Anda di halaman 1dari 51

Skenario 1

Seorang perempuan, usia 20 tahun mengeluh perdarahan dari vagina tanpa


disertai kontraksi. Pasien mengeluhkan nyeri perut sejak 1 hari. Haid terakhir
yang lalu, namun 3 minggu setelah haid terakhir, keluar perdarahan dari jalan
lahir tetapi hanya flek-flek selama 2 hari. Siklus haid sebelumnya teratur, lamanya
5-7 hari. Pasien juga mengeluh payudaranya membengkak dan badannya lemas
terutama pada pagi hari. Riwayat jatuh dan minum obat-obatan disangkal.
Riwayat penyakit jantung, darah tinggi, diabetes, alergi dan asma disangkal.

Trigger I
HPM : 10/2/2016
Pemeriksaan fisik : Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88x/menit
Respiratory rate : 20x/menit
Suhu : 36,7 C
Cervix sign :+
Ballotement test :+
Tes darah :+
Trigger II
Hb : 11
Leukosit : 11.000/ml
Trombosit : 165.000
Tes kehamilan
- Hegar test :+
- Chedwick :+
- OUI :+
- HCG (test peck) : +

1
I. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus
disertai pelepasan dari endometrium selama 28 hari
(Prawirohardjo, 2005).
2. Vagina adalah saluran yang berotot dan dapat teregang yang
menghubungkan uterus dengan lingkungan eksternal (Sherwood,
2011).

II. IDENTIFIKASI MASALAH


1. Mengapa terjadi perdarahan pervagina ?
2. Mengapa pasien mengalami nyeri perut tanpa kontraksi ?
3. Mengapa pasien mengeluarkan flek-flek selama 2 hari ?
4. Mengapa pasien mengeluh payudara membengkak dan lemas pagi
hari?
5. Bagaimana hubungan riwayat perokok pasif dengan keluhan?
6. Bagaimana siklus menstruasi secara teratur ?

III. ANALISIS MASALAH


1. Mengapa terjadi perdarahan pervagina ?
Perdarahan pervagina dapat terjadi karena merupakan
kondisi fisiologis dan patologis. Perdarahan pervagina yang
termasuk fisiologis adalah haid yang merukana ciri kedewasaan
wanita dengan adanya perubahan perubahan siklus pada alat
kandungan dengan persiapan untuk kehamilan. Sedangkan yang
termasuk kondisi patologis adalah pada kejadian, abortus,
kehamilan ektopik terganggu, mola hidatidosa (Cunningham,
2012).
Haid atau mestruasi termasuk perdarahan pervagina
fisiologis. Secara fisilogis wanita mempunyai hormone Gnrh yang

2
di sekresi oleh hipotalamus, hormone tersebut akan merangsang
pelepasan hormone FSH dan LH oleh hipofisis anterior. Hormone
FSH akan mengakibatkan penebalan pada folicel, sehingga ketika
folikel nya menebal mengakibatkan pelepasan hormone estrogen,
hormone tersebut akan merangsang LH untuk membantu ovulasi.
Sel telur ada dua macam, sel telur yang matur dan imatur. Sel telur
yang matur akan berjalan ke tuda paluvi dan akhirnya akan menuju
ke uterus yang akan menempel pada bagian endometrium, ketika
tidak ada pembuahan akhirnya sel telur ini akan luruh sehingga
dinding dari endometrium yang tadinya tergang dan elastis akan
menurun menyebabkan hormone estrogen dan progresteron
menurun. Hormone estrogen berguna untuk membuat dinding
endometrium meregang dan progesterone menyebabkan dinding
endometrium menjadi elastis. Sehingga ketika tidak terjadi
pembuahan akan keluar flek dari jalan lahir yang tanpa disertai
kontraksi. Sedangkan sel telur yang imatur akan tetap ada dalam
ovarium yang selanjutnya jika telah matur akan berjalan seperti
siklus diatas (Cunningham, 2012).
Terdapat beberapa etiologi dari perdarahan vagina salah
satunya adalah sebab fungsional yang menyebabkan perdarahan
uterus disfungsional. Perdarahan dari uterus yang tidak ada
hubungannya dengan sebab organik, dinamakan perdarahan
disfungsional. Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap
umur antara menarche dan menopause. Tetapi kelainan inui lebih
sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungí
ovarium (Winkjosastro, 2010).
Dua pertiga wanita dari wanita-wanita yang dirawat di
rumah sakit untuk perdarahan disfungsional berumur diatas
40tahun, dan 3 % dibawah 20 tahun. Sebetulnya dalam praktek
dijumpai pula perdarahan disfungsional dalam masa pubertas, akan

3
tetapi karena keadaan ini biasanya dapat sembuh sendiri, jarana
diperlukan perawatn di rumah sakit (Winkjosastro, 2010).
Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD)
a) Definisi
Perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan
uterus abnormal yang terjadi di dalam maupun di luar
siklus haid, yag semata-mata disebabkan gangguan
fungsional mekanisme kerja hipotalamus-hipofisis-
ovarium-endometrium tanpa kelainan organik alat
reproduksi. PUD paling banyak dijumpai pada usia
perimenars dan perimenopause (Mansjoer, 2000).
b) Etiologi
Pada usia perimenars, penyebab paling mungkin
adalah faktor pembekuan darah dan gangguan psikis
(Mansjoer, 2000).
c) Patofisiologi
PUD dapat terjadi pada siklus ovulatorik,
anovulatorik maupun keadaan folikel persisten. Pada siklus
ovulatorik, perdarahn terjadi karena kadar estrogen rendah.
Siklus anovulatorik dipengaruhi keadaan defisiensi
progesteron dan kelebihan estrogen. Folikel persisten sering
dijumpai pada perimenapouse. Jenis ini sering menjadi asal
keganasan ndometrium. Setelah folikel tidak mampu lagi
membentuk estrogen, akan terjadi perdarahann lucut
estrogen (Mansjoer, 2000).
d) Diagnosis
Langkah pertama adalah menyingkirkan kelainan
organik. Pada anamnesis, perlu diketahui usia menars,
siklus haid setelah menars, lama dan jumlah darah haid,
serta latar belakang kehidupan keluarga dan latar belakang
emosionalnya (Mansjoer, 2000).

4
e) Pada pemeriksaan fisik umum dinilai adanya
hipo/hipertiroid dan gangguan hemostasis seperti petekie.
pemeriksaan ginekologi dilakukan untuk menyingkirkan
adanya kelainan organik seperti perlukaan genitalia,
erosi/radang atau polip serviks, maupun mioma uteri.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pengukuran suhu basal
badan atau pemeriksaan hormon FSH dan LH (Mansjoer,
2000).
f) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah biopsi endometrium (pada wanita yang sudah
menikah), laboratorium darah dan hemostasis, USG, serta
radio immuno assay (Mansjoer, 2000).
g) Penatalaksanaan
Pada usia perimenars, pengobatan hormonal perlu bila:
a. Tidak dijumpai kelainan organik maupun kelainan
darah.
b. Gangguan terjadi selama 6 bulan atau 2 tahun setalh
menars belum dijumpai siklus haid yang berovulasi.
c. Perdarahan yang terjadi sampai membuat keadaan
umum memburuk.
Diberikan progesteron secara siklik dari hari ke-16 sampai
25 siklus haid selama 3 bulan. Setelah itu dilihat apakah
perdarah berulang lagi dan apakah telah terjadi ovulasi. Bila
setelah 6 bulan pengobatan tetap tidak terjadi ovulasi, maka
dipikirkan pemberian obat-obat pemicu ovulasi seperti
klomifen sitrat, epimestrol, atau hormon gonadotropin
(Mansjoer, 2000).

5
2. Mengapa pasien mengalami nyeri perut tanpa kontraksi ?
Cara kerja saraf simpatik dan parasimpatik adalah
antagonis, dimana saraf simpatik menimbulkan kontraksi dan
vasokonstriksi. Sedangkan parasimpatik mencegah terjadinya
kontraksi dan vasodilatasi. Pada kasus terjadi tidak ada kontraksi
sehingga memungkinkan saraf yang bekerja adalah parasimpatik.

3. Mengapa pasien mengeluarkan flek-flek selama 2 hari ?


Karena proses implantasi dimana sel telur yang berhasil
dibuahi berjalan ke tuba fallopi kemudian menempel di dinding
rahim. Menempelnya di dinding rahim diserta dengan perdarah
yang disebabkan oleh rusaknya pembuluh darah yang menempel
pada sel telur di dinding rahim (Prawirohardjo, 2010).

4. Mengapa pasien mengeluh payudara membengkak dan lemas pagi


hari ?
Berkaitan dengan produksi hormone esterogen dan
progesterone yang berdampak pada susunan jaringan penyusun,
vasa limfatica, dan stroma payudara (Prawirohardjo, 2010).
Estrogen untuk perkembangan stroma payudara,
melunakkan serviks, memberi feed back negative pada FSH.
Progesterone :memperbanyak folikel payudara, merangsang
penebalan endometrium pada awal kehamilan, pada usia kehamilan
yang lama hormone ini juga dihasilkan oleh plasenta
(Prawirohardjo, 2010).
Payudara tegang /membengkak terjadi karena hormon
estrogen meningkatkan perkembangan sistem duktus pada
payudara, sedangkan progesteron menstimulasi perkembangan
sistem alveolar payudara. Bersama somatomamotropin, hormon-
hormon ini menimbulkan pembesran payudara, menimbulkan
perasan tegang dan nyeri selama dua bulan pertama kehamilan,

6
pelebaran puting susu, serta pengeluaran kolostrum (Prawirohadjo,
2009).
Sedangkan lemas dipagi hari terjadi karena menurunnya
Basal Metabolic Rate (BMR), namun dengan bertambahnya usia
kehamilan BMR juga akan meningkat (Cunningham, 2012).

5. Bagaimana hubungan riwayat dan perokok pasif dengan keluhan?


Diperkirakan 1-10% malformasi janin adalah akibat dari
paparan obat, bahan kimia atau radiasi yang umumnya akan
berakhir dengan abortus. Faktor-faktor yang terbukti berhubungan
dengan peningkatan insiden abortus adalah merokok, alkohol dan
kafein (Prawirohadjo, 2009).
Merokok telah dipastikan dapat meningkatkan risiko
abortus euploid. Wanita yang merokok lebih dari 14 batang per
hari, risiko abortus adalah 2 kali lipat dari risiko pada wanita yang
tidak merokok. Rokok mengandung ratusan unsur toksik antara lain
nikotin yang mempunyai sifat vasoaktif sehingga menghambat
sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurukan
pasokan oksigen ibu dan janin dan dapat mamacu neurotoksin.
Meminum alkohol pada 8 minggu pertama kehamilan dapat
meningkatkan risiko abortus spontan dan anomali fetus. Kadar
abortus meningkat 2 kali lipat pada wanita yang mengkonsumsi
alkohol 2 kali seminggu dan 3 kali lipat pada konsumsi tiap-tiap
hari dibandingkan dengan wanita yang tidak minum
(Prawirohadjo, 2009).
Mengkonsumsi kafein sekurangnya 5 gelas kopi perhari
atau 500mg caffiene satu hari dapat sedikit menambah risiko
abortus dan pada mereka yang meminum lebih dari ini, risikonya
meningkat secara linier dengan tiap jumlah tambahan gelas kopi.
Pada penelitian lain, wanita hamil yang mempunyai level

7
paraxantine (metabolit kafine), risiko abortus spontan adalah 2 kali
lipat daripada control (Prawirohadjo, 2009).

6. Bagaimana siklus menstruasi secara teratur ?


Siklus menstruasi normal dapat dibagi menjadi 2 segmen yaitu,
siklus ovarium (indung telur) dan siklus uterus (rahim). Siklus
ovarium terbagi lagi menjadi 2 bagian, yaitu siklus folikular dan
siklus luteal, sedangkan siklus uterus dibagi menjadi masa
proliferasi (pertumbuhan) dan masa sekresi. Perubahan di dalam
uterus merupakan respon terhadap perubahan hormonal. Uterus
terdiri dari 3 lapis yaitu perimetrium (lapisan terluar), miometrium
(lapisan otot, terletak di bagian tengah), dan endometrium (lapisan
paling dalam). Endometrium adalah lapisan yang berperan di
dalam siklus menstruasi. 2/3 bagian endometrium disebut desidua
fungsionalis yang terdiri dari kelenjar, dan 1/3 bagian terdalamnya
disebut sebagai desidua basalis. Sistem hormonal yang
mempengaruhi siklus menstruasi adalah :
FSH-RH (follicle stimulating hormone releasing hormone) yang
dikeluarkan oleh hipotalamus yang berfungsi merangsang hipofisis
untuk mengeluarkan FSH.
LH-RH (luteinizing hormone releasing hormone) yang dikeluarkan
oleh hipotalamus untuk merangsang hipofisis untuk mengeluarkan
LH.
PIH (prolactine inhibiting hormone) yang menghambat hipofisis
untuk mengeluarkan prolaktin (Guyton,2007).

8
Gambar 1 Siklus Hormonal Pada setiap siklus menstruasi, FSH
yang dikeluarkan oleh hipofisis merangsang perkembangan folikel-
folikel di dalam ovarium.
Pada umumnya hanya 1 folikel yang terangsang namun
dapat juga mengalami perkembangan sehingga bisa menjadi lebih
dari 1, dan folikel tersebut berkembang menjadi folikel de graaf
yang membuat estrogen. Estrogen ini menekan produksi FSH,
sehingga hipofisis mengeluarkan hormon yang kedua yaitu LH.
Produksi hormon LH dan FSH barada di bawah pengaruh releasing
hormones yang disalurkan hipotalamus ke hipofisis. Penyaluran
RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap
hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang
baik akan menyebabkan pematangan dari folikel de graaf yang
mengandung estrogen. Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dari
endometrium. Di bawah pengaruh LH, folikel de graaf menjadi
matang sampai terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terjadi, dibentuklah
korpus rubrum yang akan menjadi korpus luteum, di bawah
pengaruh hormon LH dan LTH (luteotrophic hormones, suatu
hormon gonadotropik). Korpus luteum menghasilkan progesteron
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kelenjar endometrium.
Bila tidak ada pembuahan maka korpus luteum berdegenerasi dan

9
mengakibatkan penurunan kadar estrogen dan progesteron.
Penurunan kadar hormon ini menyebabkan degenerasi, perdarahan,
dan pelepasan dari endometrium. Proses ini disebut haid atau
menstruasi. Apabila terdapat pembuahan dalam masa ovulasi,
maka korpus luteum tersebut dipertahankan (Guyton,2007).
Siklus menstruasi normal dapat dibagi menjadi 2 segmen yaitu,
siklus ovarium (indung telur) dan siklus uterus (rahim). Siklus
ovarium terdiri dari :
1. Fase folikular
Pada fase ini hormon reproduksi bekerja mematangkan sel
ovum yang berasal dari 1 folikel kemudian matang pada
pertengahan siklus dan siap untuk proses ovulasi. Waktu
rata-rata fase folikular pada manusia berkisar 10-14 hari,
dan variabilitasnya mempengaruhi panjang siklus
menstruasi keseluruhan.
2. Fase luteal
Fase luteal adalah fase dari ovulasi hingga menstruasi
dengan jangka waktu rata-rata 14 hari.
Siklus endometrium dikenal 3 fase utama yaitu :
1. Fase proliferasi
Berlangsung mulai dari berhentinya darah menstruasi
sampai hari ke-14. Setelah menstruasi berakhir, dimulailah
fase proliferasi dimana terjadi pertumbuhan dari desidua
fungsionalis untuk mempersiapkan uterus untuk perlekatan
janin. Pada fase ini endometrium tumbuh kembali. Antara
hari ke-12 sampai ke-14 dapat terjadi pelepasan sel ovum
dari ovarium yang disebut ovulasi.

2. Fase sekresi
Fase sekresi adalah fase sesudah terjadinya ovulasi.
Hormon progesteron dikeluarkan dan mempengaruhi

10
pertumbuhan endometrium untuk membuat kondisi uterus
siap untuk implantasi (perlekatan janin ke uterus).
3. Fase menstruasi
Berlangsung 2-8 hari. Pada fase ini endometrium
dilepaskan sehingga timbul perdarahan dan hormon-
hormon ovarium berada dalam kadar paling rendah
(Guyton,2007).

11
IV. SKEMA
a. LAMPIRAN I

12
V. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang anatomi
organ reproduksi
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang fisiologi
organ reproduksi (menstruasi, spermatogenesis, oogenesis)
3. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang kehamilan
trimester 1
4. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang Kehamilan
Ektopik Terganggu
5. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang Mola
Hidatidosa
6. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang Abortus

VI. BELAJAR MANDIRI

VII. BERBAGI INFORMASI


1. Anatomi organ reproduksi
Anatomi pelvis
- Os koksa ( os ilium,os iskium,os pubis )
- Os sacrum
- Os koksigis
Artikulasi :
- Simfisis
- Sakroiliaka
- sakrokoksigea

13
Bidang hodge:

Perlu diperhatikan ketika pengukuran conjungtiva diagonalis:


▪ Promontorium teraba / tidak

▪ Linea terminalis teraba seberapa banyak

▪ Dinding pelvis sejajar / tidak

▪ Spina iskiadika menonjol / tidak

▪ Kelengkungan sakrum cukup / tidak

▪ Mobilitas Os Koksigeus cukup / tidak

▪ Arkus pubis > / < 90

14
Pintu Atas Panggul

Batas :

- Permukaaan atas bagian belakang simfisis

- Krista pubika

- Tonjolan pektineal

- Linea iliopektinalis

- Sendi sakroiliaka

- Promontorium

Pintu Bawah Panggul


Pintu keluar anatomik : teridiri 2 bidang yang bersekutu garis
kedua tuberositas iskium, dg batas :
- batas terbawah simfisis

- tuberositas iskium

- koksigis

Hubungan Janin dengan Jalan Lahir:


 Sikap (habitus)
Menunjukkan hubungan bagian-bagian janin satu sama lain
 Letak (situs)

Menunjukkan hubungan sumbu janin dengan sumbu jalan lahir.


Kedua sumbu //  letak memanjang.
 Presentasi dan bagian terbawah

Presentasi menunjukkan bagian janin yg tdpt di bagian


terbawah jalan lahir. Bagian janin yang terbawah menyebutkan
presentasi janin tersebut
 Presentasi Kepala
Sikap kepala terhadap badan janin.

15
Fleksi maksimal  bagian terbawah = belakang kepala (belakang
kepala).
Defleksi maks  bag terbawah = muka (pres. muka)
Presentasi sinsiput  bagian terbawah = UUB
Presentasi dahi  bag terbawah dahi
 Presentasi Bokong
Kedua tungkai lurus disamping badan (extended legs) 
bokong terbawah (pres. bokong / frank breech presentation)

2. Fisiologi organ reproduksi


A. Menstruasi
Menstruasi pada wanita terdapat dua siklus yaitu,
Siklus Ovarium dan Siklus Endometrium. Siklus Ovarium
adalah siklus yang terjadi pada ovarium, sedangkan siklus
endometrium adalah siklus yang terjadi pada uterus (Sadler,
2009).

16
1. Siklus Ovarium
a. Fase Folikular
Fisiologi menstruasi pada wanita di awali
dari pengaktifan hypothamalus yang mengeluarkan
GnRH ( Gonadotropin Releasing Hormone ) yang
akan merangsang hypofisis anterior untuk
mengeluarkan FSH ( Follicle Stimulating Hormone
). FSH akan mempengaruhi folikel pada ovarium
untuk berkembang. Setelah folikel berkembang
akan menghasilkan hormon estrogen yang di
hasilkan oleh sel theca pada folikel. Hormon
estrogen yang di hasilkan menyebabkan terjadinya
proliferasi pada endometrium. Selain itu, hormon
estrogen menstimulasi hypothalamus untuk
mengeluarkan GnRh kembali dan merangsang
hypofisis anterior untuk mengeluarkan LH (
Luteinizing Hormone ). Hormon LH bersama
hormon estrogen akan mematangkan folikel. Setelah
folikel matang ( Folikel Degraff ), akan terjadi tahap
ovulasi pada ovarium.
b. Fase Ovulasi
Ovulasi adalah keluarnya ovum dari folikel.
c. Fase Luteal
Folikel yang rusak menyebabkan turunnya
hormon estrogen secara cepat karena sel theca
mengalami kerusakan. Sisa folikel pada ovarium ini
akan berubah menjadi korpus luteum. Korpus
luteum akan menghasilkan hormon progesteron.
Hormon progesteron dan estrogen ini akan
menyebabkan penebalan pada dinding endometrium
sebagai tahap persiapan ovum di uterus. Jika ovum

17
tidak di buahi, maka korpus luteum akan berubah
menjadi korpus albicans yaitu korpus luteum yang
terdegradasi oleh makrofag. Karena rusaknya
korpus luteum ini, akan mengakibatkan penurunan
hormon estrogen dan hormon progesteron sehingga
endometrium tidak dapat mempertahankan lapisan
fungsional dan lapisan tersebut akan luruh, sehingga
terjadi menstruasi (Sadler, 2009).
2. Siklus Endometrium
a. Fase proliferasi
Kadar estrogen yang meningkat dari folikel
yang berkembang, akan merangsang endometrium
untuk mulai tumbuh dan menebal, kelenjar mejadi
hipertrofi, dan pembuluh darah meningkat (Sadler,
2009).
b. Fase Sekresi
Setelah ovulasi, di bawah pengaruh
progesteron yang meningkat dan terus
diproduksinya estrogen oleh korpus luteum,
endometrium akan semakin menebal, kelenjar
menjadi lebih besar, dan pembuluh darah semakin
banyak(Sadler, 2009).
c. Fase Menstruasi
Korpus luteum kira-kira berfungsi sampai
hari ke 23-24 dari siklus menstruasi 28 hari, dan
kemudian akan beregresi menjadi korpus albikan.
Akibatnya akan terjadi penurunan progesteron dan
estrogen yang tajam, sehingga menghilangkan
perangsangan pada endometrium, perubahan
iskemik terjadi pada arteriola, dan akan diikuti
dengan menstruasi (Sadler, 2009).

18
Fisiologi Kehamilan
Ovum yang telah keluar dari ovarium menuju ke
tuba fallopi. Di tuba fallopi ini, apabila ada sperma yang
masuk, maka akan terjadi fertilisasi. Setelah terjadi
fertilisasi, sel ovum yang telah di buahi akan berubah
bentuk menjadi morula, dan terakhir blastula. Blatocyte ini
kemudian menempel pada endometrium atau disebut proses
implantasi (Sadler, 2009).

Fertilisasi

Di awali dari perlekatan sel sperma, di mana


akrosom pada bagian kepala sperma akan keluar dan akan
mengeluarkan enzym proteolitik dan akan masuk ke ovum.
Setelah itu, akan ada penempelan reseptor sperma dan
pronukleus sperma dapat masuk. Setelah masuk akan ada
reaksi korona berupa pengerasan zona pelucida, sehingga
pronukleus sperma lain tidak dapat masuk (Sadler, 2009).

19
Implantasi

 Pada blastocyte
Pada blastocyte akan terjadi pelepasan zona
pellucida, sehingga sel trofoblast akan menempel
pada endometrium. Sel trofoblast akan
berdiferensiasi menjadi sel sinsiotrofoblast dan sel
sitotrofoblast. Di mana sel sinsiotrofoblast akan
mengeluargan HCG dan akan mempertahankan
korpus luteum menjadi korpus luteum
gravidum(Sadler, 2009).
 Uterus
Pada uterus akan terjadi persiapan berupa
terjadinya desidualisasi. Yaitu, sel – sel di
endometrium yang di sebut sel desidua akan berisi
banyak glikogen dan lipid, sehingga dapat dengan
mudah menempel dengan blastocyte(Sadler, 2009).

20
B. Spermatogenesis

Spermatogenesis diatur oleh produksi LH oleh


hipofisis. LH mengikat reseptor di sel Leydig dan
merangsang produksi testosteron, yang pada gilirannya
berikatan dengan sel Sertoli untuk mendorong
spermatogenesis. FSH berikatan dengan sel Sertoli,
sehingga merangsang pembentukan cairan testis dan
sintesis protein reseptor andogen intrasel (Sadler, 2009).
Segera sebelum pubertas, sel-sel germinativum
primordial membentuk sel tunas spermatogonia. Dari
populasi sel tunas ini muncul sel-sel dalam interval-interval
yang teratur untuk membentuk spermatogonia tipe A, dan
ini merupakan tanda dimulainya spermatogenesis. Sel tipe
A ini akan membelah secara mitosis dalam jumlah terbatas
untuk membentuk suatu klon yang akan mempertahankan
kontak selama diferensiasi. Pembelahan sel yag terakhir
menghasilkan spermatogonium tipe B yang akan membelah
membentuk spermatosit primer (Sadler, 2009).

21
Spermatosit primer akan mengalami pembelahan
meiosis I dan akan membentuk spermatosit sekunder.
Selama pembelahan meiosis II, sel-sel ini akan membentuk
spermatid haploid. Sebelum spermatid haploid menjadi
spermatozoa, akan terjadi perubahan-perubahan sebagai
berikut:
i. Pembentukan akrosom yang menutup separuh
permukaan nukleus dan mengandung enzim untuk
penetrasi telur dan lapisan disekitarnya sewaktu
fertilisasi.
ii. Pemadatan nucleus
iii. Pembentukan leher, bagian tengah, dan ekor
iv. Pengelupasan sebagian besar sitoplasma (Sadler,
2009)
Pada manusia, waktu yang diperlukan
spermatogonia untuk berkembang menjadi spermatozoa
matur adalah sekitar 74 hari, dan sekitar 300 juta sel sperma
dihasilkan setiap harinya. Jika telah terbentuk sempurna,
spermatozoa masuk ke lumen tubulus seminiferus. Dari
sini, sel ini didorong ke arah epididimis oleh elemen-
elemen kontraktil di dinting tubulus seminiferus. Meskipun
pada awalnya hanya bergerak sedikit, spermatozoa
memperoleh motilitas penuhnya di epididimis (Sadler,
2009).

22
C. Oogenesis

i. Pematangan Oosit Dimulai Sebelum Lahir


Sel germinativum primordial akan
berdiferensiasi menjadi oogonia. Sel ini akan
mengalami pembelahan mitosis sampai akhir bulan
ketiga. Sebagian besar oogonia aka terus membelah
secara mitosis, tapi sebagian diantaranya akan
terhenti pembelahnnya pada tahap profase meiosis I
dan terbentuklah oosit primer (Sadler, 2009).
ii. Pematangan Oosit Berlanjut Saat Pubertas
Mendekati kelahiran, semua oosit primer
telah memulai profase meiosis I, tetapi tidak
berlanjut ke tahap metafase melainkan masuk ke
stadium diploten, merupakan tahap istirahat selama
profase membentuk jala-jala kromatin. Oosit primer
tidak pernah menuntaskan pembelahan meiosis I
sampai masa pubertas tercapai. Keadaan tertahan ini
ditimbulkan oleh oocyte maturation inhibition

23
(OMI), peptida kecil yang diproduksi oleh sel
folikular (Sadler, 2009).
Saat pubertas dan setiap siklus ovarium,
ketika folikel primordial sudah menjadi folikel
deGraaf, meiosis akan selesai dan akan terbentuk 2
sel yang berbeda ukurannya dengan masing-masing
jumlah kromosom 23 berstruktur ganda. Dua sel
yang berbeda ukuran tersebut adalah oosit sekunder
yang mendapat sebagain besar sitoplsma, dan badan
polar yang tidak memiliki sitoplasma. Kemudian sel
mengalami pembelahan meiosis II namun terhenti
pada tahap metafase kira-kira 3 jam sebelum ovulasi
(Sadler, 2009).
Meiosis II diselesaikan hanya ketika terjadi
fertilisasi. Jika tidak terjadi fertilisasi, sel akan
didegenerasi sekitar 24 jam setelah ovulasi, dan
badan polar pertama akan mengalami pembelahan
kedua (Sadler, 2009).

3. Kehamilan trimester 1
Kehamilan matur (cukup bulan) berlangsung kira-
kira 40 minggu (280 hari) dan tidak lebih dari 43 minggu
(300 hari). Kehamilan yang berlangsung antara 28-36
minggy disebut kehamilan prematur, sedangkan apabila
lebih dari 43 minggu disebut kehamilan postmatur.
Menurut usia kehamilan, kehamilan dibagi menjadi
(Prawirohardjo, 2009).:
 Kehamilan trimester pertama : 0-14 minggu
 Kehamilan trimester kedua : 14-28 minggu
 Kehamilan trimester ketiga : 28-42 minggu

24
Gejala Kehamilan Tidak Pasti :
o Amenore
o Nausea dengan atau tanpa vomitus. Sering terjadi
pagi hari pada bulan pertama kehamilan disebut
morning sickness.
o Mengidam (menginginkan makanan atau minuman
tertentu)
o Konstipasi  Penurunan peristaltik usus oleh
hormon steroid.
o Sering kencing  kandung kemih pada bulan
pertama kehamilan tertekan uterus yang mulai
membesar. Gejala ini akan berkurang perlahan-
lahan.
o Pingsan dan mudah lelah. Pingsan sering dijumpai
bila berada di tempat ramai pada bulan-bulan
pertama kehamilan.
o Pingsan dan mudah lelah. Pingsan sering dijumpai
pada bulan-bulan pertama kehamilan, lalu hilang
setelah kehamilan 18 minggu.
o Anoreksia
Tanda Kehamilan Tidak Pasti
o Pigmentasi kulit terjadi kira-kira minggu ke-12 atau
lebih. Timbul di pipi, hidung, dan dahi dikenal
sebagai kloasma gravidarum. Terjadi karena
pengaruh hormon plasenta yang merangsang
melanofor dan kulit.
o Leukore. Sekret serviks meningkat karena pengaruh
peningkatan hormon progesteron.
o Epulis (hipertrofi papila ginggiva). Sering terjadi
pada trimester pertama kehamilan.

25
o Perubahan payudara. Payudara menjadi tegang dan
membesar karena pengaruh estrogen dan
progesteron yang merangsang ductuli dan alveoli
payudara. Daerah areola menjadi lebih hitam karena
deposit pigmen berlebihan. Terdapat kolostrum
pada kehamilan lebih dari 12 minggu.
o Pembesaran abdomen. Jelas terlihat pada usia
kehamilan lebih dari 14 minggu.
o Suhu basal meningkat terus antara 37,20C-37,80C
o Perubahan organ-organ dalam pelvik :
o Tanda Chadwick : Vagina Livid, terjadi
kira-kira minggu ke-6
o Tanda Hegar : segmen bawah uterus lembek
pada perabaan
o Tanda Piscaseck : Uterus membesar ke salah
satu jurusan
o Tanda Braxton-Hicks : Uterus berkontraksi
bila dirangsang. Tanda ini khas untuk uterus
pada saat kehamilan
o Tanda Pasti Kehamilan :
 Pada palpasi dirasakan bagian
janindan balotemen serta gerak janin.
 Pada Auskultasi terdengar bunyi
jantung janin (BJJ). Dengan
stetoscop laennec baru terdengar 18-
20 minggu. Dengan alat Dopple
rterdengar BJJ pada kehamilan 12
minggu.
 Dengan pemeriksaan USG tampak
gambaran janin (Prawirohardjo,
2009).

26
4. Kehamilan Ektopik Terganggu
a) Definisi
Kehamilan ektopik adalahsuatu kehamilan yang
pertumbuhan sel telur yang telah dibuahi tidak menempel
pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari 95 %
kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba fallopi)
(Prawirohardjo, 2009).
b) Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya kehamilan ektopik tersering
karena sel telur yang sudah dibuahi dalam perjalanannya
menuju endometrium tersendat sehingga embrio sudah
berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya
akan tumbuh diluar rongga rahim. Bila kemudian tempat
nidasi tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan
besarnya buah kehamilan, akan terjadi rupture dan menjadi
kehamilan ektopik yang terganggu (KET) (Prawirohardjo,
2009).
c) Etiologi
Secara patofisiologi sudah dijelaskan apabila proses
awal kehamilan sejak pembuahan sampai nidasi. Bila nidasi
terjadi diluar kavum uteri atau di luar endometrium, maka
terjadilah kehamilan ektopik. Dengan demikian faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam
nidasi embrio ke endometrium menjadi penyebab terjadinya
kehamilan ektopik.

27
Faktor-faktor penyebabnya yaitu:
a. Faktor tuba
b. Faktor abnormalitas dari zigot
c. Faktor ovarium
d. Faktor hormonal (Prawirohardjo,2009).
Berdasarkan lokasi terjadinya
a) Kehamilan tuba, meliputi >95 % yang terdiri atas
Pars ampularis(55%), Pars ismika (25%), pars
fimbriae (17%), dan pars interstisialis (2%)
b) Kehamilan ektopik lain (<5%) antara lain terjadi di
serviks uterus, ovarium, atau abdominal.
c) Kehamilan intraligamenter , jumlahnya sangat
sedikit
d) Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda
dimana satu janin berada di kavum uteri sedangkan
yang lain merupakan kehamilan ektopik.
e) Kehamilan ektopik bilateral, kehamilan ini pernah
dilaporkan walaupun sangat jarang terjadi
(Prawirohardjo,2009).
d) Diagnosis
a. Anamnesis dan gejala klinis
Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda
kehamilan muda, dapat atau tidak ada perdarahan
pervaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah.

28
Berat atau ringannya nyeri tergantung pada
banyaknya darah yang terkumpul dalam
peritoneum. Nyeri tekan abdomen TTV
(Prawirohardjo,2009).
b. Pemeriksaan fisik
i. Didapatkan rahim yang juga membesar,
adanya tumor di daerah adneksa.
ii. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu
hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin,
adanya tanda-tanda abdomen akut yaitu
perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan
nyeri lepas dinding abdomen.
iii. Pemeriksaan ginekologis
iv. Pemeriksaan dalam: serviks teraba lunak,
nyeri tekan, nyeri pada uterus kanan dan kiri
(Sarwono, 2010).
e) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
i. Progeteron serum
ii. Hemogram
iii. (B-hCG) human chrorionic gonadotropin
b. USG
c. Laparoskopik
d. Kuldosintesis (Prawirohardjo,2009).
f) Penatalaksanaan
Penanganan KET pada umumnya adalah
laparotomi. Pada laparotomy perdarahan selekas mungkin
dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksa yang
menjadi sumber pardarahan. Keadaan umum penderita terus
diperbaiki dan dalam rongga perut sebanyak mungkin
dikeluarkan (Prawirohardjo,2009).

29
Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus
dipertimbangkan yaitu kondisi penderita, keinginan
penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan
ektopik. Hasil ini menetukan apakah perlu dilakukan
salpingektomi (pemotongan bagian tuba yang terganggu)
pada kehamilan tuba (Prawirohardjo,2009).

5. Mola Hidatidosa
1) Definisi
Mola hidatidosa adalah perubahan abnormal dari
villi korionik menjadi sejumlah kista yang menyerupai
anggur yang dipenuhi dengan cairan. Embrio mati dan mola
tumbuh dengan cepat, membesarnya uterus dan
menghasilkan sejumlah besar human chorionic
gonadotropin (hCG) (Benson, 2008).
2) Insidensi
Prevalensi molahidatidosa lebih tinggi di Asia,
Afrika, Amerika Latin dibandingkan dengan negara-negara
barat. Di negara-negara barat dilaporkan 1: 200 atau 2000
kehamilan, dinegara-negara berkembang 1:100 atau 600
kehamilan (Benson, 2008).
3) Etiologi
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara
pasti,namun faktor penyebabnya adalah :
a. Faktor ovum: ovum memang sudah patologik
sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan.
b. Imunoselektif dari tropoblast
c. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah
d. Kekurangan protein
e. Infeksi virus dan faktor kromosom (Benson, 2008).

30
4) Patofiologi
Pada konsepsi normal, setiapsel tubuh manusia
mengandung 23 pasang kromosom, dimana salah satu
masing-masing pasangan dari ibu dan yang lainnya dari
ayah.Dalam konsepsi normal,sperma tunggal dengan 23
kromosom membuahi sel telur dengan 23 kromosom,
sehingga akan dihasilkan 46 kromosom. Pada
Molahidatidosa Parsial (MHP), dua sperma membuahi sel
telur, menciptakan 69 kromosom, dibandingkan 46
kromosom pada konsepsi normal. Hal ini disebut triploid.
Dengan materi genetik yang terlalu banyak, kehamilan akan
berkembang secara abnormal, dengan plasenta tumbuh
melampaui bayi. Janin dapat terbentuk pada kehamilan
ini,akantetapi janin tumbuh secara abnormal dan tidak
dapat bertahan hidup. Pada Mola hidatidosa Parsial (MHP),
dua sperma membuahi sel telur, menciptakan 69
kromosom, dibandingkan 46 kromosom pada konsepsi
normal. Hal ini disebut triploid. Dengan materi genetik
yang terlalu banyak, kehamilan akan berkembang secara
abnormal, dengan plasenta tumbuh melampaui bayi. Janin
dapat terbentuk pada kehamilan ini,akan tetapi janin
tumbuh secara abnormal dan tidak dapat bertahan hidup
(Benson, 2008).
5) Gambaran Klinik
a. Amenore dan tanda-tanda kehamilan
b. Perdarahan pervaginam berulang. Darah cenderung
berwarna coklat. Pada keadaan lanjut kadang
keluar gelembung mola.
c. Pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.

31
d. terabanya bagian janin pada palpasi dan tidak
terdengarnya BJJ sekalipun uterus sudah membesar
setinggi pusat atau lebih (Benson, 2008).
6) Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Tes Diagnostik
Tes diagnostik meliputi :
i. Pemeriksaan kadar beta hCG: pada mola
terdapat peningkatan kadar beta hCG darah
atau urin
ii. Uji Sonde: Sonde (penduga rahim)
dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati ke
dalam kanalis servikalis dan kavum uteri.
Bila tidak ada tahanan, sonde diputar setelah
ditarik sedikit, bila tetap tidak ada tahanan
kemungkinan mola.
iii. Foto rontgen abdomen : tidak terlihat tulang-
tulang janin (pada kehamilan 3–4 bulan)
iv. Ultrasonografi : pada mola akan terlihat
badai salju (snow flake pattern) dan tidak
terlihat janin (Benson, 2008).
7) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan molahidatidosa terdiri dari dua fase
yaitu : evakuasi jaringan mola segera, dan follow up untuk
mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan
keganasan. Evaluasi awal sebelum evakuasi atau
histerektomi paling tidak mencakup pemeriksaan sepintas
untuk mencari metastasis.Radiografi toraks harus dilakukan
untuk mencari lesi paru berupa lesi koin. Pemeriksaan
Computed Tomografi (CT) scan dan Magnetic Resonance

32
Imaging (MRI) untuk melihat metastase ke hepar dan otak
tidak dilakukan secara rutin (Benson, 2008).
8) Prognosis
Dubia ad bonam, karena insidensi mola hidatidosa
dengan janin hidup terjadi pada 1/20.000 – 1/100.000
kehamilan (Benson, 2008).

6. Abortus
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
berkembang sepenuhnya dan dapat hidup di luar kandungan dan
sebagai ukuran digunakan kehamilan kurang dari 20 minggu atau
berat janin kurang dari 500 gram.
a) Etiologi
a. Faktor genetik
Ada banyak sebab genetik yang
berhubungan dengan abortus. Sebagian besar
abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip
dari embrio. Data ini berdasarkan pada 50%
kejadian abortus pada trimester pertama merupakan
kelainan sitogenetik yang berupa aneuploidi yang
bisa disebabkan oleh kejadian nondisjuction meiosis
atau poliploidi dari fertilas abnormal dan separuh
dari abortus kerana kelainan sitogenetik pada
trimester pertama berupa trisomi autosom
(Prawirohardjo,2009).
Triplodi ditemukan pada 16% kejadian
abortus di mana terjadi fertilisasi ovum normal oleh
2 sperma (dispermi). Insiden trisomi meningkat
dengan bertambahnya usia. Trisomi (30% dari
seluruh trisomi) adalah penyebab terbanyak abortus
spontan diikuti dengan sindroma Turner (20-25%)

33
dan Sindroma Down atau trisomi 21 yang
sepertiganya bisa bertahan sehingga lahir.3 Selain
kelainan sitogenetik, kelainan lain seperti fertilisasi
abnormal iaitu dalam bentuk tetraploidi dan triploid
dapat dihubungkan dengan abortus absolut
(Prawirohardjo,2009).
Kelainan dari struktur kromosom juga
adalah salah satu penyebab kelainan sitogenetik
yang berakibat aborsi dan kelainan ini sering
diturunkan oleh ibu memandangkan kelainan
struktur kromoson pada pria berdampak pada
rendahnya konsentrasi sperma, infertelitas dan
faktor lainnya yang bisa mengurangi peluang
kehamilan (Prawirohardjo,2009).
Selain itu, gen yang abnormal akibat mutasi
gen bisa mengganggu proses impantasi dan
mengakibatkan abortus seperti mytotic dystrophy yg
berakibat pada kombinasi gen yang abnormal dan
gangguan fungsi uterus (Prawirohardjo,2009).
Gangguan genetik seperti Sindroma Marfan,
Sindroma Ehlers-Danlos, hemosistenuri dan
pseusoxantoma elasticum merupakan gangguan
jaringan ikat yang bisa berakibat abortus. Kelainan
hematologik seperti pada penderita sickle cell
anemia, disfibronogemi, defisiensi faktor XIII
mengakibatkan abortus dengan mengakibatkan
mikroinfak pada plasenta (Prawirohardjo,2009).
b. Faktor anatomi
Defek anatomi diketahui dapat menjadi
penyebab komplikasi obstetrik terutamanya abortus.
Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan

34
anomali uterus pada 27% pasien. Penyebab
terbanyak abortus kerana kelainan anatomik uterus
adalah septum uterus akibat daripada kelainan
duktus Mulleri (40-80%), dan uterus bicornis atau
uterus unicornis (10-30%). Mioma uteri juga bisa
mengakibatkan abortus berulang dan infertilitas
akibat dari gangguan passage dan kontraktilitas
uterus. Sindroma Asherman bisa mengakibatkan
abortus dengan mengganggu tempat impalntasi serta
pasokan darah pada permukaan endometrium.
Kelainan kogenital arteri uterina yang
membahayakan aliran darah endometrium dapat
juga berpengaruh. Selain itu, kelainan yang didapat
misalnya adhesi intrauterin (synechia), leimioma,
dan endometriosis mengakibatkan komplikasi
anomali pada uterus dan dapat mengakibatkan
abortus (Prawirohardjo,2009).
Selain kelainan yang disebut di atas, serviks
inkompeten juga telah terbukti dapat meyebabkan
abortus terutama pada kasus abortus spontan. Pada
kelainan ini, dilatasi serviks yang “silent” dapat
terjadi antara minggu gestasi 16-28 minggu. Wanita
dengan serviks inkompeten selalu memiliki dilatasi
serviks yang signifikan yaitu 2cm atau lebih dengan
memperlihatkan gejala yang minimal. Apabila
dilatasi mencapai 4 cm atau lebih, maka kontraksi
uterus yang aktif dan pecahnya membran amnion
akan terjadi dan mengakibatkan ekspulsi konsepsi
dalam rahim.1 faktor-faktor yang mengakibatkan
serviks inkompeten adalah kehamilan berulang,
operasi serviks sebelumnya, riwayat cedera serviks,

35
pajanan pada dietilstilbestrol, dan abnormalitas
anatomi pada serviks (Cunningham,2005).
Sebelum kehamilan atau pada kehamilan
trimester pertama, tidak ada metoda yang bisa
digunakan untuk mengetahui bila serviks akan
inkompeten namun, setelah 14-16 minggu, USG
baru dapat digunakan untuk menilai anatomi
segmen uterus bahagian bawah dan serviks untuk
melihat pendataran dan pemendekan abnormal
serviks yang sesuai dengan inkompeten serviks
(Cunningham,2005).
c. Faktor endokrin
Pada diabetes mellitus, perempuan dengan
kadar HbA1c yang tinggi pada trimester yang
pertama akan berisiko untuk mengalami abortus dan
malformasi janin. IDDM dengan kontrol yang tidak
adekuat berisiko 2-3 kali lipat untuk abortus
(Prawirohardjo,2009).
Kadar progesteron yang rendah juga
mempengaruhi resptivitas endometrium terhadap
implantasi embrio. Kadar progenteron yang rendah
diketahui dapat mengakibatkan abortus terutamanya
pada kehamilan 7 minggu di mana trofoblast harus
menghasilkan cukup steroid untuk menunjang
kehamilan. Pengangkatan korpus luteum pada usia 7
minggu akan berakibat abortus dan jika diberikan
progesteron pada pada pasien ini, maka kehamilan
dapat diselamatkan (Prawirohardjo,2009).
Penelitian pada perempuan yang mengalami
abortus berulang, didapatkan 17% kejadian defek
luteal iaitu kurangnya progesteron pada fase luteal.

36
Namum pada saat ini, masih blum ada metode yang
bisa terpercaya untuk mendiagnosa kelainan ini
(Prawirohardjo,2009).
Faktor humoral terhadap imunitas desidua
juga berperan pada kelangsungan kehamilan.
Perubahan endometrium menjadi desidua mengubah
semua sel pada mukosa uterus
(Prawirohardjo,2009).
Perubahan morfologi dan fungsional ini
mendukung proses implantasi, proses migrasi
trofoblas, dan mencegah invasi yang berlebihan
pada jaringan ibu.3 Di sini interaksi antara trofoblas
ekstravillus dan infiltrasi leukosit pada mukosa
uterus berperan penting di mana sebahagian besar
leukosit adalah large granular cell, dan makrofag
dengan sedikit sel T dan sel B (Prawirohardjo,
2009).
Sel NK dijumpai dalam jumlah yang banyak
terutama pada endometrium yang terpapar
progesteron. Perannya adalah pada trimester 1
adalah akan terjadi peningkatan sel NK untuk
membunuh sel target dengan sedikit atau tiada
ekspresi HLA. Trofoblast ekstravillous tidak bisa
dihancurkan oleh sel NK kerana sifatnya yang cepat
menghasilkan HLA1 sehingga terjadinya invasi
optimal untuk plasentasi yang optimal oleh trofoblas
extravillous. Maka, gangguan pada sistem ini akan
berpengaruh pada kelangsungan kehamilan
(Prawirohardjo,2009).
Selain itu, hipotiroidisme,
hipoprolaktinemia, dan sindrom polikistik ovarium

37
dapat merupakan faktor kontribusi pada keguguran
dengan menggangu balans humoral yang penting
pada kelangsungan kehamilan (Prawirohardjo,
2009).
d. Faktor infeksi
Di sini adalah beberapa jenis organisme yang bisa
berdampak pada kejadian abortus
i. Bakteria: listeria monositogenes, klamidia
trakomatis, ureaplasma urealitikum,
mikoplasma hominis, bakterial vaginosis
ii. Virus: CMV, HSV, HIV dan parvovirus
iii. Parasit: toksoplasma gondii, plasmodium
falsifarum
Spirokaeta: treponema pallidum
(Prawirohardjo,2009).
e. Faktor imunologi
Beberapa penyakit berhubungan erat dengan
kejadian abortus. Antaranya adalah SLE dan
Antiphospholipid Antibodies (aPA). ApA adalah
antibodi spesifik yang ditemukan pada ibu yang
menderita SLE. Peluang terjadinya pengakhiran
kehamilan pada trimester 2 dan 3 pada SLE adalah
75% (Prawirohardjo,2009).
f. Faktor trauma
Trauma abdominal yang berat dapat
menyebabkan terjadinya abortus yang yang
diakibatkan karena adanya perdarahan, gangguan
sirkulasi maternoplasental, dan infeksi Namun
secara statistik, hanya sedikit insiden abortus yang
disebabkan karena trauma.

38
g. Faktor nutrisi dan lingkungan
Diperkirakan 1-10% malformasi janin
adalah akibat dari paparan obat, bahan kimia atau
radiasi yang umumnya akan berakhir dengan
abortus. faktor-faktor yang terbukti berhubungan
dengan peningkatan insiden abortus adalah
merokok, alkohol dan kafein (Cunningham, 2005).
h. Faktor kontrasepsi berencana
Kontrasepsi oral atau agen spermicidal yang
digunakan pada salep dan jeli kontrasepsi tidak
berhubungan dengan risiko abortus.1 Namun, jika
pada kontrasepsi yang menggunakan IUD,
intrauterine device gagal untuk mencegah
kehamilan, risiko aborsi khususnya aborsi septik
akan meningkat dengan signifikan (Cunningham,
2005).
b) Patogenesis
Abortus dimulai dari perdarahan ke dalam decidua
basalis yang diikuti dengan nekrosis jaringan disekitar
perdarahan.1 Jika terjadi lebih awal, maka ovum akan
tertinggal dan mengakibatkan kontraksi uterin yang akan
berakir dengan ekpulsi karena dianggap sebagai benda
asing oleh tubuh. Apabila kandung gestasi dibuka, biasanya
ditemukan fetus maserasi yang kecil atau tidak adanya fetus
sama sekali dan hal ini disebut blighted ovum
(Cunningham, 2005).
Pada abortus yang terjadi lama, beberapa
kemungkinan boleh terjadi. Jika fetus yang tertinggal
mengalami maserasi, yang mana tulang kranial kolaps,
abdomen dipenuhi dengan cairan yang mengandung darah,
dan degenarasi organ internal. Kulit akan tertanggal di

39
dalam uterus atau dengan sentuhan yang sangat minimal.
Bisa juga apabila cairan amniotik diserap, fetus akan
dikompress dan mengalami desikasi, yang akan
membentuk fetus compressus. Kadang-kadang, fetus boleh
juga menjadi sangat kering dan dikompres sehingga
menyerupai kertas yang disebut fetus papyraceous
(Cunningham, 2005).
Pada kehamilan di bawah 8 minggu, hasil konsepsi
dikeluarkan seluruhnya, karena vili korialis belum
menembus desidua terlalu dalam; sedangkan pada
kehamilan 8-14 minggu, vili korialis telah masuk agak
dalam, sehingga sebagian keluar dan sebagian lagi akan
tertinggal. Perdarahan yang banyak terjadi karena hilangnya
kontraksi yang dihasilkan dari aktivitas kontraksi dan
retraksi myometrium (Cunningham, 2005).
Macam- macam abortus
a. Abortus imminens
a) Definisi
Perdarahan vagina pada kehamilan kurang dari 20
minggu dengan hasil konsepsi masih dalam uterus
dan serviks tertutup (Sucipto, 2013).
b) Manifestasi klinis
a. Perdarahan awal kehamilan
b. Nyeri perut ringan. Nyeri dirasakan semakin
hari semakin memberat dengan atau tanpa
kelemahan dan uterus membesar (Sucipto,
2013).
c) Penegakkan diagnosis
a. Tes kehamilan positif.
b. USG.

40
c. Kadar Human Chorionic Gonadotropin
menurun.
d. Kadar progesterone (Sucipto, 2013).
d) Pencegahan
a. Vitamin.
b. ANC (Sucipto, 2013).
e) Penatalaksanaan
a. Tirah baring
Bertambahnya aliran darah ke uterus dan
berkurangnya rangsang mekanis. Dilakukan
selama 24-48 jam.
b. Abtinensia
Saat berhubungan sex, oksitosin disekresi
oleh puting ditambah prostaglandin E dalam
semen akan mempercepat pematangan
serviks dan kolonisasi mikroorganisme di
vagina.
c. Progesteron
Meyokong defisiensi korpus luteum
gravidarum dan membuat uterus relaksasi.
Diberikan dydrogesteron 40 mg dilanjutkan
10 mg sebanyak 2 kali sehari selama
seminggu.
d. Antibiotik
Bila ditemukan adanya tanda-tanda infeksi
diberikan amoksisilin dan klindamisin.
e. Relaksan uterus (Bupherine hydrocloride)
(Sucipto, 2013).

41
f) Prognosis
Kurang baik apabila berlangsung lama, nyeri perut
yang disertai pendataran serta pembukaan serviks
(Sucipto, 2013).
b. Abortus insipiens
a) Definisi
Abortus insipiens (inevitable abortion) yaitu abortus
yang sedang mengancam dimana serviks telah
mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan
tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri.
b) Manifestasi Klinis
a. Perdarahan
b. Nyeri Hilang timbul (Prawirohardjo,2009).
c) Penegakan Diagnosis
Perdarahan Serviks Uterus Gejala dan Diagnosis
tanda
Sedang Terbuka Sesuai Kram atau Abortus
sehingga dengan usia nyeri perut insipien
masif kehamilan bawah,
belum terjadi
ekspulsi
hasil
konsepsi

d) Penatalaksanaan
Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu,
evakuasi uterus dilakukan dengan aspirasi vakum
manual. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan
maka, Ergometrin 0,2 mg IM atau Misopristol
400mcg per oral dapat diberikan. Kemudian

42
persediaan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari
uterus dilakukan dengan segera (Saiffudin, 2006).
Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu,
ekpulsi spontan hasil konsepsi ditunggu, kemudian
sisa-sisa hasil konsepsi dievakuasi. Jika perlu, infus
20 unit oxytoxin dalam 500cc cairan IV (garam
fisiologik atau larutan Ringer Laktat) dengan
kecepatan 40 tetes per menit diberikan untuk
membantu ekspulsi hasil konsepsi. Setelah
penanganan, kondisi ibu tetap dipantau (Saiffudin,
2006).

c. Abortus komplit
a) Definisi
Abortus komplit (complete abortion) artinya seluruh
hasil konsepsi telah keluar (desidua atau fetus),
sehingga rongga rahim kosong
(Prawirohardjo,2009).
b) Manifestasi Klinis
a. Perdarahan
b. Nyeri Hilang timbul (Prawirohardjo,2009).
c) Penegakan Diagnosis
Perdarahan Serviks Uterus Gejala dan Diagnosis
tanda
Bercak Tertutup/terbuka Lebih Sedikit/tanpa Abortus
sedikit kecil dari nyeri perut komplit
hingga usia bawah,riwayat
sedang gestasi ekspulsi hasil
konsepsi

43
d) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium berupa tes
kehamilan, hemoglobin, leukosit, waktu bekuan,
waktu perdarahan, trombosit, dan GDS. Pada
pemeriksaan USG ditemukan kantung gestasi tidak
utuh, ada sisa hasil konsepsi dalam uterus
(Prawirohardjo,2009).
e) Penatalaksanaan
Pada kasus ini, evakuasi tidak perlu
dilakukan lagi. Observasi untuk melihat adanya
perdarahan yang banyak perlu diteruskan dan
kondisi ibu setelah penanganan tetap dibuat.
Apabila terdapat anemia sedang, tablet sulfas
ferrosus 600mg/hari selama 2 minggu diberikan,
jika anemia berat diberikan transfusi darah.
Seterusnya lanjutkan dengan konseling asuhan
pascakeguguran dan pemantauan lanjut jika perlu
(Prawirohardjo,2009).

d. Abortus inkomplit
a) Definisi
Abortus inkomplit (incomplete abortion) yaitu jika
hanya sebagian hasil konsepsi yang dikeluarkan,
yang tertinggal adalah desidua atau plasenta
(Prawirohardjo,2009).
b) Manifestasi Klinis
a. Perdarahan
b. Nyeri Hilang timbul (Prawirohardjo,2009).

44
c) Penegakan Diagnosis
Perdarahan Serviks Uterus Gejala dan Diagnosis
tanda
Sedang terbuka Sesuai Kram atau Abortus
hingga masif kehamilan nyeri perut incomplit
bawah,
ekspulsi
sebahagian
hasil
konsepsi

d) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium berupa tes
kehamilan, hemoglobin, leukosit, waktu bekuan,
waktu perdarahan, trombosit, dan GDS. Pada
pemeriksaan USG ditemukan kantung gestasi tidak
utuh, ada sisa hasil konsepsi dalam uterus
(Prawirohardjo,2009).
e) Penatalaksanan
Jika perdarahan tidak beberapa banyak dan
kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi dapat
dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum
untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar
melalui serviks. Jika perdarahan berhenti,
Ergometrin 0,2 mg IV atau misoprostol 400mcg per
oral diberikan (Prawirohardjo,2009).
Jika perdarahan banyak atau terus
berlangsung, dan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, hasil konsepsi dievakuasi dengan aspirasi
vakum manual. Evakuasi vakum tajam hanya
digunakan jika tidak tersedia aspirasi vakum manual

45
(AVM). Jika evakuasi belum dapat dilakukan
dengan segera, Ergometrin 0,2mg IM atau
Misoprostol 400mcg per oral dapat diberikan
(Prawirohardjo,2009).
Jika kehamilan lebih dari 16 minggu, infus
oksitosin 20 unit diberikan dalam 500ml cairan IV
(garam fisiologik atau RL) dengan kecepatan 40
tetes per menit sampai terjadi ekspulsi hasil
konsepsi. Jika perlu Misoprostol 200mcg
pervaginam diberikan setiap 4 jam sampai terjadi
ekspulsi hasil konsepsi. Hasil konsepsi yang
tertinggal dalam uterus segera dievakuasi
(Prawirohardjo,2009).
e. Mised abortion
a) Definisi
Missed abortion adalah abortus dimana fetus atau
embrio telah meninggal dalam kandungan sebelum
kehamilan 20 minggu, akan tetapi hasil konsepsi
seluruhnya masih tertahan dalam kandungan selama
6 minggu atau lebih.
b) Etiologi
a. Coxsackievirus B3 (CVB3)
b. TORCH
c. Genetik
d. Abnormalitas hormone
e. Penolakan jaringan
c) Manifestasi Klinis
a. Gejala kehamilan tidak jelas dan uterus
mengerut karena cairan ketuban
b. Uji kehamilan menjadi negatif
c. Tidak ada nyeri perut maupun perdarahan

46
d. Kehamilan yang tidak berkembang
e. Uterus lebih kecil dari usia kehamilan,
serviks uteri tertutup
f. Gejala khas: janin telah mati tetapi tidak ada
ekspulsi jaringan konsepsi (Kemenkes RI,
2013)
d) Penegakan Diagnosis
Perdarahan Serviks Uterus Gejala dan Diagnosis
tanda
Tidak ada tertutup Lebih kecil Tidak ada Abortus
dari usia nyeri perut, incomplit
kehamilan janin sudah
mati dan
tidak ada
ekspulsi
jaringan
konsepsi

e) Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi  gestasi tanpa janin atau
kematian janin dapat dipastikan
(Cuningham, 2013)
b. Missed abortion didiagnosis dengan USG
yang menunjukkan gestational sac intak
yang kosong atau sebuah embrio atau fetus
tanpa aktivitas jantung, dan ostium serviks
tertutup (WHO,2013).
f) Penatalaksanaan
a. PGE1 800 µg pervagina efektif pada sekitar
85% kasus untuk menyebabkan abortus
komplet dalam 7 hari (Cuningham, 2013).

47
Contoh: misoprostol 800 µg (4 tablet dari
sediaan 200 µg) pervagina single dose atau
diulang setelah 24 jam dengan dosis yang
sama untuk dosis maksimum 2x pemberian,
yaitu 1600 µg.
b. Pemberian di fornix posterior vagina
c. Bed rest selama 40 menit, setiap 2 jam
dievaluasi vital sign, efek samping, dan
komplikasi yang dapat timbul (Cuningham,
2013).

48
KESIMPULAN

Perdarahan per-vaginam bisa terjadi karena adanya menstruasi atau


dikatakan fisiologis atau non menstruasi. Untuk non menstruasi sendiri dapat kita
kerucutkan lagi apakah masalah terjadi pada wanita yang sedang hamil atau tidak.
Pada kasus ditemukan hasil anamnesis yaitu riwayat terlambat haid, nyeri perut
tanpa kontraksi, mengaku sering mual muntah pagi hari, dan merasa lemas.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan hasil tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 88x/menit, respiratory rate 20x/menit, suhu 36,7 C, dan Ballotement
test positif. Hasil PP pasien dinyatakan positif hamil. Karena hamil maka kami
dapat langsung menyingkirkan Diagnosis banding berupa Ca Cerviks, Polips
Cerviks, Erosi Portio, Perdarahan Uterus Disfungsional, trauma. Sekarang kita
hitung usia kehamilan berdasarkan HPHT usia kehamilan pasien dinyatakan <20
minggu sehingga kita juga menyingkirkan DD berupa Solusio Plasenta dan
Plasenta Previa. Perdarahan pervaginam yang terjadi pada pasien mulai
mengerucut kepada beberapa diagnosis banding yang memungkinkan yaitu
Kehamilan trimester 1, Kehamilan ektopik, Mola Hidatidosa, Abortus Iminens,
Abortus Insipiens, Abortus Komplit, Abortus Inkomplit, Missed Abortus.
Kemudian kita telaah lagi sesuai dengan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
maupun pemeriksaan penunjang yang sudah kita dapat. Pada anamnesis dikatakan
pasien merasa nyeri perut tanpa kontraksi, pada pemeriksaan fisik dikatakan
bahwa OUI tertutup oleh darah. Sehingga kesimpulannya adalah kita
menyingkirkan Kehamilan Trimester 1 sebagai diagnosis banding pada kasus
karena pada kehamilan trimester 1 memang benar terjadi perdarahan akibat nidasi
pada endometrium akan tetapi tidak mungkin sampai OUI tertutup oleh darah
karena perdarahan pervaginam yang terjadi hanya sedikit. Diagnosis utama yang
paling mendekati adalah Abortus. Jenis yang paling memungkinkan adalah
Iminens atau Insipiens. Tetapi, pasien mengaku nyeri perut tidak bertambah hebat
dan tidak ada kontraksi pada uterus. Sehingga diagnosis yang sesuai adalah
Abortus Iminens. Pada abortus Insipiens janin memang masih ada didalam uterus
tetapi sudah disertai dengan kontraksi hebat pada uterus. Tatalaksana yang

49
dilakukan adalah tirah baring selama satu minggu, tetap diberikan vitamin
kehamilan yaitu asam folat dan preparat Fe, diberikan prekursor progesteron,
uterus relaxant. Dipantau selama satu minggu apakah ada kontraksi atau
perdarahan yang berlebihan atau tidak, jika ada tanda-tanda demikian diharap
untuk segera dibawa ke dokter segera. Prognosis baik karena apabila pasien tirah
baring janin dapat diselamatkan.

SARAN
Pada tutorial skenario I ini sebaiknya mahasiswa lebih banyak belajar dan mampu
berpikir kritis dalam mengutarakan pendapat sehingga dapat menentukan
diagnosis yang tepat.

50
DAFTAR PUSTAKA

Benson, Ralph C. Pernoll, Martin L. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi

Edisi 9. Jakarta: EGC.

Cunningham, KJ. Leveno, SL. Bloom. Abortion in William Obstetrics, 22nd

edition. Mc-Graw Hill, 2005

Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.

Jakarta:

EGC

Kementerian Kesehatan Indonesia, K.K.R., 2013. Buku Saku Pelayanan

Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. , p.29.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI

Prawirohadjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta: P.T. Bina Pustaka

Sadler, T. W. 2009. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: EGC

Saifuddin A. 2006. Perdarahan pada kehamilan muda dalam Buku Panduan

Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :Yayasan Bina

Pustaka

Sucipto, Nur Ilhani. 2013. Abortus Immines: Upaya Pencegahan, Pemeriksaan,

dan Penatalaksanaan. Jawa Timur: Balai Pengobatan Islam Aisyiyah

Sangkapura

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem.Jakarta: EGC

World Health Organization. 2013. Manual of Diagnostic Ultrasound. World

Health Organization, 22(6), p.767.

51

Anda mungkin juga menyukai