Anda di halaman 1dari 28

Autopsi

Sepasang suami istri, Karyo 39 tahun dan Karni 27 tahun, terlibat


pertengkaran hebat karena Karyo mencurigai Karni selingkuh. Sore itu Karyo
melihat Karni diantar pulang oleh seorang laki-laki. Hal itu sudah sering terjadi.
Keesokan harinya warga dikejutkan dengan ditemukannya Karyo tergantung di
kusen pintu kamarnya menggunakan tali. Warga melapor ke polisi. Polisi
mengamankan TKP (Tempat Kejadian Perkara) dan melarang warga menyentuh
ataupun mengubah TKP. Polisi juga segera menghubungi unit forensik untuk
melakukan olah TKP dan menyatakan Karyo meninggal karena asfiksi dan
dilakukan otopsi.

A. Step 1: Klasifikasi Istilah


1. Asfiksi
Adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang
(hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapnea).
Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hiposia
hipoksik) dan terjadi kematian. 1
2. Otopsi
Berasal dari kata Auto artinya sendiri dan Opsis yang artinya
melihat. Jadi otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, meliputi
pemeriksaan bagian luar maupun bagian dalam. Dengan tujuan untuk
menemukan proses penyakit atau adanya cidera, interpretasi atas
penemuan, menerangkan penyebabnya, serta mencari hubungan sebab
akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab
kematian. 2
3. Gantung atau Hanging
Gantung adalah adalah keadaan dimana leher dijerat dengan
ikatan, daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau
kepala. Ada pula yang mendefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat

1
badan seluruhnya atau sebagian. Dengan demikian berarti alat penjerat
sifatnya pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi
konstriksi pada leher. 1
4. Forensik
Adalah salah satu cabang spesialistik ilmu kedokteran yang
memanfaatkan ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran
untuk membantu penegakan hukum dan masalah-masalah di bidang
hukum. 2
5. TKP (Tempat Kejadian Perkara)
Adalah suatu tempat penemuan barang bukti atau tempat terjadinya
tindak pidana atau kecurigaan suatu tindak pidana. Terdiri dari tempat di
mana suatu tindak pidana dilakukan dan tempat lain yang berhubungan
dengan tindak pidana tersebut di mana barang bukti, tersangka atau korban
dapat ditemukan 3.

B. Step 2: Menetapkan Masalah


1. Bagaimana cara ahli forensik dalam menyimpulkan kematian?
2. Apakah tujuan dan kemungkinan penemuan dalam olah TKP?, serta apa
sajakah jenis penggantungan?
3. Apa tanda dan fase dari asfiksia?
4. Apakah tujuan, syarat dan jenis dari otopsi?

C. Step3: Identifikasi Masalah


1. Cara Ahli Forensik Menyimpulkan Kematian
Tanda Kematian Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal
secara klinis pada seseorang berupa tanda kematian yang perubahannya
biasa timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian.
Perubahan tersebut dikenal sebagai tanda kematian yang nantinya akan
dibagi lagi menjadi tanda kematian pasti dan tanda kematian tidak pasti 3.
a. Tanda kematian tidak pasti 3
1) Pernapasan berhenti, dinilai denganselama lebih dari 10 menit.

2
2) Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis
tidak teraba.
3) Kulit pucat.
4) Tonus otot menghilang dan relaksasi.
5) Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit
setelah kematian.
6) Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10
menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata
b. Tanda kematian pasti
1) Livor mortis (Lebam mayat)
Nama lain livor mortis ini antara lain lebam mayat, post
mortem lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation,
dan vibices. Livor mortis adalah suatu bercak atau noda besar
merah kebiruan atau merah ungu (livide) pada lokasi terendah
tubuh mayat akibat penumpukan eritrosit atau stagnasi darah
karena terhentinya kerja pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi,
bukan bagian tubuh mayat yang tertekan oleh alas keras. Bercak
tersebut mulai tampak oleh kita kira-kira 20-30 menit pasca
kematian klinis. Makin lama bercak tersebut makin luas dan
lengkap, akhirnya menetap kira-kira 8-12 jam pasca kematian
klinis. Sebelum lebam mayat menetap, masih dapat hilang bila kita
menekannya. Hal ini berlangsung kira-kira kurang dari 6-10 jam
pasca kematian klinis. Juga lebam masih bisa berpindah sesuai
perubahan posisi mayat yang terakhir. Lebam tidak bisa lagi kita
hilangkan dengan penekanan jika lama kematian klinis sudah
terjadi kira-kira lebih dari 6-10 jam. 3
Livor mortis dapat kita lihat pada kulit mayat. Juga dapat
kita temukan pada organ dalam tubuh mayat. Masing-masing
sesuai dengan posisi mayat. 3
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang,
dapat kita lihat pada belakang kepala, daun telinga, ekstensor
lengan, fleksor tungkai, ujung jari dibawah kuku, dan kadang-

3
kadang di samping leher. Tidak ada lebam yang dapat kita lihat
pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat dasi. Lebam pada
kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap, dapat kita lihat pada
dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi tergantung, dapat kita lihat
pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.3
Lebam pada organ dalam mayat dengan posisi terlentang
dapat kita temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil,
dorsal paru-paru, dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding
lambung, dan usus yang dibawah (dalam rongga panggul).3
Ada tiga faktor yang mempengaruhi livor mortis yaitu
volume darah yang beredar, lamanya darah dalam keadaan cepat
cair dan warna lebam. Volume darah yang beredar banyak
menyebabkan lebam mayat lebih cepat dan lebih luas terjadi.
Sebaliknya lebih lambat dan lebih terbatas penyebarannya pada
volume darah yang sedikit, misalnya pada anemia.3
Ada lima warna lebam mayat yang dapat kita gunakan
untuk memperkirakan penyebab kematian yaitu (1) warna merah
kebiruan merupakan warna normal lebam, (2) warna merah terang
menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin, (3)
warna merah gelap menunjukkan asfiksia, (4) warna biru
menunjukkan keracunan nitrit dan (5) warna coklat menandakan
keracunan aniline.3
Interpretasi livor mortis dapat diartikan sebagai tanda pasti
kematian, tanda memperkirakan saat dan lama kematian, tanda
memperkirakan penyebab kematian dan posisi mayat setelah
terjadi lebam bukan pada saat mati.3
Livor mortis harus dapat kita bedakan dengan resapan
darah akibat trauma (ekstravasasi darah). Warna merah darah
akibat trauma akan menempati ruang tertentu dalam jaringan.
Warna tersebut akan hilang jika irisan jaringan kita siram dengan
air. 3

4
2) Rigor mortis (Kaku mayat)
Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi
pada otot yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan
serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi
primer; hal mana disebabkan oleh karena terjadinya perubahan
kimiawi pada protein yang terdapat dalam serabut-serabut otot.3
a) Cadaveric spasme
Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu
keadaan dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan
kadang-kadang pada seluruh otot, segera setelah terjadi
kematian somatis dan tanpa melalui relaksasi primer 1.
b) Heat Stiffening
Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat
suhu tinggi, misalnya pada kasus kebakaran 1.
c) Cold Stiffening
Cold Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat
suhu rendah, dapat terjadi bila tubuh korban diletakkan dalam
freezer, atau bila suhu keliling sedemikian rendahnya, sehingga
cairan tubuh terutama yang terdapat sendi-sendi akan
membeku. 1
3) Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat
terhentinya produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas
secara terusmenerus. Pengeluaran panas tersebut disebabkan
perbedaan suhu antara mayat dengan lingkungannya. Algor mortis
merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada
mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem 3.
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat
lambat dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada dua faktor,
yaitu masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat dan
perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga
suhu.3

5
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat atau lamanya
penurunan suhu tubuh mayat, yaitu : 3
a) Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungannya.
b) Suhu tubuh mayat saat mati. Makin tinggi suhu tubuhnya,
makin lama penurunan suhu tubuhnya.
c) Aliran udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
d) Kelembaban udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh
mayat.
e) Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat
penurunan suhu tubuh mayat.
f) Aktivitas sebelum meninggal.
g) Sebab kematian, misalnya asfiksia dan septikemia, mati dengan
suhu tubuh tinggi.
h) Pakaian tipis makin mempercepat penurunan suhu tubuh
mayat.
i) Posisi tubuh dihubungkan dengan luas permukaan tubuh yang
terpapar.

Penilaian algor mortis dapat dilakukan dengan cara sebagai


berikut, antara lain : 3

a) Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan


suhu tubuh mayat.
b) Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting. 3
c) Dahi dingin setelah 4 jam post mortem.
d) Badan dingin setelah 12 jam post mortem.
e) Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem.
f) Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya
tergantung dari suhu, aliran, dan keadaan airnya.
g) Rumus untuk memperkirakan berapa jam sejak mati yaitu
(98,40 F - suhu rectal 0 F) : 1,50 F.

6
4) Pembusukan
Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan
putrefection. Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan
terutama protein akibat autolisis dan kerja bakteri pembusuk
terutama Klostridium welchii. Bakteri ini menghasilkan asam
lemak dan gas pembusukan berupa H2S, HCN, dan AA. H2S akan
bereaksi dengan hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang
berwarna hijau kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan
yaitu adanya mikroorganisme dan enzim proteolitik. 3
Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler
dan baru tampak oleh kita setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita
akan melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan (HbS) di
daerah perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu
menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau busuk. 3
Ada 17 tanda pembusukan, yaitu wajah dan bibir
membengkak, mata menonjol, lidah terjulur, lubang hidung dan
mulut mengeluarkan darah, lubang lainnya keluar isinya seperti
feses (usus), isi lambung, dan partus (gravid), badan gembung,
bulla atau kulit ari terkelupas, aborescent pattern/ marbling yaitu
vena superfisialis kulit berwarna kehijauan, pembuluh darah bawah
kulit melebar, dinding perut pecah, skrotum atau vulva
membengkak, kuku terlepas, rambut terlepas, organ dalam
membusuk, dan ditemukannya larva lalat. 3
Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien,
lambung, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah. Organ
yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal dan
diafragma. Organ yang paling lambat membusuk antara lain
kelenjar prostat dan uterus non gravid. 3
Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48
jam pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian
dan Universitas Sumatera Utara penyebab kematian karena
keracunan. Saat kematian dapat kita perkirakan dengan cara

7
mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena racun
dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva
lalat. 3
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya
pembusukan mayat, yaitu : 3
a) Mikroorganisme. Bakteri pembusuk mempercepat
pembusukan.
b) Suhu optimal yaitu 21-370 C mempercepat pembusukan.
c) Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.
d) Umur. Bayi, anak-anak dan orang tua lebih lambat terjadi
pembusukan.
e) Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk
daripada tubuh kurus.
f) Sifat medium. Udara : air : tanah (1:2:8). 7. Keadaan saat mati.
Oedem mempercepat pembusukan. Dehidrasi memperlambat
pembusukan.
g) Penyebab kematian. Radang, infeksi, dan sepsis mempercepat
pembusukan. Arsen, stibium dan asam karbonat memperlambat
pembusukan.
h) Seks, Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat
mengalami pembusukan.

Pada pembusukan mayat kita juga dapat


menginterpretasikan suatu kematian sebagai tanda pasti kematian,
untuk menaksir saat kematian, untuk menaksir lama kematian,
serta dapat membedakannya dengan bulla intravital. 3

5) Adipocere (lilin mayat)


Adipocere adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat
mengalami hidrolisis dan hidrogenisasi pada jaringan lemaknya,
dan hidrolisis ini dimungkinkan oleh karena terbentuknya
lesitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Klostridium welchii,
yang berpengaruh terhadap jaringan lemak. 3

8
Untuk dapat terjadi adipocere dibutuhkan waktu yang lama,
sedikitnya beberapa minggu sampai beberapa bulan dan
keuntungan adanya adipocere ini, tubuh korban akan mudah
dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat lama sekali,
sampai ratusan tahun. 3
6) Mummifikasi
Mummifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan
menyebabkan pengeringan dengan cepat sehingga dapat
menghentikan proses pembusukan. Jaringan akan menjadi gelap,
keras dan kering. Pengeringan akan mengakibatkan menyusutnya
alat-alat dalam tubuh, sehingga tubuh akan menjadi lebih kecil dan
ringan. Untuk dapat terjadi mummifikasi dibutuhkan waktu yang
cukup lama, beberapa minggu sampai beberapa bulan; yang
dipengaruhi oleh keadaan suhu lingkungan dan sifat aliran udara. 3

2. Tujuan dan Kemungkinan Temuan pada Korban dalam Olah TKP


a. Tujuan Olah TKP 3
1) Untuk menentukan apakah kejadian yang di duga sebagai tindak
pidana merupakan tindak pindana atau tidak.
2) Untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang terdapat
ditempatkejadian perkara untuk kepentingan penyidikan lebih
lanjut.
3) Untuk memperjelas siapa pelaku dari tindak pidana yang terjadi. 3
b. Kemungkinan Temuan pada Korban dalam Olah TKP
1) Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku
2) Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung
kanan
3) Warna lebam mayat merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih
cepat
4) Distribusi lebam lebih luas dan darah sukar membeku

9
5) Terdapat busa halus pada hidung dan mulut karena peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase I yang disertai sekresi selaput lendir
saluran napas bagian atas
6) Gambaran perbendungan pada mata berapa pelebaran pembuluh
darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi padafase II.
7) Timbulnya petekie

3. Tanda dan Fase Asfiksia


Adapun beberapa tanda asfiksia yaitu sebagai berikut. 1
a. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut
yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena,
terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit
dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan
sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru
dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura,
perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada
mesentrium dan intestinum. 1
b. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan
dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah,
sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan
adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena
yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja
pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam
ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela
jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema). 1
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan
selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb
tereduksi (Hb yang Universitas Sumatera Utara tidak berikatan dengan

10
O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5
gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis
menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan
kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti
dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung
kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah. 1
d. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran
tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada
kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik.
Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah
kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya
pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini
tidak relevan dalam diagnosis asfiksia. 1

Asfiksia memiliki 4 fase. Adapun fase-fase dalam asfiksia yaitu:

a. Fase Dispneu
Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah
merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat
pernapasan di medulla oblongata. Hal ini membuat amplitude dan
frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi,
dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan. 1
b. Fase Konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan
terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang
mula-mula kejang berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi
kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami
dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek
ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak
akobat kekurangan O2. 1

11
c. Fase Apneu
Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat.
Pernapasan melemah dan dapat berhenti, kesadaran menurun,dan
akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma,
urine, dan tinja. 1
d. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan
berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher.
Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat
bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. 1

Fase 1 dan 2 berlangsung ±3-4 menit. Hal ini tergantung dari


tingkat penghalangan O2. Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu
kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan
lengkap. 1

4. Tujuan, Syarat, dan Jenis Otopsi


a. Tujuan Otopsi
Tujuan pemeriksaan otopsi adalah untuk menentukan adanya
cedera atau proses penyakit yang menjadi sebab kematian. Otopsi tidak
hanya sekedar melakukan diseksi pada organ tetapi mempelajari tubuh
jenazah secara lebih komprehensif. Temuan yang didapatkan
kemudian dilakukan interpretasi untuk menerangkan hubungan antara
kelainan-kelainan yang didapat, sehingga akhirnya dapat menentukan
sebab kematian. Seluruh pemeriksaan dan interpretasi dilakukan
dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah oleh ahli yang berkompeten. 2
b. Syarat Otopsi
1) Ada permintaan tertulis dari penyidik yg bersifat definitif. 4
2) Ada persetujuan tertulis dari pihak keluarga / ahli waris korban. 4

12
3) Penyidik : pejabat kepolisian RI serendah-rendahnya kapolsek
berpangkat serendah-rendahnya IPDA ; polisi militer (min.kapten)
; pejabat sipil (hakim, jaksa). 4
c. Jenis Otopsi
Berdasarkan tujuan dilakukannya otopsi maka otopsi terbagi
menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Otopsi klinik atau bedah mayat klinis dilakukan pada pasien suatu
rumah sakit atas izin keluarga dengan tujuan untuk mengetahui
penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian, menilai hasil
usaha dari pemulihan kesehatan, serta penelitian untuk
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan
2) Otopsi anatomis atau bedah mayat anatomis bertujuan untuk
pendidikan calon dokter serta tenaga kesehatan lainnya
3) Otopsi medicolegal atau otopsi forensik dilakukan terhadap
jenazah seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang
tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun
bunuh diri. Tujuannya untuk membantu penyidik menemukan
kebenaran material sehingga penyidik dapat menentukan identitas
jenazah, sebab pasti kematian, mekanisme kematian, perkiraan saat
kematian, mengumpulkan dan memeriksa benda bukti medis untuk
penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan

13
D. Step 4: Skema

Mayat Gantung

Polisi
(Wewenang)

Olah TKP
(Pemeriksaan yang dilakukan)

Forensik
Asfiksia
- Jenis
Otopsi
- Penyebab
- Jenis
- Fase
- Dasar hukum
- Gejala Klinik
- Prosedur
- Pemeriksaan

E. Step 5: Sasaran Belajar


1. Penggantungan (tanda-tanda, jenis, perbedaan bunuh diri dan dibunuh,
perbedaan penggantungan antemortem dan postmortem, patomekanisme)
2. Wewenang dan batasan antara pihak kepolisian dengan ahli forensik
dalam melakukan olah TKP
3. Pemeriksaan yang dilakukan saat olah TKP
4. Dasar hukum, prosedur dan pemeriksaan otopsi
5. Jenis dan penyebab asfiksia

F. Step 6: Belajar Mandiri

14
G. Step 7: Hasil Belajar Mandiri
1. Penggantungan
a. Jenis penggantungan
Berdasarkan cara kematian:
1) Suicidal Hanging (Gantung Diri)
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering
dijumpai pada penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh
kasus. Walaupun demikian, pemeriksaan yang teliti harus
dilakukan untuk mencegah kemungkinan lain terutamanya
pembunuhan.1
2) Accidental Hanging
Kejadian penggantungan akibat kecelakaan lebih banyak
ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun.
Tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada usia itu
belum ada tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat
kurangnya pengawasan dari orang tua. Meskipun tidak menutup
kemungkinan hal ini dapat terjadi pada orang dewasa yaitu ketika
melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang (Autoerotic
Hanging).1
3) Homicidal Hanging (Pembunuhan)
Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung
korban. Biasanya dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang
dewasa yang kondisinya lemah baik oleh karena penyakit atau
dibawah pengaruh obat, alcohol, atau korban sedang tidur. Sering
ditemukan kejadian penggantungan tetapi bukan kasus bunuh diri,
namun kejadian diatur sedemikian rupa hingga menyerupai kasus
penggantungan bunuh diri. Banyak alasan yang menyebabkan
pembunuhan terjadi mulai dari masalah sosial, masalah ekonomi,
hingga masalah hubungan sosial.1

15
Berdasarkan posisi korban, dikelompokkan atas: 1
1) Penggantungan lengkap (complete hanging)
Dikatakan penggantungan lengkap apabila tubuh korban
tergantung di atas lantai, kedua kaki tidak menyentuh lantai.
2) Penggantungan parsial (Partial Hanging)
Yaitu apabila sebagian dari tubuh masih menyentuh lantai.
Sisa berat badan 10 - 15 kg pada or ang dewasa sudah
dapat menyebabkan tersumbat saluran nafas dan hanya
diperlukan sisa berat badan 5 kg untuk menyumbat arteri
karotis. Partial hanging ini hampir selamanya karena bunuh
diri.
Berdasarkan letak jeratan, dikelompokkan atas :1
1) Typical hanging
Yaitu bila titik penggantungan ditemukan di daerah
oksipital dan tekanan pada arteri karotis paling besar.
2) Atypical hanging
Jika titik penggantungan terletak di samping, sehingga leher
sangat miring (fleksi lateral), yang mengakibatkan hambatan pada
arteri karotis dan arteri vertebralis. Saat arteri terhambat, korban
segera tidak sadar
b. Patomekanisme Kematian pada Penggantungan
Penggantungan menyebabkan kematian dengan beberapa
mekanisme yang bisa berlansung bersamaan. Pada setiap kasus
penggantungan beberapa kondisi di bawah akan terjadi.1
1) Arteri karotis tersumbat
2) Vena jugularis tersumbat
3) Memicu refleks karotis
4) Fraktur vertebra servikal
5) Menutupnya jalan nafas

16
Daripada kondisi di atas, dapat disimpulkan kematian pada korban
penggantungan yang terdiri dari empat penyebab yaitu:1
1) Asfiksia
2) Iskemi otak
3) Refleks vagus
4) Kerusakan medulla oblongata
c. Perbedaan antara penggantungan antemortem dan postmortem
Tanda-tanda antemortem sebelum kematian dan tanda-tanda
postmortem harus diketahui dan dapat dibedakan dengan jelas oleh
seorang dokter supaya penyebab kematian dapat detentukan dengan
pasti. Perbedaan antara tanda-tanda penggantungan antemortem dan
postmortem adalah seperti pada tabel di bawah ini.1

No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem


Tanda-tanda penggantungan ante- Tanda-tanda post-mortem
1 mortem bervariasi. Tergantung menunjukkan kematian yang bukan
dari cara kematian korban disebabkan penggantungan
Tanda jejas jeratan biasanya
Tanda jejas jeratan miring,
berbentuk lingkaran utuh
berupa lingkaran terputus (non-
2 (continuous), agak sirkuler dan
continuous) dan letaknya pada
letaknya pada bagian leher tidak
leher bagian atas
begitu tinggi
Simpul tali biasanya lebih dari satu,
Simpul tali biasanya tunggal,
3 diikatkan dengan kuat dan diletakkan
terdapat pada sisi leher
pada bagian depan leher
Ekimosis pada salah satu sisi jejas
Ekimosis tampak jelas pada salah
penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
satu sisi dari jejas
Lebam mayat terdapat pada bagian
4 penjeratan. Lebam mayat tampak
tubuh yang menggantung sesuai
di atas jejas jerat dan pada
dengan posisi mayat setelah
tungkai bawah
meninggal
Pada kulit di tempat jejas
penjeratan teraba seperti perabaan Tanda parchmentisasi tidak ada atau
5
kertas perkamen, yaitu tanda tidak begitu jelas
parchmentisasi
Sianosis pada wajah, bibir,
Sianosis pada bagian wajah, bibir,
telinga, dan lain-lain sangat jelas
6 telinga dan lain-lain tergantung dari
terlihat terutama jika kematian
penyebab kematian
karena asfiksia
Wajah membengkak dan mata
mengalami kongesti dan agak Tanda-tanda pada wajah dan mata
menonjol, disertai dengan tidak terdapat, kecuali jika penyebab
7
gambaran pembuluh dara vena kematian adalah pencekikan
yang jelas pada bagian kening (strangulasi) atau sufokasi
dan dahi

17
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
Lidah bisa terjulur atau tidak Lidah tidak terjulur kecuali pada
8
sama sekali kasus kematian akibat pencekikan
Penis. Ereksi penis disertai
dengan keluarnya cairan sperma Penis. Ereksi penis dan cairan sperma
9 sering terjadi pada korban pria. tidak ada.Pengeluaran feses juga
Demikian juga sering ditemukan tidak ada
keluarnya feses
Air liur. Ditemukan menetes dari
sudut mulut, dengan arah yang Air liur tidak ditemukan yang
10 vertikal menuju dada. Hal ini menetes pad kasus selain kasus
merupakan pertanda pasti penggantungan.
penggantungan ante-mortem

d. Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan


Selain itu juga, terdapat beberapa perbedaan yang jelas antara
penggantungan akibat bunuh diri dan pembunuhan seperti pada tabel
di bawah ini.1

Penggantungan pada
No Penggantungan pada bunuh diri
pembunuhan
Usia. Gantung diri lebih sering
terjadi pada remaja dan orang Tidak mengenal batas usia, karena
dewasa. Anak-anak di bawah usia tindakan pembunuhan dilakukan
1
10 tahun atau orang dewasa di atas oleh musuh atau lawan dari korban
usia 50 tahun jarang melakukan dan tidak bergantung pada usia
gantung diri
Tanda jejas jeratan, berupa
Tanda jejas jeratan, bentuknya
lingkaran tidak terputus, mendatar,
miring, berupa lingkaran terputus
2 dan letaknya di bagian tengah leher,
(non-continuous) dan terletak pada
karena usaha pelaku pembunuhan
bagian atas leher
untuk membuat simpul tali
Simpul tali, biasanya hanya satu Simpul tali biasanya lebih dari satu
3 simpul yang letaknya pada bagian pada bagian depan leher dan simpul
samping leher tali tersebut terikat kuat
Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak
4 mempunyai riwayat untuk mencoba mempunyai riwayat untuk bunuh
bunuh diri dengan cara lain diri
Cedera. Luka-luka pada tubuh
Cedera berupa luka-luka pada
korban yang bisa menyebabkan
5 tubuh korban biasanya mengarah
kematian mendadak tidak
kepada pembunuhan
ditemukan pada kasus bunuh diri
Racun. Ditemukannya racun dalam Terdapatnya racun berupa asam
lambung korban, misalnya arsen, opium hidrosianat atau kalium
sublimat korosif dan lain-lain tidak sianida tidak sesuai pada kasus
6
bertentangan dengan kasus gantung pembunuhan, karena untuk hal ini
diri. Rasa nyeri yang disebabkan perlu waktu dan kemauan dari
racun tersebut mungkin mendorong korban itu sendiri. Dengan

18
Penggantungan pada
No Penggantungan pada bunuh diri
pembunuhan
korban untuk melakukan gantung demikian maka kasus
diri penggantungan tersebut adalah
karena bunuh diri
Tangan tidak dalam keadaan Tangan yang dalam keadaan terikat
7 terikat, karena sulit untuk gantung mengarahkan dugaan pada kasus
diri dalam keadaan tangan terikat pembunuhan
Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri,
Pada kasus pembunuhan, mayat
mayat biasanya ditemukan
ditemukan tergantung pada tempat
tergantung pada tempat yang
yang sulit dicapai oleh korban dan
8 mudah dicapai oleh korban atau di
alat yang digunakan untuk
sekitarnya ditemukan alat yang
mencapai tempat tersebut tidak
digunakan untuk mencapai tempat
ditemukan
tersebut
Tempat kejadian. Jika kejadian
berlangsung di dalam kamar, Tempat kejadian. Bila sebaliknya
dimana pintu, jendela ditemukan pada ruangan ditemukan terkunci
9
dalam keadaan tertutup dan dari luar, maka penggantungan
terkunci dari dalam, maka kasusnya adalah kasus pembunuhan
pasti merupakan bunuh diri
Tanda-tanda perlawanan hampir
Tanda-tanda perlawanan, tidak selalu ada kecuali jika korban
10
ditemukan pada kasus gantung diri sedang tidur, tidak sadar atau masih
anak-anak.

2. Wewenang dan Batasan Antara Pihak Kepolisian dengan Ahli Forensik


dalam Melakukan Olah TKP 3
a. Persiapan: permintaan tertulis atau tidak, catat tanggal permintaan,
siapa peminta, lokasi dan alat pemeriksa TKP
b. Menentukan apakah korban sudah meninggal atau belum, bila masih
hidup lakukan pertolongan, apabila sudah meninggal tentukan tanda –
tanda pasti kematian
c. Menentukan identitas korban. Secara visual, pakaian, perhiasan,
dokumen medis dan sidik jari
d. Menentukan jenis luka dan jenis kekerasan yang dialami korban
e. Membuat sketsa keadaan di TKP yang dapat memberikan gambaran
posisi korban di TKP tersebut
f. Mencari, mengumpulkan dan menyelamatkan barang bukti yang
berkaitan dengan korban.

19
3. Pemeriksaan yang Dilakukan Saat Olah TKP
Pada tingkat penyelidikan sebetulnya penegak hukum belum tahu
sama sekali apakah suatu peristiwa merupakan peristiwa pidana atau
bukan. Penyidik hanya berwenang untuk mencari tahu dari saksi yang
hidup, bukan korban yang sudah meninggal. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan penyelidikan dan dalam rangka itu penyelidik dapat meminta
bantuan dokter, dalam kapasitasnya sebagai ahli. Hal ini sesuai dengan : 1
a. Pasal 7 ayat 1 (h) KUHAP : Mendatangkan orang ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
b. Pasal 120 ayat 1 KUHAP : Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia
dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian
khusus.
c. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap
pemeriksaan persidangan, disebutkan pada Pasal 180 ayat 1 KUHAP :
Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang
timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta
keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh
yang berkepentingan.

Peranan dokter di TKP adalah membantu penyidik dalam


mengungkapkan kasus dari kedokteran forensik. Pada dasarnya semua
dokter dapat bertindak sebagai pemeriksa di TKP, namun dengan
perkembangan spesialisasi dalam ilmu kedokteran, adalah lebih baik bila
dokter ahli forensik atau dokter kepolisian yang hadir.1

Bila dokter menolak untuk datang ke tempat kejadian perkara,


maka Pasal 224 KUHP, dapat dikenakan padanya. Sebelum dokter datang
ke Tempat kejadian perkara, harus diingat beberapa hal, diantaranya siapa
yang meminta datang ke TKP (otoritas), bagaimana permintaan tersebut
sampai ke tangan dokter, dimana TKP, serta saat permintaan tersebut
diajukan. Meminta informasi secara global tentang kasusnya,dengan
demikian dokter dapat membuat persiapan seperlunya. Dan perlu diingat
bahwa dokter dijemput dan diantar kembali oleh penyidik. Adapun
tindakan yang dapat dikerjakan dokter adalah :1

20
a. Menentukan apakah korban masih hidup atau telah tewas, bila masih
hidup upaya terutama ditujukan untuk menolong jiwanya. Hal yng
berkaitan dengan kejahatan dapat ditunda untuk sementara.
b. Bila korban telah tewas tentukan perkiraan saat kematian, dari
penurunan suhu, lebam mayat, kaku mayat, dan perubahan post mortal
lainnya; perkiraan saat kematian berkaitan dengan alibi daripada
tersangka.
c. Menentukan identitas atau jati diri korban baik secara visual, pakaian,
perhiasan, dokumen, dokumen medis dan dari gigi, pemeriksaan
serologi, sidik jari. Jati diri korban dibutuhkan untuk memulai
penyidikan, oleh karena biasanya ada korelasi antara korban dengan
pelaku. Pelaku umumnya telah mengetahui siapa korbannya.
d. Menentukan jenis luka dan jenis kekerasan, jenis luka dan jenis
kekerasan dapat memberikan informasi perihal alat atau senjata yang
dipakai serta perkiraaan proses terjadinya kejahatan tersebut dimana
berguna dalam interogasi dan rekonstruksi. Dengan diketahui jenis
senjata, pihak penyidik dapat melakukan pencarian secara lebih
terarah.
e. Membuat sketsa keadaan di TKP secara sederhana dan dapat
memberikan gambaran posisi korban dikaitkan dengan situasi yang
terdapat di TKP.
f. Mencari, mengumpulkan, dan menyelamatkan barang-barang bukti
(trace evidence) yang ada kaitannnya dengan korban, bagi kepentingan
pemeriksaan selanjutnya. Hal ini juga penting, sebab semakin banyak
barang bukti ditemukan, termasuk barang bukti medik, akan semakin
mempermudah penegak hukum membuat terang perkara pidana.
Barang bukti medik tersebut harus diselamatkan dari kerusakan dan
dokter memang memiliki kemampuan untuk itu.

21
4. Dasar Hukum, Prosedur, dan Pemeriksaan Otopsi
a. Dasar Hukum
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan
dokter dalam membantu peradilan:1
1) Pasal 133 KUHAP :
a) Ayat 1
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati
yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
b) Ayat 2
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan
dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat.
c) Ayat 3
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter pada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg
memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan
pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
2) Pasal 134 KUHAP:
a) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari,
penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada
keluarga korban.
b) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan
sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya
pembedahan tersebut.
c) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan,

22
penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
3) Pasal 179 KUHAP:
a) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.
b) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi
mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan
bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

b. Prosedur
Adapun prosedur dari otopsi yaitu sebagai berikut.1
1) Pemeriksaan lengkap dari riwayat medis dan keadaan-keadaan
yang mengantar ke kematian
2) Pengumpulan dan pendokumentasian jejak bukti pada dan di
sekitar tubuh korban
3) Fotografi dan pencatatan luka
4) Pemeriksaan luar yang mendetail dari puncak kepala sampai
telapak kaki
5) Pemeriksaan organ-organ dalam tubuh melalui pembukan rongga-
rongga tubuh
6) Pemeriksaan histopatologi
7) Pemeriksaan laboratorium dan toksikologi terhadap jaringan dan
cairan tubuh
8) Pencatatan hasil pemeriksaan dengan detail, temuan positif dan
negative, menyimpulkan sebab dan mekanisme kematian
9) Pembuatan laporan
10) Menjadi saksi ahli bila diperlukan
11) Memperbaiki tubuh jenazah sebelum diserahkan pada keluarga

23
c. Pemeriksaan
Berikut adalah pemeriksaan yang dilakukan saat otopsi.1
1) Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya
diikatkan pada jempol kaki mayat. Gunting pada tali pengikat,
simpan bersama berkas pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi
label selengkap mungkin. Sedangkan label rumah sakit, untuk
identifikasi di kamar jenazah, harus tetap ada pada tubuh mayat.
2) Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari penutup mayat.
3) Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila
ada.
4) Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di
atas sampai di bawah, dari yang terluar sampai terdalam.
Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil,
bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu,
monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak
dan ukuran pakaian bila ada tidaknya bercak/pengotoran atau
robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.
5) Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek,
bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
6) Mencatat benda di samping mayat.
7) Mencatat perubahan tanatologi :
a. Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.
b. Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi,
dan ada tidaknya spasme kadaverik.
c. Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat
juga suhu ruangan pada saat tersebut.
d. Pembusukan.
e. Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera.

24
8) Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras,
perkiraan umur, warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan,
disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding perut.
9) Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan
identitas khusus, meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan,
kelainan kulit, anomali dan cacat pada tubuh.
10) Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari
rambut. Rambut kepala harus diperiksa, contoh rambut diperoleh
dengan cara memotong dan mencabut sampai ke akarnya, paling
sedikit dari 6 lokasi kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut
ini disimpan dalam kantungan yang telah ditandai sesuai tempat
pengambilannya.
11) Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup,
tanda kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan
bola mata, warna, cari pembuluh darah yang melebar, bintik
perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya
kelainan fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris
serta kelainan lensa mata. Catat ukuran pupil, bandingkan kiri dan
kanan.
12) Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan
hidung.
13) Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi
geligi dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan,
gigi palsu, kelainan letak, pewarnaan, dan sebagainya.
14) Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau
pelebaran pembuluh darah. Kelenjar tiroid dan getah bening juga
diperiksa secara menyeluruh.
15) Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat
kelainan bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan
lainnya. Pada wanita dicatat keadaan selaput darah dan komisura
posterior, periksa sekret liang sanggama. Perhatikan bentuk lubang

25
pelepasan, perhatikan adanya luka, benda asing, darah dan lain-
lain.
16) Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan,
ikterus, sianosis, edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau
pengotoran lain pada tubuh.
17) Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap.
Setiap luka pada tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu
perkiraan penyebab luka, lokasi, ukuran, dll. Dalam luka diukur
dan panjang luka diukur setelah kedua tepi ditautkan. Lokalisasi
luka dilukis dengan mengambil beberapa patokan, antara lain :
garis tengah melalui tulang dada, garis tengah melalui tulang
belakang, garis mendatar melalui kedua puting susu, dan garis
mendatar melalui pusat.
18) Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya.

5. Jenis dan Penyebab Asfiksia


a. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut : 6
1) Penyebab Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan
seperti laryngitis difteri, tumor laring, asma bronkiale, atau menimbulkan
gangguan pergerakanparu seperti fibrosis paru, pneumonia, COPD.
2) 2. Trauma mekanik, yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli, pneumotoraks bilateral, sumbatan atau halangan
pada saluran napas dan sebagainya. Emboli terbagi atas 2 macam, yaitu emboli
lemak dan emboliudara. Emboli lemak disebabkan oleh fraktur tulang panjang.
Emboli udara disebabkan oleh terbukanya vena jugularis akibat luka.
3) 3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan, misalnya
barbiturate narkotika.

26
b. Gejala Asfiksia
Ada 4 stadium gejala / tanda dari asfiksia, yaitu : 6
1) Fase dispneu / sianosis
Pada fase dispneu / sianosis asfiksia berlangsung kira-kira 4 menit.
Fase ini terjadi akibat rendahnya kadar oksigen dan tingginya kadar karbon
dioksida. Tingginya kadar karbon dioksida akan merangsang medulla
oblongata sehingga terjadi perubahan pada pernapasan, nadi dantekanan darah.
Pernapasan terlihat cepat, berat, dan sukar. Nadi teraba cepat. Tekanan darah
terukur meningkat.
2) Fase konvulsi
Fase konvulsi asfiksia terjadi kira-kira 2 menit. Awalnya berupa
kejang klonik lalu kejang tonik kemudian opistotonik. Kesadaran mulai hilang,
pupil dilatasi, denyut jantung lambat, dantekanan darah turun.
3) Fase apneu
Fase apneu asfiksia berlangsung kira-kira 1 menit. Fase ini dapat kita
amati berupa adanya depresi pusat pernapasan (napas lemah), kesadaran
menurun sampai hilang dan relaksasi spingter.
4) Fase akhir / terminal / final
Fase akhir asfiksia ditandai oleh adanya paralisis pusat pernapasan
lengkap. Denyut jantung beberapa saat masih ada lalu napas terhenti kemudian
mati.

27
Daftar Pustaka

1. Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa

Aksara.

2. Intarniati et al. 2012. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik: Teknik

Otopsi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hal: 67-68.

3. Bagian kedokteran forensic FK UNDIP. Ilmu kedokteran Forensik.

Semarang: FK UNDIP.

4. Bambang,Kunthi,Arista. 2009. Petunjuk Teknik Otopsi. Semarang: Badan

Penerbit UNDIP

5. FKUI. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

6. Soeharto, Gatot. 2010. Asfiksia. Semarang : FK Undip.

28

Anda mungkin juga menyukai