Anda di halaman 1dari 38

Tutorial Klinik

ILMU PENYAKIT MATA

HIPERTENSI OKULI

Oleh:

Noni Kartika Sari G99152024


Denata Sienviolincia G99152025
Lely Amedia Ratri G99152026
Mahardika Frityatama G99152027
Ema Novalia Dewi Kurnia G99152028
Umi Hani’ Vismayanti L. G99152029

Pembimbing :
Senyum Indrakila, dr., Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Istilah hipertensi okulu sering sekali dipergunakan sebagai sebuah istilah


umum, berkenaan dengan suatu keaadaan dimana tekanan intra okuli lebih besar
daripada 21 mmHg. Terdapat beberapa keaadaan yang dapat menyebabkan kenaikan
tekanan intra okuli, misalnya traumatic hyphema, orbital oedema, retensu
postoperative visco-elastic, inflamasi intra okuli, penggunaan kortikosteroid, blok
pupil dan sebab-sebab lain yang bersifat idiopatik (Eva & Witcher, 2007).
Konsensus arus di oftalmologi mendefinisikan tekanan introcular normal

(TIO) adalah antara 10 mmHg dan 21 mmHg.

Hipertensi okuli bukan merupakan suatu penyakit melainkan faktor resiko

glaukoma atau salah satu tanda kelainan yang terdapat pada penyakit glaukoma.

Kurang dari 10% penderita hipertensi okuler akan berubah menjadi glaucoma.

Tekanan intraokular dapat meningkat ketika pasien berbaring. Ada bukti

bahwa pasien glaukoma tertentu (misalnya, pasien tegangan normal glaukoma)

dengan TIO normal sambil duduk atau berdiri mungkin memiliki tekanan intraokular

yang cukup tinggi untuk menyebabkan masalah ketika mereka berbaring (Kanski &

Bowling, 2011).Hipertensi okular lebih sering dijumpai daripada glaukoma sudut

terbuka primer. Angka terbentuknya glaukoma pada para pengidap hipertensi okular

adalah sekitar 5-10 per 1000 per tahun. Risiko meningkat seiring dengan peningkatan

tekanan intraokular, bertambahnya usia, riwayat glaukoma dalam keluarga, miopia,

diabetes melitus, dan penyakit kardiovaskular (Friedman dkk, 2002).


BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny.H
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Sidoarjo, Jawa Timur
Tgl pemeriksaan : 16 Juni 2016
No. RM : 0134XXX

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama
Pasien mengeluh pandangan kedua mata kabur.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli mata karena pandangan kedua matanya kabur.
Pandangan kabur sudah dirasakan sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu.
Keluhan muncul perlahan-lahan dan dirasakan terus-menerus hingga
sekarang. Pasien belum mengonsumsi obat apapun untuk keluhannya
tersebut. Pasien hanya menggunakan kacamata baca untuk mengatasi
pandangan kabur saat membaca. Pasien juga khawatirdirinya menderita
glaukoma.Kekhawatiran dirasakan setelah mengetahui bahwa saudara
kandung pasien didiagnosis suspek glaukoma. Pasien sebelumnya telah
memeriksakan diri ke tempat pengobatan herbal, dan diberitahu bahwa
pasien memiliki tekanan intraokuler tinggi.Pandangan kabur (+/+), mata
merah (-/-), pandangan dobel (-/-), gatal (-/-), berair (-/-), blobok (-/-), nyeri
(-), pusing (-), cekot-cekot (-/-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat Pemeriksaan TIO : tinggi
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat diabetes melitus : (+)
4. Riwayat trauma pada mata : disangkal
5. Riwayat kacamata : (+)
6. Riwayat operasi mata : disangkal
7. Riwayat penyakit serupa : disangkal
8. Riwayat Alergi : (+)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat kencing manis : disangkal
3. Riwayat kacamata : disangkal
4. Riwayat glaukoma : (+) kakak kandung pasien
D. Kesimpulan Anamnesis

OD OS
Proses Degenerasi Degenerasi
Lokalisasi Suspek diskus optikus Suspek diskus optikus
Sebab Peningkatan TIO Peningkatan TIO
Perjalanan Kronis Kronis
Komplikasi Belum ditemukan Belum ditemukan

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Kesan umum
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup
B. Vital Sign
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 88x/menit
RR : 18x/menit
T : afebris

C. Pemeriksaan Subyektif
OD OS
1. Pemeriksaan
6/10 6/10
visus jauh
Tes pinhole Tidak maju Tidak maju
2. Konfrontasi tes Lapang pandang sama Lapang pandang sama
dengan pemeriksa dengan pemeriksa

D. Pemeriksaan Obyektif

1. Sekitar mata OD OS
a. tanda radang Tidak Ada Tidak Ada
b. luka Tidak Ada Tidak Ada
c. parut Tidak Ada Tidak Ada
d. kelainan warna Tidak Ada Tidak Ada
e. kelainan bentuk Tidak Ada Tidak Ada
2. Supercilia
a. warna Hitam Hitam
b. tumbuhnya Normal Normal
c. kulit Sawo matang Sawo matang
d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Pasangan bola mata
dalam orbita
a. heteroforia Tidak Ada Tidak Ada
b. strabismus Tidak Ada Tidak Ada
c. pseudostrabismus Tidak Ada Tidak Ada
d. exophtalmus Tidak Ada Tidak Ada
e. enophtalmus Tidak Ada Tidak Ada

4. Ukuran bola mata


a. mikroftalmus Tidak Ada Tidak Ada
b. makroftalmus Tidak Ada Tidak Ada
c. ptisis bulbi Tidak Ada Tidak Ada
d. atrofi bulbi Tidak Ada Tidak Ada
5. Gerakan bola mata
a. temporal Tidak terhambat Tidak terhambat
b. temporal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
c. temporal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat
e. nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
f. nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
6. Kelopak mata
a. keadaannya
1.) edema Tidak Ada Tidak Ada
2.) hiperemi Tidak Ada Tidak Ada
3.) blefaroptosis Tidak Ada Tidak Ada
4.) blefarospasme Tidak Ada Tidak Ada
5.) benjolan Tidak Ada Tidak Ada
b. gerakannya
1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal
2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal
d. kulit
1.) tanda radang Tidak Ada Tidak Ada
2.) warna Normal Normal
3.) epiblepharon Tidak Ada Tidak Ada
4.) blepharochalasis Tidak Ada Tidak Ada
5.) vulnus Tidak Ada Tidak Ada
e. tepi kelopak mata
1.) enteropion Tidak Ada Tidak Ada
2.) ekteropion Tidak Ada Tidak Ada
3.) koloboma Tidak Ada Tidak Ada
4.) bulu mata Dalam batas normal Dalam batas normal
7. Sekitar glandula
lakrimalis
a. tanda radang Tidak Ada Tidak Ada
b. benjolan Tidak Ada Tidak Ada
c. tulang margo tarsalis Tidak Ada kelainan Tidak Ada kelainan
8. Sekitar saccus lakrimalis
a. tanda radang Tidak Ada Tidak Ada
b. benjolan Tidak Ada Tidak Ada
9. Tekanan intraocular
a. palpasi TN TN+1
b. NCT 25 31
10. Konjungtiva
a. konjungtiva palpebra
superior
1.) edema Tidak Ada Tidak Ada
2.) hiperemi Tidak Ada Tidak Ada
3.) sekret Tidak Ada Tidak Ada
4.) sikatrik Tidak Ada Tidak Ada
5). Benjolan Tidak Ada Tidak Ada
b. konjungtiva palpebra
inferior
1.) edema Tidak Ada Tidak Ada
2.) hiperemi Tidak Ada Tidak Ada
3.) sekret Tidak Ada Tidak Ada
4.) sikatrik Tidak Ada Tidak Ada
5). Benjolan Tidak Ada Tidak Ada
c. konjungtiva forniks
1.) edema Tidak Ada Tidak Ada
2.) hiperemi Tidak Ada Tidak Ada
3.) sekret Tidak Ada Tidak Ada
4.) benjolan Tidak Ada Tidak Ada
5.)Hematom Tidak Ada Tidak Ada
d. konjungtiva bulbi
1.) edema Tidak Ada Tidak Ada
2.) hiperemis Tidak Ada Tidak Ada
3.) sekret Tidak Ada Tidak Ada
4.) injeksi konjungtiva Tidak Ada Tidak Ada
5.) injeksi siliar Tidak Ada Tidak Ada
6.) Hematom Tidak Ada Tidak Ada
11. Sclera
a. warna Putih Putih
b. tanda radang Tidak Ada Tidak Ada
c. penonjolan Tidak Ada Tidak Ada
d. vulnus Tidak Ada Tidak Ada
12. Kornea
a. ukuran 12 mm 12 mm
b. limbus Jernih Jernih
c. permukaan Rata, mengkilap Rata, mengkilap
d. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. keratoskop ( placido ) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. fluorecsin tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
g. arcus senilis Tidak Ada Tidak Ada
13. Kamera okuli anterior
a. kejernihan Jernih Jernih
b. kedalaman Dalam Dalam
14. Iris
a. warna Hitam Hitam
b. bentuk Tampak lempengan Tampak lempengan
c. sinekia anterior Tidak tampak Tidak tampak
d. sinekia posterior Tidak tampak Tidak tampak
15. Pupil
a. ukuran 3 mm 3 mm
b. bentuk Bulat Bulat
c. letak Sentral Sentral
d. reaksi cahaya langsung Positif Positif
16. Lensa
a. ada/tidak Ada Ada
b. kejernihan Jernih Jernih
c. letak Sentral Sentral
e. shadow test (-) (-)
17. Corpus vitreum
a. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Reflek fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
18. Funduskopi
a. reflek fundus Cemerlang Cemerlang

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN


OD OS
A. Visus jauh 6/10 6/10
B. Konfrontasi tes Lapang pandang sama Lapang pandang sam
dengan pemeriksa dengan pemeriksa
C. Sekitar mata Dalam batas normal Dalam batas normal
D. Supercilium Dalam batas normal Dalam batas normal
E. Pasangan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
dalam orbita
F. Ukuran bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
G. Gerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
H. Kelopak mata Dalam batas normal Dalam batas normal
I. Sekitar saccus Dalam batas normal Dalam batas normal
lakrimalis
J. Sekitar glandula Dalam batas normal Dalam batas normal
lakrimalis
K. Tekanan intarokular TN (25) TN+1 (31)
L. Konjungtiva Dalam batas normal Dalam batas normal

M. Sklera Dalam batas normal Dalam batas normal


N. Kornea Dalam batas normal Dalam batas normal
O. Camera okuli Dalam batas normal Dalam batas normal
anterior
P. Iris Bulat, warna hitam Bulat, warna hitam
Q. Pupil Diameter 3 mm, bulat, Diameter 3 mm, bulat,
central, reguler central, reguler

R. Lensa Jernih Jernih

Dokumentasi foto pasien:


OD OS

V. DIAGNOSISBANDING
(ODS) Hipertensi Okuli
(ODS)Suspek Glaukoma
(ODS)Retinopati Diabetes Melitus

VI. DIAGNOSIS
(ODS) Hipertensi Okuli

VII. TERAPI
Timolol 0,5% 2x1 ODS
Neurodex (Vitamin B1 100 mg, B6 200 mg, B12 250 mcg) 1x1 tab

VIII. PLANNING
Evaluasi Terapi
Kontrol tekanan intraokuler (TIO) 1 bulan sekali ke poli mata
IX. PROGNOSIS
OD OS
1. Ad vitam Bonam Bonam
2. Ad fungsionam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
3. Ad sanam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
4. Ad kosmetikum Dubia ad bonam Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. HUMOR AKUEUS
Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor
akueus dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata Humor akuos
adalah suatu cairan jernih yang mengisi kamera anterior dan posterior mata.
1. Komposisi humor akueus
Humor akueus adalah suatu cairan jernih yang mengisi kamera
okuli anterior dan posterior mata, yang berfungsi memberikan nutrisi
dan oksigen pada kornea dan lensa. Volumenya adalah sekitar 250 µL,
dan kecepatan pembentukannya, yang bervariasi diurnal, adalah 1,5 –
2 µL/menit. Tekanan osmotik sedikit lebih tinggi daripada plasma.
Komposisi humor akueus serupa dengan plasma kecuali bahwa cairan
ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat, dan laktatyang lebih tinggi
dan protein, urea, dan glukosa yang lebih rendah. Tekanan intraokular
normal rata-rata yakni 15 mmHg pada dewasa, dimana lebih tinggi
daripada rata-rata tekanan jaringan pada organ lain di dalam tubuh.
Tekanan yang tinggi ini penting dalam proses penglihatan dan
membantu untuk memastikan :
- Kurvatura dari permukaan kornea tetap halus dan seragam
- Jarak konstan antara kornea, lensa dan retina
- Keseragaman barisan fotoreseptor di retina dan epitel berpigmen
di memran Bruch’s dimana normalnya rapi dan halus (Goel dkk.,
2010)
2. Pembentukan dan Aliran Humor Akueus
Humor akueus diproduksi oleh badan siliar. Ultrafiltrat plasma
yang dihasilkan di stroma prosesus siliaris dimodifikasi oleh fungsi
sawar dan prosesus sekretorius epitel siliaris. Setelah masuk ke kamera
okuli posterior, humor akueus mengalir melalui pupil ke kamera okuli
anterior lalu ke jalinan trabekular di sudut kamera anterior (sekaligus,
terjadi pertukaran diferensial komponen – komponen dengan darah di
iris), melalui jalinan trabekular ke kanal schlemn menuju saluran
kolektor, kemudian masuk kedalam pleksus vena, ke jaringan sklera
dan episklera juga ke dalam v.siliaris anterior di badan siliar. Saluran
yang mengandung cairan camera oculi anterior dapat dilihat di daerah
limbus dan subkonjungtiva, yang dinamakan aqueus veins (Friedman
dkk., 2002).

Gambar1. Fisiologi Sirkulasi Humor Akueus


Humor akueus akan mengalir keluar dari sudut BMD melalui
dua jalur, yakni :
- Outflow melalui jalur trabekular yang menerima sekitar 85%
outflow kemudian akan mengalir kedalan canalis Schlemm. Dari
sini akan dikumpulkan melalui 20-30 saluran radial ke plexus
vena episcleral (sistem konvensional)
- Outflow melalui sistem vaskular uveoscleral yang menerima
sekitar 15% outflow, dimana akan bergabung dengan pembuluh
darah vena (Goel dkk., 2010).
-

-
- Gambar 2.Jalur Aliran Humor Akueus

B. HIPERTENSI OKULI
1. Definisi
Hipertensi okuli didefinisikan sebagai peningkatan tekanan di dalam

bola mata dikarenakan peningkatan produksi humor aquous di atas

normal atau adanya hambatan aliran humor aquous itu sendiri tanpa
adanya kerusakan saraf optik atau kehilangan lapang pandang (Eva &

Witcher, 2007).

2. Patofisiologi

Tekanan intra okuli yang tinggi merupakan masalah pada populasi

hipertensi okuli karena ia merupakan salah satu faktor resiko utama

glaukoma. Penyebab dari peninggian tekanan intra okuli secara umum

yang dapat diterima adalah menurunnya fasilitas outflow cairan

aqueous melalui trabecular meshwork. Terjadinya peningkatan

resistensi dari outflow aqueous humor disangkakan dengan berbagai

teori, termasuk diantaranya :

a. Obstruksi trabecular meshwork oleh benda-benda asing.

b. Hilangnya sel-sel endothel trabecula.

c. Mengecilnya densitas dan ukuran pori-pori trabecula pada dinding

bagian dalam endothelium canalis schlemm.

d. Hilangnya giant vacuoles pada dinding bagian dalam endothelium

canalis schlemm.

e. Hilangnya aktifitas normal phagocytic.

f. Gangguan dari mekanisme feedback neurologic.

(Kanski & Bowling, 2011).

3. Gejala

Kebanyakan orang dengan hipertensi okular tidak mengalami gejala


apapun. Untuk alasan ini, pemeriksaan mata secara teratur dengan dokter

mata sangat penting untuk menyingkirkan segala kerusakan pada saraf

optik dari tekanan tinggi.

C. GLAUKOMA
1. Definisi
Glaukoma mencakup beberapa penyakit dengan etiologi yang
berbeda dengan tanda umum adanya neuropathy optik yang memiliki
karakteristik adanya kelainan pada nervus optikus dan gambaran
gangguan lapang pandang yang spesifik. Penyakit ini sering tapi tidak
selalu berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokular. Stadium
akhir dari glaukoma adalah kebutaan (Ilyas dkk., 2002).
2. Etiologi
Glaukoma terjadi karena peningkatan tekanan intraokuler yang
dapat disebabkan oleh bertambahnya produksi humor akueus oleh
badan siliar ataupun berkurangnya pengeluaran humor akueus di
daerah sudut bilik mata atau di celah pupil.
Tekanan intraokuler adalah keseimbangan antara produksi
humor akueus, hambatan terhadap aliran akueous dan tekanan vena
episklera. Ketidakseimbangan antara ketiga hal tersebut dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler, akan tetapi hal ini
lebih sering disebabkan oleh hambatan terhadap aliran humor akueus.
Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan
antara saraf optikus dan retina di bagian belakang mata. Akibatnya
pasokan darah ke saraf optikus berkurang sehingga sel-sel sarafnya
mati. Karena saraf optikus mengalami kemunduran, maka akan
terbentuk bintik buta pada lapang pandang mata. Yang pertama
terkena adalah lapang pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang pandang
sentral. Jika tidak diobati, glaukoma pada akhirnya bisa menyebabkan
kebutaan (American Academy of Ophtalmology, 2006).

3. Faktor Resiko (James dkk., 2005)


Beberapa faktor resiko yang dapat mengarah pada glaukoma adalah :
a. Tekanan darah rendah atau tinggi
b. Fenomena autoimun
c. Degenerasi primer sel ganglion
d. Usia di atas 45 tahun
e. Keluarga mempunyai riwayat glaukoma
f. Miopia atau hipermetropia
g. Pasca bedah dengan hifema atau infeksi
Sedangkan beberapa hal yang memperberat resiko glaukoma adalah :
a. Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat
b. Makin tua usia, makin berat
c. Hipertensi, resiko 6 kali lebih sering
d. Kerja las, resiko 4 kali lebih sering
e. Keluarga penderita glaukoma, resiko 4 kali lebih sering
f. Tembakau, resiko 4 kali lebih sering
g. Miopia, resiko 2 kali lebih sering
h. Diabetes melitus, resiko 2 kali lebih sering.

4. Klasifikasi
Berdasarkan dari patofisiologinya, glaukoma dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Glaukoma primer sudut terbuka
Glaukoma primer sudut terbuka adalah glaukoma yang
penyebabnya tidak ditemukan dan ditandai dengan sudut bilik
mata depan yang terbuka.Gambaran klinis dari glaukoma primer
sudut terbuka, yaitu progresifitas gejalanya berjalan perlahan dan
lambat sehingga sering tidak disadari oleh penderitanya, serta
gejalanya samar seperti: sakit kepala ringan tajam penglihatan
tetap normal; hanya perasaan pedas atau kelilipan saja; tekanan
intra okuler terus-menerus meningkat hingga merusak saraf
penglihatan.
b. Glaukoma primer sudut tertutup
Glaukoma primer sudut tertutup ditandai dengan sudut
bilik mata depan yang tertutup.Gejala yang dirasakan oleh pasien,
seperti : tajam penglihatan kurang (kabur mendadak), mata merah,
bengkak, mata berair, kornea suram karena edema, bilik mata
depan dangkal dan pupil lebar dan tidak bereaksi terhadap sinar,
diskus optikus terlihat merah dan bengkak, tekanan intra okuler
meningkat hingga terjadi kerusakan iskemik pada iris yang disertai
edema kornea, melihat halo (pelangi di sekitar objek), nyeri hebat
periorbita, pusing, bahkan mual-muntah.

Gambar 3. Glaukoma Primer Sudut Terbuka


Gambar 5. Glaukoma Primer Sudut Tertutup

c. Glaukoma kongenital (juvenil)


Glaukoma kongenital timbul saat lahir atau dalam tahun
pertama dengan gejala klinis adanya mata berair berlebihan,
peningkatan diameter kornea (buftalmos), kornea berawan karena
edema epitel, terpisah atau robeknya membran descemet,
fotofobia, peningkatan tekanan intraokular, peningkatan
kedalaman kamera anterior, pencekungan diskus optikus (Gerhard
dkk., 2007).
Tabel 1 Klasifikasi Glaukoma

5. Pemeriksaan penunjang
a. Iluminasi oblik dari bilik mata depan
Bilik mata depan (BMD) diiluminasi dengan sinar dari
lampu tangensial menuju bidang iris. Pada mata dengan kedalaman
BMD yang normal, iris tampak seragam saat diiluminasi. Pada mata
dengan BMD yang dangkal dan sudut yang tertutup baik sebagian
ataupun seluruhnya, iris menonjol ke anterior dan tidak seragam
saat diiluminasi (Khaw dan Elkington, 2005).
Gambar 6. Pemeriksaan Kedalaman BMD

b. Slit lamp
Kedalaman sentral dan perifer dari BMD harus
dievaluasi dengan ketebalan dari kornea. BMD yang memiliki
kedalam kurang dari 3 kali ketebalan kornea pada bagian
sentral disertai kedalam bagian perifer kurang dari ketebalan
kornea memberikan kesan sudut yang sempit. Gonioskopi
penting dilakukan untuk evaluasi selanjutnya. Untuk evaluasi
kedalaman dari BMD dengan pemeriksaan slit lamp
biomiocroscop, pengaturan cahaya yang sempit dipilih. Cahaya
harus mengenai mata pada sudut penglihatan yang sempit dari
garis cahaya pemeriksa. Alat untuk imaging dari segmen
anterior telah tersedia (Visante OCT, Zeiss) menyediakan
gambaran tomografi dari BMD dan ukurannya (Khaw dan
Elkington, 2005).
Gambar 7. Evaluasi Kedalaman BMD dengan Slit lamp

c. Gonioskopi
Sudut dari BMD dievaluasi dengan gonioskop yang
diletakkan secra langsung pada kornea. Gonioskopi dapat
membedakan beberapa kondisi:
i. Sudut terbuka : glaukoma sudut terbuka
ii. Sudut tertutup : glaukoma sufut tertutup
iii. Akses sudut menyempit : konfigurasi dengan risiko
glaukoma akut sudut tertutup
iv. Sudut teroklusi : glaukoma sekunder sudut tertutup,
sebagai contoh disebabkan neovaskularisasi pada
rubeosis iridis.
v. Sudut terbuka tetapi disertai deposit sel inflamasi,
eritrosit atau pigmen pada jalinan trabekular : glaukoma
sekunder sudut terbuka
Gonioskopi merupakan pemeriksaan pilihan untuk
mengidentifikasi bentuk respektif dari glaucoma(Khaw dan
Elkington, 2005).

Gambar 8. Gonioskopi

d. Pengukuran Tekanan Intraokular


i. Palpasi Perbandingan
Palpasi dari kedua bola mata merupakan
pemeriksaan awal yang dapat mendeteksi peningkatan
tekanan intraokular. Jika pemeriksa dapat memasukkan
bola mata dimana pada saat palpasi berfluktuasi, tekanan
kurang dari 20 mmHg. Bola mata yang tidak berpegas
tetapi keras seperti batu merupakan tanda tekanannya
sekitar 60-70 mmHg seperti pada glaukoma akut sudut
tertutup (Friedmand dkk., 2002).

Gambar 9. Pengukuran Tekanan Intraokular


dengan Palpasi

ii. Tonometri Schiotz


Pemeriksaan ini mengukur derajat dari kornea yang
dapat diindentasi pada posisi pasien supine. Semakin
rendah tekanan intraokular, semakin dalam pin tonometri
yang masuk dan semakin besar jarak dari jarum bergerak.
Tonometri indentasi sering memberikan hasil yang tidak
tepat. Sebagai contohnya kekakuan dari sklera berkurang
pada mata miop dimana akan menyebabkan pin dari
tonometer masuk lebih dalam. Oleh karena itu tonometri
indentasi telah digantikan oleh tonometri applanasi
(Stamper, 2011).
Gambar 10. Pemeriksaan Tonometri Schiotz

iii. Tonometri Applanasi


Metode ini merupakan metode yang paling sering
dilakukan untuk mengukur tekanan intraokular.
Pemeriksaan ini memungkinkan pemeriksa untuk
melakukan pemeriksaan pada posisi pasien duduk dalam
beberapa detik (metode Goldmann’s). Atau posisi supine (
metode Draeger’s). Tonometer dengan ujung yang datar
memiliki diameter 3.06 mm untuk applanasi pada kornea
diatas area yang sesuai (7,35 mm) . Metode ini dapat
mengeliminasi kekakuan dari sklera yang merupakan
sumber dari kesalahan (Stamper, 2011).
Gambar 11. Pemeriksaan Tonometri Applanasi Goldmann

iv. Tonometri pneumatik non kontak


Tonometer elektronik menembakkan udara 3ms
secara langsung ke kornea. Tonometer merekam defleksi
dari kornea dan mengkalkulasi tekanan
intraokular.Keuntungannya tidak memerlukan penggunaan
anestesi topikal, pengukuran tanpa kontak mengurangi
risiko infeksi (dapat dilakukan pengukuran pada keadaan
konjungtivitis).Kerugiannya kalibrasi sulit, pengukuran
yang tepat hanya dapat dilakukan diantara tekanan yang
rendah dan sedang, tidak bisa digunakan bila terdapat skar
pada kornea, pemeriksaan tidak nyaman untuk pasien,
aliran udara besar, peralatan lebih mahal dibandingkan
tonometer applanasi (Stamper, 2011).
v. Oftalmoskop
Diskus optikus memiliki indentasi yang disebut
optic cup. Pada keadaan peningkatan tekanan intraokular
yang persisten, optic cup menjadi membesar dan dapat
dievaluasi dengan oftalmoskop. Pemeriksaan stereoskopik
dari diskus optikus melalui slit lamp biomicroscope dicoba
dengan lensa kontak memberikan gambaran 3 dimensi.
Optic cup dapat diperiksa stereoskop dengan pupil yang
dilatasi. Nervus opticus memurapakan “glaucoma
memory”. Evaluasi struktur ini akan memberikan
informasi pada pemeriksa keruasakan akibat glaukoma
terjadi dan berapa jauh kerusakan tersebut.

Gambar 12. Diskus Optikus Normal

Optic cup normal, anatomi normal dapat berbeda


jauh. Optic cup besar yang normal selalu bulat dan
elongasi vertikal dari optic cup didapatkan pada mata
dengan glaukoma. Pengukuran diskus optikus, area diskus
optikus, opticus cup dan pinggiran neuroretinal (jaringan
vital diskus optikus) dapat diukur dengan planimetri pada
gambaran 2 dimensi dari nervus opticus.
Perubahan glaukomatosa pada nervus opticus,
glaukoma menimbulkan perubahan tipikal pada bentuk dari
opticus cup. Kerusakan progresiv dari serabut saraf,
jaringan fibrosa dan vaskular, serta jaringan glial akan
diobservasi. Atrofi jaringan ini akan menyebabkan
peningkatan pada ukuran dari optic cup dan wrna diskus
optikus menjadi pucat. Perubahan progresiv dari diskus
optikus pada glaukoma berhubungan dekat dengan
peningkatan defek dari lapang pandang (Lang, 2006).

Gambar 13. Lesi Glaukomatosa pada Nervus Opticus

vi. Tes Lapang Pandang


Deteksi glaukoma sedini mungkin memerlukan
dokumentasi gangguan lapang pandang pada stadium
sedini mungkin. Seperti telah diketahui bahwa gangguan
lapang pandang pada glaukoma bermanifestasi pada
awalnya di daerah lapang pandang superior parasental
nasal atau jarangnya pada lapang pandang inferior, dimana
skotoma relatif nantinya akan berkembang menjadi
skotoma absolut. Gangguan lapangan pandang akibat
glaukoma terutama mengenai 30° lapang pandang bagian
tengah. Kelainan pandang pada glaucoma yaitu terjadinya
pelebaran blind spot dan perubahan scotoma menjadi
byerrum, kemudian jadi arcuata dan berakhir dengan
pembentukan ring, serta terdapatnya seidel sign
Computerized static perimetry (pengukuran sensitivitas
untuk membedakan cahaya)pemeriksaan utama
dibandingkan metode kinetik dalam mendeteksi gangguan
lapang pandang stadium awal (Ilyas dkk., 2002).

Gambar 14. Tes Lapang Pandang

vii. Tes provokasi, dilakukan pada keadaan yang meragukan.


Tes yang dilakukan pada tes kamar gelap, tes
midriasis, tes membaca, tes bersujud (prone test). Untuk
glaucoma sudut tertutup, yang umum dilakukan adalah tes
kamar gelap (karena pupil akan midriasis dan pada sudut
bilik mata yang sempit, ini akan menyebabkan tertutupnya
sudut bilik mata). Caranya adalah ukur TIO awal,
kemudian pasien masuk kamar gelap selama 60-90 menit.
Ukur segera TIO nya. Kenaikan ³8 mmHg, tes provokasi
(+) (Lang, 2006).

6. Pengobatan
Prinsip dari pengobatan glaukoma yaitu untuk mengurangi
produksi humor akueus dan meningkatkan sekresi dari humor akueus
sehingga dapat menurunkan tekanan intra okuler.

Gambar 15. Pilihan Terapi Medikamentosa untuk Glaukoma


a. Supresi pembentukan humor akueus
Penghambat adrenergik beta adalah obat yang sekarang
paling luas digunakan untuk terapi glaukoma. Obat-obat ini dapat
digunakan tersendiri atau dikombinasi dengan obat lain. Timolol
maleat 0,25% dan 0,5%, betaksolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol
0,25% dan 0,5% dan metipranolol 0,3% merupakan preparat-
preparat yang sekarang tersedia. Kontraindikasi utama pemakaian
obt-obat ini adalah penyakit obstruksi jalan napas menahun-
terutama asma-dan defek hantaran jantung. Untuk betaksolol,
selektivitas relatif reseptor β1-dan afinitas keseluruhan terhadap
semua reseptor β yang rendah-menurunkan walaupun tidak
menghilangkan risiko efek samping sistemik ini. Depresi, kacau
pikir dan rasa lelah dapat timbul pada pemakaian obat penghambat
beta topikal (Friedmand dkk., 2002).
Apraklonidin adalah suatu agonis adrenergik α2 baru yang
menurunkan pembentukan humor akueus tanpa efek pada aliran
keluar. Epinefrin dan dipivefrin memiliki efek pada pembentukan
humor akueus.Inhibitor karbonat anhidrase sistemik-asetazolamid
adalah yang paling banyak digunakan, tetapi terdapat alternatif
yaitu diklorfenamid dan metazolamid- digunakan untuk glaukoma
kronik apabila terapi topikal tidak memberi hasil memuaskan dan
pada glaukoma akut dimana tekanan intraokular yang sangat
tinggi perlu segera dikontrol. Obat-obat ini mampu menekan
pembentukan humor akueus sebesar 40-60%. Asetazolamid dapat
diberikan per oral dalam dosis 125-250 mg sampai tiga kali sehari
atau sebagai Diamox Sequels 500 mg sekali atau dua kali, atau
dapat diberikan secara intravena (500 mg). Inhibitor karbonat
anhidrase menimbulkan efek samping sistemik yang membatasi
penggunaan obat-obat ini untuk terapi jangka panjang. Obat-obat
hiperosmotik mempengaruhi pembentukan humor akueus serta
menyebabkan dehidrasi korpus vitreum (Gerhard dkk. 2007).
b. Fasilitasi aliran keluar humor akueus
Obat parasimpatomimetik meningkatkan aliran keluar
humor akueus dengan bekerja pada jalinan trabekular melalui
kontraksi otot siliaris. Obat pilihan adalah pilokarpin, larutan 0,5-
6% yang diteteskan beberapa kali sehari atau gel 4% yang
diteteskan sebelum tidur. Karbakol 0,75-3% adalah obat kolinergik
alternatif. Obat-obat antikolinesterase ireversibel merupakan obat
parasimpatomimetik yang bekerja paling lama. Obat-obat ini adalah
demekarium bromide 0,125 dan 0,25% dan ekotiopat iodide 0,03-
0,25% yang umumnya dibatasi untuk pasien afakik atau
pseudofakik karena mempunyai potensi kataraktogenik. Perhatian:
obat-obat antikolinesterase ireversibel akan memperkuat efek
suksinilkolin yang diberikan selama anastesia dan ahli anestesi
harus diberitahu sebelum tindakan bedah. Obat-obat ini juga
menimbulkan miosis kuat yang dapat menyebabkan penutupan
sudut pada pasien dengan sudut sempit. Pasien juga harus
diberitahu kemungkinan ablasio retina.
Semua obat parasimpatomimetik menimbulkan miosis
disertai meredupnya penglihatan terutama pada pasien katarak dan
spasme akomodatif yang mungkin mengganggu pada pasien muda.
Epinefrin 0,25-2% diteteskan sekali atau dua kali sehari,
meningkatkan aliran keluar humor akueus dan disertai sedikit
penurunan pembentukan humor akueus. Terdapat sejumlah efek
samping okular eksternal, termasuk vasodilatasi konjungtiva reflek,
endapan adrenokrom, konjungtivitis folikularis dan reaksi
alergi.efek samping intraokular yang dapat tejadi adalah edema
makula sistoid pada afakik dan vasokonstriksi ujung saraf optikus.
Dipivefrin adalah suatu prodrug epinefrin yang dimetabolisasi
secara intraokular menjadi bentuk aktifnya. Epinefrin dan dipivefrin
jangan digunakan untuk mata dengan sudut kamera anterior sempit
(Goel dkk., 2010).
c. Miotik, midriatik dan siklopegik
Kontriksi pupil sangat penting dalam penatalaksanaan
glaukoma sudut tertutup akut primer dan pendesakan sudut pada iris
plateau. Dilatasi pupil penting dalam pengobatan penutupan sudut
akibat iris bombe karena sinekia posterior.
Apabila penutupan sudut disebabkan oleh pergeseran lensa ke
anterior, siklopegik (siklopentolat dan atropine) dapat digunakan
untuk melemaskan otot siliaris sehingga mengencangkan apparatus
zonularis dalam usaha untuk menarik lensa ke belakang (James
dkk., 2005).
d. Terapi bedah dan laser
i. Iridektomi dan iridotomi perifer
Sumbatan pupil paling baik diatasi dengan membentuk
komunikasi langsung antara kamera anterior dan posterior
sehingga beda tekanan di antara keduanya menghilang. Hal ini
dapat dicapai dengan laser neodinium:YAG atau argon
(iridotomi perifer) atau dengan tindakan iridektomi perifer.
Walaupun lebih mudah, terapi laser memerlukan kornea yang
relatif jernih dan dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intraokular yang cukup besar, terutama apabila terdapat
penutupan sudut akibat sinekia luas. Iridotomi perifer secara
bedah mungkin menghasilkan keberhasilan jangka panjang
yang lebih baik, tetapi juga berpotensi menimbulkan kesulitan
intraoperasi dan pascaoperasi. Iridotomi laser YAG adalah
terapi pencegahan yang digunakan pada sudut sempit sebelum
terjadi serangan penutupan sudut (American Academy of
Ophtalmology, 2006).
ii. Trabekuloplasti laser
Penggunaan laser (biasanya argon) untuk menimbulkan
luka bakar melalui suatu goniolensa ke jaringan trabekular
dapat mempermudah aliran ke luar humor akueus karena efek
luka bakar tersebut pada jaringan trabekular dan kanalis
Schlemm serta terjadinya proses-proses selular yang
meningkatkan fungsi jaringan trabekular. Teknik ini dapat
diterapkan untuk berbagai macam bentuk glaukoma sudut
terbuka dan hasilnya bervariasi tergantung pada penyebab yang
mendasari. Penurunan tekanan biasanya memungkinkan
pengurangan terapi medis dan penundaan tindakan bedah
glaukoma. Pengobatan dapat diulang. Penelitian-penelitian
terakhir memperlihatkan peran trabekuloplasti laser untuk
terapi awal glaukoma sudut terbuka primer (Vaughan dkk.,
2000).

Gambar 16. Argon Laser Trabeculoplasty


DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophtalmology (2006). Acute Primary Angle


Closure Glaucoma in Basic and Clinical Science Course, bagian 10. hh:
122-6.
2. Friedmand NJ, Kaiser PK, Trattler WB (2002). Ophtalmology.
Philadelphia :Elsevier Saunders.
3. Goel M, Picciani RG, Lee RK, dan Bhattacharya SK (2010). Aqueous
humor dynamics: A review. The Open Ophthalmology Journal 4, hh: 52-9
4. Ilyas, Sidartha, dkk. (2002). Glaukoma. dalam: Ilmu Penyakit Mata, edisi
3, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, h: 212-7.
5. James B, Chew C, Bron A. (2005). Lecture Notes Oftalmologi.
Edisi9.Jakarta : EMS.
6. Khaw PT, Elkington AR. (2005). AC Of Eyes. Edisi ke-4. London: BMJ
Book.
7. Lang, GK. (2006). Glaucoma In Ophthalmology A Pocket Textbook
Atlas. Edisi kedua. Germany. 239-77.
8. Stamper RL (2011). A history of intraocular pressure and its
measurement. Optometry and Vision Science 88(1). hh: E16-28.
9. Vaughan, D.G. Asbury, T. Riodan-Eva, P.( 2000). Glaukoma. dalam :
Oftalmologi Umum, ed. Suyono Joko, edisi 14, Jakarta, Widya Medika, ,
hal : 220-32.
10. Weinreb RN, Aung T, danMedeiros FA (2014). The pathophysiology and
treatment of glaucoma:A Review. JAMA311(18). hh: 1901-11.
11. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th
ed. USA : Mc Graw-Hill; 2007.
12. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology : A Systemic Approach.
7th ed. China: Elsevier : 2011. (e-book)

Anda mungkin juga menyukai