Anda di halaman 1dari 10

Hasil Analisis Jurnal

“PERBEDAAN KEKUATAN OTOT SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKAN


LATIHAN (MIRRRORTHERAPY) PADA PASIEN STROKE ISKEMIK DENGAN
HEMIPARESIS DI RSUP DR. HASAN SADIKIN, BANDUNG

Kelompok 7

Siti Hardianti Ariana, S.Kep (70900117015)


Muh. Indra Jaya, S.Kep (70900117019)
Amaliah Ramadhani, S.Kep (70900117022)

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XIII


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2017
ANALISIS JURNAL

1. Judul Jurnal: Perbedaan Kekuatan Otot Sebelum dan Sesudah Dilakukan Latihan (Mirrror
Therapy) pada Pasien Stroke Iskemik dengan Hemiparesis di RSUP Dr.
Hasan Sadikin, Bandung
2. Kata Kunci: kekuatan otot, terapi cermin (Mirror Therapy) Stroke Iskemik, Hemiparesis
3. Penulis: Hendri Heriyatno dan Anastasia Anna
4. Telaah Step 1 (Fokus penelitian jelas)
Problems Stroke adalah kumpulan gejala klinis berupa gangguan dalam
sirkulasi darah ke bagian otak yang menyebabkan gangguan fungsi
baik lokal atau global yang terjadi secara mendadak, progresif dan
cepat.
Menurut data WHO (2010) menyebutkan setiap tahunnya
terdapat 15 juta orang diseluruh dunia menderita stroke dimana 6
juta orang mengalami kematian dan 6 juta orang mengalami
kecacatan permanen dan angka kematian tersebut akan terus
meningkat dari 6 juta ditahun 2010 menjadi 8 juta ditahun 2030.
Di Indonesia stroke merupakan penyebab kematian utama di
Rumah Sakit Pemerintah, penyebab kematian ketiga dan
menyebabkan timbulnya kecacatan utama di Rumah Sakit
(pdpersi, 2010) Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan
sebesar 7 per 1.000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh
tenaga kesehatan adalah 12,1 per 1.000 penduduk. Selain itu
diperkirakan penyebab kematian utama di Rumah Sakit akibat
stroke 15%, dengan tingkat kecacatan mencapai 65%.
Pada pasien stroke, 70-80% mengalami hemiparesis
(kelemahan otot pada salah satu sisi bagian tubuh) dengan 20 %
dapat mengalami peningkatan fungsi motorik dan sekitar 50%
mengalami gejala sisa berupa gangguan fungsi motorik /
kelemahan otot pada anggota ekstrimitas bila tidak mendapatkan
pilihan terapi yang baik dalam intervensi keperawatan maupun
rehabilitasi pasca stroke
Intervention Terapi latihan rentang gerak dengan menggunakan media
cermin (mirror therapy).
Comparison Tidak ada intervensi pembanding
Intervention
Outcome Rerata kekuatan otot bagian atas sebelum dilakukan latihan
mirror therapy adalah 2,12 (0,45). Rerata kekuatan otot bagian
bawah sebelum dilakukan latihan mirror therapy adalah 2,12
(0,45). Sedangkan, rerata kekuatan otot bagian atas sesudah
dilakukan latihan mirror therapy adalah 3,83 (0,56). Rerata
kekuatan otot bagian bawah sesudah dilakukan latihan mirror
therapy adalah 4,00 (0,66).
Terdapat perbedaan kekuatan otot bagian atas sebelum dan
sesudah latihan mirror therapy (p = 0,00). terdapat perbedaan
kekuatan otot bagian bawah sebelum dan sesudah latihan mirror
therapy (p = 0,00)

5. Telaah Step 2 (Validitas)


Recruitment Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni-Juli 2014. Cara
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
non probability sampling dengan metode purposive sampling
yaitu teknik pemilihan sampel yang dilakukan berdasarkan
maksud dan tujuan tertentu yang ditentukan oleh peneliti
Kriteria Inklusi.
1. Penelitian dilakukan terhadap 24 pasien yang terdiagnosa
stroke iskemik yang sudah melewati fase kritis.
2. Mengalami hemiparesis atau kelemahan salah satu bagian sisi
tubuh dan sebelumnya telah dilakukan pengukuran kekuatan
otot.
3. Berusia dewasa (18-65 tahun),
4. Kesadaran compos menthis (GCS=E4M6V5),
5. Merupakan serangan pertama,
6. Memiliki kekuatan otot dalam rentang 1-3,
7. Cairan dan elektrolit dalam rentang normal.
Kriteria Eksklusi
1. Mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan (skala
VIS:4)
Maintenance 1. Sebelum pemberian latihan dilakukan pretest menggunakan
lembar observasi, skala kekuatan otot dan skala visual
imaginery
2. Sesi Latihan
Mirror Therapy (www.physio-pedia.com/Mirror_Therapy)
Intervensi Mirror Therapy dalam penelitian ini dilaksanakan
sebanyak 5 kali sehari selama 7h hari
a. Pasien menempatkan anggota tubuh yang baik dalam satu
sisi, dan tunggul ke yang lain.
b. Pasien kemudian melihat ke dalam cermin di sisi dengan
anggota tubuh yang baik dan membuat gerakan di depan
"cermin simetris", sehingga tampak sebagai konduktor
simfoni mungkin, atau seperti yang kita lakukan saat kita
bertepuk tangan.
c. Karena subjek melihat gambar tercermin dari tangan yang
bergerak dengan baik, tampak seolah-olah anggota badan
yang lumpuh juga bergerak.
d. Melalui penggunaan umpan balik visual buatan ini
menjadi mungkin bagi pasien untuk menggerakkan
tungkai yang lumpuh, dan terlepas dari posisi yang
berpotensi menyakitkan
3. Setelah pemberian latihan dilakukan posttest menggunakan
lembar observasi, skala kekuatan otot dan skala visual
imaginery
Measurement Instrumen penelitian menggunakan lembar observasi,skala
kekuatan otot dan skala visual imagery, lembar panduan untuk
latihan serta media cermin.
Data akan dianalisis dengan univariat dan bivariat. Analisis
univariat dilakukan untukmengetahui distribusi, frekuensi , rerata
dan persentase serta mengetahui gambaran dan karakteristik
responden pasien yang mengalami stroke iskemik yang terdiri
dari; usia , jenis kelamin, serta admission time (waktu
mendapatkan perawatan di Rumah sakit).
Untuk analisis bivariat, Sebelum dilakukan uji statistik
terlebih dahulu dilakukan preeliminary analysis untuk
mengetahui apakah data memenuhi asumsi-asumsi tes
parametrik yaitu dilakukan uji normalitas data untuk mengetahui
normal tidaknya data tersebut. Karena data berdistribusi tidak
normal menggunakan uji statistik nonparametrik Wilcoxon

6. Telaah Step 3 (Aplikabilitas)


Dalam jurnal disimpulkan bahwa ada terdapat perbedaan yang signifikan antara
kekuatan otot sebelum dan sesudah dilakukan intervensi latihan mirror therapy, dimana
sebelum dilakukan intervensi mirror therapy kekuatan otot ektrimitas bagian atas atau
bawah pasien dikisaran 2 pada skala (skala 0-5) dan kekuatan otot pasien sesudah
dilakukan, skala kekuatan otot meningkat dikisaran 4 pada skala (skala 0-5).
Berdasarkan hasil analisis jurnal, kami menyimpulkan bahwa intervensi latihan
mirror therapy untuk meningkatkan kekuatan otot pasien stroke dengan hemiparesis dapat
diterapkan karena langsung berhubungan dengan sistem motorik dengan
melatih/menstimulus ipsilateral atau korteks sensori motorik kontralateral yang
mengalami lesi.
Sesuai dengan penelitian Mirror Therapy telah terbukti meningkatkan rangsangan
motorik kortikal dan tulang belakang, mungkin melalui efek pada sistem neuron cermin.
Neuron cermin menyumbang sekitar 20% dari semua neuron yang ada dalam otak
manusia. Neuron cermin ini bertanggung jawab untuk lateralitas rekonstruksi yaitu,
kemampuan untuk membedakan antara kiri dan sisi kanan. Bila menggunakan kotak
Cermin, neuron cermin ini akan diaktifkan dan membantu dalam pemulihan bagian yang
mengalami kelumpuhan. Sistem ini diduga menggunakan pengamatan dari gerakan untuk
merangsang proses motorik yang akan terlibat dalam gerakan itu. Kemiripan telah
digambarkan oleh proses penggambaran motorikdimana individu secara mental akan
membayangkan gerakan daripada mengamati pantulan gerakan di cermin.
Diperkirakan bahwa otak kecenderungan alami untuk memprioritaskan umpan
balik visual.Sehingga melalui stimulasi yang beulang, pasien akan melatih ototnya untuk
bergerak.

Jurnal ini juga didukung oleh penelitian lain yaitu :


a. Penelitian oleh Ifa Gerhanawati(2015) tentang pengaruh pengaruh pemberian
exercise terhadap peningkatan kekuatan otot setelah diberi IR pada kasus Bell’s
Palsy di RSUD Jombang.Hasil penelitian menunjukkan 18 responden berdasarkan
pengambilan sampel dengan random sampling menunjukkan terdapat perbedaan
antara kekuatan otot M.corrogator supercili, M.orbicularis oculi, M.Obicularisoris,
M.procerus setelah diberi Mirror therapy.
b. Penelitian oleh Meidian A.C, Sutjana D.P, dan Irfan M, tentang pelatihan mirror
neuron system sama dengan pelatihan constraint induced movement therapy dalam
meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke. Hasil
penelitian menunjukkan dari 26 sampel penelitian, 13 sampel dalam kelompok
MNS (Mirror Neuron System) menunjukkan peningkatan kemampuan fungsional
anggota gerak atas (selisih rerata sebelum dan sesudah perlakuan sebesar 9,4%),
dan 13 sampel dalam kelompok CIMT (Constraint Induced Movement Therapy)
juga meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas (selisih rerata
sebelum dan sesudah perlakuan sebesar 7,2%).
7. Kelebihan dan kekurangan jurnal.
a. Kelebihan Jurnal
1) Pelaksanaan intervensi dalam penelitian ini disebutkan secara jelas frekuensinya.
2) Peneliti mengungkapkan secara jelas kriteria inklusi dan menghomogenkan pasien
yang menjadi subyek penelitiannya
3) Peneliti memaparkan hasil penelitian dengan jelas
b. Kekurangan Jurnal
1) Tidak dijelaskan kriteria ekslusi dalam penelitian secara jelas
2) Tidak disebutkan durasi pemberian intervensi pada pasien dalam satu kali latihan
3) Tidak ada kelompok pembanding dalam penelitian
4) Instrumen pengukuran variabel hanya disebutkan pada bagian abstrak namun,
tidak disebutkan secara jelas dalam isi artikel
LAMPIRAN
Mirror Therapy (www.physio-pedia.com/Mirror_THerapy)
PENGENALAN
Prinsip terapi cermin (MT) adalah penggunaan cermin untuk menciptakan ilusi
reflektif dari anggota tubuh yang terkena untuk mengelabui otak memikirkan gerakan
telah dilakukan tanpa rasa sakit. Ini melibatkan penempatan anggota badan yang terkena
dibalik cermin, yang diletakkan sehingga refleksi dari ekstremitas lawan muncul di
tempat ekstremitas tersembunyi.
Sebuah kotak Cermin adalah perangkat yang memungkinkan dokter untuk dengan
mudah membuat ilusi ini. Ini adalah sebuah kotak dengan satu cermin di pusat di mana di
setiap sisi itu, tangan ditempatkan dengan cara anggota badan yang terkena adalah terus
tertutup dan tungkai yang dapat bergerak disimpan di sisi lain yang refleksinya dapat
dilihat pada cermin.

LATAR BELAKANG
Terapi cermin diciptakan oleh Vilayanur S. Ramachandran untuk membantu
meringankan nyeri tungkai yang mengalami kelumpuhan, di mana pasien merasa mereka
masih memiliki rasa sakit di tungkai bahkan setelah diamputasi.
Ramachandran dan Rogers-Ramachandran pertama menciptakan teknik dalam
upaya untuk membantu orang-orang dengan phantom nyeri tungkai menyelesaikan apa
yang mereka disebut sebagai 'kelumpuhan belajar' dari nyeri pada. Umpan balik visual,
dari melihat refleksi dari ekstremitas utuh di tempatkelumpuhan anggota badan,
memungkinkan bagi pasien untuk melihat gerakan di kelumpuhan anggota badan.
Hipotesis mereka adalah bahwa setiap kali pasien berusaha untuk memindahkan anggota
badan lumpuh, mereka menerima umpan balik sensoris (melalui visi dan Proprioception)
yang anggota tubuh tidak bergerak. Umpan balik ini dicap dirinya ke dalam sirkuit otak
melalui proses pembelajaran Hebbian, sehingga, bahkan ketika anggota tubuh itu tidak
lagi hadir, otak telah belajar bahwa anggota tubuh (dan phantom berikutnya) lumpuh.
Untuk melatih otak, dan dengan demikian menghilangkan kelumpuhan melalui belajar,
Ramachandran dan Rogers-Ramachandran menciptakan kotak cermin.
TEKNIK
Pasien menempatkan anggota tubuh yang baik dalam satu sisi, dan tunggul ke yang
lain. Pasien kemudian melihat ke dalam cermin di sisi dengan anggota tubuh yang baik
dan membuat "cermin simetris" gerakan, sebagai konduktor simfoni mungkin, atau
seperti yang kita lakukan saat kita bertepuk tangan kami. Karena subjek adalah melihat
gambar tercermin dari tangan bergerak baik, tampak seolah-olah phantom limb juga
bergerak. Melalui penggunaan umpan balik visual buatan ini menjadi mungkin bagi
pasien untuk "bergerak" yang phan tom tungkai, dan unclench dari posisi berpotensi
menyakitkan.

PRINSIP TERAPI CERMIN


Pendekatan ini memanfaatkan preferensi otak untuk memprioritaskan umpan balik
visual lebih somatosensori / tanggapan proprioseptif tentang posisi tungkai. Dalam
kondisi seperti nyeri anggota tubuh yang lumpuh/ phantom limb pain (PLP), stroke, atau
Regional Nyeri Sindrom Tipe 1 (CRPS1) kronis di mana proses neuropatik menyebabkan
masalah dengan nyeri, terkait atau tidak terkait dengan gerakan, pendekatan ini diduga
menawarkan potensi lega. [1]
MT telah terbukti meningkatkan kortikal dan tulang belakang rangsangan motorik,
mungkin melalui efek pada sistem neuron cermin [4]. Neuron cermin menyumbang
sekitar 20% dari semua neuron yang ada dalam otak manusia. Neuron cermin ini
bertanggung jawab untuk lateralitas rekonstruksi yaitu, kemampuan untuk membedakan
antara kiri dan sisi kanan. Bila menggunakan kotak Cermin, neuron cermin ini akan
diaktifkan dan membantu dalam pemulihan bagian yang mengalami kelumpuhan. Sistem
ini diduga menggunakan pengamatan dari gerakan untuk merangsang proses motorik
yang akan terlibat dalam gerakan itu. Kemiripan telah digambarkan oleh proses
penggambaran motorikdimana individu secara mental akan membayangkan gerakan
daripada mengamati pantulan gerakan di cermin [4]. Diperkirakan bahwa otak
kecenderungan alami untuk memprioritaskan umpan balik visual atas semua hal lain
sehingga membuat MT adalah alat yang lebih kuat, namun bukti penelitian saat ini
kurang mendukung hipotesis ini [1] [4]. Perlu dicatat bahwa perbedaan utama dalam
reorganisasi neuronal ketika menggunakan kotak cermin adalah bahwa neuron otak
ipsilateral ini memberikan koneksi ke sisi yang terkena anggota badan yang sama
daripada terapi konvensional yang menargetkan reorganisasi neuronal dari belahan
kontra-lateral.

Anda mungkin juga menyukai