Jelasalah bahwa nasionalisme yang dibangun oleh para pendahulu kita bukanlah
nasionalisme yang sampai pada keiginan untuk berperang melawan negara lain. Apa lagi
Malasya masih satu rumpun dan satu komunitas agama dengan Indonesia.
Keadaan ini, membenarkan apa yang di tulis Benerdad Anderson dalam bukunya
Komunitas-Komunitas Terbayang, bahwa bangsa Indonesia merupakan komuniat-komunitas
yang terbayang. Mengapa tidak, fenomena nasionalisme yang serimonial, mebuat
nasionalisme kita semu. Cita-cita nasionalisme yang diperjuang para “founding people”, tidak
sejalan dengan apa yang sekarang ditunjukkan generasi bangsa Indonesia.
Apakah ini karena kesalahan sejarah, yang saat itu nasionalisme kita dibangun diatas
rasa sepenanggungan karena dijajah oleh negara yang sama. Mungkin, benar apa yang
dikatakan Benerdad Anderson, jika memang Indonesia bukanlah bangsa yang satu, namun
memiliki sejarah yang berbeda, dan dengan begitu kita memiliki kedaulatan masing-masing.
Mungkinkah, ini terbantahkan.
Realitas belakangan ini semakin memperkuat apa yang dituliskan Benerdad Anderson.
Kita hanya sibuk mengurus daerah masing-masing, kita hanya sibuk melihat nasib sebagian
masyrakat Indonesia dengan berbasis etnis atau kesukuan.
Ini semakin diperkuat dengan penerapan sistem otonomi daerah. Dengan
diterapkannya otonomi daerah, kita semakin hari semakin melupakan nasib daerah lain.
Masing-masing dari kita sibuk mengurus daerah otonom masing-masing. Tidak ada lagi rasa
satu yang dulu dibangun, tak ada lagi kebersamaan dan gotong royong yang kita kenal sebagai
kearifan local bangsa Indonesia. Bahkan, sering kepentingan etnis, suku, ataupun golongan
menjadi legitimasi tindakan kekerasan. Yang karena kekerasan ini menyebabkan kekerasan
berikut, yang terus menyebabkan kekerasan yang berikutnya, dan begitu selanjutnya, karena
memang kekerasan hanya menimbulkan kekerasan yang baru.
Nasionalisme kita runtuh saat berhadapan dengan persoalan-persoalan bangsa yang
lain. Sebut saja masalah korupsi, semakin meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran,
bahkan masalah nasional yang lain. Kita menjadi individualistic menanggapi masalah ini.
andai ada yang ingin bersama-sama menanggapi masalah inipun hanya sebagaian kecil dari
kita. Nasionalisme kita rapuh, lemah, atau bahkan tak berdaya jika berhadapan dengan
persoalan-persoalan seperti ini. Kita tak lagi perduli dengan apa yang dihadapi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Apakah mereka hidup layak, apakah mereka tertindas, apakah mereka
telah mendapatkan keadilan, atau apakah mereka telah benar-benar hidup pada alam
kemerdekaan. Kita, tak terlalu menaruh perhatian pada pertanyaan-pertanyaan ini,
Kenapa demikian, karena benar adanya jika nasionalisme kita semu. Padahal, dengan
kekuatan nasionalisme kita akan mampu menerobos berbagai kebobrokan yang di tunjukan
para birokrat bangsa ini.
Akhirnya, penulis membayangkan kekuatan besar dengan semangat nasionalisme kita
akan mampu keluar dari berbagai persoalan bangsa.
Wallahualam