Anda di halaman 1dari 2

NASIONALISME SEMU

Oleh : HENDRA KASIM


MAHASISWA HUKUM UMMU

Semangat Nasionalisme masyarakat Indonesia akhir-akhir ini sedang bergelora seiring


dengan pelaksanaan SEA GAMES 2011 di Palembang dan Jakarta. Diseluruh penjuru
Indonesia ‘yang sudah dapat menikmati’ siaran TV Nasional baik pemerintah maupun swasta,
tiap harinya setia duduk didepan layar TV menyimak dengan penuh harapan terhadap atlet
Indonesia dapat memperoleh medali emas pada setiap cabang olah raga yang dipertandingkan.
Suasana hati yang diselimuti ketegangan sering menemani setiap masyarakat
Indonesia yang mengikuti setiap pertandingan. Apakah itu Bola Kaki, Bulu Tangkis, Renang,
Lari Maraton, ataukah cabang olah raga yang lain. Ketegangan itu hanya karena satu alasan,
keinginan untuk dapat menjadi juara pada SEA GAMES 2011, yang tentu harapan itu
diserahkan kepada para Atlet Indonesia. Dalam waktu singkat, atlet Indonesia menjadi pusat
perhatian public nusantara. Perjuangan heroic yang ditampilkan membangkiktkan semangat
nasionalisme. Harapan besar mengharumkan nama bangsa menjadi motivasi tunggal, baik
para atlet, pemerintah, ataupun public nusantara.
Fenomena ini mungkin tidak terlau menjadi perhatian dari berbagai kalangan. Namun,
penulis melihat ada hal ‘ganjil’ pada keadaan ini. Keganjilan yang penulis maksud adalah,
nasionalisme bangsa Indonesia hanya bersifat serimonial. Ketika ajang-ajang perebutan juara,
‘kita’ serentak terketuk sanubari untuk memberi dukungan terhadap para atlet (wakil
Indonesia) yang bertanding. Apakah bentuk dukungan itu hanya melalui doa, ‘sms’ dukungan,
atau langsung berada di lokasi pertandingan. Bahkan, dukungan yang diberikan sampai pada
tindakan yang sering memalukan nama bangsa. Tentu kita masih ingat bagaimana stadion
Gelora Bung Karno dipenuhi asap serta ledakan petasan saat Timnas Bola Kaki Indonesia
berhadapan dengan Timnas Malasya yang saat itu sempat membuat wasit menghentikan
sejenak pertandingan yang dilaksanakan.
Hemat penulis yang lebih menjadi persoalan adalah, nasionalisme ini ‘semu’, hanya
ada pada saat suatu pertandingan berlangsung. Kita akan tertawa jika Indonesia menempati
podium nomor satu. Namun, jika sebaliknya kita menjadi orang-orang ahli dalam memberi
alasan untuk menutup malu akibat kalah dalam perebutan juara. Bukankah kita akan lebih
seperti kesatria jika mengakui kekalahan dengan sportifitas.
Eforia ini bukan hanya ada pada saat pertandingan tingkat asia maupun internasional.
Saat alam mulai mengamuk, kitapun menjadi bangsa yang berjiwa nasionalisme. Sebut saja
saat Tsunami Aceh, Gemba Jogja, Gunung Merapi Jogja, Tsunami Mentawai, serta bencana
alam yang lain. Masyarakat Indonesia yang ada disetiap jajaran gugusan kepulauan nusantara
menaruh perhatian dan memberikan bantuan kepada masyarakat Indonesia yang menjadi
korban dari bencana alam.
Sekilas dan sejenak kita menjadi saudara. Merasa senasib sepenanggungan. Merasa
memiliki akar sejarah yang sama. Meski sejatinya, bantuan itu hanya sebatas dengan jargon
keikhlasan kita memberikan bantuan, namun tak peduli digunakan untuk apa bantuan kita,
atau sampai atau tidak bantuan kita. Katanya, yang penting kita ikhlas memberikan. Entah
apakah ini benar atau tidak, mereka ataupun kita sangat hebat bersembunyi dibalik jargon
ikhlas.
Tidak hanya itu, tentu masih sangat segar dipikiran kita saat Indonesia bersitegang
dengan malasya. Baik apakah itu karena persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), perbatasan
(sepserti kasus ambalat), bahkan sampai masalah Manohara permaisuri Pangeran Klantan.
Masalah-masalah itu melahirkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Ada yang bersikap
‘acuh, ada yang menganggap sebagai hal biasa, ada juga yang menanggai serius dan ekstrim
sampai menghendaki konflik terbuka antar Indonesi Malasya. Padahal, masih banyak cara lain
yang dapat ditempuh. Atau bahkan, dibalik semua itu harus kita sadari adanya konspirasi
politik global yang mengutamakan kepentingan neoliberalisme kapitalis (mengenai konspirasi
politik global tidak penulis kaji lebih dalam pada tulisan ini).
Padahal, jelas pandangan Soekarno tokoh Ploklamator Indonesia, kalau nasionalisme
Indonesia bukanlah nasionalisme yang sempit cahuvinistik yang benci kepada bangsa lain.
Melainkan nasionalisme kemanusiaan yang ingin membangun bangsa sendiri untuk dapat
hidup sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Hal ini jelas diungkapkan Bung Karno pada pidato
pembelaannya didepan Pengadilan Den Hag Belanda sebagaimana dikutip Prof. Dr. Hamqa
Haq dalam bukunya Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam, sebagai berikut :

“dengan sekarang sudah menghidup-hidupkan nasionalisme yang positif itu. Maka ia


bisa menjaga, jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang benci
kepada bangsa lain, yakni jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme
yang chauvinistis atau jinga nasionalisme yang agresif, sebagai yang kita alami
jahatnya dalam perang dunia yang lalu, - suatu jinga nasionalisme “of gain and loss”
sebagai kata C.R. Das – yang agresif, yakni suatu jingo-nasionalisme yang
bersemboyan “untung atau rugi” dan menyerang kian kemari. Dengan nasionalisme
yang positif itu, maka rakyat Indonesia merasa kebenaran kalimat-kalimat Arabinda
Ghose, yang mengatakan bahwa nasionalisme yang demikian itu adalah sebenarnya
Allah sendiri”.

Jelasalah bahwa nasionalisme yang dibangun oleh para pendahulu kita bukanlah
nasionalisme yang sampai pada keiginan untuk berperang melawan negara lain. Apa lagi
Malasya masih satu rumpun dan satu komunitas agama dengan Indonesia.
Keadaan ini, membenarkan apa yang di tulis Benerdad Anderson dalam bukunya
Komunitas-Komunitas Terbayang, bahwa bangsa Indonesia merupakan komuniat-komunitas
yang terbayang. Mengapa tidak, fenomena nasionalisme yang serimonial, mebuat
nasionalisme kita semu. Cita-cita nasionalisme yang diperjuang para “founding people”, tidak
sejalan dengan apa yang sekarang ditunjukkan generasi bangsa Indonesia.
Apakah ini karena kesalahan sejarah, yang saat itu nasionalisme kita dibangun diatas
rasa sepenanggungan karena dijajah oleh negara yang sama. Mungkin, benar apa yang
dikatakan Benerdad Anderson, jika memang Indonesia bukanlah bangsa yang satu, namun
memiliki sejarah yang berbeda, dan dengan begitu kita memiliki kedaulatan masing-masing.
Mungkinkah, ini terbantahkan.
Realitas belakangan ini semakin memperkuat apa yang dituliskan Benerdad Anderson.
Kita hanya sibuk mengurus daerah masing-masing, kita hanya sibuk melihat nasib sebagian
masyrakat Indonesia dengan berbasis etnis atau kesukuan.
Ini semakin diperkuat dengan penerapan sistem otonomi daerah. Dengan
diterapkannya otonomi daerah, kita semakin hari semakin melupakan nasib daerah lain.
Masing-masing dari kita sibuk mengurus daerah otonom masing-masing. Tidak ada lagi rasa
satu yang dulu dibangun, tak ada lagi kebersamaan dan gotong royong yang kita kenal sebagai
kearifan local bangsa Indonesia. Bahkan, sering kepentingan etnis, suku, ataupun golongan
menjadi legitimasi tindakan kekerasan. Yang karena kekerasan ini menyebabkan kekerasan
berikut, yang terus menyebabkan kekerasan yang berikutnya, dan begitu selanjutnya, karena
memang kekerasan hanya menimbulkan kekerasan yang baru.
Nasionalisme kita runtuh saat berhadapan dengan persoalan-persoalan bangsa yang
lain. Sebut saja masalah korupsi, semakin meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran,
bahkan masalah nasional yang lain. Kita menjadi individualistic menanggapi masalah ini.
andai ada yang ingin bersama-sama menanggapi masalah inipun hanya sebagaian kecil dari
kita. Nasionalisme kita rapuh, lemah, atau bahkan tak berdaya jika berhadapan dengan
persoalan-persoalan seperti ini. Kita tak lagi perduli dengan apa yang dihadapi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Apakah mereka hidup layak, apakah mereka tertindas, apakah mereka
telah mendapatkan keadilan, atau apakah mereka telah benar-benar hidup pada alam
kemerdekaan. Kita, tak terlalu menaruh perhatian pada pertanyaan-pertanyaan ini,
Kenapa demikian, karena benar adanya jika nasionalisme kita semu. Padahal, dengan
kekuatan nasionalisme kita akan mampu menerobos berbagai kebobrokan yang di tunjukan
para birokrat bangsa ini.
Akhirnya, penulis membayangkan kekuatan besar dengan semangat nasionalisme kita
akan mampu keluar dari berbagai persoalan bangsa.
Wallahualam

Anda mungkin juga menyukai