Anda di halaman 1dari 20

WEWENANG FORMAL DAN WEWENANG NYATA

DALAM ORGANISASI
(Resume)

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penggunaan wewenang formal (hak pembuatan keputusan) dan
wewenang yang nyata1 (kontrol/kendali efektif terhadap keputusan) dalam
organisasi memerlukan ketersediaan informasi yang cukup sehingga tidak
terjadi hal yang kontra produktif dalam hal pembuatan keputusan maupun
pendelegasian sebuah wewenang oleh pimpinan organisasi. Dalam
penggunaan kedua wewenang tersebut oleh seorang pimpinan sangat
dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ketersediaan informasi yang
dimilikinya, baik yang berasal dari diri pribadi pimpinan tersebut maupun
yang berasal/didapat dari luar dirinya, khususnya sebagai hasil dari
komunikasinya dengan para wakil maupun bawahan lainnya-yang
merupakan agen informasi. Jika seorang pimpinan organisasi melakukan
pengambilan keputusan atau pendelegasian wewenang tidak didasarkan
atas ketersediaan informasi yang cukup, maka kemungkinan besar
keputusan yang diambil tidak tepat atau wewenang didelegasikan kepada
orang yang tidak tepat pula. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu,
dalam penggunaan kedua wewenang dimaksud, seorang pimpinan
organisasi selayaknya memiliki dasar berupa pertimbangan-pertimbangan
tertentu, sehingga tidak terjadi kesalahan, baik dalam hal pengambilan
keputusan maupun pendelegasian wewenang.
Hal kontra produktif lainnya yaitu ketika tidak terjadi alokasi yang
seimbang dalam penggunaan kedua wewenang tersebut. Ketika seorang
pimpinan organisasi cenderung menggunakan wewenang yang nyata (real
authority) dalam mengelola oegansisai, maka pengendalian atas kinerja

1
Sebagai padanan dalam istilah Bahasa Indonesia, “real authority” dapat juga disebut sebagai
wewenang tidak tertulis. Namun untuk keperluan akademik, penulis menggunakan istilah
“wewenang nyata” sebagai terjemaahan langsung dari istilah “real authority”.
2

organisasi akan berkurang keefektifannya bahkan dapat menyebabkan


hilangnya fungsi pengendalian/kontrol itu sendiri. Oleh karena itu
pengalokasian kedua wewenang dimaksud oleh seorang pimpinan
organisasi memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang memadai/layak
sebelum memilih menggunakan wewenang formal atau wewenang nyata
yang dimilikinya guna mengambil suatu keputusan maupun
mendelegasikan wewenang.
Sekitar 40 tahun yang lalu, Herbert Simon mendefinisikan wewenang
sebagai suatu hak untuk memilih tindakan tertentu guna mempengaruhi
sebagian maupun keseluruhan organisasi. Hal ini sesuai dengan penekanan
dari Grossman dan Hart (1986) serta Hart dan Moore (1990), bahwa
wewenang dapat juga dikatakan terkait dengan kepemilikan suatu aset,
yang memberikan suatu hak terhadap pemilik aset untuk membuat suatu
keputusan terkait dengan penggunaan aset dimaksud. Suatu wewenang,
secara umum dapat diperoleh, baik secara implisit maupun eksplisit, pada
suatu kontrak/perjanjian yang menentukan pengalokasian hak dari seorang
anggota kelompok dalam suatu organisasi dalam pembuatan keputusan
atas suatu permasalahan.
Wewenang yang pengalokasiannya sesuai dengan kontrak/perjanjian
tersebut merupakan contoh dari wewenang formal (formal authority).
Dalam penggunaan wewenang formal tersebut tidak memerlukan
pertimbangan dengan berdasarkan wewenang nyata yang dimiliki oleh
pemilik wewenang2 dimaksud. Sebagai contohnya, sebagaimana diketahui
secara umum bahwa para pemegang saham memiliki kontrol/kendali yang
terbatas terhadap jajaran direksi suatu perusahaan, hal ini menunjukkan
tentang dominasi para pemegang saham tersebut terhadap jajaran
eksekutif tingkat atas (direksi) perusahaan tersebut yang pada gilirannya
seringkali harus memberikan persetujuan tanpa dasar/pertimbangan yang
layak terhadap proyek-proyek tertentu.

2
Maksudnya adalah pemilik wewenang formal maupun wewenang nyata, sebagai contohnya
para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak/perjanjian.
3

Contoh lain dari pengalokasian wewenang formal dan nyata yang


tidak tepat, yaitu ketika seorang pimpinan memiliki beban kerja yang
berlebihan terkait wewenang formal yang dimiliknya sehingga
mengakibatkan waktu yang dimilikinya menjadi sedikit untuk
mendapatkan informasi yang relevan maka akan mengakibatkan pimpinan
tersebut kehilangan kontrol terhadap berbagai aktivitas organisasi serta
menjadikan berbagai proyek yang ada tidak mencapai hasil yang optimal.
Informasi yang tidak relevan tersebut dapat berasal dari para bawahan
pimpinan organisasi dimaksud. Sehingga akibatnya pimpinan organisasi
melakukan kesalahan dengan memilih masukan berupa informasi yang
tidak akurat dengan menyetujui begitu saja usulan yang diberikan
bawahannya. Sebaliknya, jika pengalokasian wewenang formal maupun
nyata dilakukan secara tepat maka akan menghasilkan keputusan yang
tepat pula sehingga hasil kinerja yang dicapai organisasi pun dapat
optimal, contohnya yaitu ketika seorang pimpinan organisasi-yang
memiliki ketersediaan informasi yang layak-menerima usulan proyek dari
bawahannya, maka ia akan meneliti dengan baik usulan itu disertai dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu karena terkadang proyek yang
diajikan tersebut kurang bermutu dan dalam pengajuan usulan proyek
tersebut bawahan memiliki motivasi tersendiri, antara lain yaitu, bahwa
proyek tersebut akan menghasilkan keuntungan (benefit) secara pribadi,
dapat meningkatkan karirnya di masa depan dan memerlukan usaha yang
lebih sedikit (kecil) daripada mengajukan proyek bermutu yang hasilnya
optimal. Dengan ketersediaan informasi yang cukup yang dimiliki
pimpinan organisasi, maka pimpinan organisasi tidak akan memilih atau
menyetujuai proyek tersebut begitu saja, namun akan memilih proyek lain
yang sesuai pertimbangannya akan membawa hasil optimal bagi
organisasi.
Antara wewenang formal dan wewenang nyata terdapat
interdependensi satu sama lain. Wewenang nyata ditentukan oleh struktur
informasi yang ada/tersedia, yang pada gilirannya tergantung juga kepada
4

pengalokasian wewenang formal dalam mengakomodir wewenang nyata.


Oleh karena itu diperlukan mekanisme tertentu agar wewenang formal dan
wewenang nyata dapat dialokasikan secara proporsional serta dilakukan
pemisahan antara wewenang formal dan wewenang nyata dengan cara
menunjukkan bagaimana sebuah struktur yang terintegrasi secara formal
dapat mengakomodir beraneka ragam kenyataan yang terjadi (dalam hal
pengalokasian wewenang formal dan nyata).
2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi
permasalahan dalam hal pengalokasian wewenang formal dan wewenang
nyata dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana melakukan pengalokasian secara proporsional terhadap
wewenang formal dan wewenang nyata ?
b. Bagaimana melakukan pemisahan secara jelas antara wewenang
formal dan wewenang nyata dalam suatu struktur yang terintegrasi
secara formal sehingga dapat mengakomodir beraneka ragam
kenyataan yang terjadi (dalam hal pengalokasian wewenang formal
dan nyata) ?

II. KAJIAN TEORI


Teori yang digunakan sebagai pendekatan dalam pengkajian permasalahan
tersebut diatas, antara lain :
1. Deskripsi Max Weber (1968) tentang wewenang ”rasional” atau ”legal”3.
Weber manyatakan bahwa pejabat, karyawan dan buruh merupakan
perangkat administratif dari suatu birokrasi guna menjalankan alat-alat
produksi dan administrasi, jadi birokrasi tersebut layaknya mesin yang
menyediakan perangkat rasional dan efektif untuk mengatur aktivitas
sosial/organisasi. Sesuai pernyataan Weber, maka teori dimaksud akan
digunakan dalam menganalisis ketimpangan yang ada antara wewenang
formal dan wewenang nyata.
3
Deskripsi Max Weber tersebut merupakan bagian dari teorinya yang dikenal dengan Teori
Birokrasi, yang menyatakan sumber-sumber wewenang antara lain : 1. rational-legal authority; 2.
traditional authority; 3. charismatic authority.
5

2. Teori yang mengacu dari hasil penelitian oleh Riordan (1990), Schmidt
(1991) dan Cremer (1996), yang menyatakan bahwa pada konteks yang
tententu, terlalu banyak informasi akan merugikan seorang pimpinan
organisasi. Teori ini akan digunakan untuk menghasilkan deskripsi tentang
interaksi dua arah antara wewenang dan informasi serta studi mengenai
pengalokasian wewenang nyata bagi bawahan maupun pemilihan tugas
yang layak didelegasikan kepadanya sesuai wewenang formal yang
dimiliki pimpinan organisasi.

III. METODOLOGI
Komposisi hierarkhie antara seorang pimpinan dan bawahan dalam
organisasi dapat menjadikan salah satu proyek/pekerjaan terpengaruh atau justru
tidak satu pun yang terpengaruh. Pimpinan organisasi menggaji bawahan untuk
mengumpulkan informasi tentang suatu proyek serta untuk mempengaruhi
jalannya suatu proyek. Sebagai contoh dari susunan hierarkhi dimaksud, antara
lain : jajaran direksi dan manajemen, CEO dan manajer bagian, penasehat ahli
dan penyelidik (peneliti), pengawas dan pekerja serta otoritas supranasional dan
negara.
Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan metodologi ex post facto4.
Penelitian ini diawali dengan menentukan dua kelompok yang akan dijadikan
sasaran penelitian, yaitu kelompok pimpinan organisasi dan kelompok
bawahannya. Selanjutnya terhadap dua kelompok tersebut dilakukan penelitian
atas sebab-sebab terjadinya perbedaan respon atas situasi/kondisi yang sama,
dalam hal ini adalah sebab-sebab terjadinya perbedaan respon antara pimpinan
dan bawahan terkait pengalokasian wewenang formal dan wewenang nyata,
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
a. Proyek (projects)
Faktor proyek turut memberi pengaruh karena terkait dengan
pertimbangan dari seorang pimpinan organisasi untuk menerima proyek
yang diusulkan bawahannya atau tidak. Misalnya, jika tidak ada suatu
4
Disebut juga sebagai restropective study karena penelitian ini merupakan penelitian
penelusuran kembali terhadap suatu peristiwa atau suatu kejadian dan kemudian merunut ke
belakang untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut.
6

proyek dari bawahan yang disetujui pimpinan untuk dikerjakan, maka


tidak akan ada keuntungan yang didapat bagi diri pribadi pimpinan dan
bawahan tersebut. Hal ini dirumuskan dengan rumus B0  b0  0 , dimana
B merupakan keuntungan pimpinan dan b merupakan keuntungan
bawahan.
b. Pilihan (preferences)
Suatu pilihan oleh pimpinan organisasi maupun bawahan
mempengaruhi besar kecilnya resiko yang akan muncul dalam
pengambilan keputusan. Hal ini dirumuskan dengan rumus Bk  w .
Pimpinan akan memiliki resiko 0 (nol) jika memilih proyek k yang
diusulkan oleh bawahannya. Bawahan tersebut akan mendapatkan upah
sebesar w.
c. Informasi (information)
Dalam rangka menggambarkan pengambilan keputusan secara alami,
entah berdasarkan wewenang formal maupun nyata, yang kemudian
didelegasikan pimpinan kepada bawahan, maka besaran upah pembayaran
suatu proyek diasumsikan tidak diketahui sebelumnya oleh pimpinan
maupun bawahan. Dengan melakukan upaya/usaha g A  e seorang
bawahan mempelajari secara benar-benar bahwa semua usulan proyek
memiliki kesempatan e untuk disetujui oleh pimpinan. Dengan
kemungkinan 1  e , bawahan berarti tidak memperhitungkan sama sekali
kemungkinan penerimaan proyek lainnya oleh pimpinan.
Demikian juga sama halnya, ketika seorang pimpinan mencurahkan
sebagian besar waktu dan usahanya mempelajari segi pembayaran suatu
proyek. Dengan melakukan upaya/usaha g P  E  , seorang pimpinan
organisasi berarti telah mendapat informasi yang cukup atas pembayaran
suatu proyek dengan kemungkinan E dan berarti tidak mendapat informasi
jika kemungkinannya 1 – E.
d. Komunikasi (Komunikasi)
7

Informasi ada yang tergolong tajam (akurat) maupun yang lemah


(tidak akurat). Suatu informasi yang akurat tentang pembayaran suatu
proyek dapat menjadi tidak berharga ketika informasi tersebut justru
diberitahukan oleh pihak pengumpul informasi kepada pihak lain (terjadi
kebocoran informasi). Sedangkan informasi yang kurang akurat justru
dapat menjadi masukan yang baik jika diterjemaahkan oleh pengumpul
informasi kepada pimpinan (informasi tidak dimengerti pihak lain).
e. Wewenang (authority)
Dalam kerangka wewenang formal-P (integrasi), seorang pimpinan
memiliki wewenang formal dan saat itu ia disebut sebagai ”atasan”. Dalam
hal ini seorang pimpinan yang berperilaku sebagai atasan dapat selalu
menolak usulan-usulan yang diajukan bawahannya. Hal tersebut akan
dilakukan seorang pimpinan jika ia memiliki informasi yang lebih baik
daripada informasi bawahannya serta usulan yang diajukan bawahannya
tersebut tidak selaras dengan pemikiran pimpinannya. Sebaliknya jika
pimpinan tersebut tidak memiliki informasi yang baik, maka pimpinan
tersebut hanya akan menyetujui usulan bawahannya ketika   0 ,
sehingga pada posisi ini dapat dikatakan justru bawahan yang memiliki
wewenang nyata.
Sedang dalam kerangka wewenang formal-A (delegasi), seorang
bawahan yang independen yang memiliki informasi yang baik, maka akan
berhasil mengajukan proyek yang diusulkannya tanpa bisa ditolak oleh
pimpinannya. Pada posisi ini justru seorang bawahan yang memiliki
kewenangan formal.
f. Perjanjian (contracts)

Dalam suatu kontrak/perjanjian yang telah ditandatangani terdapat


ketentuan alokasi wewenang formal (hak pengendalian) oleh salah satu
pihak saja atau kedua pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut.
Ketentuan-ketentuan dimaksud antara lain sebagai berikut : (i) Seorang
pimpinan menawarkan usulan proyek yang memberikan alokasi wewenang
formal miliknya kepada bawahannya untuk proyek-proyek yang akan
8

datang; (ii) Para pihak secara bersama-sama saling memberikan informasi


tentang pembayaran sejumlah n proyek; (iii) Pihak yang tidak memiliki
wewenang formal berkomunikasi dengan pihak pengendali tentang
pilihannya atas pembayaran suatu proyek yang relevan setelah
mempelajari berbagai pilihan tersebut lebih dulu; (iv) Pihak pengendali
memilih suatu proyek tertentu (atau tidak sama sekali) berdasarkan
informasi yang dimilikinya maupun yang didapat dari pihak lainnya.

g. Pembayaran berdasarkan pengalokasian dua wewenang (payoffs under the


two allocation of authority)

Berdasarkan wewenang formal-P (integrasi), maka manfaat yang


didapat yaitu :

u P  EB  (1  E )eB  g P ( E ) (1)

dan

u A  Eb  (1  E )eb  g A (e)

(2)

Artinya, dengan kemungkinan E, seorang pimpinan telah


mendapat/memiliki informasi dan selanjutnya memilih proyek yang lebih
disukainya. Sedangkan dengan kemungkinan 1 – E, pimpinan tidak
mendapat/memiliki informasi apapun. Dengan kemungkinan e, seorang
bawahan telah mendapat/memiliki informasi dan menyarankan proyek
yang lebih disukainya kepada pimpinannya. Disamping itu, seorang
pimpinan juga mempelajari mekanisme pembayaran suatu proyek yang
diusulkan bawahannya tersebut agar dapat mengambil keputusan yang
tepat, jika tidak demikian, maka pimpinan tersebut akan membuat
kesalahan dengan hanya menyetujui usulan proyek begitu saja.

Berdasarkan wewenang formal-A (delegasi), seorang bawahan yang


telah mendapat/memiliki informasi, dengan mudah memilih proyek yang
lebih disukainya. Namun, ketika seorang bawahan tidak
mendapat/memiliki informasi dan pimpinannya mendapat/memiliki
9

informasi, maka pimpinan tersebut akan menyarankan proyek yang lebih


disukainya, yang kemudian dilaksanakan oleh bawahan tersebut.
Selanjutnya dengan perumusan delegasi manggunakan huruf d (yang
ditulis diatas/superscript), maka kesukaan dirumuskan sebagai berikut :

u Pd  eB  (1  e) EB  g P ( E )
(3)

dan

u Pd  eb  (1  e) Eb  g A (e)
(4)

Sebagai catatan bahwa kurangnya respon yang diberikan bawahan


terhadap rangsangan berupa uang dapat menghambat negoisasi ulang
berikutnya dalam pelaksanaan suatu wewenang.

h. Komentar atas kontrak yang lengkap (remark on complete contracts)

Untuk meletakkan pendekatan tentang kontrak yang belum


sepenuhnya lengkap hingga tercapai suatu perspektif, maka berdasarkan
hasil diskusi sebelumnya, diasumsikan bahwa suatu proyek dapat
dideskripsikan dan diperjanjikan sebelumnya, walaupun mekanisme
pembayarannya belum diketahui oleh kedua pihak. Selanjutnya, secara
mengejutkan didapatkan hasil yang menarik, bahwa berdasarkan asumsi
yang lemah tersebut, perjanjian/kontrak yang telah lengkap seutuhnya
memiliki kesesuaian yang besar terhadap skema pengalokasian wewenang
dengan kemungkinan yang acak selama bawahan tidak merespon
rangsangan berupa uang.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan penelitian yang dilakukan atas pengaruh faktor-faktor tersebut
diatas terhadap pengalokasian wewenang formal maupun nyata oleh pimpinan
terhadap bawahannya dalam organisasi, maka didapatkan hasil berupa
ditemukannya hal-hal sebagai berikut :
1. Pertukaran mendasar antara kehilangan kendali dan inisiatif
10

Dalam kondisi yang menunjukkan dimana seorang bawahan


memiliki inisiatif kinerja yang tinggi, maka dapat diduga bahwa ia
memiliki motivasi yang tinggi akan mendapat keuntungan/manfaat pribadi
yang besar. Dalam kondisi tersebut terdapat campur tangan yang sedikit
dari pimpinan, sehingga dalam hal ini pula terjadi kehilangan kontrol
seorang pimpinan atas kinerja bawahannya. Jadi, di satu sisi ada hal positif
berupa tingginya inisiatif kinerja bawahan, namun karena hal tersebut
dilandasi kepentingan pribadi bawahan dan pengaruh dari rendahnya
pengawasan pimpinan, maka terjadi hal yang kontra produktif berupa
hilangnya kontrol pimpinan terhadap bawahan sebagai ekses negatifnya.
Kondisi tersebut dirumuskan sebagai berikut :
(1  e) B  g ' P ( E )

(5)
dan
(1  E )b  g ' A (e)

(6)
Artinya, ketika kemungkinan seorang pimpinan mendapat/memiliki
informasi atas pembayaran suatu proyek (E) mengalami penurunan, maka
pimpinan tersebut akan kehilangan wewenang nyatanya dalam memilih
suatu proyek sehingga mengakibatkan tingginya resiko berupa tidak
optimalnya suatu proyek yang terpilih untuk dilaksanakan. Sebaliknya,
pengurangan intervensi pimpinan E akan mendorong inisiatif bawahan
yang pada akhirnya juga dapat meningkatkan harapan pimpinan untuk
memningkatkan keuntungan/manfaat keuangan.
2. Pengalokasian optimal atas wewenang formal
Suatu wewenang formal pada waktu tertentu dapat dialokasikan bagi
pimpinan itu sendiri, namun suatu saat juga dapat didelegasikan kepada
bawahan. Kedua pertimbangan tersebut, yaitu insentif (inisiatif) dan
rasionalitas individual (partisipasi), saling berkaitan secara relevan,
walaupun keduanya memiliki perbedaan dan saling melengkapi
berdasarkan hasil uji implikasinya.
11

a. Pendelegasian dari sudut sudut pandang insentif


(imbalan/rangsangan kerja)
Ketika suatu wewenang formal didelegasikan kepada bawahan,
maka terjadi reaksi antara kurva pimpinan dan bawahan yang saling
berkaitan, dirumuskan sebagai berikut :
1  e  B  g ' P ( E )
(7)
dan
 1   E  b  g ' A ( e)
(8)
Dengan mengasumsikan sekali lagi bahwa rumus (7) dan (8)
menghasilkan sebuah titik ekuilibrium yang stabil  E d , e d  , sekali
waktu dapat terjadi E  E d dan e  e d . Jadi, pendelegasian akan
meningkatkan inisiatif bawahan, karena pimpinan tidak dapat
menolak lagi usulan bawahan yang didasari atas informasi yang baik.
b. Pendelegasian dari sudut pandang partisipasi
Pendelegasian atas suatu wewenang untuk menentukan pilihan
kepada seorang bawahan dapat meningkatkan kinerja bawahan
tersebut dan dapat juga menjadikan pimpinan dapat mengalokasikan
energinya untuk memikirkan hal-hal lainnya, yaitu penurunan biaya
maupun penghitungan ulang atas penggunaan suatu wewenang
terhadap suatu keputusan yang telah dibuat, dengan tetap menjaga
rasionalitas individual bawahan terhadap kepuasan kinerjanya.
Perumusan hubungan antara pendelegasian secara optimal oleh
pimpinan terhadap peningkatan tingkat partisipasi bawahan, yaitu :
max    Ek  1  Ek  ek k  xk   ek k  1  ek  Ek  1  xk   Bk
 x. k

dengan syarat

   E   1  E  e  x   e  1  e  E   1  x   b
k
k k k k k k k k k k k u
12

Selanjutnya, dengan menggunakan  untuk menunjukkan


berbagai tingkatan partisipasi, maka didapat hasil berikut :
bk 1   k  1
  xk  1
Bk 1   k  
1
  xk  0 (9)

Pengalokasian wewenang formal ditunjukkan pada hasil akhir rumus


diatas, yaitu rumus (9) yang menggambarkan kemandirian usaha.
Suatu wewenang terhadap suatu keputusan akan memiliki perbedaan
hanya ketika kedua pihak-pimpinan dan bawahan-memiliki
/mendapat informasi yang sama atas konsekuensi dari sebuah
keputusan. Beban dan manfaat dari pendelegasian wewenang atas
suatu keputusan k memiliki proporsionalitas terhadap kemungkinan
Ek ek yang menunjukkan bahwa suatu informasi telah dibagi

bersama antara pimpinan dan bawahan.


c. Pendelegasian wewenang : Implikasi yang teruji
”pandangan tentang insentif/imbalan (incentive view)” (pada
bagian A) dan ”pandangan tentang partisipasi (participation view)”
(pada bagian B) menghasilkan determinan yang saling melengkapi
pengalokasian wewenang formal. Berdasarkan hasil analisis terhadap
keduanya, didapatkan suatu rangkaian implikasi yang teruji.
Implikasi tersebut merupakan hal yang realistis, walaupun tetap
memerlukan penelitian lebih lanjut berdasarkan model struktural
untuk menghasilkan suatu bukti yang konklusif.
1) Kesediaan relatif dalam mentaati wewenang
Pertimbangan untuk berpartisipasi oleh bawahan akan
membawa dampak positif bagi pengalokasian wewenang
formal atas suatu keputusan k = 1,.....,n berdasarkan kepada

kesediaan relatif dalam menaati Bk 1    / bk 1   k  oleh


kedua belah pihak. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa hal
tersebut menghasilkan implikasi sederhana berikut : : (a) Hanya
13

keputusan yang relatif tidak penting bagi pimpinan


( Bk / bk rendah ) seharusnya digelegasikan, yaitu sebagaimana

yang tercantum dalam ketentuan/peraturan organisasi; (b)


Untuk pendelegasian keputusan, dimana terjadi suatu kondisi,
yaitu seorang pimpinan tidak dapat mempercayai bawahannya
 k rendah  atau justru ketika seorang bawahan mempercayai

pimpinannya   k tinggi  tidak seharusnya didelegasikan.


Pengaruh kesesuaian tersebut terlihat cocok dengan bukti
empiris sebagaimana pelaksanaan wewenang pada bagian-
bagian perusahaan.
Kesimpulannya yaitu, kemungkinan dari suatu
pendelegasian mengalami penurunan dengan kesesuaian
parameter  k terlihat konsisten melalui observasi secara

sepintas. Para karyawan bersedia melepaskan/memberikan


wewenang kepada manajer yang mereka percayai. Sebaliknya,
perjanjian atau ketentuan hukum yang telah dibuat harus dapat
mencegah para karyawan melakukan penyimpangan (seperti :
menutupi suatu skandal, mencemari sungai, dll).
2) Inisiatif sebagai determinan (penentu) dalam pelaksanaan
delegasi
Pandangan terhadap suatu imbalan/insentif boleh jadi
merupakan kunci utama dalam memahami keputusan
pendelegasian yang merespon perubahan atas penerimaan
informasi. Pendelegasian wewenang oleh pimpinan terhadap
bawahan tidak perlu dilakukan ketika seorang pimpinan
memiliki ketersediaan informasi yang layak, baik dalam hal
kuantitas maupun kualitas. Pendelegasian wewenang juga tidak
perlu dilakukan oleh seorang pimpinan manakala terjadi
penurunan inisiatif kinerja oleh bawahan.
d. Pengalokasian tingkat menengah atas suatu wewenang formal
14

Keseluruhan analisis diatas/sebelumnya terkonsentrasi pada


manfaat/keuntungan dan beban dari pendelegasian wewenang formal
secara penuh terhadap sebuah atau serangkaian keputusan. Namun,
ternyata dalam praktek tidak selalu demikian, terkadang wewenang
didelegasikan secara ”bersyarat” atau kepada pihak ketiga
(middleman) dengan tujuan/sasaran menengah antara tujuan
pimpinan dan tujuan bawahan.
1) Pendelegasian dalam kondisi mendesak (darurat)
Terkadang seorang pimpinan mendelegasikan
wewenangnya kepada seorang bawahan, tetapi tetap menjaga
kemungkinan menggunakan kembali wewenangnya ketika
diperlukan, misalnya dalam hal campur tangan penentuan
pengeluaran suatu biaya yang berjumlah besar. Sebagai
contohnya, suatu ketika seorang bawahan tidak perlu
persetujuan sebelumnya dari pimpinannya dalam membuat
keputusan dan untuk melakukan kegiatan tertentu, namun disisi
lain seorang pimpinan tetap memiliki wewenang untuk
mengevaluasi hasil keputusan atau kegiatan bawahan tersebut
bahkan menghentikannya. Pendelegasian dalam keadaan
mendesak dapat dilakukan oleh pimpinan ketika pimpinan
menilai bahwa telah terjadi kondisi yang tidak menguntungkan
bagi organisasi.
Pendelegasian dalam keadaan mendesak berada diantara
wewenang formal-A (delegasi penuh, artinya pimpinan tidak
dapat menolak usulan bawahan) dan wewenang formal-P (tidak
ada pendelegasian, artinya bawahan perlu persetujuan
sebelumnya) dalam kondisi hubungan sebab akibat antara
inisiatif dan kehilangan kontrol. Aplikasinya pada suatu
perusahaan, yaitu ketika terjadi pengambilalihan kendali dalam
pengelolaan keuangan dari jajaran direksi.
2) Pendelegasian kepada manajemen tingkat menengah
15

Pada suatu ketika, seorang pimpinan tidak melakukan


pendelegasian wewenang kepada bawahannya secara langsung,
tetapi pendelegasian dilakukan kepada para manajer atau
supervisor dengan tujuan agar pimpinan tetap memiliki kontrol
langsung atas keputusan yang dibuat manajernya, juga untuk
membatasi pimpinan kehilangan kewenangan formalnya (jika
keseluruhan wewenang didelegasikan kepada bawahan) serta
disatu sisi tidak mengurangi hak bawahan dalam pembuatan
keputusan formal.
e. Wewenang dan Komunikasi
Pengalokasian wewenang formal mempengaruhi daya inisiatif
bawahan dalam berkomunikasi dengan pimpinannya sebelum
(bawahan tersebut) memiliki informasi tertentu. Dampak dari
pengalokasian wewenang formal terhadap komunikasi tergantung
pada parameter model yang digunakan, khususnya tingkat kesesuaian
antara tujuan/sasaran pimpinan dan tujuan/sasaran bawahan.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi inisiatif ketika seorang pimpinan
memiliki wewenang formal
Pada bagian ini, diasumsikan bahwa terjadi dominasi terhadap
pendelegasian secara penuh atas wewenang formal dan dilakukan
penyelidikan atas sejumlah kecil determinan wewenang nyata bawahan
yang tersentralisasi melalui perluasan model dasar dalam sejumlah
petunjuk sederhana.
a. Rentang kendali, beban yang berat dan inisiatif
Upaya melakukan pengembangan perusahaan secara cepat
memerlukan biaya yang tinggi serta menyebabkan hilangnya kontrol
pimpinan, disisi lain kebijakan pimpinan untuk mengembangkan
perusahaan secara perlahan juga dapat menahan peningkatan
inisiatif bawahan. Hal-hal tersebut dapat diketahui seorang pimpinan
dengan mengamati kinerja para bawahannya. Penurunan keuntungan
organisasi karena beban kerja yang berlebihan dapat menyebabkan
16

diperketatnya rentang kendali yang sudah ada dengan tujuan


meningkatkan kinerja organisasi/perusahaan. Dalam kondisi
organisasi yang sedang kelebihan beban kerja, maka organisasi
tersebut dapat melakukan penambahan karyawan (bawahan
tambahan). Namun hal tersebut belum tentu efektif. Ketika kinerja
dari para bawahan tambahan tersebut tidak efektif dan keuntungan
perusahaan tetap rendah, maka kondisi kelebihan beban kerja
tersebut belum dapat diatasi. Maka disinilah diperlukan upaya untuk
memperketat rentang kendali yang ada. Diharapkan dengan
memperketat rentang kendali tersebut, maka inisiatif kinerja para
bawahan juga akan meningkat, yang pada gilirannya dapat mengatasi
beban kerja perusahaan yang berlebih.
b. Pengukuran kinerja dan ketanggapan bawahan terhadap rangsangan
keuangan
Kesimpulan utama pada bagian ini yaitu, bahwa upah yang
tinggi akan meningkatkan wewenang nyata dengan 2 alasan :
pertama, dengan meningkatkan imbalan bagi bawahan, maka akan
dapat meningkatkan pula kinerja bawahan dalam membuat usulan
suatu proyek. Kedua, hal tersebut akan mengurangi upaya pimpinan
dalam melakukan pengawasan atas kinerja bawahan. Sehingga disini
diperlukan rangsangan bagi bawahan berupa uang guna
meningkatkan kinerja dan inisiatif bawahan.
c. Berbagai unsur pimpinan
Keberadaan berbagai unsur pimpinan dalam suatu organisasi,
secara umum dipercaya untuk mempengaruhi perilaku bawahan.
Terdapat 2 dimensi atas pembagian kepemilikan, yaitu laba dan
wewenang.
Pembagian laba- pembagian keuntungan berupa laba dalam
bentuk uang dapat dilakukan di antara beberapa pimpinan.
Pembagian laba tersebut memiliki dua pengaruh terhadap inisiatif.
Pertama, dapat mengurangi pelaksanaan fungsi pengawasan. Kedua,
17

pengawasan secara berlebih dapat menurunkan inisiatif. Pembagian


laba tidak akan efektif jika dilakukan bersamaan dengan
menggunakan upaya meningkatkan keuntungan.
Pembagian wewenang-pembagian wewenang dalam suatu
organisasi dapat saja dilakukan diantara beberapa pimpinan yang
ada, seperti halnya pembagian wewenang pada suatu joint venture
terhadap beberapa pihak yang bermitra, pembagian wewenang
Presiden kepada beberapa menterinya, pembagian wewenang pada
kongres terhadap beberapa komisi yang ada, dll. Namun demikian,
suatu saat, pemegang wewenang tertinggi dapat tetap menggunakan
hak vetonya, misalnya pada suatu negara-Presiden dapat
menggunakan hak vetonya untuk memutuskan sesuatu hal sesuai
ketentuan dalam suatu rapat kabinet, atau dapat juga suatu saat
wewenang untuk memutuskan suatu hal diambil dengan
menggunakan sistem voting (pendapat mayoritas). Sebuah konflik
kepentingan dapat menyebabkan meningkatnya dorongan utuk
menggunakan hak veto oleh para pimpinan. Sebagai jalan terbaik,
dapat saja suatu keputusan dilakukan secara bersama-sama (kolegeal)
oleh beberapa pimpinan tersebut.
d. Urgensi (keadaan yang mendesak) dan pendelegasian
Terkadang suatu perusahaan dipaksa oleh suatu keadaan yang
mendesak yaitu keadaan yang mendorong perusahaan agar secara
cepat dapat/perlu menyesuaikan/beradaptasi dengan permintaan
konsumen. Dalam kondisi yang demikian, perusahaan dipaksa untuk
melakukan desentralisasi kewenangan untuk memutus rantai
birokrasi yang terlalu panjang. Sehingga untuk mengatasi keadaan
yang mendesak tersebut, mekanisme pendelegasian wewenang dapat
digunakan sebagai salah satu solusinya.
e. Reputasi dan kesabaran dalam pelaksanaan wewenang formal
Reputasi memiliki pengaruh sebagai indikator alternatif lainnya
dalam menentukan pengalokasian wewenang atau perjanjian kerja.
18

Dalam praktek, para atasan mencoba membangun reputasi dengan


cara “tidak melakukan campur tangan terlalu sering” atau dengan
cara “melakukan campur tangan ketika perlu saja”. Singkatnya,
pembangunan reputasi tidak seharusnya dilakukan melalui suatu
model yang formal, namun melalui hubungan/jalur kekeluargaan
antara atasan dan bawahan. Disamping itu, diperlukan kesabaran
tersendiri bagi seorang pimpinan dalam melakukan penolakan atas
usulan proyek yang diajukan oleh bawahannya dikarenakan proyek
tersebut tidak akan menghasilkan hasil yang optimal bahkan justru
akan mendatangkan kerugian. Kesabaran pimpinan tersebut akan
dapat membangun reputasi yang baik bagi pimpinan itu sendiri di
mata bawhannya.
f. Pengujian terhadap determinan wewenang nyata
Terdapat suatu hambatan dalam menentukan determinan-
determinan atas suatu wewenang nyata dalam rangka mendapatkan
bukti yang sistematis, yaitu terkait dengan metode pengukurannya.
Berdasarkan analisis diatas, telah disarankan bahwa pengukuran
wewenang nyata dapat saja dilakukan terhadap bebarapa
karakteristik organisasi seperti rentang kendali, pemusatan
kepemilikan dan sejumlah pimpinan serta lapisan pengawasan. Hal-
hal tersebut cukup relavan untuk dijadikan sebagai indikator
pengukuran wewenang nyata yang diterima oleh bawahan dalam
suatu organisasi. Disamping itu, pengukuran dapat juga dengan
menggunakan kuesioner, mengamati hasil akhir dari pengambilan
keputusan dan siapa yang diuntungkan atas hal tersebut, menghitung
jumlah penolakan yang dilakukan pimpinan terhadap bawahan atau
menemukan pihak mana yang mendapatkan usulan suatu proyek.
Pengukuran wewenang nyata dengan indikator-indikator diatas
memerlukan kehati-hatian ekstra.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
19

Kesimpulan yang didapat dari penelitian terhadap permasalahan


diatas, yaitu :
a. Dalam sebuah organisasi, pendelegasian wewenang formal terhadap
seorang bawahan akan memfasilitasi tumbuhnya partisipasi para
bawahan lainnya dalam organisasi tersebut dan meningkatkan
rangsangan dalam mendapatkan informasi yang relevan tentang
kegiatan-kegiatan yang bersesuaian. Demikian pula sebaliknya,
pendelegasian juga dapat menyebabkan kerugian berupa hilangnya
kontrol yang dimiliki pimpinan organisasi. Sebagai sebuah hasil dari
keseluruhan pertukaran keduanya (antara pendelegasian wewenang
formal dan hilangnya kontrol pimpinan), ditemukan bahwa
wewenang formal lebih mirip seperti pendelegasian keputusan (atau
kegiatan) yang relatif tidak penting bagi pimpinan organisasi; dimana
pimpinan dapat mempercayai bawahannya; hal tersebut penting bagi
bawahan, atau dengan alasan lain karena pimpinan organisasi tidak
memiliki keahlian atau kompetensi terkait pekerjaannya sehingga ia
mendelegasikan wewenangnya.
b. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa sentralisasi (wewenang
formal yang tidak didelegasikan) dapat membahayakan komunikasi
sehingga mengakibatkan penolakan dari bawahan (untuk
menjalankan perintah pimpinan), walaupun tidak selalu demikian,
dapat juga dalam situasi dimaksud, terjadi penerimaan jika bawahan
memiliki kepercayaan terhadap pimpinannya.
c. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan wewenang nyata yang
dimiliki seorang bawahan, yaitu : rentang kendali/kontrol, ungensi
(keadaan mendesak), hubungan kerja yang baik dan pengukuran
kinerja.
2. Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan, masih terdapat beberapa faktor
terkait dengan peningkatan wewenang nyata yang memerlukan penelitian
lebih lanjut di masa depan. Faktor-faktor tersebut antara lain : berbagai
20

lapisan hierarkhi dalam organisasi dan kompleksitas jejaring hubungan


antar wewenang dalam organisasi.

Anda mungkin juga menyukai