Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN DM PADA LANSIA

Pendahuluan

Proses menua adalah keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Manusia seperti halnya semua makhluk
hidup didunia ini mempunyai batas keberadaannya dan akan berakhir dengan kematian. Perubahan-
perubahan pada usia lanjut dan kemunduran kesehatannya kadang-kadang sukar dibedakan dari
kelainan patologi yang terjadi akibat penyakit. Dalam bidang endokrinologi hampir semua produksi dan
pengeluaran hormon dipengaruhi oleh enzim-enzim yang sangat dipengaruhi oleh proses menjadi tua.

Diabetes mellitus yang terdapat pada usia lanjut gambaran klinisnya bervariasi luas dari tanpa gejala
sampai dengan komplikasi nyata yang kadang-kadang menyerupai penyakit atau perubahan yang biasa
ditemui pada usia lanjut.

A. Konsep Dasar Penyakit

Definisi

Diabetes melitus merupakan kelainan metabolisme yang kronis terjadi defisiensi insulin atau retensi
insulin, di tandai dengan tingginya keadaan glukosa darah (hiperglikemia) dan glukosa dalam urine
(glukosuria) atau merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehubungan dengan kurangnya sekresi insulin secara
absolut / relatif dan atau adanya gangguan fungsi insulin.

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa
dalam darah atau hiperglikemia (Mansjoer, 2000).

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa
dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).

Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemis, kronis, dan multifaktorial yang dicirikan dengan
hiperglikemia dan hipoglikemia. ( Mary,2009)

Epidemiologi

Diabetes terutama prevalen diantara kaum lanjut usia. Diantara individu yang berusia lebih dari 65
tahun, 8,6% menderita diabetes tipe II. Angka ini mencakup 15% populasi pada panti lansia.
Etiologi

Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi terhadap glukosa juga
meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas glukosa darah yang lebih tinggi daripada
orang dewasa non usia lanjut.

Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang
berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaaan obat-obatan, disamping karena pada
lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih dari 50% lansia diatas 60 tahun yang
tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Intoleransi glukosa ini
masih belum dapat dikatakan sebagai diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan
insulin terutama pada post reseptor.

Pada lansia cenderung terjadi peningkatan berat badan, bukan karena mengkonsumsi kalori berlebih
namun karena perubahan rasio lemak-otot dan penurunan laju metabolisme basal. Hal ini dapat menjadi
faktor predisposisi terjadinya diabetes mellitus. Penyebab diabetes mellitus pada lansia secara umum
dapat digolongkan ke dalam dua besar :

a. Proses menua/kemunduran (Penurunan sensitifitas indra pengecap, penurunan fungsi pankreas,


dan penurunan kualitas insulin sehingga insulin tidak berfungsi dengan baik).

b. Gaya hidup (life style) yang jelek (banyak makan, jarang olahraga, minum alkohol, dll.)

Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress juga dapat menjadi penyebab terjadinya diabetes
mellitus.

Selain itu perubahan fungsi fisik yang menyebabkan keletihan dapat menutupi tanda dan gejala diabetes
dan menghalangi lansia untuk mencari bantuan medis. Keletihan, perlu bangun pada malam hari untuk
buang air kecil, dan infeksi yang sering merupakan indikator diabetes yang mungkin tidak diperhatikan
oleh lansia dan anggota keluarganya karena mereka percaya bahwa hal tersebut adalah bagian dari
proses penuaan itu sendiri.

Klasifikasi

a. Diabetes melitus tipe I :

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui proses imunologik
maupun idiopatik. Karakteristik Diabetes Melitus tipe I:

1) Mudah terjadi ketoasidosis

2) Pengobatan harus dengan insulin

3) Onset akut
4) Biasanya kurus

5) Biasanya terjadi pada umur yang masih muda

6) Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4

7) Didapatkan antibodi sel islet

8) 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga

b. Diabetes melitus tipe II :

Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Karakteristik DM tipe II :

1) Sukar terjadi ketoasidosis

2) Pengobatan tidak harus dengan insulin

3) Onset lambat

4) Gemuk atau tidak gemuk

5) Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun

6) Tidak berhubungan dengan HLA

7) Tidak ada antibodi sel islet

8) 30%nya ada riwayat diabetes pada keluarga

9) ± 100% kembar identik terkena

Manifestasi Klinis

Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada lansia umumnya tidak ada. Osmotik
diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan
nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia
kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi
polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah
keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.

Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya
bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul
adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot
(neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :

a. Katarak

b. Glaukoma

c. Retinopati

d. Gatal seluruh badan

e. Pruritus Vulvae

f. Infeksi bakteri kulit

g. Infeksi jamur di kulit

h. Dermatopati

i. Neuropati perifer

j. Neuropati viseral

k. Amiotropi

l. Ulkus Neurotropik

m. Penyakit ginjal

n. Penyakit pembuluh darah perifer

o. Penyakit koroner

p. Penyakit pembuluh darah otak

q. Hipertensi

Patofisiologi

Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel
yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta
di pankreas. Bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap
berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.

Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes tipe
ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta
pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan
terhadap insulin itu sendiri.
Pada diabetes melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin normal tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam
sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat

Pathway

Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa
darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap
tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.

Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :

a. Diet

Suatu perencanaan makanan yang terdiri dari 10% lemak, 15% Protein, 75% Karbohidrat kompleks
direkomendasikan untuk mencegah diabetes. Kandungan rendah lemak dalam diet ini tidak hanya
mencegah arterosklerosis, tetapi juga meningkatkan aktivitas reseptor insulin.

b. Latihan

Latihan juga diperlukan untuk membantu mencegah diabetes. Pemeriksaan sebelum latihan sebaiknya
dilakukan untuk memastikan bahwa klien lansia secara fisik mampu mengikuti program latihan
kebugaran. Pengkajian pada tingkat aktivitas klien yang terbaru dan pilihan gaya hidup dapat membantu
menentukan jenis latihan yang mungkin paling berhasil. Berjalan atau berenang, dua aktivitas dengan
dampak rendah, merupakan permulaan yang sangat baik untuk para pemula. Untuk lansia dengan
NIDDM, olahraga dapat secara langsung meningkatkan fungsi fisiologis dengan mengurangi kadar
glukosa darah, meningkatkan stamina dan kesejahteraan emosional, dan meningkatkan sirkulasi, serta
membantu menurunkan berat badan.

c. Pemantauan

Pada pasien dengan diabetes, kadar glukosa darah harus selalu diperiksa secara rutin. Selain itu,
perubahan berat badan lansia juga harus dipantau untuk mengetahui terjadinya obesitas yang dapat
meningkatkan resiko DM pada lansia.

d. Terapi (jika diperlukan)

Sulfoniluria adalah kelompok obat yang paling sering diresepkan dan efektif hanya untuk penanganan
NIDDM. Pemberian insulin juga dapat dilakukan untuk mepertahankan kadar glukosa darah dalam
parameter yang telah ditentukan untuk membatasi komplikasi penyakit yang membahayakan.

e. Pendidikan
1) Diet yang harus dikomsumsi

2) Latihan

3) Penggunaan insulin

Pemeriksaan Diagnostik

a. Glukosa darah sewaktu

b. Kadar glukosa darah puasa

c. Tes toleransi glukosa

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :

a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)

b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr
karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

10. Prognosis

Prognosis DM usia tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya buruk. Pasien tua dengan tipe II
(DMTTI) yang terawat dengan baik prognosisnya baik. Pada pasien DM yang jatuh dalam koma
hipoglikemia prognosisnya kurang baik.

11. Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi akut dan kronis. Yang termasuk dalam komplikasi
akut adalah hipoglikemia, diabetes ketoasidosis (DKA), dan hyperglycemic hyperosmolar nonketocic
coma (HHNC). Yang termasuk dalam komplikasi kronis adalah retinopati diabetic, nefropati diabetic,
neuropati, dislipidemia, dan hipertensi.

a. Komplikasi akut

1) Diabetes ketoasidosis

Diabetes ketoasidosis adalah akibat yang berat dari deficit insulin yang berat pada jaringan adipose, otot
skeletal, dan hepar. Jaringan tersebut termasuk sangat sensitive terhadap kekurangan insulin. DKA dapat
dicetuskan oleh infeksi ( penyakit)
b. Komplikasi kronis

1) Retinopati diabetic

Lesi paling awal yang timbul adalah mikroaneurism pada pembuluh retina. Terdapat pula bagian iskemik,
yaitu retina akibat berkurangnya aliran darah retina. Respon terhadap iskemik retina ini adalah
pembentukan pembuluh darah baru, tetapi pembuluh darah tersebut sangat rapuh sehingga mudah
pecah dan dapat mengakibatkan perdarahan vitreous. Perdarahan ini bisa mengakibatkan ablasio retina
atau berulang yang mengakibatkan kebutaan permanen.

2) Nefropati diabetic

Lesi renal yang khas dari nefropati diabetic adalah glomerulosklerosis yang nodular yang tersebar
dikedua ginjal yang disebut sindrom Kommelstiel-Wilson. Glomeruloskleriosis nodular dikaitkan dengan
proteinuria, edema dan hipertensi. Lesi sindrom Kommelstiel-Wilson ditemukan hanya pada DM.

3) Neuropati

Neuropati diabetic terjadi pada 60 – 70% individu DM. neuropati diabetic yang paling sering ditemukan
adalah neuropati perifer dan autonomic.

4) Displidemia

Lima puluh persen individu dengan DM mengalami dislipidemia.

5) Hipertensi

Hipertensi pada pasien dengan DM tipe 1 menunjukkan penyakit ginjal, mikroalbuminuria, atau
proteinuria. Pada pasien dengan DM tipe 2, hipertensi bisa menjadi hipertensi esensial. Hipertensi harus
secepat mungkin diketahuin dan ditangani karena bisa memperberat retinopati, nepropati, dan penyakit
makrovaskular.

6) Kaki diabetic

Ada tiga factor yang berperan dalam kaki diabetic yaitu neuropati, iskemia, dan sepsis. Biasanya
amputasi harus dilakukan. Hilanggnya sensori pada kaki mengakibatkan trauma dan potensial untuk
ulkus. Perubahan mikrovaskuler dan makrovaskuler dapat mengakibatkan iskemia jaringan dan sepsis.
Neuropati, iskemia, dan sepsis bisa menyebabkan gangrene dan amputasi.

7) Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah 60 mg/dl, yang merupakan
komplikasi potensial terapi insulin atau obat hipoglikemik oral. Penyebab hipoglikemia pada pasien
sedang menerima pengobatan insulin eksogen atau hipoglikemik oral.
B. Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian

a. Data Subyektif

1) Identitas

DM pada pasien usia lanjut umumnya terjadi pada usia > 60 tahun dan umumnya adalah DM tipe II ( non
insulin dependen ) atau tipe DMTTI.

2) Keluhan utama

DM pada usila mungkin cukup sukar karena sering tidak khas dan asimtomatik ( contohnya ; kelemahan,
kelelahan, BB menurun, terjadi infeksi minor, kebingungan akut, atau depresi ).

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Pada umumnya pasien datang ke RS dengan keluhan gangguan penglihatan karena katarak, rasa
kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot ( neuropati perifer ) dan luka pada tungkai yang sukar
sembuh dengan pengobatan lazim.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga

Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?

5) Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya

Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa,
bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk
menanggulangi penyakitnya.

6) Pola pemenuhan kebutuhan sehari – hari

a) Aktivitas/ Istirahat :

Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.

b) Sirkulasi

Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang
penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah

c) Integritas Ego

Stress, ansietas
d) Eliminasi

Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare

e) Makanan / Cairan

Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.

f) Neurosensori

Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan.

g) Nyeri / Kenyamanan

Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)

h) Pernapasan

Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)

i) Keamanan

Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

b. Data obyektif

Pemeriksaan fisik pada Lansia

1) Sel ( perubahan sel )

Sel menjadi lebih sedikit, jumlah dan ukurannya menjadi lebih besar, berkurangnya jumlah cairan tubuh
dan berkurangnya cairan intrasel.

2) Sistem integumen

Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan pucat dan terdapat bintik – bintik hitam
akibat menurunnya aliran darah kekulit dan menurunnya sel – sel yang memproduksi pigmen, kuku pada
jari tengah dan kaki menjadi tebal dan rapuh. Pada orang berusia 60 tahun rambut wajah meningkat,
rambut menipis / botak dan warna rambut kelabu, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.

3) Sistem Muskuler

Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang pengecilan otot karena menurunnya serabut
otot. Pada otot polos tidak begitu berpengaruh.

4) Sistem pendengaran

Presbiakusis ( menurunnya pendengaran pada lansia ) membran timpani menjadi altrofi menyebabkan
austosklerosis, penumpukan serumen sehingga mengeras karena meningkatnya keratin.
5) Sistem Penglihatan

Karena berbentuk speris, sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, lensa
menjadi keruh, meningkatnya ambang penglihatan ( daya adaptasi terhadap kegegelapan lebih lambat,
susah melihat gelap ). Hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang karena berkurangnya
luas pandangan. Menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada skala.

6) Sistem Pernafasan

Otot – otot penafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas sillia, paru kurang
elastis, alveoli kurang melebar biasanya dan jumlah berkurang. Oksigen pada arteri menurun menjadi 75
mmHg. Karbon oksida pada arteri tidak berganti – kemampuan batuk berkurang.

7) Sistem Kardiovaskuler

Katub jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 %
pertahun. Kehilangan obstisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer.

8) Sistem Gastointestinal

Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar menurun, asam lambung
menurun waktu pengosongan lambung, peristaltik lemah sehingga sering terjadi konstipasi, hati makin
mengecil.

9) Sistem Perkemihan

Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %, laju filtrasi
glumesulus menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang sehingga kurang mampu memekatkan
urine, Dj urin menurun, proteinuria bertambah, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat, kapasitas
kandung kemih menurun ( zoome ) karena otot – otot yang lemah, frekwensi berkemih meningkat,
kandung kemih sulit dikosongkan, pada orang terjadi peningkatan retensi urin dan pembesaran prostat
(75 % usia diatas 60 tahun).

10) Sistem Reproduksi

Selaput lendir vagina menurun / kering, menciutnya ovarium dan uterus, atrofi payu darah testis masih
dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara berangsur – angsur, dorongan sek menetap
sampai usia diatas 70 tahun asal kondisi kesehatan baik.

11) Sistem Endokrin

Produksi semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah, berkurangnya ACTH,
TSH, FSH, dan LH, menurunnya aktivitas tiroid sehingga laju metabolisme tubuh ( BMR ) menurun,
menurunnya produk aldusteran, menurunnya sekresi, hormon godad, progesteron, estrogen,
testosteron.
12) Sistem Sensori

Reaksi menjadi lambat kurang sensitif terhadap sentuhan (berat otak menurun sekitar 10 – 20 % )

Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme
protein, lemak.

b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai dengan tugor kulit
menurun dan membran mukasa kering.

c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer)
ditandai dengan gangren pada extremitas.

d. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang kurang.

e. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.

f. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan penglihatan.

Intervensi Keperawatan

a. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme
protein, lemak.

Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi.

Kriteria Hasil :

- Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat

- Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya

Intervensi :

1) Timbang berat badan sesuai indikasi.

R/ Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.

2) Tentukan program diet, pola makan, dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan klien.

R/ Mengidentifikasikan kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.


3) Auskultrasi bising usus, catat nyeri abdomen atau perut kembung, mual, muntah dan pertahankan
keadaan puasa sesuai inndikasi.

R/ Hiperglikemi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit menurunkan motilitas atau fungsi
lambung (distensi atau ileus paralitik).

4) Berikan makanan cair yang mengandung nutrisi dan elektrolit. Selanjutnya memberikan makanan
yang lebih padat.

R/ Pemberian makanan melalui oral lebih baik diberikan pada klien sadar dan fungsi gastrointestinal
baik.

5) Identifikasi makanan yang disukai.

R/ Kerja sama dalam perencanaan makanan.

6) Libatkan keluarga dalam perencanaan makan.

R/ Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberi informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan
nutrisi klien.

7) Observasi tanda hipoglikemia (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembap atau dingin, denyut nadi
cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala, pusing).

R/ Pada metabolism kaborhidrat (gula darah akan berkurang dan sementara tetap diberikan tetap
diberikan insulin, maka terjadi hipoglikemia terjadi tanpa memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran.

8) Kolaborasi :

a) Lakukan pemeriksaan gula darah dengan finger stick

R/ Analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat daripada memantau gula dalam urine.

b) Pantau pemeriksaan laboratorium (glukosa darah, aseton, pH, HCO3)

R/ Gula darah menurun perlahan dengan penggunaan cairan dan terapi insulin terkontrol sehingga
glukosa dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori. Saat ini, kadaar aseton menurun
dan asidosis dapat dikoreksi.

c) Berikan pengobatan insulin secara teratur melalui iv

R/ Insulin regular memiliki awitan cepat dan dengan cepat pula membantu memindahkan glukosa ke
dalam sel. Pemberian melalui IV karena absorpsi dari jaringan subkutan sangat lambat.

d) Berikan larutan glukosa ( destroksa, setengah salin normal).


R/ Larutan glukosa ditambahkan setelah insulin dan cairan membawa gula darah sekitar 250 mg /dl.
Dengan metabolism karbohidrat mendekati normal, perawatan diberikan untuk menghindari
hipoglikemia.

e) Konsultasi dengan ahli gizi

R/ Bermanfaat dalam penghitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.

b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai dengan tugor kulit
menurun dan membran mukosa kering.

Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan atau hidrasi pasien
terpenuhi

Kriteria Hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer
dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar
elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :

1) Kaji riwayat klien sehubungan dengan lamanya atau intensitas dari gejala seperti muntah dan
pengeluaran urine yang berlebihan.

R/ Membantu memperkirakan kekurangan volume total. Adanya proses infeksi mengakibatkan demam
dan keadaan hipermetabolik yang meningkatkan kehilangan air.

2) Pantau tanda – tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah ortostatik.

R/ Hipovolemi dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan berat ringannya hipovolemi saat
tekanan darah sistolik turun ≥ 10 mmHg dari posisi berbaring ke duduk atau berdiri.

3) Pantau pola napas seperti adanya pernapasan Kussmaul atau pernapasan yang berbau keton.

R/ Perlu mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang menghasilkan kompensasi alkalosis
respiratoris terhadap keadaan ketoasidosis. Napas bau aseton disebabkan pemecahan asam asetoasetat
dan harus berkurang bila ketosis terkoreksi.

4) Pantau frekuensi dan kualitas pernapasan, penggunaan otot bantu napas, adanya periode apnea
dan sianosi.

R/ Hiperglikemia dan asidosis menyebabkan pola dan frekuensi pernapasan normal. Akan tetapi
peningkatan kerja pernapasan, pernapasan dangkal dan cepat serta sianosis merupakan indikasi dari
kelelahan pernapasan atau kehilangan kemampuan melalui kompensasi pada asidosis

5) Pantau suhu, warna kulit, atau kelembapannya.


R/ Demam, menggigil, dan diaphoresis adalah hal umum terjadi pada proses infeksi, demam dengan kulit
kemerahan, kering merupakan tanda dehidrasi.

6) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membrane mukosa.

R/ Merupakan indicator tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat.

7) Pantau masukan dan pengeluaran

R/ Memperkirakan kebutuhan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan terapi yang diberikan.

8) Ukur berat badan setiap hari.

R/ Memberikan hasil pengkajian terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya
dalam memberikan cairan pengganti.

9) Pertahankan pemberian cairan minimal 2500 ml/hari

R/ Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi.

10) Tingkatkan lingkungan yang menimbulkan rasa nyaman. Selimuti klien dengan kain yang tipis.

R/ Menghindari pemanasan yang berlebihan terhadap klien lebih lanjut dapat menimbulkan kehilangan
cairan.

11) Kaji adanya perubahan mental atau sensori.

R/ Perubahan mental berhubungan dengan hiperglikemi atau hipoglikemi, elektrolit abnormal, asidosis,
penurunan perfusi serebral, dan hipoksia. Penyebab yang tidak tertangani, gangguan kesadaran menjadi
predisposisi aspirasi pada klien.

12) Observasi mual, nyeri abdomen, muntah, dan distensi lambung.

R/ Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung sehinnga sering menimbulkan muntah
dan secara potensial menimbulkan kekurangan cairan dan elektrolit.

13) Observasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan berat badan, nadi tidak
teratur, dan distensi vaskuler.

R/ Pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi menimbulkan kelebihan cairan dan gagal
jantung kronis.

14) Kolaborasi :

a) Berikan terapi cairan sesuai indikasi :

(1) Normal salin atau setengah normal salin dengan atau tanpa dekstrosa.

R/ Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon klien secara individual.
(2) Albumin, plasma, atau dekstran.

R/ Plasma ekspander (pengganti) dibutuhkan jika mengancam jiwa atau tekanan darah sudah tidak dapat
kembali normal dengan usaha rehidrasi yang telah dilakukan.

15) Pasang kateter urine.

R/ Memberikan pengukuran yang tepat terhadap pengeluaran urine terutama jika neuropati otonom
menimbulkan retensi atau inkontinensia.

c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer)
ditandai dengan gangren pada extremitas.

Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidakterjadi komplikasi.

Kriteria Hasil :

- menunjukan peningkatan integritas kulit

- Menghindari cidera kulit

Intervensi :

1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna,turgor,vaskuler,perhatikan kemerahan.

R/ Menandakan aliran sirkulasi buruk yang dapat menimbulkan infeksi

2) Ubah posisi setiap 2 jam beri bantalan pada tonjolan tulang

R/ Menurunkan tekanan pada edema dan menurunkan iskemia

3) Pertahankan alas kering dan bebas lipatan

R/ Menurunkan iritasi dermal

4) Beri perawatan kulit seperti penggunaan lotion

R/ Menghilangkan kekeringan pada kulit dan robekan pada kulit

5) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik

R/ Mencegah terjadinya infeksi

6) Anjurkan pasien untuk menjaga agar kuku tetap pendek

R/ Menurunkan resiko cedera pada kulit oleh karena garukan

7) Motivasi klien untuk makan makanan TKTP


R/ Makanan TKTP dapat membantu penyembuhan jaringan kulit yang rusak

d. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang kurang.

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kelelahan dapat teratasi.

Kriteria hasil :

- klien dapat mengidentifikasikan pola keletihan setiap hari.

- klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala peningkatan aktivitas penyakit yang mempengaruhi
toleransi aktivitas.

- klien dapat mengungkapkan peningkatan tingkat energi.

- klien dapat menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang
diinginkan.

Intervensi :

1) Diskusikan kebutuhan akan aktivitas. Buat jadwal perencanaan dan identifikasi aktivitas yang
menimbulkan kelelahan.

R/ Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun klien sangat
lemah.

2) Diskusikan penyebab keletihan seperti nyeri sendi, penurunan efisiensi tidur, peningkatan upaya
yang diperlukan untuk ADL.

R/ Dengan mengetahui penyebab keletihan, dapat menyusun jadwal aktivitas.

3) Bantu mengidentivikasi pola energi dan buat rentang keletihan. Skala 0-10 (0 =tidak lelah, 10 =
sangat kelelahan)

R/ Mengidentifikasi waktu puncak energi dan kelelahan membantu dalam merencanakan akivitas untuk
memaksimalkan konserfasi energi dan produktivitas.

4) Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/ tanpa diganggu.

R/ Mencegah kelelahan yang berlebih.

5) Pantau nadi , frekuensi nafas, serta tekanan darah sebelum dan seudah melakukan aktivitas.

R/ Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.

6) Tingkatkan partisipasi klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kebutuhan.


R/ Memungkinkan kepercayaan diri/ harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi.

7) Ajarkan untuk mengidentifikasi tanda dan gejala yang menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit
dan mengurangi aktivitas, seperti demam, penurunan berat badan, keletihan makin memburuk.

R/ Membantu dalam mengantisipasi terjadinya keletihan yang berlebihan.

e. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi

Kriteria hasil :

- Tidak ada rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolesia.

- Terjadi perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.

Intervensi :

1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan sperti demam, kemerahan, adanya pus pada luka,
sputum purulen, urine warna keruh atau berkabut.

R/ Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau
dapat mengalami infeksi nosokomial.

2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang
berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.

R/ Mencegah timbulnya infeksi nosokomial.

3) Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.

R/ Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi meddia terbaik dalam pertumbuhan kuman.

4) Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh, masase daerah tulang yang
tertekan, jaga kulit tetap kering, linen kering dan tetap kencang.

R/ Sirkulasi perifer bisa terganggu dan menempatkan pasien pada peningkatan risiko terjadinya
kerusakan pada kulit.

5) Berikan tisue dan tempat sputum pada tempat yang mudah dijangkau untuk penampungan sputum
atau secret yang lainnya.

R/ Mengurangi penyebaran infeksi.

6) Kolaborasi
a) Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas sesuai dengan indikasi.

R/ Untuk mengidentifikasi adanya organisme sehingga dapat memilih atau memberikan terapi antibiotik
yang terbaik.

b) Berikan obat antibiotik yang sesuai

R/ Penanganan awal dapat mambantu mencegah timbulnya sepsis.

f. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan penglihatan.

Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi injuri

Kriteria hasil :

- Dapat menunjukkan terjadinya perubahan perilaku untuk menurunkan factor risiko dan untuk
melindungi diri dari cidera.

- Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.

Intervensi :

1) Hindarkan lantai yang licin.

R/ Lantai licin dapat menyebabkan risiko jatuh pada pasien

2) Gunakan bed yang rendah

R/ Mempermudah pasien untuk naik dan turun dari tempat tidur.

3) Orientasikan klien dengan ruangan.

R/ Lansia daya ingatnya sudah menurun, sehingga diperlukan orientasi ruangan agar lansia bisa
menyesuaikan diri terhadap ruangan.

4) Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari

R/ Lansia sudah mengalami penurunan dalam fisik, sehingga dalam melakukan aktivitas sehari
diperlukan bantuan dari orang lainsesuai dengan yang dapat ditoleransi

5) Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi

R/ Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi lansia


DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta :
EGC, 1999.

2. Kushariyadi.2010.Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia.Jakarta : Salemba Medika

3. Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC,
1997.

4. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

5. www.google.com/file:///E:/ASKEP%20GERONTIK/DIABETES%20MELITUS/askep-gerontik-diabetes-
melitus.html

Anda mungkin juga menyukai