Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Penyusun

i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 3
B. Tujuan .................................................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................. 5
A. Konsep Budaya Organisasi .................................................................................................. 5
B. Tingkatan Budaya Organisasi .............................................................................................. 7
C. Dimensi Budaya Organisasi ............................................................................................... 11
BAB III PENUTUP .................................................................................................................... 13
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemahaman atas budaya organisasi merupakan sarana terbaik bagi rumah sakit
untuk dapat memahami sumber daya manusia dari berbagai profesi di dalam rumah
sakit karena budaya organisasi merupakan ketentuan aturan dan norma yang tidak
tertulis yang menjadi standar perilaku yang dapat diterima dengan baik oleh anggota
organisasi (Sunarto, 2004).
Rumah sakit di Indonesia pada awalnya dibangun oleh dua institusi. Pertama
adalah pemerintah dengan maksud untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat umum terutama yang tidak mampu. Kedua adalah institusi keagamaan
yang membangun rumah sakit nirlaba untuk melayani masyarakat miskin dalam rangka
penyebaran agamanya. Hal yang menarik akhir-akhir ini adalah adanya perubahan
orientasi pemerintah tentang manajemen rumah sakit dimana kini rumah sakit
pemerintah digalakkan untuk mulai berorientasi ekonomis. Untuk itu, lahirlah konsep
Rumah Sakit Swadana dimana investasi dan gaji pegawai ditanggung pemerintah
namun biaya operasional rumah sakit harus ditutupi dari kegiatan pelayanan
kesehatannya (Rijadi 1994). Dengan demikian, kini rumah sakit mulai memainkan
peran ganda, yaitu tetap melakukan pelayanan publik sekaligus memperoleh
penghasilan (laba ?) atas operasionalisasi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
masyarakat.
Mengingat adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan tuntutan eksternal
yang semakin berkembang, rumah sakit dihadapkan pada upaya penyesuaian diri untuk
merespons dinamika eksternal dan integrasi potensi-potensi internal dalam
melaksanakan tugas yang semakin kompleks. Upaya ini harus dilakukan jika organisasi
ini hendak mempertahankan kinerjanya (pelayanan kesehatan kepada masyarakat
sekaligus memperoleh dana yang memadai bagi kelangsungan hidup organisasi).
Untuk itu, ia tidak dapat mengabaikan sumber daya manusia yang dimiliki termasuk

3
perhatian atas kepuasan kerjanya. Pengabaian atasnya dapat berdampak pada kinerja
organisasi juga dapat berdampak serius pada kualitas pelayanan kesehatan.
Dalam konteks tersebut, pemahaman atas budaya pada tingkat organisasi ini
merupakan sarana terbaik bagi penyesuaian diri anggota-anggotanya, bagi orang luar
yang terlibat (misalnya pasien dan keluarganya) dan yang berkepentingan (seperti
investor atau instansi pemerintah terkait) maupun bagi pembentukan dan
pengembangan budaya organisasi itu sendiri dalam mengatasi berbagai masalah yang
sedang dan akan dihadapi. Namun sayangnya penelitian atau kajian khusus tentang
persoalan ini belum banyak diketahui, atau mungkin perhatian terhadap hal ini belum
memadai.
Hasil penelitian Marie (2004) menunjukkan bahwa budaya organisasi di Nevada
Hospital digolongkan baik. Hal ini terlihat dari segi gaji perawat yang tinggi, sumber
daya manusia yang kompeten dan yang paling utama adalah rumah sakit tersebut
menjunjung tinggi budaya kerjasama yaitu penghargaan yang paling tinggi dan
kepedulian terhadap kerja tim dan partisipasi. Budaya organisasi tersebut sangat
kontraks apabila dibandingkan degan fenomena budaya organisasi di Rumah Sakit
Indonesia.
Carlis (2009) melihat fenomena yang ada di rumah sakit di Kabupaten Aceh
ternyata dijumpai bahwa nilai-nilai senioritas yaitu pemahaman staf terhadap budaya
organisasi dalam hubungan saling menghormati antar staf.
Berdasarkan fenomena tersebut pembentukn budaya organisasi yang baik akan
memberikan implikasi pada kepemimpinan di rumah sakit, pengelolaan potensi-
potensi dari berbagai kelompok agar dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan
organisasi. Denison (2006 dalam casida, 2007) menyatakan bahwa budaya organisasi
terdiri dari empat dimensi yaitu keterlibatan,konsistensi,adaptasi dan misi. Rumah
Sakit misalnya, dikatakan efektif jika ia berhasil memenuhi kebutuhan para kliennya
atau memberikan pelayanan kesehatan terbaik.
B. Tujuan
Bagaimana mengenal budaya organisasi pada lingkungan Rumah Sakit.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Budaya Organisasi
a. Pengertian Budaya Organisasi
Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal
mula dan memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku
organisasi. Bagaimanapun juga, baru-baru ini saja konsep budaya timbul ke
permukaan sebagai suatu dimensi utama dalam memahami perilaku organisasi
(Hofstede 1986). Schein (1984) mengungkapkan bahwa banyak karya akhir-akhir
ini berpendapat tentang peran kunci budaya organisasi untuk mencapai keunggulan
organisasi. Mengingat keberadaan budaya organisasi mulai diakui arti pentingnya,
maka telaah terhadap konsep ini perlu dilakukan terutama atas berbagai isi yang
dikandungnya.
Kata budaya (Culture) sebagai suatu konsep berakar dari kajian atau disiplin
ilmu Antropologi diartikan sebagai Falsafah, ideologi, nila-nilai, anggapan,
keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama dan mengikat suatu
masyarakat. Kini konsep tersebut telah pula mendapat tempat dalam perkembangan
ilmu perilaku organisasi, dan menjadi bahasan yang penting dalam literatur ilmiah
dikedua bidang itu dengan memakai istilah budaya organisasi
Pengertian budaya organisasi menurut para ahli:
1) Menurut Robbins & Coulter (2012:51) budaya organisasi adalah nilai,
prinsip, tradisi, dan sikap yang mempengaruhi cara bertindak anggota
organisasi.
2) Menurut Kreitner & Kinicki (2007:64) budaya organisasi adalah nilai dan
keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi.
3) Menurut Mathis & Jackson (2006:128) budaya organisasi adalah pola
nilai dan keyakinan bersama yang memberikan arti dan peraturan perilaku
bagi anggota organisasional.

5
4) Menurut Robbins (2008) budaya organisasi mengacu pada suatu sistem
makna bersama yang diselenggarakan oleh angggota yang membedakan
organisasi dari organisasi lain.
Budaya organisasi merupakan faktor paling penting dalam suatu organisasi,
Organisasi dengan budaya yang kuat dapat menarik perhatian seorang individu
untuk bergabung dalam suatu organisasi. Budaya organisasi yang kuat dapat
mendukung tercapainya tujuan organisasi karena budaya organisasi dapat
membantu organisasi untuk mengarahkan karyawan untuk melakukan pekerjaan
yang dengan baik, sehingga setiap karyawan perlu memahami dan
mengimplementasikan budaya tersebut. Budaya organisasi sering diartikan sebagai
nilai-nilai, simbol-simbol yang dimengerti dan dipatuhi bersama oleh seluruh
anggota organisasi sehingga para anggota merasa terikat dalam suatu keluarga dan
menciptakan suatu kondisi yang berbeda dengan organisasi lain.
b. Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Robbins (2006:725) budaya menjalankan sejumlah fungsi didalam
organisasi, yaitu:
1) Budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas, artinya budaya
menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
2) Budaya membawa suatu rasa identitas ke anggota-anggota organisasi.
3) Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan diri pribadi seseorang.
4) Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.
5) Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan
organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat mengenai
apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.
6) Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu
dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

6
B. Tingkatan Budaya Organisasi
Dalam mempelajari budaya organisasi ada beberapa tingkatan budaya dalam
sebuah organisasi, dari yang terlihat dalam perilaku (puncak) sampai pada yang
tersembunyi. Schein (dalam Mohyi 1996: 85) mengklasifikasikan budaya organisasi
dalam tiga kelas, antara lain :
1. Tingkat artifak (artifacts)
bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan fisik organisasi,
arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku yang
dapat dilihat atau didengar, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran
dasar, materi orientasi karyawan, dan cerita. Analisis pada tingkat ini cukup
rumit karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan. Dengan analisis ini
dapat diuraikan bagaimana suatu kelompok menyusun lingkungannya dan apa
pola perilaku yang dapat dilihat dari kalangan anggotanya, Tetapi, dalam
mengidentifikasi nilai-nilai tersebut biasanya mereka menggambarkan secara
akurat nilai-nilai yang didukung dalam budaya tersebut. Artinya, mereka
difokuskan pada apa yang dikatakan orang sebagai alasan perilaku mereka. Apa
yang secara ideal mereka harapkan merupakan alasan perilaku tersebut, dan
yang seringkali merupakan rasionalisasi (baca : pembenaran) bagi perilaku
mereka. Namun alasan mendasar bagi perilaku mereka tetap saja tersembunyi
atau tidak disadari.
2. Tingkat nilai (values)
yang memiliki tingkakesadaran yang lebih tinggi daripada artifak, Untuk benar-benar
memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara lengkap nilai-nilai
dan perilaku nyata dari suatu kelompok, perlu diselidiki asumsi yang
mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan
bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasakan.
Asumsi seperti ini dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari yang
bermula sebagai nilai-nilai yang didukung (espoused value).
3. Tingkat Asumsi Dasar

7
Budaya yang dapat diterima begitu saja (taken for granted), tidak kasat mata,
dan tidak disadari keyakinan yang dimiliki anggota organisasi tentang diri
mereka sendiri, tentang orang lain dan hubungan mereka dengan orang lain
serta hakekat organisasi mereka. ketika nilai menyebabkan perilaku dan ketika
perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi
menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi
telah diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih. Dengan kata lain
perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut
masih diperdebatkan atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa adanya (taken
for granted) maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat
terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai. Mengacu
kepada tingkatan asumsi dasar untuk memahami budaya organisasi, Schein
memberikan beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi.
Asumsi dasar ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya suatu
organisasi.
Asumsi dasar ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya suatu
organisasi. Beberapa dimensi asumsi dasar tersebut adalah :
1. Keterkaitan lingkungan organisasi
Aspek ini mengamati asumsi yang lebih mendasar tentang hubungan
manusia dengan alam dan lingkungan. Dapat dinilai dengan bagaimana
anggota-anggota kunci organisasi memandang hubungan tersebut.
Terdapat tiga dimensi dari aspek ini.
a) Tentang bagaimana mereka memandang peran organisasi dalam
masyarakat yang mana hal ini dapat dilihat melalui jenis produk yang
dihasilkan atau cara pelayanan yang diberikan, atau dimana pasar
utamanya, atau segmentasi pelanggan yang dibidik.
b) Tentang apa pandangan mereka terhadap lingkungan yang relevan
dengan organisasi, apakah lingkungan ekonomi, politik, teknologi,
sosial-budaya, atau yang lainnya.

8
c) Bagaimana pandangan mereka tentang posisi organisasi terhadap
lingkungan, apakah organisasi mendominasi, atau didominasi oleh,
atau seimbang dengan lingkungannya tersebut.
2. Hakikat realitas dan kebenaran
Aspek ini menyangkut pandangan anggota-anggota organisasi tentang
kaidah-kaidah linguistik dan keperilakuan yang menetapkan mana yang
riil dan mana yang tidak, mana yang fakta, bagaimana kebenaran akhirnya
ditentukan, dan apakah kebenaran diungkapkan atau ditemukan. Terdapat
empat dimensi dari aspek ini. Pertama, realitas fisik yang menyangkut
persoalan kriteria obyektif atas fakta. Kedua, realitas sosial yang
mempersoalkan konsensus atas opini, kebiasaan, dogma, dan prinsip.
Ketiga, realitas subyektif yang mempersoalkan pengalaman subyektif
atas pendapat, kecenderungan, dan cita rasa pribadi. Keempat, Mengenai
kriteria kebenaran yang berarti bagaimana kebenaran itu seharusnya
ditentukan, apakah oleh tradisi, dogma, moral atau agama, pendapat
orang-orang bijak atau orang-orang yang berwenang, proses hukum,
resolusi konflik, uji coba, atau pengujian ilmiah.
3. Hakikat sifat manusia
Aspek ini menyangkut pandangan segenap anggota organisasi tentang
apa yang dimaksud dengan manusia dan apa atribut-atribut yang dianggap
intrinsik atau puncak ? Terdapat dua dimensi dari aspek ini.
a) tentang sifat dasar manusia yaitu apakah manusia pada dasarnya
bersifat baik, buruk, atau netral ?
b) mengenai perubahan sifat tersebut yaitu apakah sifat manusia itu
tetap (tidak dapat berubah) ataukah dapat berubah dan
disempurnakan ? Mana yang lebih baik misalnya antara teori X atau
teori Y ?
4. Hakikat kegiatan manusia

9
Aspek ini menyangkut pandangan semua anggota organisasi tentang
hal-hal benar apa yang perlu dikerjakan oleh manusia atas dasar asumsi
mengenai realitas, lingkungan, dan sifat manusia diatas, apakah ia harus
aktif, pasif, pengembangan pribadi, fatalistik, atau yang lainnya ? Apa
yang dimaksud dengan kerja dan apa yang dimaksud dengan main ?
Dimensi utama dari aspek ini adalah sikap mental manusia terhadap
lingkungan, yaitu apakah proaktif, reaktif, ataukah harmoni ?
5. Hakikat hubungan antar manusia
Aspek ini menyangkut pandangan manusia tentang apa yang dipandang
sebagai cara yang benar bagi manusia untuk saling berhubungan, untuk
mendistribusikan kekuasaan atau cinta ? Apakah hidup ini kooperatif atau
kompetitif; individualistik, kolaboratif kelompok atau komunal ? Yang
jelas terdapat dua dimensi dari aspek ini. Pertama, struktur hubungan
manusiawi yang memiliki alternatif linealitas, kolateralitas, atau
individualitas. Kedua, struktur hubungan organisasi yang mempunyai
variasi otokrasi, paternalisme, konsultasi, partisipasi, delegasi,
kolegialitas.
Selanjutnya Schein menambahkan pula dua asumsi dasar lagi dalam
karyanya tersebut sebagai sub dimensi hakikat realitas dan kebenaran. Dua
asumsi tambahan ini adalah :
6. Hakikat waktu
Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi tentang
orientasi dasar waktu. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. Pertama,
arahan focus yang menyangkut masa lalu, kini, dan masa mendatang.
Kedua, konsep dasar waktu tentang apakah waktu itu bersifat linear
(monokronik), atau polikronik, atau siklikal. Ketiga, tentang apakah
ukuran waktu yang relevan yang berlaku dalam organisasi tersebut, yaitu
apakah mempergunakan satuan detik, menit, jam, hari, minggu, bukan,
tahun, dan seterusnya.

10
7. Hakikat Ruang
Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi mengenai
konsep ruang. Terdapat tiga dimensi dalam aspek ini. Pertama,
ketersediaan ruang yang menyangkut apakah ruang itu tersedia, ataukah
tersedia namun terbatas, ataukah terbatas dalam pandangan orang-orang
tersebut. Kedua, penggunaan ruang sebagai simbol yang berkenaan
dengan pandangan apakah ruang itu berfungsi sebagai status dan
kekuasaan, atau untuk keakraban, atau berfungsi sangat pribadi. Ketiga,
fungsi ruang sebagai norma 'jarak', yaitu jarak antara formal-informal ,
dan jarak antara sahabat-teman, serta jarak dalam pertemuan dan
hubungan dengan orang luar.

C. Dimensi Budaya Organisasi


Menurut Robbins & Coulter (2012:52), ada 7 dimensi budaya organisasi yaitu:
1. Inovasi dan keberanian mengambil risiko (Inovation and risk taking), adalah
sejauh mana organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani
mengambil resiko. Selain itu bagaimana organisasi menghargai tindakan
pengambilan risiko oleh karyawan dan membangkitkan ide karyawan.
2. Perhatian terhadap detail (Attention to detail), adalah sejauh mana organisasi
mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian
kepada rincian.
3. Berorientasi kepada hasil (outcome orientation), adalah sejauh mana
manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada
teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hal tersebut.
4. Berorientasi kepada manusia (People orientation), adalah sejauh mana
keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di
dalam organisasi.
5. Berorientasi tim (Team orientation), adalah sejauh mana kegiatan kerja
diorganisasikan sekitar tim-tim, bukan individu-individu.

11
6. Sikap agresif (Aggressivenes), adalah sejauh mana orang-orang dalam
organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi
sebaik-baiknya.
7. Stabilitas (Stability), adalah sejauh mana kegiatan organisasi menekankan
status quo (mempertahankan apa yang ada karena dianggap sudah cukup baik)
daripada pertumbuhan.
Budaya organisasi yang ada disetiap institusi atau lembaga, termasuk Rumah Sakit
merupakan pedoman atau acuan untuk mengendalikan perilaku organisasi dan perilaku
perawat, tenaga kesehatan lain dalam berinteraksi antar mereka dan dengan rumah sakit
lainnya. Dengan demikian budaya organisasi adalah cara berpikir, bekerja, dan
berprilaku anggota organisasi dalam hal ini perawat dalam melakukan tugas
dilingkungan kerjanya. Setiap organisasi atau institusi pelayanan termasuk Rumah
Sakit memiliki budaya organisasi yang spesifik dan unik yang menjadi pembeda
dengan rumah sakit lainnya.
Oleh karena itu setiap komponen pengelola Rumah Sakit diwajibkan memahami
budaya organisasi sebagai pedoman perilaku dalam bekerja. Hal ini dipertegas oleh
robbin (2006), yang menyatakan bahwa pernyataan puas atau tidak puas pengelola,
klien, keluarga dan karyawan pemberi pelayanan ditentukan antara lain oleh faktor
budaya organisasi

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada organisasi yang memiliki budaya yang kuat, karyawan cenderung mengikuti
arah yang ditentukan. Budaya organisasi yang lemah cenderung mengakibatkan
karyawan tidak memiliki arah yang jelas sehingga memilih berjalan sendiri-sendiri.
Akibatnya, kinerja karyawan menjadi tidak optimal. Budaya yang kuat dapat
membantu kinerja karyawan dalam mentaati peraturan perusahaan. Perilaku dan nilai
bersama yang dianut bersama membuat seseorang merasa nyaman dalam bekerja.

13
REFERENSI
andiantarinp.wordpress.com/2016/01/12/karakteristik-budaya-organisasi
Denison. (1990). Cooporate Culture and Organizational Effectiveness, New York,
Willey.
library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2-budaya-organisasi/2015-1-00124.PDF
Robbins, S.P. (1996) Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi.
Prenhallindo, Jakarta.
Rijadi, S. (1994) Tantangan industri rumah sakit Indonesia 2020. Jurnal Administrasi
Rumah Sakit. Volume 2, No.2, 11-18.
Schein, E.H. (1991) Organizational Culture and Leadership. Jossey-Bass, San
Fransisco.
Tjahjadi Bambang. (2001). Konsep Budaya Organisasi, Kesenjangan Budaya
Organisasi dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Organisasi”, Majalah Ekonomi,
Th. XI, No.1

14

Anda mungkin juga menyukai