Anda di halaman 1dari 8

A.

Definisi
 Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi baik secara langsung atau tidak
langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikologi yang dapat bersifat temporer ataupun permanen (Nasution, NS.
2010)
 Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dan fungsi otak yang disertai atau
ditandai pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Mutaqqin, 2008)
 Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedara kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan
serangan atau benturan fisik dar iluar yang mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemapuan kognitif dan fungsi otak.

B. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
3. Trauma benda tumpul
4. Kecelakaan rumah tangga
5. Kecelakaan olahraga
6. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasanya itu jenis
kekerasan benda tumpul dan tajam. Benda tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan lalu lintas, jatuh dan pukulan benda tajam berkaitan dengan benda tajam dan
tembakan.

C. Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Sekitar satu juta pasien tiap tahunnya datang
ke Departemen Kecelakaan dan Kegawatdaruratan di Inggris dengan cedera kepala dan
sekitar 5000 pasien meninggal setiap tahunnya setelah mengalami cedera kepala (Grace
& Barley, 2006).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB) (American College of Surgeon Committee on Trauma, 2004). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya
karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi (Turner, 1996).
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi
sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal (PERDOSSI, 2007).

D. Manifestasi klinis dan Klasifikasi


Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak,
di antaranya yaitu :
a. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005) GCS 13-15
 Kebingungan saat kejadian dan kebingungan terus menetap setelah cedera.
 Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
 Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah cedera otak akibat trauma ringan.
b. Cedera kepala sedang, Diane C (2002) GCS 9-12
 Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan
koma.
 Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, perubahan TTV, gangguan penglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan
gangguan pergerakan.
c. Cedera kepala berat, Diane C (2002) GCS < 8
 Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
 Perubahan ukuran pupil, pemeriksaan motorik tidak optimal, adanya cedra terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
 Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
Menurut IKABI (2004) cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek
diantaranya :
a. Berdasarkan mekanisme terjadinya cedera
1. Cedera kepala tumpul : Biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi
yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak
pada protuberas tulang tengkorak.
2. Cedera tembus : dapat disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
b. Berdasarkan morfologi cedera kepala.
Menurut (Tandian, 2011), cedera kepala dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang
meliputi :
1. Laserasi kulit kepala : terjadinya robekan pada lapisan jaringan ikat longgar yang
terletak diantara galea aponeurosis dan periosteum yang memungkinkan kulit
bergerak terhadap tulang. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah, maka
jika terjadi luka dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak. Lapisan
yang dimaksud adalah Skin, Connective tissue, dan perikranii.
2. Fraktur tulang kepala
a. Fraktur linear : fraktur linear merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
b. Fraktur diastasis : fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang
menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Fraktur ini sering terjadi
pada bayi dan balita, sedangkan jika terjadi pada orang dewasa sering terjadi
pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
c. Fraktur kominutif : fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen
dalam satu area fraktur.
d. Fraktur impresi : terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
duremater dan jaringan otak.
e. Fraktur basis kranii : merupakan fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak dan sering disertai dengan robekan pada durameter yang merekat
erat pada dasar tengkorak. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan
cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak
(meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon
eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign
(fraktur basis kranii fossa media) dan menyebabkan lesi saraf kranial sehingga
mengalami gangguan N. olfactorius, N.facialis, N.vestibulokokhlearis.
c. Klasifikasi cedera berdasarkan beratnya
1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
- Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi
- Menderita laserasi, hematoma kulit kepala
- Pusing dan nyeri kepala yang menetap
- Perubahan kepribadian diri
- Mual dan muntah
- Gangguan tidur dan nafsu makan menurun
- Letargi
2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13
- Dapat menuruti perintah, namun tidak memberikan respon yang sesuai dengan
pernyataan
- Amnesia pasca trauma
- Adanya tanda fraktur cranium (battle sign, mata rabun, hemotimpanium,
otorea/rinorea cairan serebrospinal)
- Kejang, mual
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS < 8
- Penurunan kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi/teraba fraktur depresi cranium
- Perubahan ukuran pupil
- Triad Cushing : denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernapasan.

E. Patofisiologi (terlampir)
F. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium: Darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: Menunjukkan abnormali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan, edema), fragmen tulang. Rotgen tengkorak maupun dinding dada.
6. CSF, Punksi Lumbal: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
9. Rontgen kepala 3 posisi: Untuk mengetahui adanya fraktur tulang tengkorak.
10. EEG: Untuk mengetahui adanya gelombang patologi.
11. Skrinning toksikologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
G. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk
sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang
sakit (Fauzi,2002). Untuk penatalaksanaan cedera kepala menurut (IKABI, 2004) telah
menempatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu cedera
kepala ringan,cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Penatalaksanaan
penderita cedera kepala sedang dengan GCS 9-13 meliputi ;
1. Anamnesa penderita yang. terdiri dari; nama,umur,jenis kelamin, ras, pekerjaan.
2. Mekanisme cedera kepala.
3. Waktu terjadinya cedera.
4. Adanya gangguan tingkat kesadaran setelah cedera.
5. Amnesia : retrogade, antegrade.
6. Sakit kepala : ringan, sedang, berat
7. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
8. Pemeriksaan neurulogis secara periodik.
9. Pemeriksaan CT scan kepala.
10. Penderita dilakukan rawat inap untuk observasi.
11. Bila kondisi penderita membaik (90%). penderita dapat dipulangkan dan kontrol di
poliklinik.
12. Bila kondisi penderita memburuk (10%) segera lakukan pemeriksaan CT scan
ulang dan penatalaksanaan sesuai dengan protokol cedera kepala berat.
Cedera kepala sedang walaupun masih bisa menuruti perintah sederhana masih ada
kemungkinan untuk jatuh ke kondisi cedera kepala berat. Maka harus diperhatikan dan
ditangani secara serius. Penatalaksanaan cedera kepala sedang adalah untuk mencegah
terjadinya cedera kepala sekunder oleh karena adanya massa intrakranial atau infeksi
intrakranial. Penderita yang setelah lewat 24 jam terjadinya trauma kepala, meskipun
keadaan stabil harus dilakukan perawatan untuk keperluan obserfasi.(Markam S,
Atmadja, Budijanto A, 1999).
Observasi bertujuan untuk menemukan sedini mungkin penyulit asau kelainan lain
yang tidak segera memberi tanda atau gejala. (Hidajat, 2004). Untuk melakukan
observasi pada panderita cedera kepala digunakan metode glasgow coma scale (GCS).
Pemberiaan obat serta antibiotik
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

H. Komplikasi
1. Koma
Darah arteri yang biasanya berasal dari ruptur arteri meningea yang terjadi karena
fraktur biasanya mengakibatkan terjadinya perdarahan diantara tengkorak dan
duramater. Arteri terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Darah di dalam
arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Darah yang
menumpuk pada durameter dan tengkorak akan menimbulkan hematom pada otak.
Hematom bertambah besar akan meningkatan tekanan intra kranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan kesadaran.
Pada tahap akhir, kesadaran menurun sehingga terjadi koma.
2. Kejang
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.Kejang terjadi beberapa
waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang merupakan
respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.Kejang kejang pada cedera
kepala yang terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam dari trauma kepala
merupakan akibat dari perubahan mekanikdan neurokimia sementara dalam sistem
saraf pusat. . kejang pasca trauma awal akibat dari edema otak, lesi/perdarahan .
3. Pendarahan intrakranial
4. Mengitis atau abses otak
5. Kebocoran cairan serebrospinal
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah
kesadaran dan perubahan tingkah laku.Hal ini disebabkan karena cedera kepala yang
dialami telah mengakibatkan kerusakan pada salah satu bagian dari otak besar yakni
korteks serebri sehingga mempengaruhi kemampuan berpikir, emosi dan perilaku
seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas
perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan
yang terjadi.
6. Penyakit Alzheimer dan Parkinson : Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan
terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan
semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera. Hal ini disebabkan karena
penurunan metabolism dan aliran darah di korteks parietalis akibat trauma kepala.
Sehingga terjadi degenerasi neuron kolinergik yang kemudian menyebabkan atropi
otak dan penuruna nsel neuron kolinergik. Lalu terjadi penurunan neuro transmitter
dan menyebabkan asetil kolin menurun. Akibatnya adalah timbul gejala alzheimer.
Sedangkan penyakit parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamine akibat
degenerasi atau kematian neuron di pars kompakta substansi anigrase besar 40 ±
50% yang disertai adanya inklusisitoplas mikeosinofilik (Lewy bodies).
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, elizabeth J. 2008. Patofisiologi: buku saku, Ed:3. Jakarta: EGC

Grace, P.A, Borley, N R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit Erlangga

Munttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Jakarta : Selemba Medika.

Rubenstein, david. 2003. Lecture Notes: kedokteran Klinis, ed:6. Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai