Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA KASUS REMOVAL ORIF IMPLANT


RADIUS ULNA

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An

Diajukan Oleh:
Daisa Rosiana
J510165017

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

LEMBAR PENGESAHAN
GENERAL ANESTESI PADA KASUS REMOVAL ORIF IMPLANT RADIUS
ULNA
CASE REPORT

Diajukan Oleh :
Daisa Rosiana
J510165017
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal 24 Desember 2016

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :


dr. Dona Dewi N (.................................)

BAB I
PENDAHULUAN
Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit
inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai
satu atau lebih mukosa sinus paranasal dan disertai dengan timbulnya masa lunak
bertangkai, berwarna putih keabu-abuan, jernih, mengandung cairan yang dapat
tumbuh secara tunggal maupun bergerombol pada mukosa hidung dan sinus
paranasal (Budiman dan Asyari, 2012).
Rinosinusitis kronik dikelompokkan lagi menjadi rinosinusitis kronik
dengan polip hidung dan tanpa polip hidung. Definisi tersebut di atas menekankan
bahwa sinusitis pada umumnya disertai terjadinya inflamasi mukosa hidung dan
sinus paranasal secara bersamaan. Oleh karena itu menurut European of
Allergology and Clinical Immunology Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps, penggunaan kata rinosinusitis lebih disarankan daripada sinusitis
(Fokkens et al, 2007).
Penyebab terjadinya rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial meliputi
faktor penjamu (host) baik sistemik maupun lokal, faktor mikrobial dan faktor
lingkungan (Fokkens, 2012 ; Singh & Tiwari, 2014). Rinosinusitis umumnya
dimulai karena adanya inflamasi pada mukosa hidung terutama daerah kompleks
osteomeatal atau inflamasi pada mukosa sinus sehingga menyebabkan tertutupnya
ostium sinus paranasal. Tertutupnya ostium sinus paranasal mengakibatkan
terganggunya ventilasi udara dan aliran selimut mukus sehingga terjadi absorbsi
oksigen pada ruang sinus yang menyebabkan tekanan negatif dan hipoksia pada
ruang sinus, akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
angiogenesis yang mengakibatkan transudasi, berkurangnya kekentalan selimut
mukus sehingga kecepatan aliran mukus menurun dan berhenti sama sekali, dan
menjadi media pertumbuhan kuman yang cukup baik. Tatalaksana pembedahan
yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain : bedah sinus endoskopi fungsional
dan operasi sinus terbuka, seperti operasi Caldwell-Luc, etmoidektomi eksternal,
trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus (Singh & Tiwari, 2014)..
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Anestesi umum meliputi: menghilangkan nyeri, tidak
sadar, amnesia, reversibel, dapat diprediksi, sinonim dengan narkose. Intubasi
trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita
suara dan bifukasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya ialah mejaga
patensi jalan napas oleh sebab apapun, mempermudah ventilasi positif dan
oksigen, pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi (Latief et al., 2007).
BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. D
No.RM : 36.XX.XX
Jenis Kelamin : Laki-laki
Masuk Tgl : 7 desember 2016
Agama : Islam
Alamat : Sidomulyo dawung

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Paien datang ke RSUD Karanganyar untuk melakukan

pelepasan pin.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke RSUD Karanganyar untuk melakukan pelepasan pin,
karena 1 tahun yang lalu pasien mengalami kecelakaan motor, dengan
posisi jatuh dengan tumpuan tangan yang mengakibatkan tangan kanan
dan kiri patah sehingga dilakukan operasi. Saat jatuh kepala pasien tidak
terbentur dan pasien tidak merasakan pusing mual dan muntah

Anamnesis Sistemik
Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Abdomen : Diare (-), kembung (-), konstipasi (-)
Urologi : BAK (+) dan BAB(-), panas (-)
Muskolo : Nyeri ditangan dan kaki (+)

 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit yang sama : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Mondok : 1 tahun yang lalu operasi
orif
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Diabetes : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Diabetes : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

 Riwayat Operasi dan Anestesi


Riwayat operasi ORIF 1 tahun yang lalu.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Fisik
1) Status Generalis
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign : - Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
- Frekuensi Nadi : 74x/ menit
- Suhu : 36,5 o C
- Berat Badan : 65 kg
- Tinggi badan 172 cm
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
dipsneu ( -),
Hidung : Deviasi (-/-), hidung tersumbat (-), nyeri pada
hidung (-), pernapasan cuping hidung (-)
Leher : Retraksi supra sterna (-), peningkatan JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-)

Thoraks

Inspeksi : simetris kanan dan kiri, tidak ada nafas tertinggal


Palpasi : tidak nyeri, Vokal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Aukultasi : vesikuler seluruh lapang paru, rhonki (-) wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat


Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bj I dan II murni reguller
Abdomen

Supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba

Ekstremitas : Oedem :

Pemeriksaan penunjang

1. Rontgent

Kesan hasil Radiologi : terdapat orif implant di radius dan ulna


dextra et sinistra

2. Laboratorium
Darah Rutin Nilai Nilai normal satuan
Hb 13,4 12.00 – 16.00 g/dL
Ht 41,5 37 – 47 Vol%
Leukosit 7,10 5,0 – 10,0 10^3/uL
Trombosit 225 150 – 300 mm3
Eritrosit 4,92 4,50 – 5,50 10^6/uL
MCV 84,3 82 – 92 fL
MCH 27,2 27 – 31 Pg
MCHC 32,3 32-37 g/dL
Gran 56,1 50-70,0 %
Limfosit 40,1 25,0– 40,0 %
Monosit 2,3 3,0 – 9,0 %
Eosinofil 1,2 0 ,5–5,0 %
Basofil 0,3 0,0-1,0 %
Clotting Time 04”00”” 2-8 Menit
Bleeding Time 02”00”” 1-3 menit
GDS 103 70 – 150 mg/dL
creatinin 1,00 0,5-0,9 mg/dL
ureum 33 10-50 mg/dL
HbsAg NR NR

Kesan hasil laboratorium : dalam batas normal

IV. DIAGNOSIS
Removal orif implant. Fraktur Radius ulna dextra et sinistra

V. TERAPI
Pro Operasi Removal Implant dengan General Anestesi

VI. KONSUL ANESTESI


Seorang laki-laki usia 19 tahun dengan diagnosis fraktur radius ulna dextra
et sinistra yang akan dilakukan tindakan operasi Removal orif implant
pada tanggal 8 Desember 2016. Hasil laboratorium dan Vital sign
terlampir.
Derajat ASA : II
Rencana tindakan anestesi : General anestesi tindakan face mask

VII. LAPORAN ANESTESI


Nama : Tn. D
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 19 Tahun
No RM : 36.XX.XX
Premedikasi : Granisetron, fentanyl, midazolam
Diagnosa pra bedah : Post Orif pada fraktur radius ulna dextra et sinistra
Diagnosa pasca bedah : Removal orif implant. Fraktur Radius ulna dextra
et sinistra
Anestesi : General anestesi
Induksi : Recofol
Pemeliharaan : O2, N20, sevofluran
Ijin operasi : sudah (+)
Tanggal operasi : 8 Desember 2016
Jenis operasi : orthoe
Anestesi : GA teknik face mask
Jumlah cairan : Infus Ringel Laktat 500cc
Hemoglobin : 13,4 gr/dL
Temperatur : 36,50C,
TD : 120/70 mmHg
Keadaan pernapasan : frekuensi 20x/menit, dan volume napas cukup
Keadaan gizi : kesan baik

VIII. TATA LAKSANA ANESTESI

a. Diruang Persiapan
1) Informed Consent / Persetujuan operasi tertulis ( + )
2) Pasien puasa 6-8 jam pre-operasi
3) Pasien di pasang infus
4) Cek obat dan alat anestesi
5) Posisi terlentang
6) Infus RL 30 tpm
b. Jenis Anestesi: General Anestesi dengan face mask
c. Di ruang Operasi
a. Jam 08.00 pasien masuk kamar operasi, Oxymetri, monitor dipasang,
HR : 740x/m, Saturasi Oksigen : 99%.O2,N2O,dan agent
(sevoflurane) sudah disiapkan. Menyiapkan face mask. Obat
premedikasi dimasukan melalui IV line.
- Granisetron inj. 1 mg/ml (4ml)
- Fentalyn Inj. 50 µg/ml (2ml)
- Midazolam 5mg/ml (5ml)
b. Jam 08.15 dilakukan induksi dengan Propofol 90 mg, segera kepala
diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan O2 6
l/menit. Setelah terpasang baik dihubungkan dengan mesin anestesi
untuk mengalirkan N2O dan O2. N2O mulai diberikan 3L dengan O2 3
L /menit untuk memperdalamkan anestesi, bersamaan dengan ini
sevofluran dibuka sampai 3% dan sedikit demi sedikit ( sesudah
setiap 5-10 kali tarik nafas) diturunkan dengan 1,5% sampai 2 %
tergantung reaksi dan besar tubuh penderita. Kedalaman anestesi
dinilai dari tanda-tanda mata (reflek bulu mata), nadi tidak cepat dan
posisi tubuh terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah.
c. Jam 08.20 operasi dimulai dan tanda vital serta saturasi oksigen
dimonitor tiap 15 menit.
d. Jam 9.00 operasi selesai penderita dipindah ke ruang recovery.
e. Setelah operasi selesai agent, N2O, dan O2 kita tutup (matikan).
Pemberian oksigen recovery. Setelah itu airway masuk dengan
memasang sungkup untuk memberikan O2, kita tunggu sampai
pasien dipindahkan dari meja operasi ke tempat tidur pasien dan ke
ruang pemulihan (recovery room).
Monitoring Selama Anestesi.
Jam Tensi Nadi SaO2 Keterangan

08.00 120/70 74 99% Masuk ruang operasi, infuse RL 500cc, obat


premedikasi dimasukan melalui IV line

08.15 120/70 74 98% Induksi Recofol 90 mg dan


pemasanganJackson rees

08.20 120/70 76 99% Operasi dimulai

08.30 125/70 78 99% Kondisi pasien stabil

08.45 125/76 78 99% infus RL diganti Tuthofusion

09.00 120/80 78 99% Operasi selesai, pasien diberikan oksigenasi

09.05 120/80 76 99% Pasien dipindahkan ke ruang recovery

Intake Cairan :
- RL
- Tuthofusion
1. Recovery Room
Pasien masuk Ruang RR pukul 09.05 dalam posisi supine
(terlentang) dengan kepala ekstensi, pasien mengantuk, monitoring tanda
vital serta saturasi O2 dan diberikasn O2 3 liter/ menit kanul nasal.
Nadi : 76x/m, RR : 20x/m, Suhu : 36,5˚C. Jam 09.30 pasien sadar penuh
dan dipindah ke bangsal.

Monitoring Recovery Room


Lockharte/Aldrete Score
Tanda Kriteria Score
Gerakan  Dapat menggerakan keempat ekstremitas 2
 Dapat menggerakan kedua ekstremitas 1
 Tidak dapat menggerakan ekstremitas 0
Pernafasan  Bernapas dalam dan kuat serta batuk 2
 Bernapas berat atau dispneu 1
 Perlu bantuan nafas atau apneu 0
Tekanan  Sama dengan nilai awal +20% 2
darah  Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1
 Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0
Kesadaran  Sadar penuh 2
 Tidak sadar, aada reaksi terhadap 1
rangsang 0
 Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap
rangsangan
Warna  Merah 2
kulit  Pucat, ikterus, dan lain-lain 1
 Sianosis 0
Pasien dapat keluar dari Recovery Room apabila sudah mencapai
skor Aldrete >8(delapan).Pada pasien ini, didapatkan skor 9. Skor 9
didapatkan dari :
1. Dapat menggerakkan kedua ekstremitas (1)
1. Bernapas dalam dan kuat (2)
2. Tekanan darah sama dengan awal +20% (2)
3. Kesadaran sadar penuh (2)
4. warna kulit merah (2)
Dengan skor 9 ini, pasien dapat dipindahkan dari ruang recovery
ke ruangan (bangsal Kantil 2) RSUD Karanganyar.
2. Intruksi pasca anestesi
 Posisi supine dengan oksigen 3 liter/ menit
 Kontrol vital sign jika TD < 100 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin
 Bila muntah diberikan granisetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik
 Lain – lain
- Antibiotik sesuai Orthopedi
- Analgesik sesuai Orthopedi
- Puasa sampai dengan flatus
- Post operasi, cek Hb. Bila Hb< 10mg/dl transfusi sampai Hb ≥
10
- Kontrol balance cairan
- Monitor vital sign
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fraktur
1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas struktur
tulang. Patahan tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pergisutan,
perimpilan korteks, biasanya patahan itu lengkap dan fragmentulang
bergeser. Kalau kuliat diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur
tertutup (atau sederhana), kalaukulit atau dari salah satu rongga tubuh
tertembus, keadaan ini disebut fraktur terbuka (compound), yang
cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi (Apley, 1995).

2. Penyebab Fraktur
Tulang bersifat relative rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan tekanan, fraktur dapat terjadi akibat:
a. Peristiwa trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba- tiba
dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran,
penekukan, pemuntiran, atau penarikan.
b. Fraktur kelelahan atau tekanan
Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau
metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan
berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu
lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau itu sangat rapuh (misalnya
pada penyakit paget)
Daya pemuntiran menyebabkan fraktur spiral pada kesua tulang
kaki dalam tingkat yang berbeda, daya angulasi menimbulkan
fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya pada tingkat yang
sama. Pada cederak taklangsung, salah satu dari fragmen tulang
dapat menembus kulit, cedera langsung akan menembus atau
merobek kulit diatas fraktur. (Apley, 1995)

3. Tanda dan gejala


Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut smeltzer& bare (2002)
antara lain:
a. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti:
1) Rotasi pemendekan tulang
2) Penekanan tulang
b. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
c. Ekimosis dari perdarahan subcutaneous
d. Spasme otot, spasme involunters dekat fraktur
e. Tenderness
f. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya, Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari
rusaknya saraf/perdarahan).
g. Pergerakan abnormal
h. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
i. Krepitasi

4. Klasifikasi
1. Berdasarkan sifat fraktur
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/ compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit,
fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat , yaitu:
1) Derajat I
a) Luka kurang dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka
remuk
c) Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan
d) Kontaminasi ringan
2) Derajat II
a) Laserasi lebih dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
c) Fraktur komuniti sedang
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi
struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat
tinggi (Apley, 1995).

2. Berdasarkan komplit atau tidak komplit fraktur:


a. Fraktur complete, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang.
b. Fraktur incomplete, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang (Apley, 1995).
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma, fraktur terbagi menjadi:
a. Fraktur transversal : fraktur yang arahnya melintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung
b. Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya
membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi
c. Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi
d. Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang kearah permukaan lain
e. Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena tarikan atau traksi
otot pada insersi nya tulang (Dorr, 1996).
f.
4. Berdasarkan jumlah garis patah
a. Fraktur komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu
dan saling berhubungan
b. Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubungan
c. Fraktur multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama ( Kennet, 2006)
5. Berdasarkan pergeseran fregmen tulang:
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periostium masih utuh
b. Fraktur displaced ( bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
1) dislokasi ad longitudinem cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping)
2) dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
3) dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh) (Kennet, 2006).
6. Berdasarkan posisi fraktur:
a. 1/3 proximal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal (Apley, 1995).
7. Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekanan yang berulang- ulang
(Kennet, 2006).
8. Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang (Kennet, 2010)

5. FRAKTUR RADIUS ULNA

Pada ulna dan radius sangat penting gerakan-gerakan pronasi dan


supinasi. Untuk mengatur gerakan ini diperlukan otot-otot supinator,
pronator teres, dan pronator kuadratus. Yang bergerak supinasi-pronasi
(rotasi) adalah radius. Umumnya trauma yang terjadi pada antebrachii
adalah trauma langsung, dimana radius dan ulna patah satu level yaitu
biasanya pada 1/3 tengah dan biasanya garis patahnya tranversal. Tetapi
bisa pula terjadi trauma tak langsung yang akan menyebabkan level garis
patah pada radius dan ulna tak sama dan bentuk garis patahnya juga dapat
berupa oblique atau spinal.

6. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition

berupa diagnosis dan penilaian fraktur, reduction, retention dengan

imobilisasi, dan rehabilitation yaitu mengembalikan aktifitas fungsional

semaksimal mungkin. Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan

imobilisasi fraktur dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian

distal harus diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan

imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan

stabilisasiawal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil.

Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan

gips atau dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.


BAB IV
KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien terdiagnosa sinusitis kronis. Dilakukan operasi


CWL menggunakan anestesi umum (General Anestesi) dengan intubasi
endotracheal tube ukuran 7,5 dengan obat-obatan premedikasi dan anestesi
intravena maupun inhalasi yang sesuai. Dalam operasi CWL ini menggunakan
General Anestesi dikarenakan General Anestesi menghilangkan rasa sakit seluruh
tubuh secara sentral dan juga memblock nervus vagus (saraf simpatis).
Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah midazolam, fentanyl,
granisetron. General Anestesi diinduksi dengan Propofol yang merupakan obat
hipnotik intravena diisopropilfenol yang menimbulkan induksi anenstesi yang
cukup dengan aktivitas eksitasi yang maksimal. kemudian diberi rumatan anestesi
dengan N2O, O2, dan sevofluran. Dengan maintenance cairan menggunakan
tutofusin. Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakea antara pita suara dan bifukasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan
umumnya ialah mejaga patensi jalan napas oleh sebab apapun, mempermudah
ventilasi positif dan oksigen, pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, B. J., Asyari A. 2012. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis


Dengan Polip Nasi. Padang : Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
Busquets JM, Hwang PH. 2006. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification,
diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head &
Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, p. 406-416.
Dobson BM Dharma A. 2012. Penuntun praktis anestesiologi. Bagian
anestesiologi dan terapi intensif fakultas kedokteran universitas indonesia.
Jakarta.
Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. 2012. European position paper on
rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, ; 45(suppl 20): 1-139.
Latief, S. Dkk. 2010. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi II. Cetakan ke 5.
Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Mulyono I, Harijanto E, Sunatrio S. Cairan Koloid. Panduan Tatalaksana terapi
Cairan Perioperatif. Perhimpunan Dokter Spesialis Anesetesiologi Dan
Reanimasi Indonesia. 2009 : 120-30
Singh,V., Tiwari, K. M. 2014. An Update Of Rhinosinusitis. Online J
Otolaryngol. 4(1): 27-47
Staikūnienė,J., Vaitkus, S., Japertienė, L. M., Ryškienė S. 2008. Association of
Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps and Asthma:Clinical and
Radiological Features, Allergy and Inflammation Markers. Kaunas University
of Medicine, Lithuania. Medicina (Kaunas); 44(4). p257- 265
Soenarjo,dkk. Teknik Anestesi Spinal dan Epidural. In: Soenarjo, Heru Dwi
Jatmiko (eds.)Anestesiologi. 1st ed. Semarang: Ikatan Dokter Spesialis
Anestesi dan Reanimasi Cabang Jawa - Tengah ; 2010. p325 – 326
Soepardi, EA, Dkk. 2007. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan
kepala dan leher. Edisi keenam. Fakultas kedokteran universitas Indonesia.
Jakarta
Tjokronegoro A, utama H. Pentalaksanaan penyakit dan Kelainan Telinga hidung
tenggorokan. 2003. FK UI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai