Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Infertilitas atau kemandulan merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi yang
sering berkembang menjadi masalah sosial karena pihak istri selalu dianggap sebagai
penyebabnya. Akibatnya wanita sering terpojok dan mengalami kekerasan, terabaikan
kesehatannya, serta diberi label sebagai wanita mandul sebagai masalah hidupnya (Aprillia,
2010).

Infertilitas disebut juga subfertilitas dan dapat didefinisikan sebagai ketidak mampuan
pasangan untuk mengandung secara spontan. Infertilitas primer adalah keadaan di mana
seorang istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada
kemungkinan kehamilan selama 12 bulan (Prawirohardjo, 1999).

Banyak faktor yang menyebabkan pasutri sulit untuk hamil setelah kehidupan seksual
normal yang cukup lama. Banyak pasutri yang memilih bercerai karena salah satu dari
mereka tidak dapat memberi keturunan. Ancaman terjadinya perceraian ini mencapai 43%
dari masalah dalam sebuah pernikahan yang ada. Infertilitas tidak semata-mata terjadi
kelainan pada wanita saja, seperti dikemukakan bahwa suami sebaiknya diperiksa lebih
dahulu dan dinyatakan sehat jasmani dan rohani, karena kehamilan dapat terjadi apabila
suami benar-benar sehat dan kemampuan menunaikan tugas dengan baik, suami
menyumbang 40% dari angka kejadian infertil, sedangkan sisanya ada pada istri

Pasangan suami istri yang mengalami gangguan kesuburan pada tingkat dunia
mencapai 10-15%, dari jumlah tersebut 90% diketahui penyebabnya, sekitar 40% diantaranya
berasal dari faktor wanita (Hadibroto, 2007). Kejadian infertilitas di Amerika Serikat sebesar
12 %, ternyata fertilitas menurun setelah usia 35 tahun, kejadian infertilitas pada wanita umur
16-20 tahun sebesar 4,5%, umur 35-40 tahun 31,3% dan umur lebih dari 40 tahun sebesar
70% (Infertilitas, 2008) Menurut penelitian Mashuri, 2006, 93 pasangan infertil di Rumah
Sakit Umum dr. Pirngadi Medan, data yang diperoleh , 49,46% infertilitas berasal dari pihak
istri, 43,01% dari pihak suami dan 7,34% dari keduanya hasil penelitian menunjukkan bahwa
infertilitas paling banyak diderita oleh perempuan dan paling banyak ditemukan kasus
infertilitas primer sebanyak 90,32%.

1
Dari data klinik dr. Binarwan Halim, SpOG (K) Medan dari bulan Mei sampai dengan bulan
Oktober tahun 2010 jumlah pasutri yang mengalami infertilitas primer sebanyak 517 orang
(RM BH, 2010). Survei awal yang dilakukan peneliti di praktek dr. Binarwan Halim, SpOG
(K) melalui metode wawancara pada tujuh pasutri dengan infertilitas primer, didapatkan
bahwa lima orang pasutri tidak mengetahui tentang infertilitas primer, mereka tidak dapat
menjawab pertanyaan yang peneliti ajukan mengenai pengetahuan dasar tentang infertilitas
primer, sedangkan 2 orang pasutri mengetahui tentang infertilitas primer, mereka dapat
menjawab pertanyaan yang peneliti ajukan mengenai pengetahuan dasar infertilitas primer.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa angka kejadian infertilitas masih
tinggi, serta pentingnya pengetahuan dan sikap pasutri tentang kesehatan reproduksi
khususnya infertilitas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan
dan sikap pasutri tentang infertilitas primer.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Infertilitas adalah kegagalan untuk memperoleh kehamilan setelah 12 bulan atau lebih
melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi.

2. JENIS INFERTILITAS
Batasan yang diberikan WHO terhadap jenis Infertilitas::
1. Infertilitas primer adalah belum pernah hamil pada wanita yang telah berkeluarga
meskipun hubungan seksual dilakukan secara teratur tanpa perlindungan
kontrasepsi untuk selang waktu paling kurang 12 bulan. :
2. Infertilitas sekunder adalah tidak terdapat kehamilan setelah berusaha dalam
waktu 1 tahun atau lebih pada seorang wanita yang telah berkeluarga dengan
hubungan seksual secara teratur tanpa perlindungan kontrasepsi, tetapi
sebelumnya pernah hamil.

3. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 85-90% pasangan yang menikah dalam satu tahun
pernikahannya akan menjadi hamil, dimana 10-15 % pasangan tersebut akan
mengalami kesulitan untuk menjadi hamil dan mereka ini lah yang disebut sebagai
pasangan infertil. Prevalensi infertilitas yang tepat tidak diketahui dengan pasti,
sangat bervariasi tergantung keadaan geografis, budaya dan status sosial suatu negara.

3
4. PENYEBAB INFERTILITAS ORGANIK
Penyebab infertilitas dapat dibagi menjadi tiga kelompok : satu pertiga masalah
terkait pada wanita, satu pertiga pada pria dan satu pertiga disebabkan oleh faktor
kombinasi.
1. Infertilitas pada wanita
A. Gangguan ovulasi
Gangguan ovulasi jumlahnya sekitar 30-40% dari seluruh kasus
infertilitas wanita. Gangguan-gangguan ini umumnya sangat mudah
didiagnosis menjadi penyebab infertilitas. Karena ovulasi sangat berperan
dalam konsepsi, ovulasi harus dicatat sebagai bagian dari penilaian dasar
pasangan infertil. Terjadinya anovulasi dapat disebabkan tidak ada atau
sedikitnya produksi gonadotropin releasing hormon (GnRH) oleh hipotalamus
( 40 % kasus), sekresi hormon prolaktin oleh tumor hipopise (20 % kasus),
PCOS ( 30 % kasus), kegagalan ovarium dini (10%).
WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 4 kelas:
1. Kelas 1 :
Kegagalan pada hipotalamus hipopise (hipogonadotropin
hipogonadism). Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang
rendah, prolaktin normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi
sekitar 10 % dari seluruh kelainan ovulasi.
2. Kelas 2 :
Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropinnormogonadism).
Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin namun
estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85 % dari seluruh kasus
kelainan ovulasi. Manifestasi klinik kelainan kelompok ini adalah
oligomenorea atau amenorea yang banyak terjadi pada kasus PCOS.
Delapan puluh sampai sembilan puluh persen pasien PCOS akan
mengalami oligomenorea dan 30 % akan mengalami amenorea.
3. Kelas 3 :
Kegagalan ovarium (hipogonadotropin hipogonadism). Karakteristik
kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan kadar estradiol
yang rendah. Terjadi sekitar 4-5 % dari seluruh gangguan
ovulasi.Kelompok wanita yang mengalami gangguan ovulasi akibat

4
gangguan cadangan ovarium (premature ovarian failure/diminisshed
ovarian reserved).
4. Kelas 4 :
Kelompok wanita yang mengalami gangguan ovulasi akibat disfungsi
ovarium, memiliki kadar prolaktin yang tinggi (hiperprolaktinemia).

B. Kelainan Anatomis
Kelainan anatomis yang sering ditemukan berhubungan dengan
infertilitas adalah abnormalitas tuba fallopii dan peritoneum, faktor serviks,
serta faktor uterus.
1. Infertilitas faktor tuba dan peritoneum
Selama 20 tahun terakhir terdapat pergeseran penyebab infertilitas, dari
faktor ovarium dan uterus mengarah ke faktor tuba. Faktor tuba dan
peritoneum menjadi penyebab kasus infertilitas yang cukup banyak dan
merupakan diagnosis primer pada 30-40% pasangan infertil.39 Faktor tuba
mencakup kerusakan atau obstruksi tuba fallopii, biasanya berhubungan
dengan penyakit peradangan panggul, pembedahan panggul atau tuba
sebelumnya. Adanya riwayat PID, abortus septik, ruptur apendiks,
pembedahan tuba, atau kehamilan ektopik sebelumnya menjadi faktor
resiko besar untuk terjadinya kerusakan tuba. PID tidak diragukan lagi
menjadi penyebab utama infertilitas faktor tuba dan kehamilan ektopik.
Studi klasik pada wanita dengan diagnosis PID setelah dilaparoskopi
menunjukkan bahwa resiko infertilitas tuba sekunder meningkat seiring
dengan jumlah dan tingkat keparahan infeksi panggul; secara keseluruhan,
insidensi berkisar pada 10-12% setelah 1 kali menderita PID, 23-35%
setelah 2 kali menderita PID, dan 54-75% setelah menderita 3 kali episode
akut PID.
Infeksi pelvis subklinik oleh Chlamydia Trachomatis yang
menyebabkan infertilitas karena faktor tuba. Meskipun banyak wanita
dengan penyakit tuba atau perlekatan pelvis tidak diketahui adanya riwayat
infeksi sebelumnya, terbukti kuat bahwa “silent infection” sekali lagi
merupakan penyebab yang paling sering. Penyebab lain faktor infertilitas

5
tuba adalah peradangan akibat endometriosis, Inflammatory Bowel
Disease, atau trauma pembedahan.
2. Faktor Serviks
Faktor serviks berjumlah tidak lebih dari 5 % penyebab infertilitas
secara keseluruhan. Tes klasik untuk evaluasi peran potensial faktor
serviks pada infertilitas adalah Post Coital Test (PCT). Dibuat untuk
menilai kualitas mukus serviks, adanya sperma dan jumlah sperma motil
pada saluran genitalia wanita setelah koitus, serta interaksi antara mukus
serviks dan sperma.
Serviks berfungsi sebagai barier terhadap mikrobiologi infeksius dan
merupakan saluran sperma ke dalam uterus. Serviks akan memberi respon
secara immunologis bila bertemu dengan mikrobiologi infeksius namun
tidak memberi respon secara immunologik bila bertemu dengan antigen
permukaan spermatozoa.
Kelainan Serviks yang dapat menyebabkan infertilitas adalah:
1. Perkembangan serviks yang abnormal sehingga dapat mencegah
migrasi sperma
2. Tumor serviks (polip,mioma) dapat menutupi saluran sperma
atau menimbulkan discharge yang mengganggu spermatozoa.
atau tidak mampu mempertahankan produk kehamilan
3. Servisitis yang menghasilkan asam atau sekresi purulen yang
bersifat toksin terhadap spermatozoa. Streptococcus,
staphylococcus, gonococcus, tricomonas dan infeksi campuran
merupakan penyebab terbanyak.
3. Infertilitas karena faktor Uterus
Kelainan Uterus yang menyebabkan infertilitas antara lain :
1. Septum Uteri
Hal ini dapat menghambat maturasi normal embrio karena
kapasitas uterus yang kecil. Septum uteri menurut tingkatan berdasarkan
ukuran septum dibagi menjadi 3 kelompok yakni :
- Stadium I : 0-1 cm
- Stadium II : 1-3 cm
- Stadium III : >3 cm
2. Mioma Uteri.

6
Saat ini, mioma uteri dapat dikaitkan dengan infertilitas pada 5-
10% perempuan, dan mungkin menjadi satu-satunya penyebab infertilitas
pada 2-3%, tergantung lokasi, jumlah dan besar dari mioma itu sendiri.
Mioma khususnya mioma submukosa mungkin mempengaruhi
transportasi gamet dengan cara menghalangi ostium tuba. Pembesaran dari
rahim dan distorsi dari kontur uterus mungkin mempengaruhi implantasi,
menyebabkan disfungsional kontraktilitas uterus, yang pada gilirannya
bisa mengganggu dengan migrasi sperma, transportasi sel telur atau
mengganggu nidas
3. Kelainan endometrium,
Seperti adanya polip, endometritis, hiperplasia dan perlengketean
intrauterin (Sindroma Asherman).
Dalam 1 penelitian yang melibatkan grup wanita infertil dengan
polip endometrium yang tidak direseksi (lebih besar dari 2 cm), keluaran
IVF pada wanita yang diterapi (sebelumnya dilakukan polipektomi
histeroskopi) dan yang tidak diterapi tidak berbeda. Prevalensi polip pada
wanita infertil, ditaksir dari rentetan kasus dengan temuan diagnostik
histeroskopi sekitar 3 – 5%.
Sindroma Asherman terjadi oleh karena dilakukannya dilatasi dan
kuretase yang merupakan blind procedure sehingga terjadi intrauterine
scar dan akhirnya menjadi sinekhia intrauterin. Bozdag dkk, mengatakan
bahwa penyebab utama dari sindroma Asherman adalah dilakukannya
dilatasi dan kuretrade yang mana merupakan blind method, yang secara
respektif persentase insiden terjadinya sindroma Asherman akibat kuretase
adalah 14-36 %.
4. Endometriosis
Endometriosis klasik tampak sebagai pigmen hitam-kebiruan seperti
lesi( “powder-burn”) pada permukaan kandung kemih, ovarium, tuba
falopi, kantong rekto-uterina, dan usus besar. Endometriosis non klasik
tampak seperti lesi dan vesikel merah, coklat atau putih. Endometriosis
berat dengan kerusakan tuba falopi dan ovarium menyebabkan adhesi atau
munculnya endometrioma, merupakan penyebab infertilitas. Selain itu
pada endometriosis yang ringanpun dapat menyebabkan infertilitas melalui
beberapa mekanisme, yaitu:

7
1. Produksi prostaglandin sehingga mempengaruhi motilitas tuba atau
dan fungsi korpus luteum.
2. Melalui makrofag peritoneum, ditemukan peningkatan aktifitas
makrofag yang akan memfagosit sperma.
3. Dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan folikel, disfungsi ovulasi
dan kegagalan perkembangan embrio.

2. Infertilitas pada pria


Penyebab infertilitas pada pria di bagi menjadi 3 kategori utama yaitu :
a. Gangguan produksi sperma misalnya akibat kegagalan testis primer
(hipergonadotropik hipogonadisme) yang disebabkan oleh faktor genetik (sindrome
Klinefelter, mikrodelesi kromosom Y) atau kerusakan langsung lainnya terkait
anatomi (crytorchidism,varikokel), infeksi (mumps orchitis), atau gonadotoksin.
Stimulasi gonadotropin yang tidak adekuat yang disebabkan karena faktor genetik
(isolated gonadotropin deficiency), efek langsung maupun tidak langsung dari tumor
hipotalamus atau pituitari, atau penggunaan androgen eksogen, misalnya Danazol,
Metiltestoteron (penekanan pada sekresi gonadotropin) merupakan penyebab lain dari
produksi sperma yang buruk.
b. Gangguan fungsi sperma, misalnya akibat antibodi antisperma, radang saluran
genital (prostatitis), varikokel, kegagalan reaksi akrosom, ketidaknormalan biokimia,
atau gangguan dengan perlengketan sperma ( ke zona pelusida) atau penetrasi.
c. Sumbatan pada duktus, misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens
bilateral, atau sumbatan kongenital atau yang didapat (acquired) pada epididimis atau
duktus ejakulatorius (penanganan interil).
d. Faktor lain
Adapun yang berpengaruh terhadap produksi sperma atau semen adalah
infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, stress, nutrisi yang tidak adekuat,
asupan alkohol berlebihan dan nikotin.
e. Faktor pekerjaan
Produksi sperma yang optimal membutuhkan suhu di bawah temperature
tubuh, Spermagenesis diperkirakan kurang efisien pada pria dengan jenis pekerjaan
tertentu, yaitu pada petugas pemadam kebakaran dan pengemudi truk jarak jauh
3. Masalah interaktif

8
Berupa masalah yang berasal dari penyebab spesifik untuk setiap pasangan
meliputi : frekuensi sanggama yang tidak memadai, waktu sanggama yang buruk,
perkembangan antibody terhadap sperma pasangan dan ketidakmampuan sperma
untuk melakukan penetrasi ke sel telur ( Stritgh B, 2005 : 61 ).

5. PENYEBAB INFERTILITAS NON ORGANIK


Masalah pada infertilitas sekunder sangat berhubungan dengan masalah pada
pasangan dengan infertilitas primer. Sebagian besar pasangan dengan infertilitas
sekunder menemukan penyebab masalah kemandulan sekunder tersebut, dari
kombinasi berbagai faktor meliputi :
1. Usia
Faktor usia sangat berpengaruh pada kesuburan seorang wanita. Selama
wanita tersebut masih dalam masa reproduksi yang berarti mengalami haid yang
teratur, kemungkinan masih bisa hamil. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya
usia maka kemampuan indung telur untuk menghasilkan sel telur akan mengalami
penurunan. Penelitian menunjukkan bahwa potensi wanita untuk hamil akan
menurun setelah usia 25 tahun dan menurun drastis setelah usia diatas 38 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Center for Health Statistics
menunjukkan bahwa wanita subur berusia dibawah 25 tahun memiliki
kemungkinan hamil 96% dalam setahun, usia 25 – 34 tahun menurun menjadi
86% dan 78% pada usia 35 – 44 tahun. Pada pria dengan bertambahnya usia juga
menyebabkan penurunan kesuburan. Meskipun pria terus menerus memproduksi
sperma sepanjang hidupnya, akan tetapi morfologi sperma mereka mulai menurun.
Penelitian mengungkapkan hanya sepertiga pria yang berusia diatas 40 tahun
mampu menghamili isterinya dalam waktu 6 bulan dibanding pria yang berusia
dibawah 25 tahun. Selain itu usia yang semakin tua juga mempengaruhi kualitas
sperma ( Kasdu, 2001:63 ).
2. Masalah reproduksi
Masalah pada system reproduksi dapat berkembang setelah kehamilan awal
bahkan, kehamilan sebelumnya kadang-kadang menyebabkan masalah reproduksi
yang benar-benar mengarah pada infertilitas sekunder, misalnya perempuan yang
melahirkan dengan operasi caesar, dapat menyebabkan jaringan parut yang
mengarah pada penyumbatan tuba. Masalah lain yang juga berperan dalam

9
reproduksi yaitu ovulasi tidak teratur, gangguan pada kelenjar pituitary dan
penyumbatan saluran sperma.
3. Faktor gaya hidup
Perubahan pada faktor gaya hidup juga dapat berdampak pada kemampuan
setiap pasangan untuk dapat menghamili atau hamil lagi. Wanita dengan berat
badan yang berlebihan sering mengalami gangguan ovulasi, karena kelebihan
berat badan dapat mempengaruhi estrogen dalam tubuh dan mengurangi
kemampuan untuk hamil. Kelebihan berat badan didefininsikan dengan indeks
massa tubuh (BMI) lebih besar dari 25; dan yang besar dari 30 disebut obesitas.
Abnormalitas dari sekresi GnRH dan gonadotropin relatif sering pada berat badan
lebih, obesitas dan yang berat badan kurang (BMI kurang dari 17). Hubungan
antara BMI dan kesuburan pada pria belum diteliti secara rinci.
Frekuensi obesitas pada wanita dengan anovulasi dan suatu ovarium polikistik
telah dilaporkan adalah berkisar dari 35% hingga 60%. Obesitas berkaitan dengan
tiga perubahan yang mengganggu ovulasi normal dan penurunan berat badan akan
memperbaiki tiga keadaan tersebut:
a. Peningkatan aromatisasi perifer dari androgen menjadi estrogen.
b. Penurunan kadar glubulin pengikat hormon seks (Sex Hormone Binding
Globulin [SHBG], menghasilkan peningkatan kadar estradiol dan testosteron
bebas.
c. Peningkatan kadar insulin yang dapat merangsang produksi androgen oleh
jaringan stroma ovarium.
Beberapa hal yang dapat dikontrol pasangan adalah penyalahgunaan
zat; merokok adalah yang terpenting. Banyak yang tidak perduli sama sekali
efek buruk yang ditimbulkan rokok terhadap kesuburan dan kehamilan.
Motivasi pasangan untuk memaksimalkan ferlititas mereka memberikan
kesempatan emas untuk mendidik mereka dan menetapkan strategi
penghentian rokok.
Bentuk lain penyalahgunaan zat juga dapat mempengaruhi infertilitas.
Marijuana menghambat sekresi dari GnRH dan dapat menekan fungsi
reproduksi dari pria dan wanita. Pada wanita, marijuana dapat menganggu
fungsi ovulasi. Penggunaan kokain dapat merusak spermatogenesis dan
berkaitan dengan peningkatan resiko penyakit tuba. Konsumsi alkohol yang
berat pada wanita biasa menurunkan fertilitas; pada pria telah dikaitkan

10
dengan penurunan kualitas semen dan impoten. Asupan alkohol dalam jumlah
yang sedang juga mengurangi fekundabilits, walaupun hasil penelitian masih
bertentangan. Pada pria dan wanita, walau pada jumlah yang sedang,
konsumsi alkohol berkaitan dengan angka kehamilan yang lebih rendah
dengan ART. Penelitian tidak berhasil memastikan dampak buruk kafein (lebih
dari 250mg/hari, 2 minuman standard) terhadap fertilitas, walaupun kadar
yang lebih tinggi dapat meperlambat kehamilan atau meningkatkan
terhentinya kehamilan. Data yang ada menunjukkan bahwa dampak merokok
pada fertilitas bergantung dosis. Mekanisme yang terlibat dapat meliputi
akselerasi deplesi folicular, abnormal siklus atau mutugenesis gamet atau
embrio yang diinduksi oleh toxin pada rokok. Hubungan kausal antara rokok
dan infertilitas wanita belum dilakukan. Penelitian menunjukkan 13% wanita
infértil berhubungan dengan rokok.
6 FAKTOR PENYEBAB INFERTILITAS DARI SEGI PSIKOLOGIS
Kesuburan wanita secara mutlak dipengaruhi oleh proses-proses fisiologis dan
anatomis, di mana proses fisiologis tersebut berasal dari sekresi internal yang
mempengaruhi kesuburan. Dalam hal ini kesuburan wanita itu merupakan satu unit
psikosomatis yang selalu dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor psikis dan factor
organis atau fisis. Kesulitan- kesulitan psikologis ini berkaitan dengan koitus dan
kehamilan, yang biasanya mengakibatkan ketidakmampuan wanita menjadi hamil.
Pengalaman-pengalaman membuktikan, bahwa unsur ketakutan serta
kecemasan berkaitan dengan fungsi reproduksi yang menimbulkan dampak yang
merintangi tercapainya orgasme pada koitus. Pada umumnya dinyatakan bahwa sebab
yang paling banyak dari kemandulan adalah ketakutan-ketakutan yang tidak disadari
atau yang ada dibawah sadar, yang infantile atau kekanak-kanakan sifatnya..
Penelitian kedokteran juga menemukan bahwa peningkatan kadar prolaktin
dan kadar Lutheinizing Hormon (LH) berhubungan erat dengan masalah psikis.
Kecemasan dan ketegangan cenderung mengacaukan kadar LH, serta kesedihan dan
murung cenderung meningkatkan prolaktin. Kadar prolaktin yang tinggi dapat
mengganggu pengeluaran LH dan menekan hormon gonadotropin yang
mempengaruhi terjadinya ovulasi ( Kasdu, 2001 : 70 ).
Pasangan suami istri yang mengalami infertilitas sering kali mengalami
perasaan tertekan terutama pihak wanita yang pada akhirnya dapat jatuh pada keadaan
depresi, cemas dan lelah yang berkepanjangan. Perasaan yang dialami para wanita

11
tersebut timbul sebagai akibat dari hasil pemeriksaan, pengobatan dan penanganan
yang terus menerus tidak membuahkan hasil. Hal inilah yang mengakibatkan wanita
merasa kehilangan kepercayaan diri serta perasaan tidak enak terhadap diri sendiri,
suami dan keluarga ataupun lingkungan dimana wanita itu berada.
Keadaan wanita yang lebih rileks ternyata lebih mudah hamil dibandingkan
dengan wanita yang selalu dalam keadaan stres. Adapun perasaan tertekan atau tegang
yang dialami wanita tersebut berpengaruh terhadap fungsi hipotalamus yang
merupakan kelenjar otak yang mengirimkan sejumlah sinyal untuk mengeluarkan
hormon stres keseluruh tubuh. Hormon stress yang terlalu banyak keluar dan lama
akan mengakibatkan rangsangan yang berlebihan pada jantung dan melemahkan
sistem kekebalan tubuh. Kelebihan hormon stres juga dapat mengganggu
keseimbangan hormon, sistem reproduksi ataupun kesuburan. Pernyataan ini seperti
dikemukakan oleh Mark Saver pada penelitiannya tahun 1995, mengenai Psychomatic
Medicine yang menjelaskan bahwa wanita dengan riwayat tekanan jiwa kecil
kemungkinan untuk hamil dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalaminya.
Hal ini terjadi karena wanita tersebut mengalami ketidakseimbangan hormon (hormon
estrogen). Kelebihan hormon estrogen akan memberikan sinyal kepada hormon
progesteron untuk tidak berproduksi lagi karena kebutuhannya sudah mencukupi.
Akibatnya akan terjadi kekurangan hormon progesteron yang berpengaruh terhadap
proses terjadinya ovulasi.

7. DIAGNOSIS INFERTILITAS
Investigasi infertilitas biasanya segera dilakukan ketika pasangan datang untuk
konsultasi pertama kali. Jika pasangan telah melakukan usaha untuk memperoleh
kehamilan selama kurang dari 1 tahun, maka pengajuan beberapa pertanyaan guna
memastikan permasalahan utama sangatlah bermanfaat, pertanyaan yang dapat
diajukan antara lain mengenai ketidakteraturan siklus menstruasi, riwayat adanya
bedah pelvis, atau orkidopeksi yang tidak bisa dihindari. Jika riwayat medis pasangan
hasilnya normal, maka pasien harus diberi penjelasan mengenai harapan peluang
kehamilan kumulatif selama satu periode waktu dan investigasi sebaiknya ditunda
sampai pasangan telah mencobanya selama periode satu tahun.
a. Tahap Pertama (Fase I)
1. Pemeriksaan riwayat infertilitas (anamnesis).

12
Anamnesis masih merupakan cara terbaik untuk mencari penyebab infertilitas
pada wanita. Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan infertilitas yang harus
ditanyakan kepada pasien adalah mengenai usia pasien, riwayat kehamilan
sebelumnya, panjang siklus haid, riwayat penyakit sebelumnya dan sekarang, riwayat
operasi, frekuensi koitus dan waktu koitus.
Perlu juga diketahui pola hidup dari pasien mengenai alkohol, merokok dan
stress. Hal ini semua dapat mempengaruhi terjadinya infertilitas.

2. Pemeriksaan fisik
Penghitungan indeks massa tubuh (Body Mass Index (BMI)) dihitung dari
tinggi dan berat badan (kg/m2) – kisaran normal BMI adalah 20-25 kg/m2.
Penampilan/rupa pasien secara keseluruhan dapat memberikan petunjuk mengenai
penyakit sistemik ataupun masalah endokrin.
Wanita dengan siklus menstruasi yang tidak teratur dan tampilan fisik obesitas
mungkin saja berhubungan dengan diagnosis SOPK. Pada umumnya wanita dengan
tampilan overweight atau obesitas mengalami kelainan berupa resistensi insulin atau
bahkan sindroma metabolik.. Keberadaan ciri-ciri seksual sekunder normal sebaiknya
diamati.

3. Penilaian Ovulasi
Penentuan penyebab infertilitas merupakan kunci pengobatan karena hal
tersebut akan menghasilkan laju kehamilan kumulatif yang menyerupai laju
kehamilan pada wanita normal di usia yang sama. Sangatlah penting untuk
memastikan apakah ovulasi terjadi (Tabel 3). Cara yang optimal untuk mengukur
13
ovulasi pada wanita yang memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur adalah
dengan mengkombinasikan serangkaian pemindaian ultrasound dan pengukuran
konsentrasi serum FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (luteinizing
hormone) pada fase folikular dan progesteron pada fase luteal.

4. Uji Pasca Senggama


Merupakan cara pemeriksaan yang sederhana tetapi dapat memberi informasi
tentang interaksi antara sperma dengan getah serviks. UPS dilakukan 2 – 3 hari
sebelum perkiraan ovulasi dimana “spin barkeit” dari getah serviks mencapai 5 cm
atau lebih. Pengambilan getah serviks dari kanalis endo-serviks dilakukan setelah 2
– 12 jam senggama. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop. UPS dikatakan
positif, bila ditemukan paling sedikit 5 sperma perlapangan pandang besar (LPB).
UPS dapat memberikan gambaran tentang kualitas sperma, fungsi getah serviks
dan keramahan getah serviks terhadap sperma.

14
b. Tahap Kedua (Fase II)
(a) Histerosalpingografi (HSG)
Infertilitas tuba didiagnosa sekitar 15%-50% pada pasangan subfertil.
Histerosalpingografi sinar-X (HSG) memberikan gambar rongga uterus dan tuba
Fallopi. HSG merupakan uji pendahuluan yang paling sederhana untuk
menggambarkan rongga uterus dan tuba Fallopi dan sedikit komplikasi. Pada tahap ini
dilakukan pemeriksaan HSG untuk menilai patensi tuba.22 Pada suatu metaanalisis
dari 20 studi yang membandingkan HSG dan laparoskopi ditemukan bahwa
sensitivitas dan spesivisitas HSG untuk patensi tuba secara berturut-turut adalah 0.65
dan 0.83.

(b) Tuba Paten

15
Hysterosalpingo-contrast sonography (HyCoSy)
Saat ini HSG menggunakan ultrasonografi dan medium kontrasultrasound
yang mengandung mikropartikel galaktosa mungkin untuk dilakukan dan demikian
bebas dari kemungkinan risiko radiasi. 22,43 Universitas Sumatera Utara Prosedur
sebaiknya dilakukan dalam cara dan waktu yang sama di dalam siklus seperti pada
HSG konvensional. Tidak hanya patensi tuba saja yang dapat diperiksa tetapi juga
sebelum diinjeksikan agen kontras, ultrasound dapat memvisualisasikan morfologi
ovarium dan abnormalitas jaringan lunak, seperti fibroid atau kelainan cacat bawaan
uterus dan servik.
(c) Tahap Ketiga (Fase III)
Laparoskopi
Akhir-akhir ini laparoskopi dianggap cara terbaik untuk menilai fungsi tuba
falopi. Laparoskopi memberikan gambaran panoramik terhadap anatomi reproduktif
panggul dan pembesaran dari permukaan uterus, ovarium, tuba, dan peritoneum. Oleh
karenanya, laparoskopi dapat mengidentifikasi penyakit oklusif tuba yang lebih ringan
(aglutinasi fimbria, fimosis), adhesi pelvis atau adneksa, serta endometriosis yang
dapat mempengaruhi fertilitas yang tidak terdeteksi oleh HSG

16
BAB III
KESIMPULAN

Infertilitas merupakan kegagalan untuk memperoleh kehamilan setelah 12 bulan atau


lebih melakukan hubungan seksual minimal 2-3 kali dalam seminggu secara teratur tanpa
menggunakan alat kontrasepsi. Infertilitas terbagi menjadi 2 jenis, yaitu infertilitas primer
dan sekunder. Infertilitas primer merupakan belum pernah hamil pada wanita yang telah
berkeluarga meskipun hubungan seksual dilakukan secara teratur tanpa perlindungan
kontrasepsi untuk selang waktu paling kurang 12 bulan, sedangkan infertilitas sekunder
merupakan tidak terdapat kehamilan setelah berusaha dalam waktu 1 tahun atau lebih pada
seorang wanita yang telah berkeluarga dengan hubungan seksual secara teratur tanpa
perlindungan kontrasepsi, tetapi sebelumnya pernah hamil.
Penyebab dari infertilitas terdiri dari beberapa faktor yaitu gangguan organic yang
terjadi pada wanita maupun pria. Gangguan organic pada wanita yaitu adanya gangguan
ovulasi maupun gangguan pada anatomisnya yaitu masalah pada tuba maupun peritoneum,
serviks, serta uterus, sedangkan gangguan organic pada pria yaitu mencakup dari adanya
gangguan reproduksi sperma, gangguan fungsi sperma, serta faktor gaya hidup dari individu
tersebut.
Diagnosis infertilitas mencakup dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
ovulasi, serta pemeriksaan pasca senggama yang mencakup untuk melihat bagaimana kualitas
sperma serta lendir serviks yang sangat mempengaruhi dari proses pembuahan atau
kehamilan. Tatalaksana untuk infertilitas dilakukan berdasarkan atas gangguan yang dialami
apakah gangguan itu terdapat pada organic, non organic maupun idiopatik.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Ginekologi, Hal 226-233, Fakutas Kedokteran UNPAD


Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
2. Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. Williams Obstetrics 23rd Ed.
Dallas: Mc Graw-Hill Companies, Inc; 2010 h. 251-67.
3. Sivalingam VN, Duncan WC, Kirk E, Shephard LA, Horne AW. J Fam Plann Reprod
Health Care (2011) p.1-10.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/41554/Chapter%20II.pdf?
sequence=4 diunggah pada tanggal 21 Agustus 2017
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/27266/Chapter%20II.pdf?
sequence=4 diunggah pada tanggal 22 Agustus 2017
4. Konsensus Penanganan Infertilitas, https://www.labcito.co.id/wp-
content/uploads/2015/ref/ref/Konsensus_Infertilitas_Revisi_9-1.pdf. diunggah pada
tanggal 31 Agustus 2017.
5. Wiknjosastro, Hanifa; Saifuddin, A. Bari dan Trijatmo Rachimhadhi. Ilmu
Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011.
6. Hestiantoro, Andon. Tatalaksana Pemeriksaan Dalam Infertilitas. Jurnal Cermin
Dunia Kedokteran 170/ vol.36. No 41.Juli-Agustus 2009.
7. Sheerwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2, Jakarta: EGC, 2001

18

Anda mungkin juga menyukai