Anda di halaman 1dari 36

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama
tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit),
sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat
persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas
hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut,
tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK
Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh.
Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002.
Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per
100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia.1,2
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa
oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan
ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin
terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) semakin
buruk.
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel
epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan
menimbulkan metastasis.2
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring.2
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada
epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring).2

2.2. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup
tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 –
8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based”).
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi
anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan
di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF
dari tahun 2000 – 2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus
setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang
25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979).
Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien
karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku
bangsa lainya. Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi
dan kebiasaan biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh
UICC (International Union against Cancer) dalam symposium kanker
nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964 (MUIR,dkk.1967), dan
dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak
temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi
yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.
3

KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang


antara berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi,
insiden KNF lebih rendah dari 1/105 di semua area. Insiden tertinggi
terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden ini
tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000
penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on
Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh
dunia, dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina
sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk local
dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan
timur tengah.
Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita
dengan rasio 2-3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan
pasti, mungkin ada hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup,
pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda
pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden
rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada
daeraj dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun,
puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya.
Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF,
sehingga kekerapan cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok
sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini.

2.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARING


Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral. Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah
os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana
dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas
inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan
orofaring.4
Batas nasofaring:
4

 Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia


 Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke
posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.
 Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
 Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
-
Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
-
Mukosa lanjutan dari mukosa atas
 Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
-
Muara tuba eustachii
-
Fossa rosenmulleri10,11

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian
belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian
belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang
disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa
Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum.
Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang
menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi
udara telinga tengah.4

Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk


oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring
superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi
foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus.
Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor
ke intrakranial.
5

Gambar 1. Anatomi nasofaring


6

Gambar 2. Fossa of Rosenmuller

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu


respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk
oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat
ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata
tertentu.
Struktur penting yang ada di Nasopharing
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva
yang disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
7

5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan


penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk
membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap
atau menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan
tempat predileksi Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut
adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut
adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara
nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae
pharingei

Gambar 3. Nasofaring

Fungsi nasofaring :
 Sebagai jalan udara pada respirasi
 Jalan udara ke tuba eustachii
 Resonator
 Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

2.4. ETIOLOGI
8

Karsinoma nasofaring terjadi akibat gabungan dari faktor


predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan infeksi virus Ebstein-Barr
(Adham, 2009 & Wolden, 2001).
1. Genetik
Analisis genetik pada populasi endemik menunjukkan orang-orang
dengan kelemahan pada gen HLA memiliki resiko dua kali lebih tinggi
untuk menderita karsinoma nasofaring.
2. Lingkungan
Penelitian-penelitian menunjukkan konsumsi makanan yang
mengandung volatile nitrosamine (misalnya ikan asin), paparan
formaldehide, akumulasi debu kapas, asam, caustic, proses pewarnaan
kain, merokok, nikel, alkohol, dan infeksi jamur pada cavum nasi
meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring.
3. Virus Ebstein-Barr
Infeksi EBV pada manusia bermanifestasi menjadi beberapa bentuk
penyakit. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis, limfoma
burkit dan karsinoma nasofaring. Infeksi EBV-1 dan EBV-2 telah
dihubungkan dengan kejadian karsinoma nasofaring di Cina Selatan, Asia
Tenggara, Mediterania, Afrika, dan Amerika Serikat. Dijumpainya Epstein-
Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan
terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang
peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF
serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen.
Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun
virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya
bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan
manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak
cukup untuk menimbulkan proses keganasan. (Lu. 2010)
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten
dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama
yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada
limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini
merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam
9

DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.


Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel
epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian,
ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel
epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor).
Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-
barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang
menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali
menjadi normal atau dapat terjadi perubahan sifat sel sehingga terjadi
transformsi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformasi sel menjadi
ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten,
yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1
berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein
transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase
yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen
LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi
menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166
asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein
transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis
factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B
dan menghambat respon imun lokal.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker
Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan
minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi
genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan ada peneliti yg
mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko
terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok.

2.5. PATOFISIOLOGI KANKER NASOFARING


10

Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa


tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan
nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding
nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan
sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF
adalah pada Fossa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar
limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis
lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran KNF dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis,
disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum,
kemudian ke sinus kavernosus dan Fossa kranii media dan fossa kranii
anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N.I–N.VI). Kumpulan
gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat
metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering
terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal.
2. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus
fascia pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di
dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll) di mana di dalamnya
terdapat nervus kranialais IX – XII; disebut penjalaran retroparotidian.
Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N VII - N XII
beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat
kerusakan pada N IX – N XII disebut sindroma retroparotidean atau
disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang
mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tonggi dalam
sistem anatomi tubuh,
Gejala yang muncul umumnya antara lain:
a. Trismus
b. Horner Syndrome (akibat kelumpuhan nervus simpatikus
servikalis)
11

c. Afonia akibat paralisis pita suara


d. Gangguan menelan
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening
Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu
penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu
karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat
mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada
lapisan sub mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar
getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral
retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier.
Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang
biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan
pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri
karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker
dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot
dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati
servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.

2.5. GEJALA DAN TANDA KARSINOMA NASOFARING


Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari
nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke
dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau
posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung
atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal.
Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati
(jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena1,2.
Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10%
asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri
merupakan gejala yang paling sering dijumpai 5,13. Gejala dini karsinoma
nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi saluran nafas
atas.
12

Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala
telinga. Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring.
Tumor tumbuh mula-mula di fossa Rosenmuller di dinding lateral
nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap nasofaring,
menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya
rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan
pilek berulang dengan mukus yang bercampur darah. Kadang-kadang
dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat muara tuba
eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa
berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala
ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari
karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan
penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai karsinoma
nasofaring6,17.

Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas


sehingga pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan
karena tumor primer telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau
mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening servikal. Pada
stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak
karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjar
leher5,6,17. Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen
laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III, IV
dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis
abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah
sisi yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa
hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa
ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata terkena. Nyeri kepala
hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial 6,17. Metastasis sel-sel
tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan timbulnya
pembesaran kelenjar getah bening bagian samping (limfadenopati
servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi
menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat
13

pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan


gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien6,17.
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
1. Gejala Telinga
 Oklusi Tuba Eustachius
Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan
tumor dapat menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada
muara tuba. Hal ini akan mengakibatkan gejala berupa
mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini merupakan tanda
awal pada KNF.
 Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis
Media.
 Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran
menurun, dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan
ditemukan tuli konduktif.
2. Gejala Hidung
 Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang
dindingnya rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan
dinding pembuluh darah tersebut pecah.
 Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor
dalam nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis
kronis.
Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma
Nasofaring, karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit
lain. Namun jika gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada
pengobatan, maka perlu dicurigai akan adanya penyebab lain yang ada
pada penderita; salah satu di antaranya adalah KNF.
3. Gejala Mata
 Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia
(penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen
laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila
terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.
4. Tumor sign :
 Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda
penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma
nasofaring.
14

5. Cranial sign :
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-
saraf kranialis.
Gejalanya antara lain :
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan
metastase secara hematogen.
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
 Kesukaran pada waktu menelan
 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai
N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o
Lidah
o
Palatum
o
Faring atau laring
o
M. sternocleidomastoideus
o
M. trapezeus 14,15
Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan
dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri
pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus
trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan bersamaan, maka disebut
Trotter’s Triad.

2.7 DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu
karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor:
2.7.1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF)
2.7.1.1 Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan
cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung)
serta fibernasofaringoskopi15.Jika ditemukan tumor berupa massa yang
menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan halus, berrnodul dengan
atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa yang menggantung dan
infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring sehingga
harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan sitologi.
15

2.7.1.2 Gejala Klinis


Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai
diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya
karsinoma nasofaring
Tabel 1 Formula Digsby 17

Gejala Nilai

Massa terlihat pada Nasofaring 25

Gejala khas di hidung 15

Gejala khas pendengaran 15

Sakit kepala unilateral atau bilateral 5

Gangguan neurologik saraf kranial 5

Eksoftalmus 5

Limfadenopati leher 25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma


nasofaring dapat dipertanggung jawabkan. Sekalipun secara klinik jelas
karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan,
selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe
histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.17

2.7.2 Biopsi nasofaring


Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik
ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik
atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy
cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan
16

dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring
umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
 Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung
menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
 Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton
yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada
dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter
yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung
disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan
terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam
narkosis.
2.7.3 Sitologi dan Histopatologi
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1)
Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau
intercellular bridge atau keduanya. (2) Non keratinizing squamous cell
carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas (pavement cell
pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan
syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk
spindel,anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit.1,2,3,4
Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma
nasofaring menjadi Keratinizing squamous cell carcinoma, Non
keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas differentiated dan
undifferentiated dan Basaloid Carcinoma. 1, 18
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang
sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi
tidak begitu radiosensitif.18
2.7.3.1 Sitologi
17

Squamous Cell Carcinoma


Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih
memanjang dengan khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata.
Pleomorfisme dari inti dan membran inti lebih jelas. Selalu terlihat
perbedaan (variasi) yang jelas dalam derajat khromasia di antara inti yang
berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlahnya.
Sitoplasma lebih padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenal.
Perbandingan inti, sitoplasma dan nukleolus adalah inti lebih kecil.
Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai tanda
adanya diferensiasi ke arah squamous cell. Bila keratinisasi tidak terlihat
maka dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi
sitoplasma pada bagian pinggir sel merupakan penuntun yang sangat
menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai squamous cell carcinoma.
19

Gambar 4. Cytology smear showing clusters of keratinizing squamous


carcinoma indicating metastasis in the lymph node. (MGG X 400)
(*cited from The Internet Journal of Pathology™ ISSN: 1528-8307)
Undifferentiated Carcinoma
Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated
carcinoma berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak
berdiferensiasi, inti yang membesar dan khromatin pucat, terdapat anak
18

inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang sel-sel radang
limfosit diantara sel-sel epitel. 19,20,21 Dijumpai gambaran mikroskopis
yang sama dari aspirat yang berasal dari lesi primer dan metastase pada
kelenjar getah bening regional 19,20

Gambar 5. Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated, dengan latar belakang limfosit.


Tampak sitoplasma yang eosinofilik dan anak inti yang prominen (Dikutip dari: Orell, SR,
Philips,J.Fine-Needle Aspiration Cytology, Fourth Edition Elsevier, 2005).

2.7.3.2 Histopatologi
Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell
carcinoma memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi
lainnya.5,13 Dijumpai adanya diferensiasi dari sel squamous dengan
intercellular bridge atau keratinisasi.2,6 Tumor tumbuh dalam bentuk
pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan
infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang
bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan stratified. Batas antar sel
jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian tengah
pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan
keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.19,20
19

Gambar 6. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and
Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell


carcinoma memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-
pulau.2,12 Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang
dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan
undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma
lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol 19,20
20

Gambar 7. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai
and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan
gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval
dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat
tumpang tindih6. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai
infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga
dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel
radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid dan multinucleated
giant cell (walaupun jarang)2,12.
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu
tipe Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas
yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit.
Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan
bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large
cell malignant lymphoma. 19,20
21

Gambar 8. Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang


padat ( “Regaud type”). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical
Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

2.7.4 Pemeriksaan radiologi


Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan
pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto
polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk mendiagnosa secara pasti C.T
Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui C.T Scan dan
MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa
penyebaran massa tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan
stadium dan jenis terapi yang akan dilakukan.
Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya
tumor pada daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.12,21
1. Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu foto
posisi Waters, lateral, dan AP. Pemeriksaan dengan menggunakan foto-foto
tersebut akan menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto
dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa
serebri media.
22

Gambar 13. Gambaran foto polos menunjukkan massa di daerah nasofaring


(arah tanda panah)

Gambar 14. Gambaran foto polos dasar tengkorak, menunjukkan erosi


tulang di bagian basal dari sfenoid dan foramen laserum (arah tanda panah)
23

Gambar 15. Gambaran erosi dari fosa serebri media sebelah kiri (arah
tanda panah)

2. CT (Computerized Axial Tomography) Scan dan MRI (Magnetic


Resonance Imaging)
CT-Scan dan MRI daerah kepala dan leher dilakukan untuk
mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi
pun akan ditemukan. MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan
dengan CT Scan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring dan
kemungkinan penyebarannya yang menyusup ke jaringan atau nodus
limfe.
24

Gambar 16. CT Scan aksial nasofaring normal.


25

Gambar 17. CT Scan aksial menggambarkan karsinoma nasofaring stadium awal,


terdapat penebalan fosa Rossenmuler kiri.

Gambar 18. CT Scan aksial os Temporal menunjukkan massa di nasofaring


(karsinoma nasofaring)

Gambar 19. CT Scan koronal menunjukkan massa di atap nasofaring


26

Gambar 20. CT Scan koronal menunjukkan massa di nasofaring dan sinus


kavernosus kanan

2.8 DIAGNOSIS BANDING


1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa,
pada anak-anak hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada
foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap
nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya simetris serta
27

struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti


tampak pada karsinoma. 12,14
2. Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasanya
tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap
nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada
penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi
tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada
pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus
maksilarisyang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya
akan vaskular maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan
sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula
membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto
polos.14,18
3. Tumor sinus sphenoidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang
dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien
dating untuk pemeriksaan pertama.14,18,19
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral
sehingga menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara
C.T. Scan, pendesakan ruang para faring ke arah medial dapat
membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.14,19
5. Tumor kelenjar parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang
terletak agak dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah
lumen nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan
ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada pemeriksaan
C.T.Scan.12,14,18,19
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang,
tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang,
maka sering timbul kesulitan untuk membedakannya. Dengan foto
polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah
clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar
28

cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak


memperlihatkan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF
sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.12,14,19
7. Meningioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-
kadang meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah
basis kranii. Ganbaran CT meningioma cukup karakteristik yaitu
sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi
sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.
Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor
ini.12,14,19
2.9. STADIUM
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan
antara UICC (Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992
adalah sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan
perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga
nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional


N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat
digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih
dapat digerakkan
N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau
bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
29

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh


M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh.

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :


Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0, N1 M0
Tiap T, N2, N3 M0
Tiap T, Tiap N, M1
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging
dari nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor
yang tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil
biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-
superior dan dindinglateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang
saraf cranial (atau keduanya).12,13,14,16

2.10. PROGNOSIS
Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel
skuamosa) memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan
karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi karena pada karsinoma
nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara keseluruhan,
angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh
beberapa faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut.

Usia lebih dari 40 tahun
30


Laki-laki dari pada perempuan


Ras Cina dari pada ras kulit putih


Adanya pembesaran kelenjar leher


Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak


Adanya metastasis jauh12,16

2.11. KOMPLIKASI
Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu
komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke
arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk :
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen
laserum sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI
juga menekan N.II. yang memberikan kelainan :
 Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan
suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti
terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari
nervus trigeminus.
 Ptosis palpebra ( N. III )
 Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )20
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat
menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju
ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah
bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan
manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor
superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah
31


N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring
disertai gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa
penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.20
3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering
adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan
prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa
karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru
dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %,
ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. 11,12,17

2.12. PENATALAKSANAAN
2.12.1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting
dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama
untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi.
Pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,
karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan
pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator
atau linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan
elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga
timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan
molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
2.12.2. Kemoterapi
32

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring


ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium
lanjut atau pada keadaan kambuh.14,15,18,23
2.12.2. 1ndikasi Kemoterapi
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki
indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal
ternyata :
-
kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
-
kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
-
pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh). 15,18,23

2.12.3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa
diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika
masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat
bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu
operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau
adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara
lain.
2.12.4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma
nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma
nasofaring dapat diberikan imunoterapi, yaitu dengan mengambil sampel
darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu proses
imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali
ke tubuh pasien di mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh
akan memberikan reaksi imunitas baru terhadap EBV. Namun teknik ini
masih dalam pen elitian sehingga belum dapat digunakan dalam terapi
kanker nasofaring.
33

2.13. PENCEGAHAN
 Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara
memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-
bahan yang berbahaya.

 Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat,


meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan
dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.

 Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal
di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.
34

BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu
yang mematikan dan menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas
di tubuh.
Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu :
(1)Adanya infeksi EBV,
(2) Faktor lingkungan
(3) Genetik
Karsinoma nasofaring banyak ditemukan pada ras mongoloid,
termasuk di Indonesia.
Pada stadium dini yang diberikan adalah penyinaran dan hasilnya baik.
35

DAFTAR PUSTAKA

1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.


Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi
kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50.
2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring.
Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11.
3. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h.
70-81.
4. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi
kombinasi/kemoradioterapi.
5. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of
Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin :
Springer,2010. p. 1-9.
6. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan
radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.
7. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir.
Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144,
2004.h. 16-18.
8. Ahmad, A.. 2002. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada
Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif.
Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.
9. Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal. 371-396
10. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam:
Efiaty A. Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta: FKUI. Hal.146-50.
11. Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396
12. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam:
Evans P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and
Practice of Head and Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz.
Hal. 473-81.
36

13. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah


Patologi. Jakarta: FKUI. Hal.151-152
14. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of
Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal.
89-92.
15. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111,
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001,
Jakarta
16. http://en.wikipedia.org/wiki/Epstein-Barr_virus"
17. http://www.pdgionline.com/web/index.php?
option=content&task=view&id=600&Itemid=0&limit=1&limitstart=1
18. 11. T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan
radioterapi. Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara.
Vol.XXVI No.1. Medan: FK USU, 1996. h. 15-20.
19. Abdul Rasyid. Karsinoma nasofaring : penatalaksanaan radioterapi.
Tinjauan pustaka. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. XXXIII
No.1. Medan : FK USU, 2000. h. 52-8.
20. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada
pengobatan karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-
16.
21. I Dewa Gede Sukardja. Onkologi klinik. Surabaya : FK Unair, 1996.h.
179-87.
22. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK
USU/RSUP. H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 1996.h. 52.
23. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In :
Cancer in Asia Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93

Anda mungkin juga menyukai