Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

ABLASIO RETINA

Disusun Oleh:
Yazida Respati Wiman 1610221101
Aldi Hafidz Dalimunthe 1610221110
Dhea Andhira Prilialoka 1610221132

Pembimbing
dr. Pradnya Paramitha, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL VETERAN JAKARTA
RSUP PERSAHABATAN
Periode 13 Oktober 16 November 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat
karunia dan hidayahNya, serta shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW,
referat yang berjudul ABLASIO RETINA ini dapat terselesaikan
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada dr.
Pradnya Paramitha, Sp.M selaku pembimbing yang penuh dedikasi, kesabaran dan
kebijaksanaan untuk meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing
penulis sehingga hambatan dalam penulisan referat ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan pada referat ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar
menjadi lebih baik. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
kemajuan ilmu pengetahuan khususnya kedokteran dikemudian hari.

Jakarta, Oktober 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................18


II.1. Anatomi dan Histologi .................................................................18
II.1.1. Retina ............................................................................18
II.1.2. Badan Siliaris .................................................................18
II.1.3. Ora Serata.......................................................................18
II.1.4. Vitreus ............................................................................19
II.2. Fisiologi .......................................................................................27
II.3. Pemeriksaan .................................................................................35
II.3.1. Oftalmoskop Direk.........................................................35
II.4. Ablasio Retina ..............................................................................18
II.1.1. Retina ............................................................................18
II.1.2. Badan Siliaris .................................................................18
II.1.3. Ora Serata.......................................................................18
II.1.4. Vitreus ............................................................................19

BAB III ANALISIS KASUS ...............................................................................38


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................42

iii
4

BAB I
PENDAHULUAN

Retina pada mata seperti lapisan film pada kamera tempat obyek yang
dilihat oleh mata, merupakan struktur yang sangat terorganisasi, dengan
kemampuan untuk memulai pengolahan informasi penglihatan sebelum informasi
tersebut ditransmisikan melalui nervus opticus ke korteks visual. Begitu
pentingnya fungsi retina, sehingga jika terdapat gangguan atau kelainan pada
retina dapat terjadi gangguan penglihatan dimana pasien dapat mengalami
penurunan baik pada visus maupun lapang pandangnya.1

Penglihatan turun mendadak tanpa disertai adanya radang ekstraokular dapat


disebabkan oleh beberapa kelainan. Kelainan ini dapat ditemui pada neuritis optik,
obstruksi vena retina sentral, oklusi arteri retina sentral, perdarahan badan kaca,
ambliopia toksik, histeria, retinopati serosa sentral, amaurosis fugaks dan
koroiditis. Di samping hal tersebut perlu pula dipikirkan adanya ablatio retina.1,2,3

Ablasio retina merupakan suatu keadaan dimana sel kerucut dan sel batang retina
dari sel epitel pigmen retina terpisah. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih
melekat erat dengan membran Bruch. Sebenarnya, tidak terdapat perlekatan
struktural antara sel kerucut dan sel batang retina dengan koroid ataupun epitel
pigmen retina, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara
embriologis.3

Lepasnya retina atau sel kerucut dan sel batang dari epitel pigmen retina akan
mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila
berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap. Dikenal 3
bentuk ablasi retina, antara lain1,2,3 :
Ablasi retina regmatogenosa
Ablasi retina eksudatif
Ablasi retina traksi
5

Pada ablasio retina ini bila tidak segera dilakukan tindakan akan mengakibatkan
cacat penglihatan atau kebutaan. Oleh karena itu, makalah ini membahas lebih
lanjut mengenai ablasio retina sehingga kelainan mata ini dapat dideteksi secara
dini dan kecacatan maupun kebutaan akibat penyakit ini dapat dihindarkan.
6

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi

2.1.1 Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima
rangsang cahaya. Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina
membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan akhirnya di tepi ora
serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada
system temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik
bertumpuk dengan membran Bruch, khoroid, dan sclera. Retina menpunyai tebal 0,1 mm pada ora
serrata dan 0.23 mm pada kutub posterior. Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula. Di
tengah makula terdapat fovea yang secara klinis merupakan cekungan yang memberikan pantulan
khusus bila dilihat dengan oftalmoskop.1,4

Retina berbatas dengan koroid dengan sel epitel pigmen retina dan terdiri atas lapisan 1,4 :
1. Lapisan epitel pigmen
2. Lapisan fotoreseptor merupakan lesi terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai
bentuk ramping, dan sel kerucut.
3. Membran limitan eksterna yang merupakan membrane ilusi.
4. Lapisan nucleus luar, merupakan susunan lapis nucleus sel kerucut dan batang.
5. Lapisan pleksiform luar merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinapsis sel
fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
6. Lapis nucleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller.
7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps sel bipolar,
sel amakrin dengan sel ganglion.
8. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua,
9. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju kearah saraf optic.
10. Membran limitan interna, merupakan membrane hialin antara retina dan badan kecil.

Retina menerima darah dari dua sumber : khoriokapiler yang berada tepat di luar membrana
Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti
luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina, serta cabang-cabang dari arteri retina sentralis
yang memperdarahi dua per tiga sebelah dalam.1,4
7

Gambar 1. Lapisan-lapisan retina.4

Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan
sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu
mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf
retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk
ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya
adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut,
sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam.
Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan
sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula
terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fototopik) sedangkan bagian
retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk
penglihatan perifer dan malam (skotopik).1,4

2.1.2 Ciliary body2

Badan siliar dimulai 1mm dari limbus yang kemudian meluas meuju
posterior sekitar 6 mm. 2 mm pertama pada badan siliar merupakan pars plicata
(yang berombak-ombak) dan 4 mm sisanya merupakan pars plana (yang datar).
Agar tidak membahayakan lensa atau retina, lokasi yang optimal untuk dilakukan
8

sayatan pada bedah pars plana adalah 4 mm dari limbus di mata phakic dan 3,5
mm dari limbus pada mata pseudophakic.

2.1.3 Ora Serrata2


Ora serrata membentuk tautan antara retina dan badan siliar dan dikarakterisasi
oleh:
1. Prosesus dentate
Merupakan perpanjangan dari retina kepada pars plana yang berbentuk
seperti gigi; prosesus dentate lebih terlihat di arah nasal daripada temporal
dan dapat mempunyai variasi pada konturnya.
2. Oral bay
Merupakan ujung bergigi dari epitel pars plana diantara prosesus dentata
3. Lipatan meridional
Merupakan lipatan radial kecil dari penebalan jaringan retina yang segaris
dengan prosesus dentate, terutama terletak pada kuadran superonasal.
Lipatan tersebut dapat memperlihatkan lubang retina yang kecil pada
apeksnya. Kompleks meridional merupakan konfigurasi dimana prosesus
dentate terutama dengan lipatan meridional yang berbaris dengan prosesus
siliaris.
4. Oral bays yang tertutup
Merupakan pulau kecil pada pars plana yang dikelilingi oleh retina sebagai
pertemuan dua prosesus dentate.
5. Jaringan granular
Dikarakterisasi oleh kekeruhan putih multiple di dalam basis vitreus.
Jaringan vitreus dapat disalahkirakan pada opercula perifer kecil. Pada ora,
fusi retina sensoris dengan RPE dan koroid membatasi perluasan dari
cairan subretinal.
9

Gambar 2. Ora serrata2

2.1.4 Vitreous Base2

Basis vitreous adalah zona selebar 3-4 mm mengitari ora serrata. Insisi
melalui bagian pertengahan dari Plana pars biasanya akan terletak anterior dari
basis vitreous. Vitreous kortikal sangat melekat di dasar vitreous, sehingga
mengikuti pada acute posterior vitreous detachment (PVD), sedangkan permukaan
hyaloid posterior tetap melekat pada batas posterior dari basis vitreous. Apabila
sudah teradapat lubang retina (robekan) dalam basis vitreous maka hal tersebut
tidak mengarah pada RD. Trauma tumpul berat dapat menyebabkan avulsi dari
basis vitreous dengan robeknya non-pigmented epithelium dari anterior pada
bagian pars plana dan bagian posterior di retina.
10

Gambar 3. Vitreous base2

2.2 Fisiologi Retina


Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata
harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan
sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan
fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf
yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan
akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman
penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya
adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara
fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf keluar, dan hal ini menjamin
penglihatan yang paling tajam. Macula terutama digunakan untuk penglihatan
sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang
sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk
penglihatan perifer dan malam (skotopik).

Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler


pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk
sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton
11

cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi


menjadi bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang
separuhnya terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar
fotoreseptor.

Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang.


Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa
abu-abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Penglihatan siang hari terutama
diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, jika senja hari diperantarai oleh kombinasi
sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang.

2. 3 Pemeriksaan1
Retina dapat diperiksa dengan oftalmoskop direk atau indirek atau dengan
slitlamp (biomikroskop) dan lensa biomikroskopi kontak atau genggam.

2.3.1 Oftalmoskop Direk


Oftalmoskop direk memperlihatkan gambaran monokular fundus dengan
perbesaran 15 kali. Karena mudah dibawa dan menghasilkan gambaran diskus dan
struktur vaskular retina yang detil, oftalmoskopi direk merupakan bagian dari
pemeriksaan standar medis umum dan pemeriksaan oftalmologik.

Pemeriksaan Refleks Merah (red refleks)


Jika cahaya pemeriksa tepat sejajar dengan sumbu visual, lubang pupil
normalnya dipenuhi oleh warna jingga kemerahan terang dan homogen.
Refleks merah ini dihasilkan dari pantulan sumber cahaya oleh fundus yang
melalui media mata yang jernih (kornea, aquous, lensa, dan vitreus).

Setiap kekeruhan disepanjang jaras optik pusat akan menghalangi seluruh


atau sebagian refleks merah ini dan tampak sebagai bintik atau bayangan
gelap. Jika terlihat kekruhan fokal, minta pasien melihat ke tempat lain
sejenak dan kemudian kembali melihat cahaya. Jika kekeruhan ini tetep
bergerak atau melayang, letaknya di dalam vitreus (misalnya perdarahan
12

kecil), namun jika menetap, agaknya terletak pada lensa (misalnya katarak)
atau pada kornea (misalnya parut).

Pemeriksaan Fundus
Pemeriksaan fundus lebih optimal dilakukan pada ruangan yang gelap karena
menyebabkn dilatasi pupil alami untuk mengevaluasi fundus sentral, diskus,
makula, dan struktur pembuluh darah retina.
Tahap pemeriksaan fundus :
a. Meminta pasien menatap objek yang jauh
b. Pemeriksa mula-mula membawa detil retina ke dalam fokus
c. Mencari diskus dengan mengikuti salah satu cabang utama
pembuluh ke tempat berbagai cabang tersebut berasal.
d. Berkas sinar oftalmoskopi diarahkan sedikit ke nasal dari garis
pandang pasien.
e. Cermati bentuk, ukuran, warna diskus, ketajaman tepinya, dan
ukuran bagian sentralnya yang lebih pucat (cup). Hitung cup-disc
ratio.
f. Daerah makula terletak kira-kira dua kali diameter diskus
optikus di sebelah temporal tepi diskus.
g. Sebuah refleksi putih kecil atau refleksmenjadi petanda fovea
sentralis. Daerah fovea ini dikelilingi oleh daerah berpigmen yang
lebih gelap dan berbatas kurang tegas, disebut makula.
h. Ikuti pembuluh darah retina sesuai masing-masing kuadran
(superior, inferior, temporal, nasal).
i. Vena lebih gelap dan besar dibandingkan arteri. Perhatikan warna,
kelokan, kaliber pembuluh darah, aneurisma, perdarahan atau
eksudat.
13

2.4 Ablasio Retina

2.4.1 Definisi
Adalah kelainan mata dimana lapisan sensori retina terlepas dari lapisan epitel
pigmen retina. Antara kedua lapisan tersebut tidak terdapat taut yang erat,
sehingga terjadi akumulasi cairan subretinal di antara kedua lapisan tersebut.1-3
2.4.2 Epidemiologi
Menurut penelitian, di Amerika Serikat insiden ablasio retina 1 dalam 15.000
populasi dengan prevalensi 0,3%. Sedangkan insiden per tahun kira-kira 1
diantara 10.000 orang dan lebih sering terjadi pada usia lanjut kira-kira umur 40-
70 tahun. Pasien dengan miopia yang tinggi (>6D) memiliki 5% kemungkinan
resiko terjadinya ablasio retina, afakia sekitar 2%, komplikasi ekstraksi katarak
dengan hilangnya vitreus dapat meningkatkan angka kejadian ablasio hingga
10%.3

2.4.3 Klasifikasi
Terdapat empat klasifikasi pada ablasio retina, antara lain yaitu:

(1) Rhegmatogenous

Etiologi
Faktor risiko lebih tinggi didapatkan pada kelompok orang-orang dengan miopia
berat, afakia, usia lanjut, dan trauma. Khususnya yang disebabkan oleh trauma
sering terjadi pada individu berusia 25-45 tahun. Miopia tinggi (>5-6 dioptri)
berhubungan dengan 67 % kasus ablasio retina dan cenderung terjadi lebih muda
dari pasien non miopia. 15 % kemungkinan akan berkembang pula pada mata
yang lainnya. Risiko sekitar 25-30 % pada pasien yang telah menjalani operasi
katarak pada kedua mata.3,5,6
Klasifikasi
Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan patogenesis,
morfologi dan lokasi.
14

Berdasarkan patogenesisnya, dibagi menjadi; (1) Tears, disebabkan oleh traksi


vitreoretina dinamik dan memiliki predileksi di superior dan lebih sering di
temporal daripada nasal.(2) Holes, disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan
sensori retina, dengan predileksi di daerah temporal dan lebih sering di superior
daripada inferior, dan lebih berbahaya dari tears.
Berdasarkan morfologi, dibagi menjadi; (1) U-tearsm, terdapat flap yang
menempel pada retina di bagian dasarnya, (2) incomplete U-tears, dapat
berbentuk L atau J, (3) operculated tears, seluruh flap robek dari retina, (4)
dialyses: robekan sirkumferensial sepanjang ora serata, (5) giant tears.

Gambar 4. Morfologi robekan pada ablasio retina regmatogenosa

Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi; (1) oral, berlokasi pada vitreous base, (2)
post oral, berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base dan equator, (3)
equatorial, (4) post equatorial: di belakang equator (5) macular, di fovea.2

Patogenesis2

Ablasio jenis ini terjadi akibat adanya rhegma atau robekan pada lapisan retina
sensorik (full thickness) sehingga cairan vitreus masuk ke dalam ruang subretina.
Pada tipe ini, gaya yang mencetuskan lepasnya perlekatan retina melebihi gaya
yang mempertahankan perlekatan retina. Tekanan yang mempertahankan
perlekatan retina, antara lain tekanan hidrostatik, tekanan onkotik, dan transpor
aktif. Hal yang mempertahankan perlekatan retina yaitu (1) Tekanan intraokular
memiliki tekanan hidrostatik yang lebih tinggi pada vitreus dibandingkan koroid.
(2) Koroid memiliki tekanan onkotik yang lebih tinggi karena mengandung
15

substansi yang lebih dissolved dibandingkan vitreus. (3) Pompa pada sel epitel
pigmen retina secara aktif mentranspor larutan dari ruang subretina ke koroid.
Robekan retina terjadi sebagai akibat dari interaksi traksi dinamik vitreoretina dan
adanya kelemahan di retina perifer dengan faktor predisposisi nya yaitu
degenerasi. synchysis, yaitu pada traksi vitreoretina dinamik, terjadi likuefaksi
dari badan vitreus yang akan berkembang menjadi lubang pada korteks vitreus
posterior yang tipis pada fovea. Cairan synchytic masuk melalui lubang ke ruang
retrohialoid. Akibatnya terjadi pelepasan permukaan vitreus posterior dari lapisan
sensori retina. Badan vitreus akan menjadi kolaps ke inferior dan ruang
retrohialoid terisi oleh cairan synchitic. Proses ini dinamakan acute
rhegmatogenous PVD with collapse (acute PVD). Selain itu juga dapat terjadi
sebagai akibat dari komplikasi akut PVD (posterior vitreal detachment). Robekan
yang disebabkan oleh PVD biasanya berbentuk huruf U, berlokasi di superior
fundus dan sering berhubungan dengan perdarahan vitreus sebagai hasil dari
ruptur pembuluh darah retina perifer.

Gambar 5. Vitreous syneresis 2

Kebanyakan robaekan terjadi di daerah perifer retina. Hal tersebut dapat


berhubungan dengan degenerasi retina perifer. Terdapat berbagai macam
degenerasi, antara lain:

1. Degenerasi lattice
16

Biasa ditemukan pada pasien dengan sindrom Marfan, sindrom Stickler,


sindrom Ehler-Danlos. Ditandai dengan bentuk retina yang sharply
demarcated, circumferentially orientated spindle shaped areas. Biasanya
terdapat bilateral dan lebih sering di daerah temporal dan superior.

2. Degenerasi snailtrack
Degenerasi ini berbentuk snowflakes atau white frost like appearance.

3. Degenerasi retinoschisis
Pada degenerasi ini terjadi pemisahan antara lapisan sensori retina menjadi 2
lapisan, yaitu lapisan koroidal dan lapisan vitreus. Kejadian ini banyak
berhubungan dengan hipermetrop.

4. White-with-pressure, White-without-pressure.

Gambar 6. Degenerasi vitreoretinal2


17

Gejala Klinis 1,2,3,5

Gejala utama yang ditimbulkan adalah fotopsia akibat stimulasi mekanik


pada retina. Fotopsia muncul dalam kurun waktu 24-48 jam setelah terjadinya
robekan retina. Fotopsia dapat diinduksi oleh gerakan bola mata. Pasien akan
merasa dapat melihat lebih jelas pada malam hari. Biasanya fotopsia terdapat di
bagian temporal perifer dari lapangan penglihatan. Pada ablasio bagian
supratemporal yang menyebabkan terangkatnya macula, maka akan terjadi
penurunan tajam penglihatan yang mendadak. Keluhan lain yang khas adalah,
floater, adanya bayangan gelap pada vitreous akibat retina yang robek, darah dan
sel epitel pigmen retina yang masuk ke badan vitreus. Kekeruhan vitreus ini
terbagi atas 3 tipe, yaitu; (1) Weiss ring, floater yang soliter terdiri dari annulus
yang terlepas dari vitreus. (2) Cobwebs, disebabkan oleh kondensasi serat kolagen
di korteks vitreus yang kolaps. (3) Pancaran seketika berupa titik hitam atau
merah yang biasanya mengindikasikan perdarahan vitreus akibat robekan
pembuluh darah retina. Black curtain, defek lapang penglihatan dirasakan oleh
pasien mulai dari perifer yang lama-lama hingga ke sentral. Keluhan ini dapat saja
tidak muncul di pagi hari karena cairan subretina diabsorbsi secara spontan pada
saat malam hari. Arah munculnya defek membantu dalam menentukan lokasi dari
robekan retina. Hilangnya penglihatan sentral mungkin dikarenakan keterlibatan
fovea.
Selanjutnya melalui pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan adanya
Marcus Gunn pupil, tekanan intraokular yang menurun, iritis ringan, adanya
gambaran tobacco dust atau Schaffer sign, robekan retina pada funduskopi. Pada
pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat
dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna
merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang terlepas bergoyang.
18

Gambar 7. Tobacco dust 2


Tatalaksana 1-3
Prinsip penatalaksanaan dari ablasio retina adalah untuk melepaskan traksi
vitreoretina serta dapat menutup robekan retina yang ada. Penutupan robekan
dilakukan dengan melakukan adhesi korioretinal di sekitar robekan melalui
diatermi, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Pembedahan yang sering dilakukan
adalah scleral buckling, pneumatic retinopexy dan intraocular silicone oil
tamponade. Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan prosedur scleral
buckling. Penempatan implan diletakkan dalam kantung sklera yang sudah
direseksi yang akan mengeratkan sclera dengan retina

Prognosis
Prognosis ditentukan oleh tatalkasana yang dini, mekanisme yang mendasari
terjadinya ablasio retina, dan adanya keterlibatan makula.6

(2) Ablasio retina traksional


Etiologi
Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi yaitu retinopati diabetes
proliferative, retinopathy of prematurity, proliferative sickle cell retinopathy.
Patogenesis
Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel epitel
pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi lapisan epitel
di sepanjang daerah vascular yang kemudian dapat menyebar ke bagian retina
midperifer dan makula. Pada ablasio tipe ini permukaan retina akan lebih konkaf
dan sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke ora serata. 1
Pada mata diabetes terjadi perlekatan yang kuat antara vitreus ke area
proliferasi fibrovaskular yang tidak sempurna. Selanjutnya terjadi kontraksi
progresif dari membran fibrovaskular di daerah perlekatan vitreoretina yang
apabila menyebabkan traksi pembuluh darah baru akan menimbulkan perdarahan
vitreus.
Traksi vitroretinal statis dibagi menjadi; (1) Traksi tangensial, disebabkan oleh
kontraksi membran fibrovaskular epiretina pada bagian retina dan distorsi
19

pembuluh darah retina. (2) Traksi anteroposterior, disebabkan oleh kontraksi


membran fibrovaskular yang memanjang dari retina bagian posterior. (3) Traksi
bridging disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular yang akan melepaskan
retina posterior dengan bagian lainnya atau arkade vaskular.2

Gejala Klinis
Fotopsia dan floater sering kali tidak ditemukan. Sedangkan defek lapang
pandang biasanya timbul lambat.
Melalui pemeriksaan oftalmologis akan didapati bentukan yang konkaf dengan
tanpa adanya robekan, dengan elevasi retina tertinggi di daerah traksi
vitreoretinal. Pompa oleh retina akan menurun sehingga tidak terjadi turn over
cairan.2

Terapi
Pada vitrektomi pars plana dilakukan pengambilan agen penyebab traksi.
Selanjutnya dapat pula dilakukan tindakan retinotomi dengan penyuntikan
perfluorokarbon untuk meratakan permukaan retina.2

(3) Ablasio retina campuran antara regmatogenosa dengan traksional

Tipe campuran ini merupakan hasil traksi retina yang kemudian menyebabkan
robekan. Traksi fokal pada daerah proliferasi jaringan ikat atau fibrovaskular
dapat mengakibatkan robekan retina dan menyebabkan kombinasi ablatio retinae
regmatogenosa-traksional

(4) Ablasio retina eksudatif

Etiologi
Etiologi dari ablasio eksudatif yaitu dapat terjadi secara spontan, dengan trauma,
uveitis, tumor, skleritis, DM, koroiditis, idiopatik, CVD, Vogt-Koyanagi-Harada
syndrome, kongenital, ARMD, sifilis, reumatoid artritis, atau kelainan
vaskular.3,6,7
20

ditandai dengan adalanya akumulasi cairan pada ruang subretina dimana tidak
terjadi robekan retina dan traksi. Asal cairan ini dari pembuluh darah retina, atau
koroid, atau keduanya. Hal ini dapat terjadi pada penyakit vaskular, radang, atau
neoplasma pada retina, epitel berpigmen, dan koroid dimana cairan bocor keluar
pembuluh darah dan terakumulasi di bawah retina. Selama epitel berpigmen
mampu memompa cairan yang bocor ini ke sirkulasi koroid, tidak ada akumulasi
dalam ruang subretina dan tidak akan terjadi ablasio retina. Akan teteapi, jika
proses berlanjut dan aktivitas pompa epitel berpigmen normal terganggu, atau jika
aktivitas epitel berpigmen berkurang karena hilangnya epitel berpigmen atau
penurunan suplai metabolik (seperti iskemia), kemudian cairan mulai
berakumulasi dan terjadi ablasio retina. Tipe ablasio retina ini dapat juga
disebabkan oleh akumulasi darah pada ruang subretina (ablasio retina hemoragika.
Penyakit radang dapat menyebabkan ablasio retina serosa termasuk skleritis
posterior, oftalmia simatetik, penyakit Harada, pars planitis, penyakit pembuluh
darah vaskular. Penyakit vaskular adalah hipertensi maligna, toksemia
gravidarum, oklusi vena retina, penyakit Coat, penyakit angiomatosa retina, dan
pembentukan neovaskularisasi koroid. 3

Patogenesis
Terjadi akibat akumulasi cairan subretinal dengan tanpa danya robekan
retina ataupun traks pada retina. Pada penyakit vaskular, radang, atau neoplasma
retina, epitel pigmen, dan koroid, maka dapat terjadi kebocoran pembuluh darah
sehingga berkumpul di bawah retina. Hal ini terjadi terutama bila pompa epitel
terganggu akibat berbagai hal.
21

Gambar 8. Ablatio Retinae Eksudatif2

Gejala Klinis
Fotopsia tidak ditemukan. Floater dapat ditemukan pada vitritis. Defek
lapang pandang terjadi cepat. Pada pemeriksaan oftalmologi, ablatio retinae
eksudatif memiliki bentukan yang konveks dengan permukaan yang halus dan
berombak. Retina yang terlepas bersifat mobile sehingga menimbulkan fenomena
shifting fluid. Leopard spots yaitu area subretinal yang mendatar setelah terjadi
ablatio retinae.2

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan etiologi yang mendasarinya. Pada
kondisi yang disebabkan oleh inflamasi seperti pada penyakit Harada dan skleritis
posterior maka pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan. Jika disebabkan
oleh keganasan, maka terapi radiasi dapat dilakukan. Pada korioretinopati bulosa
22

sentral serosa dapat dilakukan laser fotokoagulasi argon. Pada infeksi diberikan
antibiotik.8 Kelainan vaskular dapat diterapi dengan laser, krioterapi, aviterktomi.
Komplikasi
Dapat terjadi glaukoma neovaskular dengan ptisis bulbi.7

2.3.3 Diagnosis banding Ablasio Retina

a. Retinoskisis degeneratif

Dengan gejala klinis yaitu fotopsia dan floater tidak ada, defek lapang pandang
jarang terjadi, gejala yang timbul dikarenakan adanya perdarahan vitreus atau
perkembangan ablasio retina yang progresif. Pada pemeriksaan oftalmologis
didapatkan gambaran elevasi yang konveks, licin, tipis dan immobile.

b. Ablasio koroid (choroidal detachment)


Gejala klinis yang muncul yaitu fotopsia dan floater tidak ada, defek lapang
pandang dapat ada pada mata dengan ablasi koroid yang luas. Pada pemeriksaan
oftalmologis didapatkan tekanan intraokular yang sangat rendah akibat adanya
ablasi badan silier, gambaran elevasi coklat berbentuk konveks, licin, bulosa dan
relatif immobile, serta tidak meluas ke polus posterior. Retina perifer dan ora
serata tampak jelas.

c. Sindrom efusi uvea


kelainan yang bersifat idiopatik dengan gambaran ablasi koroid yang
berhubungan dengan ablasi retina eksudatif, terkadang adanya residual mottling.
23

Daftar Pustaka

1. Hardy RA,. Retina dan Tumor Intraokuler. In : Vaughan D.G, Asbury T., Riordan E.P,
editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta : Widya Medika. 2000.p. 38-43, 185-99.
2. Kanski JJ, Bowling B, editors. Clinical Ophthalmology: a systemic
approach. 7th ed. Elsevier, 2011
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2004. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
4. Sidarta I,. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata Edisi kedua. Jakarta:
BP-FKUI. 2002. p.10-5.
5. Larkin GL. Retinal Detachment. [series online] 2006 April 11 [cited on
2013 January 15]. Available from URL:
http://www.emedicine.com/emerg/topic504.htm.
6. Gariano RF, Kim CH. Evaluation and Management of Suspected Retinal
Detachment. American Academy of Family Physicians. [series online]
2004 April 1 [cited on 2013 January 15]; vol. 69, no. 7. Available from
URL: http://www.aafp.org/afp/20040401/1691.html.
7. Wu L. Retinal Detachment Exudative. [series online] 2010 Agustus 2
[cited on 2013 January 15]. Available from URL:
http://www.emedicine.com/oph/topic407.htm.

Anda mungkin juga menyukai