Anda di halaman 1dari 8

Analisis Skin Prick Test pada Pasien Rhinitis Alergika : Penelitian Pendahuluan di

Abuja, Nigeria

P.U.Ibekwe dan T. S. Ibekwe

University of Abuja Teaching Hospital, PMB228, Garki, Abuja, Nigeria

Rhinitis alergika (AR) lazim terjadi di Nigeria, walaupun sedikit informasi mengenai

allergen peneyebab yang ada. Kami menilai gejala klinis pasien AR berdasarkan klasifikasi

Efek Rhinitis Alergi pada Asma (ARIA – Allergic Rhinitis Impact on Asthma). Hanya pasien

dengan hasil skin prick test (SPT) postif yang diikutsertakan dalam penelitian. Sebanyak 74

pasien berpartisipasi dalam penelitian. AR dan asma komorbiditas dinilai pada 13.5%.

Proporsi “sneezers-runners” lebih tinggi daripada “blockers” dan secara signifikan mayoritas

“sneeze-runner” merupakan AR persisten (p = 0.007). Tidak ada hubungan antara gejala

dominan ini dengan aeroallergen yang digunakan dalam penelitian ini. AR intermiten ringan

dan sedang/berat didapatkan pada 13.5% dan 31.1%, sedangkan AR persisten ringan dan

sedang/berat terdapat pada 20.3% dan 35.1%. Allergen kutu debu rumah menghasilkan

jumlah positif tertinggi (22.6%) diikuti polen pohon (16.8%). Tidak didapatkan adanya

hubungan antara allergen yang diuji dengan derajat keparahan AR. (p=0.007). Mayoritas

pasien mengalami oligosensitif (33,8%) dan polisensitif (35,1%) serta tidak ada hubungan

signifikan dengan derajat keparahan AR (p = 0,07). Kebanyakan pasien AR yang menjalani

di pengobatan di Abuja, Nigeria termasuk dalam AR persisten sedang-berat dan menunjukan

sensitisasi SPT yang sama dengan Negara lain dengan iklim sama. Pola sensitisasi tidak

terkait dengan klasifikasi ARIA atau gejala AR yang dominan.

PENDAHULUAN
Rhinitis alergika (AR) adalah kelainan hipersensitifitas yang dimediasi IgE berulang

atau kronik dengan allergen yang spesifik mempengaruhi nasal lining dan ditandai dengan

kongesti nasal, rinore, bersin, gatal pada hidung dan atau post nasal drip. AR cukup banyak

terjadi di dunia dan secara signfikan berhubungan dengan kualitas hidup orang. Namun AR

masih belum didiagnosis dan diobati secara benar di berbagai negara. Di Nigeria, penelitian

mengenai AR masih terbatas dan penelitian epidemiolois berdasarkan pada kriteria rhinitis

alergik dan dampaknya pada asma (ARIA) kurang. Berdasarkan guidelines ARIA, rhinitis

alergika didefinisikan jika terdapat dua atau lebih gejala dari rinore, gatal pada hidung,

kongesti nasal atau bersin pada pasien minimal satu jam per hari selama 4 hari dalam

semingu dan juga 4 minggu atau lebih dalam setahun. Berdasarkan durasinya, gejala AR

dapat diklasifikasikan sebagai intermiten (< 4 hari /minggu atau < 4 mingu / tahun) atau

persisten (> 4 hari per minggu atau > 4 minggu per tahun). Derajat keparahan diklasifikasikan

ringan atau sedang-berat berdasarkan ada atau tidaknya gangguan tidur dan gangguan

aktifitas sehari-hari.

Skin prick test (SPT) adalah tes terstandard yang secara luas dipakai pada diagnosis

dari alergi termediasi IgE. SPT dianggap sebagai baku emas diagnosis alergi. Indikasi umum

dilakukan SPT ialah rhinitis alergi, asma, dermatitis atopic, alergi makanan, alergi latex dan

kondisi yang mengarah pada keterlibatan IgE pada allergen. Identifikasi dari aeroallergen

umum pada sebuah daerah diperlukan dalam hal untuk mengedukasi pasien pada allergen

yang perlu dihindari dan membantu menemukan formulasi terbaik dan efektif pada

imunoterapi AR.

Sampai saat ini, tidak ada informasi mengenai jenis alergen umum dari FCT Nigeria,

Abuja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi profil klinis pasien AR

berdasarkan guidelines ARIA dan menginvestigasi allergen umum yang terdapat di Abuja

Nigeria.
METODE DAN MATERIAL

Penelitian cross-sectional dilakukan dalam 48 bulan (Maret 2014 - September 2015).

Populasi sampel berdasarkan pada pasien AR di klinik alergi, yang berafiliasi di Medicaid

Radiodiagnostic Center, Wuse 2, Abuja. Pasien direkrut secara konsekutif (metode sampling

konvenien) dengan rentang usia 5- 65 tahun. Mereka adalah pasien dengan riwayat inflamasi

nasal (minimal 2 atau lebih gejala: rinore, bersin, blockade nasal, gatal pada nasal dan post

nasal drip) dengan minimal durasi satu tahun. Gejala pasien diklasifikasikan dalam “sneeze-

runners” dan “blockers” berdasarkan keluhan yang dominan. Pasien dengan keluhan utama

bersin, rinore dan gatal pada hidung dimasukkan kategori “sneeze-runner”, sedangkan

keluhan utama blockade, post nasal drip dan kesulitan bernafas diklasifikasikan sebagai

“blockers”.

SPT dilakukan pada pasien yang tidak minum antihistamin minimal 5 hari sebelum

tes, sedangkan pasien dengan kelainan kulit berat dieksklusi dari peneltian. Informed consent

didapatkan dari semua pasien. SPT dilakuakan oleh petugas yang sama.

Sejumlah 22 alergen digunakan pada penelitian ini; allergen ini didapat dari the

subtropical prick test batch of ALK-Abello, Denmark. Allergen yang digunakan meliputi

polen pohon (oak,pecan,black willow,pine,cypress,redcedar,andboxelder), polen semak

(pigweed, ragweed, and plantain), polen rumput (bermuda, bahia, johnson grass and grass

mix (meadow, orchard, timothy, june, rye and redtop), kutu debu rumah (Dermatophagoides

pteronyssinus and Dermatophagoides farinae mix), jamur (Alternariatenuis,

C.cladosporioides, Penicillium mixed and Aspergillus mixed), bagian tubuh hewan (rambut

kucing dan anjing) dan ekstrak kecoa. Dari allergen polen yang digunakan pada penelitian

ini, sekitar 80% dari tumbuhan tersebut juga dapat ditemukan di Abuja. SPT dilakukan

berdasarkan guidelines internasional sebagai sekali tes yang diakukan pada dua lengan

dengan lancet dan allergen (ALK-Abello skin prick test kit, BergeAlle, 2970 Hørsholm,
Denmark) diletakan terpisah minimal 2 cm untuk menghindari kontaminasi. Reaksi positif

didapatkan bila diameter > 3mm. Histamine hidroklorid (1%) dan normal salin (0.9%)

digunakan sebagai kontrol positif dan negatif. Pasien dengan SPT negatif dieksklusi dari

penelitian.

Data pasien diklasifikasikan berdasarkan guidelines ARIA dan hasil SPT dianalisis

dengan membagi dalam kelas polen pohon, polen semak, polen rumput, kutu debu rumah

(HDM), jamur, bagian hewan dan ekstrak kecoa. Analisis data menggunakan SPSS 16

software (Chicago Illinois) dan nilai p kurang dari 0.05 dianggap signifikan.

HASIL

Sejumlah 96 partisipan dengan suspek rhinitis alergi yang ada di klinik alergi

menjalani SPT. Hanya 74 pasien memiliki hasil SPT positif dan diikutsertakan pada penlitian

ini. Proporsi wanita lebih banyak dibanding laki laki (56.8%). Usia termuda adalah 5 tahun

dan tertua 65 tahun. Rata rata usia 30.8 tahun (95% CI 26.7 to 34.9 tahun). 21 responden

(28.4%) dikategorikan sebagai anak anak (5-17 tahun) dengan rasio laki laki : perempuasn

1.3:1. Mayoritas populasi penelitian tinggal di Abuja.

Table 1 merangkum gejala klinis yang ada pada pasien. Prevalensi asma, urtika dan

konjungtivitis sebagai komorbiditas lebih rendah bila dibandingkan dengan komorbiditas

seperti hipertensi. Asma merupakan komorbiditas pada 10 pasien. 7 pasien memliki gejala

nasal postadenoidektomi. Riwayat keluarga dengan atopi terlihat pada 56.8 pasien dan 20.2

pasien memiliki kontak dengan hewan di lingkungan mereka.

Berdasarkan pada gejala dominan, proporsi “sneeze runners” lebih tinggi daripada

“blokers" (56.8% vs 43.2%) dan “sneeze runners” cenderung memiliki AR persisten,

sedangkan “blokers” cenderung memiliki gejala intermiten (p = 0.07). Berdasarkan pada

guidelines ARIA, kebanyakan pasien termasuk dalam AR sedang-berat (intermiten dan


persisten) dan hal ini secara signifikan berhubungan pada paparan hewan (p=0.035) dan tidak

pada usia, gender atau riwayat keluarga atopi. Tidak ada hubungan signifikan antara gejala

predominan dan berbagai aeroallergen.

Ada hubungan signfikan antara derajat keparahan AR dan keluhan yang dominan

(table 2) oleh pasien (p = 0.005). AR sedang-berat persisten lebih sering pada “sneezers”

sedangkan AR sedang berat lebih sering pada “blockers”. Tidak ada hubungan signifikan

antara derajat keparahan AR dengan adanya asma (p = 0.26) atau riwayat atopi keluarga (p =

0.19)

Allergen kutu debu rumah memiliki angka tertinggi untuk respon positif diikuti oleh

polen pohon. Poleh semak merupakan yang terakhir, sedangkan hewan dan jamur 13.1%

(fig.1). Pola sensitivitas dari berbagai polen ditunjukan pada figure 2. Sensitivitas jamur

secara signifikan lebih berefek pada dewasa daripada anak-anak (p = 0.035). Tidak ada

perbedaaan signifikan antara SPT positif dan gender dan riwayat asma. Hanya 23 dari 74

pasien memiliki sensitivitas pada satu allergen. Tidak ada allergen tunggal yang cenderung

menyebabkan monosensitasi.

Lebih jauhnya, tidak ada hubungan yang dinilai antara allergen dan durasi AR

(intermiten dan persisten) sebagai mana ditampilkan di table 3.

Kebanyakan pasien dengan SPT positif ada pada kategori AR persisten (66.2%).

Jumlah allergen yang menghasilkan respon SPT positif dari tiap pasien terdistirbusi secara

dekat. Reaksi tertinggi adalah pada 3 atau leboh allergen (35.1%) diikuti oleh reaksi 2 alergen

(33.8%) dan 1 alergen (31.1%) seperti ditampilkan pada table 4. Analisis statistic tidak

mengungkap hubungan antara keparahan AR dan reaktivitas SPT.

DISKUSI
Prevalensi AR meningkat secara luas, meskipun saat ini masih belum didiagnosis dan

diobati dengan benar, terutama pada negara berkembang. Hasil survey didapatkan bahwa

prevalensi AR pada orang Nigeria dewasa adalah 29,6% dengan rata rata usia 29.3 tahun

yang berarti memiliki kemiripan dengan rata-rata usia yang digunakan pada penelitian ini.

Jumlah pasien dengan komorbid asma pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian

lain yang juga dilakukan di Nigeria dan hal ini bisa dikarenakan jumlah sampel yang kecil

atau kurang sadar akan gejala asma oleh responden. Desalu et al menilai rendahnya

kewaspadaan asma oleh pasien di Nigeria menyebabkan kebanyakan pasien dengan asma

tidak ke dokter tetapi memilih pengobatan tradisional.

Sepertiga anak-anak (33%) dari penelitian ini melaporkan gejala rhinitis yang

persisten atau rekuren setelah adenoidektomi. Hasil ini lebih rendah dibandingkan penelitian

oleh Colavita et al tetapi cukup signfikan untuk mendorong dilakukannya penelitian lain

dengan jumlah sampel yang lebih besar. Dominasi wanita pada usia dewasa pada pasien AR

pada penelitian ini sesuai dengan temuan yang ada di Malaysia dan India. Hal tersebut juga

sesuai dengan dengan proporsi laki laki pada anak-anak lebih banyak.

Kami mencatat proporsi yang lebih besar dari individu dengan manifestasi “sneeze

runners” daripada “blockers” sama dengan penelitian oleh Lee et al dan Shah dan Pawankar

tetapi berbeda dari penelitian Deb et al. Hal ini secara signifikan berhubungan dengan

klasifikasi ARIA yang menunjukkan banyak “sneezers” memiliki AR persisten dan

“blockers” memiliki AR intermiten (p=0.007). Kami tidak bisa menegakkan hubungan antara

gejala dominan dengan aeroallergen pada penelitian ini. Penelitian oleh Shah dan Pawankar

dan Deb et al menilai bahwa “blockers” lebih tersensititasi oleh HDM, debu rumah dan jamur

sedangkan “sneezers” lebih tersensitasi oleh polen.

Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien AR dikategorikan sebagai AR

sedang-berat persisten, berdasarkan pada klasifikasi ARIA, sedangkan paling sedikit adalah
AR ringan intermiten. Hal ini sudah banyak diteliti di daerah dengan iklim hangat seperti

Nigeria. Suhu lingkungan yang hangat dan kelembaban dapat mengarah pada tingginya

konsentrasi allergen indoor maupun outdoor sepanjang tahun. Hal ini juga dapat

menyebabkan terjadinya bias seleksi, karena pasien cenderung akan mulai berobat bila

kondisi mereka berat dan persisten.

Tidak ada hubungan antara jenis AR dan allergen yang menyebabkan sensitivitas pada

pasien. Hal ini mirip dengan penelitian yang dilakukan di Mexico. Aeroalergen yang paling

umum adalah kutu debu dan polen pohon, sebagaimana terlihat pada penelitian SPT di

Nigeria. Namun belum ada penelitian kasus AR yang membandingkan senstivitas polen

pohon yang digunakan. Penelitian ini menggarisbawahi allergen polen antara pasien yang

hidup di Nigeria, yang merupakan negara tropis dengan kelembaban tinggi. Hal ini

mendukung dilakukannya penilaian awal mengenai peningkatan sensitisasi polen pohon pada

lingkungan tropis dan memperkuat kebutuhan penelitian pada aspek ini. Penelitian lebih

lanjut diperlukan untuk mencatatat musim dari polinasi dari berbagai polen yang ditemukan

di Abuja dan untuk menunjukkan hubungan waktu dengan gejala pada pasien yang

tersensitisasi.

Penelitian kami menunjukkan adanya kecenderungan sensitisasi multiple untuk

allergen pada pasien. Hal ini secara statistik signifikan kecuali pada bagian tubuh hewan.

Oleh dari itu, pasien dengan sensitasi positif terhadap kutu debu dapat juga tersensitisasi oleh

polen, serangga atau jamur. Hal ini mendukung sebuah pernyataan bahwa lamanya (durasi)

paparan tidak cukup untuk menentukan seseorang mengalami AR dan juga menyebabkan

kesulitan melakukan terapi imun secara hiposensitisais. Sebagai tambahan, penggunaan SPT

dengan berbagai macam allergen di lingkungan spesifik sangat dibutuhkan dalam rangka

mencegah terlewatnya allergen sensitif pada masing masing individu. Hal ini akan

memastikan terapi holistik pada AR dan mendapatkan outcome yang lebih baik.
Kesimpulannya, kebanyakan pasien AR yang menjalani pengobatan di Abuja, Nigeria

termasuk dalam kategori AR sedang –berat persisten dan menunjukan kemiripan sensitisasi

SPT pada negara lain dengan kondisi iklim yang serupa. Pola sensitisasi tidak berkaitan

dengan klasifiaksi ARIA atau gejala AR yang dominan tetapi mungkin berhubungan dengan

kondisi lingkungan dari penelitian dan genetik dari populasi penelitian.

Anda mungkin juga menyukai