Anda di halaman 1dari 17

TUBERKULOSIS PARU

BY : SISKA SARTIKA (10101001020)

RESUME

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah lama dikenal pada
manusia. Ditandai pembentukan turbekel dan cenderung meluas secara lokal. Selain itu, juga bersifat
pulmoner maupun ekstrapulmoner dan dapat mempengaruhi organ tubuh lainnya. Tuberculosis paru (TB)
disebabkan oleh bakteri Mikobakterium Tuberkulosis, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa
saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja.

Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa
yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber
infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan
berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh
rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna,
tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru. Sehingga
menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk
bulat (globular).

Pencegahan Tuberkulosis paru (TB) dapat melalui imunisasi aktif, kontrol diri dengan deteksi dini
serta selalu aktif mengontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat
mengungkapkan investigasi epidemiologi.

Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder.
BAB II
PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI TB PARU

1. Epidemiologi Global

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi
problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global
health emergency. TB dianggap sebagai masalah penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia
terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia.
Sebagian besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi dinegara-negara yang
sedang berkembang. Di antara mereka 75 % berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena
penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65 % dari kasus-kasus TB yang baru dan
kematian yang muncul di Asia.
Alasan utama yang muncul atau meningkatnya penyakit TB global ini disebabkan :
a. Kemiskinan pada berbagai penduduk
b. Meningkatnya penduduk dunia
c. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi
d. Tidak memadainya pendidikan mengenai penyakit TB
e. Terlantar dan kurangnya biaya pendidikan (1).

2. Epidemiologi TB di Indonesia

Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India.
(2)
(3)

BAB II
PEMBAHASAN EPIDEMIOLOGI TB PARU

1. TRIAD EPIDEMIOLOGI

1.1 Agent

TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif, berbentuk batang halus,
mempunyai sifat tahan asam dan aerobic (4).
Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika
dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama (5).

Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi.
Pathogenesis hamper rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat
resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi modern,
sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru (5).
Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk
transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi congenital yang jarang
terjadi (5).
Sumber : http://emmedika.com/blog/1?page=1

Sumber : http://medicineworld.org/news/news-archives/infectious-disease-news/March-9-2008.html
Sumber : http://pramareola14.wordpress.com/2009/12/04/mengenal-tuberkulosis-penyakit-infeksi-
pembunuh-nomor-satu-bangsa-indonesia/

Sumber : http://textbookofbacteriology.net/tuberculosis.html

2.2 Host

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian ;
a. Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita
b. Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-
mental dan momen kehamilan pada wanita
c. Puncak sedang pada usia lanjut (6).
Dalam prkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan
dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari risiko
infeksi (6).
Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan
kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang
mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan
distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi
keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan
pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian Status
gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme
pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer
memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi (6).

3. 3 Environment

Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan prevalensi
menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak
geografis (6).
Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis
menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan,
perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek
dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah,
eksploitasi tenaga fisik, pengangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga
menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini (6).
Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak
yang terinfeksi adalah berbahaya (6).
2.TRANSMISI TB PARU

Lingkungan hidup yang sangat padat dan permukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah
mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses
terjadinya infeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru
merupakan manifestasi klinis yang paling sering disbanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian
besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei. Khususnya yang didapat dari pasien TB paru
dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau
jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M. bovis dapat
disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa
lingkungan sosial ekonomi yang baik (1).
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-4 um dan tebal 0.3-0.6 um. Yang tergolong dengan kuman Mycobacterium Tuberculosis
complex adalah :
1. M. tuberculosae
2. Varian Asian
3. Varian African I
4. Varian African II
5. M. bovis
Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.
Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical) adalah :
1. M. kansasi
2. M. avium
3. M. intra cellular
4. M. scrofulaceum
5. M. malmacerse
6. M. xenopi

Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan
arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga
disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat
tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari
es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit
kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi (1).
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma markofag.
Markofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid (1).
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari
bagian lain. Sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis (1).

3. RIWAYAT ALAMIAH TB PARU

Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali sampai gejala yang sangat berat
seperti gangguan pernapasan dan gangguan mental (7).
a. Gejala sistematik
Gejala ini mencakup :
 Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-
41 ºC. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari
serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat
ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk (1).
 Badan terasa lemah (7)
 Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia
tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (1).

b. Gejala respiratorik
Gejala ini mencakup :
 Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakini setelah berminggu-
minggu atau berbulan-bulan pada peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-
produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang
lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah
pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus (1).
Batuk biasnya terjadi lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum yang bersifat mukoid
atau purulen, batuk berdarah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek (7).
 Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan
pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru (1, 7)
 Rasa nyeri pada dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya (1).

Sumber : http://prihandhi.blogspot.com/
Sumber : https://qillknows.wordpress.com/2011/01/10/10-fakta-penting-tentang-tuberkulosis/

Sumber : http://health.utah.gov/cdc/tb_home.htm

4. PENCEGAHAN

Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Environment dari TBC, maka
tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
a. Pencegahan Primer

Dengan promisi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun hanya
mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan sebelumnya yang sudah
tinggi.
Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC yang meliputi :
1. Imunisasi aktif, melalui vaksinasi Basil Calmette Guerin (BCG) secara nasional dan internasional pada
daerah dengan kejadian tinggi dan orang tua penderita atau berisiko tinggi dengan nilai proteksi yang tidak
absolut dan tergantung Host tambahan dan Environment
2. Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak dijalankan dan tetap harus
dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak
3. Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan pengobatan diabetes, silicosis,
malnutrisi, sakit kronis dan mental (5).

b. Pencegahan Sekunder

Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC yang timbul
dengan 3 komponen utama : Agent, Host dan Environment.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi spesifik,
walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak langsung dapat dilakukan
dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan.
Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk
yang paling efektif (5).
Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC, dengan imunisasi TBC
negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran
penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa
kontaminasi lingkungan memegang peranan terhadap epidemic TBC. Melalui usaha pembatasan
ketidakmampuan untuk membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari
tekanan psikis (5).
c. Pencegahan Tersier

Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan diagnosis kasus
berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi penghibur selama
fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang tergantung situasi individu.
Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat
sosial dari TBC, serta penegasan perlunya rehabilitasi (5).
Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan
tentang TBC, yaitu dengan jalan sebagai brikut :
1. Perkembangan media.
2. Metode solusi problem keresistenan obat.
3. Perkembangan obat Bakterisidal baru.
4. Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin.
5. Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel.
6. Studi lain yang intensif.
7. Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang terkontrol (5).
4. PENGOBATAN

Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder.

a. OAT Primer
Prognosis baik jika pasien tidak mengalami gangguan imun. Nutrisi yang baik, pengurangan konsumsi
alkohol, dan kepatuhan pada terapi obat merupakan faktor-faktor penting. Penyembuhan penyakit
umumnya terjadi setelah pengobatan selama 6 bulan. Pada awalnya sekurang-kurangnya digunakan tiga
obat, untuk mencegah perkembangan strain yang resisten. Regimen yang dianjurkan adalah rifampisin,
dan isoniazid selama 2 bulan, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan. Tambahan piridoksin
mencegah neuropati perifer akibat isoniazid. Fungsi hati sebaiknya dipantau, karena rifampisin dan
pirazinamid dapat menyebabkan disfungsi hati. Jika dicurigai terjadi resistensi obat (rekurensi TB pada
pasien yang tidak patuh), maka regimen empat obat (tambahkan etambutol) dapat dimulai. Bila ada hasil
kultur, obat alternatif akan menggantikan obat yang tidak sensitif untuk mikrobakterium. Etambutol
(pantaulah penglihatan warna untuk neuritis optikus), streptomisin (pantaulah kadar plasma untuk
mneghindari gangguan pendengaran) atau siprofloksasin dapat digunakan. Pada TB paru berat,
kortikosteroid kadang-kadang memperbaiki hasil (8).
Di beberapa organ (misalnya tulang), TB diobati lebih lama, sering dengan obat-obat tambahan. Pada
TB meningeal atau serebral, regimen empat obat selama 12 bulan dengan tambahan steroid dianjurkan,
untuk memastikan penetrasi otak yang adekuat dan mencegah kompresi nervus kranialis akibat
pembentukan parut meningeal (8).
Bila dengan OAT primer timbul resistensi, maka yang resisten itu digantikan dengan paling sedikit 2-3
macam OAT sekunder yang belum resisten, sehingga penderita menerima 5 atau 6 macam obat sekaligus.
Strategi pengobatan yang dianjurkan oleh WHO adalah DOTs (directly observed treatment, short course)
untuk penggunaan OAT primer dan DOTS-plus untuk penggunaan OAT sekunder (9).

b. OAT Sekunder
OAT sekunder adalah asam para-aminosalisilat, ethionamide, thioacetazone, fluorokinolon,
aminoglikosida dan capreomycin, cycloserine, penghambat betalaktam, clarithromycin, linezolid,
thioacetazone, dan lain-lain.
 Asam Para-Amino Salisilat (PAS)
Ditemukan tahun 1940, dahulu merupakan OAT garis pertama yang disunakan bersama dengan isoniazid
dan streptomycin; kemudian kedudukannya digantikan oleh ethambutol. PAS memperlihatkan efek
bakteriostatik terhadap M.tuberculosis dengan menghambat secara kompetitif pembentukan asam folat
dari asam para-amino benzoate (10).

 Thioacetazone

Secara in-viro dan in-vivo diperlihatkan mempunyai khasiat bakteriostatik terhadap M. tuberculosis.
Resistensi silang sering terlihat antara thioacetazone dengan isoniazid dan ethioonamide. Karena kerap
menimbulkan reaksi hipersensitifitas berat ( sindroma Steven-Johnson), thioacetazone tak dianjurkan untuk
digunakan pada penderita dengan HIV (11).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

TBC adalah suatu infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang
utama menyerang organ paru manusia. TBC merupakan salah satu problem utama epidemiologi
kesehatan didunia.
Agent, Host dan Environment merupakan faktor penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam
perjalanan alamiah epidemic TBC baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus TBC adalah lingkungan yang padat, lembab,
kurangnya ventilasi dan sinar matahari.
Pencegahan terhadap infeksi TBC sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yang terdiri dari
pencegahan primer, sekunder dan tersier (rehabilitasi).

2. Saran
a. Perbaikan lingkungan (Pembuatan jendela, genting kaca dan kebersihan rumah/lantai).
b. Menutup mulut waktu batuk dan tempat khusus untuk dahak dan pembuangan dahak tidak sembarang.
c. Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia.
Hal. 988-994.
2. Gerdunas TB. 2006-2007. Tentang TB. TB di Indonesia. Profile Nasional.
http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2, diunduh pada
tanggal 2 November 2011
3. Gerdunas TB. 2006-2007. Tentang TB. TB di Indonesia. Profile Regional Sumatra. Propinsi Sumatra Selatan.
http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2, diunduh pada
tanggal 2 November 2011
4. Soeharsono. 2005. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Volume II. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hal. 30.
5. Chandra, Budiman dr, 1996. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
6. World Health Organitation (WHO), 2004. Epidemiology of Tuberculosis.
http://who.org/orgs/dissease/tuberculosis/epidemiology.htm
7. Hadi H., et all, editor; Naskah Lengkap Work-Shop Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT-4) Ilmu
Penyakit Dalam PAPDI Sumbagsel, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, April, 2002. Hal. 95 -119.
8. Jane W., et all, editor; At Glance Sistem Respirasi. Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga, Mei, 2007. Hal. 81.
9. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. 2006. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol._3 No._2
September 2006, http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf, diakses tanggal 2
November 2011
10. Peloquin CA, Berning SE, Huitt GA, et al. Once-daily and twice-daily dosing of paminosalicylic acid granules. Amer
J Respir Crit Care Med 1999;159:932-934.
11. Okwera A, Whalen C, Byekwaso F, et al. Randomised trial of thioacetazone and rifampicin-containing regimens for
pulmonary tuberculosis in HIV-infected Ugandans. The Makerere University-Case Western University
Research Collaboration. Lancet 1944;344:1323-1328.

Anda mungkin juga menyukai