawa akan menggesek-gesekkan bagian tubuhnya yang penuh
lumpur pada batang pohon tertentu. Hal ini memiliki dua tujuan, yaitu membersihkan kulit dari
lumpur dan parasit yang masih melekat di kulit serta menandai batas daerah jelajah. Bau lumpur
dan air seni yang menempel di batang pohon, akan bertahan cukup lama dan tidak mudah
menguap.

Pola Makan dan Jenis Tumbuhan Pakan


Badak Jawa termasuk jenis mamalia herbivor. Berbeda dengan Badak Afrika yang
merumput (grazer), Badak Jawa cenderung memakan pucuk dan semak (peragut atau browser).
Spesies ini dikenal memiliki kemampuan paling baik dibandingkan jenis badak lainnya dalam
beradaptasi dengan jenis makanan yang berbeda-beda. Makanan Badak Jawa umumnya terdiri
dari bagian tunas/pucuk, daun muda, ranting, kulit batang, rumput-rumputan dan berbagai
macam buah yang jatuh di tanah (Rahmat et al. 2008).
Lebih dari 200 jenis tumbuhan, tercatat menjadi makanan Badak Jawa. Sebagian besar
didominasi oleh vegetasi semak dan perdu yang tumbuh di hutan terbuka yang sedikit ditumbuhi
pohon-pohon besar. Spesies ini, setidaknya membutuhkan makanan sekitar 50 kg setiap hari.
Menurut Putro (1997) dan Rahmat et al. (2008), beberapa jenis tumbuhan yang tercatat
sering dikonsumsi Badak Jawa diantaranya adalah: Daun Salam (Eugenia polyantha), Cente
(Lantana camara), Sulangkar (Leea sambucina), Lampeni (Ardisia humilis), Tepus (Amomum
coccineum), Areuy Leuksa (Poikilospermum suaveolens), Areuy Kawao (Agelaea macrophylla),
Bangban (Donax cannaeformis), Kedondong Hutan (Spondias pinnata), Waru (Hibiscus
tiliaceus), Segel (Dillenia excelsa), Jeunjeung Kulit (Caesalpinia sp.), Rotan Seel (Daemonorops
melanochaetis), Kukuheulang (Uncaria ferrea), Ki Endog (Cynocroches axillaris) serta
Glochidion macrocarpum .
Keragaman jenis makanan yang tinggi dari Badak Jawa, diduga merupakan hasil adaptasi
terhadap kondisi habitat. Makanan yang beragam, memungkinkan Badak Jawa memperoleh
asupan mineral dalam jumlah cukup. Musim berbuah yang berbeda-beda dari tiap-tiap jenis
pohon hutan, juga memungkinkan Badak Jawa memperoleh suplai buah sepanjang tahun. Selain
itu, beragamnya makanan, juga mencegah Badak Jawa mengalami keracunan akibat terlalu
banyak mengonsumsi satu atau dua jenis tumbuhan tertentu.

Daerah Jelajah
Untuk menjamin ketersediaan makanan, Badak Jawa memiliki daerah teritorial yang
dipertahankan. Daerah ini ditandai dengan semprotan air seni (urine) dan kotoran (faeces).
Seringkali, garukan kaki di tanah atau patahan pucuk perdu/semak juga digunakan sebagai
sarana komunikasi dengan individu badak lainnya.
Daerah jelajah badak jantan berkisar antara 12–20 km² (5–8 miles²). Sedangkan betina
memiliki daerah jelajah seluas 3–14 km² (1–5 mi²). Badak Jawa tergolong mamalia yang kalem.
Badak ini dikenal jauh lebih sedikit mengeluarkan suara (vocalizing) dibandingkan dengan
sepupunya, Badak Sumatera.
Badak Jawa memiliki peran yang penting dalam ekosistem hutan tropis. Mamalia berkulit
tebal ini dikenal suka menerobos semak dan perdu, sehingga membentuk suatu lorong/jalur
kosong di tengah tegakan vegetasi hutan yang rapat. Lambat laun, bekas jalur yang dilalui badak
ini, dimanfaatkan oleh jenis hewan lainnya seperti: rusa, kijang dan banteng sebagai jalan
setapak untuk menjelajah hutan.
Reproduksi
Reproduksi Badak Jawa tergolong lambat. Badak jantan mencapai usia dewasa setelah
berumur 6 tahun. Sedangkan Badak betina dewasa pada usia 3-4 tahun. Badak betina melahirkan
setiap 3-5 tahun sekali. Lama mengandung 16 bulan dengan jumlah anak seekor saja. Anak
badak akan disapih setelah berumur 2 tahun atau lebih. Badak betina mulai mengalami
menopause pada usia 30 tahun. Menurut Rinaldi et al. (1997), musim kawin Badak Jawa terjadi
tiap tahunnya pada sekitar bulan Agustus.

Populasi
Estimasi populasi yang dilakukan oleh berbagai pihak dari tahun 1967 hingga 2009
menunjukkan bahwa jumlah individu Badak Jawa di TNUK berfluktuasi antara 24 hingga 64
individu. Sebagian ahli ekologi satwa liar menyatakan bahwa populasi Badak Jawa ini tergolong
stagnan dan kemungkinan telah mencapai batas daya dukung ekologinya. Agar suatu populasi
dapat berkembang dengan baik, setidaknya dibutuhkan populasi dengan jumlah individu minimal
sebesar 100 individu (Alikodra 2002). Meskipun Ujung Kulon masih dinyatakan layak sebagai
habitat bagi Badak Jawa, namun dengan populasi sebesar 32 individu, spesies tersebut masih
berada pada resiko kepunahan yang tinggi.

Grafik Estimasi Populasi Badak Jawa Tahun 1967-2009.


Sumber: Balai TNUK dan lain-lain (2011)
 Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus) sebagai keystone species
Badak Jawa memiliki peran yang penting dalam ekosistem hutan tropis. Mamalia
berkulit tebal ini dikenal suka menerobos semak dan perdu ketika menuju ke lokasi
sumber makanan dan sesapan, sehingga membentuk suatu lorong/jalur kosong di tengah
tegakan vegetasi hutan yang rapat. Lambat laun, bekas jalur yang dilalui badak ini,
dimanfaatkan oleh jenis hewan lainnya seperti: rusa, kijang, babi, dan banteng sebagai
jalan setapak untuk menjelajah hutan, menuju sumber makanan dan sumber air. Pada
kondisi ini peran dari Badak Jawa dibutuhkan sebagai keystone species yang dengan
perannya dapat mempermudah mobilitas hewan-hewan lain mengakses sumber-sumber
makanan dan lokasi sesapan melalui lorong/ jalur kosong ditengah vegetasi hutan yang
rapat akibat dari kebiasaan Badak Jawa menerobos semak dan perdu.

 Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus) sebagai umbrella species


Dengan tingginya jenis keragaman makan tinggi yang dikonsumsi oleh Badak
Jawa dan kebiasaan Badak Jawa yang suka berkubang disekitar vegetasi yang rapat, serta
memiliki daya jelajah yang sangat luas, memungkinkan biji-biji tanaman terbawa oleh
Badak Jawa, baik yang menempal pada badan badak maupun yang menempel pada
kotoran Badak Jawa akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya yang
mengakibatkan akhirnya terjadinya proses regenerasi hutan. Perilaku Badak Jawa
tersebu sangat bermanfaat bagi konservasi suatu ekosistem.

 Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus) sebagai flagship species


Badak Jawa merupakan satwa ikonik di Pulau Jawa, keberadaannya sangat
strategis bagi keberlangsungan dan keberadaan spesies-spesies lainnya pada suatu
ekosistem. Badak Jawa termasuk 5 spesies badak yang masih bertahan dari total 30
spesies yang pernah ditemukan berdasarkan catatan fosil (Kementerian Riset dan
Teknologi, 2010), 5 spesies badak tersebut antara lain :

1. Badak Putih Ceratotherium simum Burchell, 1817


2. Badak Hitam Diceros bicornis Linnaeus, 1758
3. Badak India Rhinoceros unicornis Linnaeus, 1758
4. Badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814
5. Badak Jawa Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822
Jumlah populasi saat ini pun sangat memprihatinkan, dimana jumlah Badak Jawa
yang berada pada Taman Nasional Ujung Kulon saat ini diperkirakan tinggal 32 dengan
resiko kepunahan yang sangat tinggi (Balai TNUK, 2011). Sehingga sudah sewajarnya
Badak Jawa ditetapkan sebagai Flagship species, sebagai spesies yang ikonik dan
memiliki resiko kepunahan yang tinggi, diharapkan status Badak Jawa sebagai Flagship
species dapat mendorong dukungan dan partisipasi publik dalam upaya-upaya konservasi
Badak Jawa dalam skala yang luas. Sehingga keberadaannya dapat berkelanjutan dari
masa ke masa begitupun dengan ekosistem alami dimana Badak Jawa berasal.

 Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus) sebagai indicator species


Badak Jawa sebagai spesies indikator merupakan penciri kealamian habitat. Hal
ini disebabkan karena Badak Jawa hanya mampu hidup pada habitat alamiah untuk
melakukan proses penjelajahan, reproduksi, dan mencari makanan.
Sebagai contoh dari hasil penelitiannya, Putro (1997) menemukan bahwa
serbuan invasif palem Langkap (Arenga obtusifolia), Rotan Seel (Daemonorops
melanochaetis) dan Bambu (Dinocloa scandens) oleh masyarakat menyebabkan
terdesaknya jenis-jenis tumbuhan yang menjadi makanan Badak Jawa, akibat kalah
bersaing dalam memperebutkan ruang untuk tumbuh. Jumlah biji yang banyak,
pertumbuhan kecambah yang cepat serta laju pertumbuhan semai yang tinggi
menyebabkan Langkap berpotensi mendominasi vegetasi hutan terbuka di Ujung Kulon.
Apabila terjadi degradasi habitat seperti itu maka Badak Jawa tidak dapat lagi dijumpai
di habitatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, HS . 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut
Pertanian Bogor, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Bogor. 363 hlm.

Badan Perencanaan dan Pembagunan Daerah Kota Pekan Baru, 2013. Rencana Konservasi
Gajah Sumatera pada Kawasan Lindung. Pemkot Pekan Baru

Burton, JA., Hedges S., Mustari AH. 2005. The Taxonomic Status , distribution and conservation
of The Lowland Anoa Bubalus depressicornis and Mountain Anoa Bubalus quarlesi.
Mammal Rev 35 : 25 - 50

Hariyadi ARS, Priambudi A, Setiawan R, Daryan D, Yayus A dan Purnama H. 2011. Estimating
the population structure of Javan rhinos (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon
National Park using the mark recapture method based on video and camera trap
identification. Pachyderm No.49 January-June 2011.

Hariyanto, M. 2009. Gajah Sumatera. http:/blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/


gajahsumatera.html. diakses 7 Februari 2018

Hendra Gunawan, Sugiarti Rachim, Vivin S. Sihombing, Anita Rianti, dan Pujo Setio. 2015.
Sistem Monitoring dan Evaluasi Keanekaragaman Hayati di Tamah Kehati. Forda Press.
Jakarta

http://en.wikipedia.org/wiki/Anoa. diakses 7 Februari 2018

http://en.wikipedia.org/wiki/Badak_jawa. diakses 7 Februari 2018

http://en.wikipedia.org/wiki/Gajah_sumatera. diakses 7 Februari 2018

https://www.wwf.or.id/program/spesies/badak_jawa/. diakses 7 Februari 2018

https://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/. diakses 7 Februari 2018

https://dody94.wordpress.com/2011/08/29/badak-jawa diakses 8 Februari 2018

Kurniawan A. 2006. http://travelplusindonesia.blogspot.com/2010/06/melacak-sang-primadona-


ujung-kulon.html dikases 8 Februari 2018

Mustari AH. 2003. Feeding ecology and food intake of lowland anoa. The 12th SEAZA
conference. Bogor – Indonesia

Power, M.E. and L. S. Mills. 1995. The Keystone Cops meet in Hilo. Trends in Evolution and
Ecology 10: 182-184
Putro, HR. 1997. Heterogenitas habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm. 1822) di
Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, 1997 : Hal.17-40.

Rahmat UM, Santosa Y, Kartono AP. 2008. Analisis Preferensi Habitat Badak Jawa
(Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. JMHT Vol.
XIV, (3): 115-124, Agustus 2008.

Ribai. 2011. Studi Perilaku Makan Alami Gajah Sumatera di Pusat Konservasi Gajah Taman
Nasional Way Kambas Lampung Timur. Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan
Universitas Lampung

Rinaldi D, Mulyani YA dan Arief H. 1997. Status Populasi dan Perilaku Badak Jawa
(Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Media
Konservasi Edisi Khusus, 1997 : 41 – 47.

Roberge, J. M., G.Mikusiski, and S. Svenson. 2008. The White Backed woodpecker: Umbrella
species for forest conservation planning? Biodiversity and Conservation

Schenkel R and Schenkel-Hullinger, L. (1969). The Javan rhinoceros in Ujung Kulon Nature
Reserve: its ecology and behavior. Acta Tropica 26:98–135.

Tim Peneliti Badak Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan IPB. 1997. Panduan Pengelolaan
Habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung
Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, 1997 : Hal. i – 15

Tougard C, Delefosse T, Hanni C, and Montgelard. 2001. Phylogenetic Relationships of the


Five Extant Rhinoceros Species (Rhinocerotidae, Perissodactyla) Based on
Mitochondrial Cytochrome b and 12S rRNA Genes. Molecular Phylogenetics and
Evolution Vol. 19, No. 1, April, pp. 34–44.

Yudarini ND, Soma IG, Widyastuti S. 2013. Tingkah Laku Harian Gajah Sumatera di Bali
Safari and Marine Park Gianyar. Indonesia Medicus Veterinus 2(4)

Anda mungkin juga menyukai