Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

ERITEMA MULTIFORME

Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun oleh:
Firyal Maulia G4A015169

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

ERITEMA MULTIFORME

Pada tanggal, Juli 2017

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh:
Isnin Mahfirotun Nisa G4A016055

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

2
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta para pengikut setianya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, terutama dr. Ismiralda Oke
Putranti, Sp.KK, selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari presentasi kasus
ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga presentasi kasus ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan
dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, Juli 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 3

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 4

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang ........................................................................................... 1
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien ......................................................................................... 2
B. Anamnesis ................................................................................................ 2
C. Status generalis dan Dermatologis ........................................................... 2
D. Pemeriksaan penunjang ........................................................................... 3
E. Resume ..................................................................................................... 6
F. Diagnosis kerja......................................................................................... 6
G. Diagnosis banding .................................................................................... 5
H. Penatalaksanaan ....................................................................................... 6
I. Prognosis .................................................................................................. 7
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ...................................................................................................... 8
B. Epidemiologi ............................................................................................. 8
C. Etiologi ...................................................................................................... 8
D. Patogenesis ................................................................................................ 10
E. Gambaran klinis ........................................................................................ 11
F. Penegakan Diagnosis................................................................................. 12
G. Penatalaksanaan ........................................................................................ 16
H. Prognosis ................................................................................................... 17
IV. PEMBAHASAN ........................................................................................... 18
V. KESIMPULAN ............................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................22

4
I. PENDAHULUAN

5
A. Latar Belakang
Eritema multiforme adalah suatu penyakit inflamasi akut pada kulit dan
membrane mukosa yang dapat menimbulkan berbagai wariasi lesi kulit, erupsi
kulit mendadak dan bersifat rekuren. Eritema mutiforme disebut juga reaksi
self-limitting hypersensitivity dengan karakteristik lesi target pada kulit atau
lesi oral ulserasif dan sangat bervariasi seperti terlihat dari namanya
“multiforme”, merupakan kombinasi dari bulla, papula, makula dan ulser. Lesi
stomatitis dan kutan merupakan gambaran yang paling mencolok. Eritema
multiforme dapat muncul dalam spectrum keparahan yang luas (Regezi, et al.,
2003; Lamoreux, 2006).
Berdasarkan tingkat keparahannya, eritema multiforme diklasifikasikan
menjadi minor, mayor, Stevens-Johnson syndrome (SJS), dan nekrolisis
epidermal toksik (NET), di mana eritema multiforme minor adalah tipe lesi
paling ringan dan nekrolisis epidermal toksik adalah yang paling berat.
Sedangkan berdasarkan gejala klinisnya, dibedakan menjadi tipe macula-
eritema dan vesikobulosa (Isik, et al., 2007).
Eritema Multiforme disebut juga herpes iris, atau eritema eksudativum
multiforme, yang timbul akibat penyebab yang belum jelas, namun
diperkirakan terjadi karena adanya faktor-faktor seperti alergi obat, infeksi
bakteri atau virus tertentu, rangsangan fisik, hawa dingin, matahari, faktor
endokrin pada haid atau kehamilan, dan keganasan. Eritema multiformis lebih
sering terjadi pada laki-laki daripada wanita dengan perbandingan 2:1.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dengan insiden tertinggi pada usia
dewasa muda antara 20-40 tahun dan hanya 20% kasus yang terjadi pada anak-
anak. Etitema Multiforme yang terjadi pada anak-anak hingga dewasa biasanya
disebabkan oleh infeksi, sedangkan pada dewasa akibat obat – obat dan
keganasan (Lamoreux, 2006; Robert, 2006).
Perawatan dari eritema multiforme ini juga berbeda-beda menurut gejala dan tipe dari
eritema multiform yang muncul. Tetapi kadang-kadang penyakit ini dapat sembuh sendiri
walaupun tidak dilakukan perawatan.
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien

6
Nama : Ny. W
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 48 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Periksa : 7 Juli 2017

B. Anamnesis
Keluhan utama
Bercak kemerahan dan lenting di seluruh tubuh
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Margono Soekarjo pada tanggal 7 Juli 2017
rujukan darinRSI Purwokerto. Pasien datang dengan bercak kemerahan
hampir seluruh tubuh, mata berair terasa pedih, bibir kering hingga terkelupas
dan timbul perdarahan sehingga sulit digerakkan, dan sulit menelan karena
tenggorokan merasa perih. Pada Kamis 30 Juni 2017 pasien mengalami
demam dan mata kemerahan, lalu pasien berobat ke puskesmas, lalu
mendapat obat paracetamol dan amoxicillin. Setelah konsumsi obat dari
puskesmas pasien merasa panas dan perih pada wajah dan dada, lalu beberapa
jam kemudian mulai muncul bercak-bercak merah pada wajah dan dada.
Bercak-bercak merah semakin meluas dan mulai timbul lenting-lenting di
seluruh tubuh, oleh karena itu pasien dibawa ke RSI Purwokerto pada Sabtu 1
Juli 2017.
Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat keluhan serupa belum pernah dialami pasien.
- Riwayat alergi ikan asin diakui.
- Riwayat urtikaria diakui.
- Riwayat penyakit sistemik seperti tekanan darah tinggi dan DM disangkal.
- Riwayat kontak bahan-bahan iritatif disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
- Penyakit serupa pada anggota keluarga disangkal.

7
- Riwayat alergi pada anggota keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit sistemik pada anggota keluarga disangkal.
Riwayat sosial dan ekonomi
Pasien tinggal bersama dengan anak dan suaminya dalam dalam rumah
berukuran 7x10 m2. Pasien adalah ibu rumah tangga dengan penghasilan
suami rata-rata per bulan sekitar Rp 1.000.000,00. Pasien berobat dengan
menggunakan jaminan kesehatan berupa BPJS non PBI. Kesan status
ekonomi menengah.

C. Status Generalis dan Dermatologi


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit, regular, isi tegangan cukup
Respiratory Rate : 20 x/menit, kedalaman cukup, reguler
Suhu : 37,4oC peraksila
BB : 54 kg
TB : 160 cm
Status generalis
Kepala : Mesochepal, rambut putih, dengan distribusi merata

Mata : Konjungtiva palperbrae hiperemis (+/+), sclera ikterik


(-/-), kelopak mata bersisik (+/+), kelopak mata
edema (-/-)

Hidung : Simetris, deviasi septum nasi (-), Sekret (-)

Telinga : Bentuk daun telingan normal, sekret (-)

Mulut : Krusta merah kehitaman pada labia superior et inferior


(+), bercak perdarahan (+)

Thorax : Bercak merah keunguan (+), dinding dada simetris,


Retraksi (-), Ketertinggalan Gerak (-), Paru

8
{Vesikuler (+/+), Rbk (-/-), Rbh (-/-), Wh (-/-)},
Jantung {BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-)}

Abdomen : Becak merah keunguan (+), Datar, BU (+) normal,


timpani, supel, nyeri tekan (-)

Extremitas : Bercak merah keunguan (+), akral hangat, sianosis (-),


kelemahan (-), edema (-), capillary refill time < 2
detik

Status dermatologis
Lokasi : Generalisata
Efloresensi : Plak dan makula eritem keunguan, vesikel dan bula
disertai erosi dan ekskoriasi dengan pusat keunguan
generalisata. Eksoriasi dan krusta merah kehitaman
pada labia superior et inferior.

9
Gambar 1. Efloresensi yang terdapat pada pasien

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
- Hemoglobin 13,8 g/Dl
- Hematokrit 36%
- Leukosit 12700
- Trombosit 138.000
- GDS 136 g/Dl
- Widal Typhi (H) +1/160
E. Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Margono Soekarjo pada tanggal 7 Juli 2017
dengan keluhan muncul bercak kemerahan hampir di seluruh tubuh. Pasien
juga mengeluh mata berair terasa pedih, bibir kering hingga terkelupas dan

10
timbul perdarahan sehingga sulit digerakkan, dan sulit menelan karena
tenggorokan merasa perih Keluhan ini sudah Kamis 30 Juni 2017 pasien
mengalami demam dan mata kemerahan, lalu pasien berobat ke puskesmas,
lalu mendapat obat paracetamol dan amoxicillin. Setelah konsumsi obat dari
puskesmas pasien merasa panas dan perih pada wajah dan dada, lalu beberapa
jam kemudian mulai muncul bercak-bercak merah pada wajah dan dada.
Bercak-bercak merah semakin meluas dan mulai timbul lenting-lenting di
seluruh tubuh. Pasien mempunyai alergi terhadap ikan asin dan pernah
mengalami biduran (urtikaria). Pada pemeriksaan fisik ditemukan plak dan
makula eritem keunguan, vesikel dan bula disertai erosi dan ekskoriasi dengan
pusat keunguan generalisata. Pada labia superior et inferior terdapat eksoriasi
dan krusta merah kehitaman.

F. Diagnosis Kerja
Eritema Multiforme

G. Diagnosis Banding
1. Pemfigus
2. Dermatititis medikamentosa
3. Nekrolisis epidermal toksik

H. Penatalaksanaan
Medikamentosa
- Infus RL:D5% 20 tpm
- Injeksi Dexamethasone 2x1 ampul
- Injeksi Ranitidin 2x1 ampul
- Injeksi Difenhidramin 2x1 ampul
- Injeksi Gentamycin 2x80 mg
- Per oral Vitamin A 100.000 IU
- Per oral Cetirizine 2x1 kapsul
- Obat kumur 3x1

11
- Salep (desoksinetason cream II + Acdat + Soft U Derm II + Asam salisilat
1%+ Vaselin alb) 2x1 dioleskn pada lesi
Non medikamentosa dan Edukasi
- Penggunaan pelembab kulit atau Kompres NaCl
- Edukasi tentang eritema multiforme, penyebab, dan cara pengobatannya.
- Anjuran untuk tidak menggaruk untuk mencegah infeksi sekunder.
- Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan

I. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad cosmeticam : dubia ad bonam

12
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Eritema multiforme merupakan suatu erupsi yang bersifat dan rekuran
pada kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran
bermacam-macam spektrum. Beberapa lesi akan berubah menjadi lesi target
ang tipikal dan atipikal. Pada kasus yang berat umumnya disertai dengan gejala
konstitusi (demam, malese, nausea, dan nyeri kepala) dengan lesi viseral (Isik,
2007).

B. Epidemiologi
Insidensi pasti dari eritema multiforme belum diketahui pasti, namun
sebanyak 1% kasus rawat jalan dermatologic adalah eritema multiforme.
Eritema multiforme lebih banyak menyerang pria daripada wanita, dari 2:1
hingga 3:2. Penyakit ini menyerang segala usia, dengan insidensi tertinggi pada
dekade kedua hingga keempat kehidupan. (Oliveira dan Zucoloto, 2008).

C. Etiologi
Banyak faktor-faktor etiologik yang diduga sebagai penyebab eritema
multiforme telah dilaporkan, seperti halnya faktor-faktor alergi obat, infeksi
bakteri atau virus tertentu, rangsangan fisik, hawa dingin, matahari, faktor
endokrin pada haid atau kehamilan, dan keganasan, namun agen-agen infeksius
dianggap sebagai penyebab utama eritema multiforme. Eritema multiforme
minor dianggap sebagai hal yang biasa dicetuskan oleh HSV, sebenarnya
banyak kejadian-kejadian eritema multiforme minor idiopatik bisadipercepat
oleh infeksi HSV subklinis. Di antara infeksi-infeksi lain, spesies Mycoplasma
muncul menjadi penyebab yang paling umum. Mengenai obat-obatan, obat-
obatan sulfa(sulfa drugs) adalah pemicu yang paling umum. Antikonvulsan
profilaktik setelahoperasi tumor otak yang dikombinasikan dengan irradiasi
cranial dapat mengakibatkan SJS yang mengancam jiwa. Berikut merupakan

13
penyebab tersering ertitema multiforme (Isik, 2007; Osterne, et al, 2009; Plaza
dan Victor, 2009):
1. Infeksi
a. Virus
Adenovirus, coxsackievirus, cytomegalovirus, echoviruses,enterovirus,
Epstein-Barr virus, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, herpes
simplex, influenza, measles, mumps, paravaccinia, parvovirus,
poliomyelitis, vaccinia, varicella-zoster, variola
b. Bakteri
Vaksinasi BCG, borreliosis, catscratch disease, diphtheria,hemolytic
streptococci, legionellosis, leprosy, Neisseria meningitidis,
pneumococcus, Proteus species, Pseudomonas species, Salmonella
species, Staphylococcus species, Treponema pallidum, tuberculosis,
Vibrio parahaemolyticus, Yersinia species, rickettsial infections,
Mycoplasma pneumoniae
c. Mycoplasma
Coccidioidomycosis, dermatophytosis, histoplasmosis
2. Obat-obatan
a. Antibiotik
Penicillin, ampicillin, tetracyclines, amoxicillin, cefotaxime,cefaclor,
cephalexin, ciprofloxacin, erythromycin, minocycline, sulfonamides,
trimethoprim-sulfamethoxazole, vancomycin
b. Antikonvulsan
Golongan barbiturat, carbamazepine, hydantoin, phenytoin, asam
valproat
c. Antipiretik/analgesik
d. Obat lainnya
Rifampicin, isoniazid, thiacetazone, pyrazinamide, albendazole,
allopurinol, arsenic, bromofluorene, quinine, cimetidine,
corticosteroids, diclofenac, didanosine, dideoxycytidine,
diphosphonate, estrogen, etretinate, fluconazole, griseofulvin,
gabapentin, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor,

14
hydralazine, indapamide, indinavir, lamotrigine, methazolamide,
mefloquine, methotrexate, meprobamate, mercurials, minoxidil,
nifedipine, nevirapine, pyritinol, progesterone, potassium iodide,
sulindac, suramin, saquinavir, thiabendazole, thiouracil, terbinafine,
theophylline, verapamil, nitrogen mustard, nystatin, phenolphthalein,
piroxicam.
3. Lain-lain
a. Kontak dengan bahan - bahan kimia ataupn tumbuh – tumbuhan
b. Imunologi : defisiensi C4 selektif temporer pada bayi
c. Faktor fisik : paparan cahaya matahari, cuaca dingin

D. Patogenesis
Perjalanan penyakit eritema multiforme major masih belum sepenuhnya
dimengerti. Namun kemungkinan dapat melalui perantara sistem imun dan
melibatkan suatu reaksi hipersensitivitas yang dapat dipicu oleh berbagai
stimuli seperti bakteri, virus, atau bahan kimia (Samin, et al., 2013).
Pada awal perkembangan penyakit, epidermis di infiltrasi oleh sel
limfosit T CD8 dan makrofag sedangkan lapisan dermis menunjukkan infiltrasi
oleh limfosit CD4. Walaupun sel tersebut belum cukup jumlahnya untuk
membuat kerusakan sel epitel, sel tersebut melepaskan sitokin yang
menginduksi reaksi inflamasi hingga terjadi apoptosis sel epitel. Cairan lenting
pada lesi biasanya mengandung TNF yang berguna sebagai marker dalam
penentuan diagnosis (Samin, et al., 2013).
1. HSV
Penyebab utama eritema multiforme adalah virus herpes (HSV).
Penderita yang sedang menderita infeksi herpes maupun infeksi yang
berulang memiliki resiko mengalami eritema multiforme. Eritema
multiforme yang di induksi oleh herpes disebut HAEM (herpes-associated
erythema multiforme), merupakan hasil dari reaksi imun yang diperantarai
sel yang berkaitan dengan antigen HSV. Sel limfosit T CD8+ di epidermis
menginduksi apoptosis keratinosit yang telah sebagian rusak dan memicu

15
nekrosis sel satelit. Sel epidermis disekitarnya terbukti memiliki ciri positif
HLA-DR (Samin, et al., 2013).
Terdapat hubungan antara HLA tipe A33, B35, B62, (B15), DR4,
DQB1*0301, DQ3, dan DR53 dan eritema multiforme yang berulang.
HLA-DQ3 sangat berkaitan dengan eritema multiforme yang berulang dan
dapat menjadi marker yang berguna untuk membedakan HAEM dengan
kelainan kulit lainnya (Samin, et al., 2013).
2. Hipersensitivitas Obat
Perjalanan penyakit seringkali di induksi oleh metabolisme obat
yang tidak normal. Keratinosit adalah target utama dari perjalanan
penyakit ini, dengan temuan patologis awal adalah nekrosis keratinosit.
Peningkatan proporsi metabolisme obat menginduksi perubahan jalur
oksidasi obat oleh sistem sitokrom P-450, sehingga terjadi peningkatan
produksi substansi metabolit yang berpotensi bersifat reaktif dan racun.
Penderita eritema multiforme memiliki penurunan kemampuan
menghilangkan racun metabolit tersebut, yang kemungkinan dapat
menjadi hapten dengan berikatan secara kovalen dengan protein pada
permukaan sel epitel. Kondisi ini yang akan menginduksi respon imun,
sehingga terjadi reaksi pada kulit yang berakibat cukup parah (Samin, et
al., 2013).

E. Gambaran Klinis
Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan
selaput lender sampai bentuk berat berupa eritema multiforme yang dapat
menyebabkan kematian. Didapati 2 tipe dasar (Djuanda, 2013):
1. Tipe makula-eritema
Erupsi timbul mendadak, simetrik dengan tempat predileksi di
punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas, dan
selaput lender. Pada keadaan berat dapat mengenai badan. Lesi terjadi
tidak serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu.
Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri atas 3
bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-

16
unguan dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian
lingkaran yang merah.
2. Tipe vesikobulosa
Lesi mula-mula berupa macula, papul, dan urtika yang kemudian
timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapat juga mengenai
selaput lendir

F. Penegakan Diagnosis
Eritema Multiforme didiagnosis berdasarkan klinikopatologik, tidak
hanya dengan pemeriksaan histologis semata. Temuan histologik Eritema
Multiforme memiliki ciri tapi tidak spesifik, dan sangat berguna untuk
menyingkirkan diagnosis banding yang lain seperti lupus eritematosus dan
vaskulitis. Pada Eritema Multiforme, keratinosit adalah target utama dari
proses inflamasi, dimana apoptosis dari keratinosit sebagai temuan patologis
dini. Seiring dengan perkembangannya, ditemukan spongiosis dan degenerasi
vakuolar fokal pada keratinosit basal. Edema dermis superfisialis dan infiltrate
perivaskuler dari leukosit mononuklear dan limfosit-T dengan eksositosis ke
epidermis juga ditemukan pada EM (French & Prins, 2008).

Gambar 2. Gambaran histologis lesi target pada eritema multiforme (French &
Prins, 2008).

1. Anamnesis
Pada Eritema Multiforme (EM), riwayat lesi kulit yang muncul
akut dengan hampir seluruh lesi muncul dalam 24 jam dan berkembang
sempurna dalam 72 jam. Pruritus dan sensasi terbakar pada lesi dapat
digambarkan oleh pasien. Lesi-lesi individual menetap pada tempat yang

17
sama selama 7 hari atau lebih. Pada kebanyakan individu dengan EM,
episode penyakit bertahan 2 minggu dan sembuh tanpa sekuele; kecuali
sekuele pada mata yang jarang tapi mungkin terjadi pada EM mayor,
dimana dapat terjadi jika tidak ada penanganan dini terhadap mata.
Kadang-kadang, ditemukan gambaran hipo/hiperpigmentasi post-
inflamasi. Pasien dengan EM biasanya memiliki gejala yang tidak berat,
meskipun rekurensi dapat terjadi. Pada kasus EM terkait-HSV, rekurensi
agak sering terjadi. Satu rekurensi biasanya terjadi pada musim semi,
seperti yang dideskripsikan oleh von Hebra, ahli dermatologi
berkebangsaan Austria yang menemukan penyakit ini. Kebanyakan
individu dengan EM terkait-HSV rekuren mengalami satu atau dua
episode serangan dalam setahun, kecuali orang-orang yang mengonsumsi
obat-obat imunosupresif. Penggunaan obat-obat imunosupresif seperti
kortikosteroid oral dapat dihubungkan dengan frekuensi dan lamanya
episode EM. Orang-orang ini dapat mengalami lima atau enam episode
serangan dalam setahun bahkan hampir dapat berlanjut dimana serangan
pertama belum sembuh kemudian disusul oleh serangan selanjutnya.
Infeksi bakteri sekunder juga meningkatkan frekuensi dan lama
penggunaan kortikosteroid (French & Prins, 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
Gambaran fisik dinilai berdasarkan gambaran lesi kulit,
penyebaran dan lesi kulit, dan gambaran lesi mukosa, jika menyerang
mukosa.
a. Lesi Kulit
Bentuk lesi awal berupa makula merah atau plak urtikaria yang meluas
sedikit demi sedikit menjadi ukuran maksimumnya 2 cm dalam 24 –
48 jam. Di bagian tengahnya berkembang papula, vesikel, atau bulla
kecil, mendatar dan kemudian hilang. Berkembang suatu area
berbentuk lingkaran dan meninggi, pucat dan edematosa. Sisi tepinya
sedikit demi sedikit berubah menjadi kebiruan atau keunguan dan
membentuk lesi target yang konsentrik. Beberapa lesi hanya tersusun
atas 2 area konsentris (lihat Gambar 3). Lesi polisiklik atau arkuata

18
dapat juga terjadi (lihat Gambar 4). Beberapa lesi muncul pada area
trauma yang sebelumnya (fenomena Koebner). Nikolsky sign negatif
(Olivia & Zucoloto, 2008).

Gambar 3. Lesi target pada eritema multiforme (Olivia & Zucoloto, 2008).

Gambar 4. Target atipikal yang meninggi dan lesi arkuata (Olivia & Zucoloto,
2008).
b. Penyebaran Lesi Kulit
Lesi berbentuk simetris, sebagian besar pada permukaan akral ekstensor
ekstremitas, dan menyebar secara sentripetal. Telapak tangan, leher, dan wajah
sering juga terkena. Lesi pada telapak kaki dan aspek fleksural ekstremitas
lebih jarang. Penyebaran seperti pada herpes zoster (zosteriform distribution)
dapat juga terjadi (Djuanda et al, 2013).
c. Lesi Mukosa
Keterlibatan mukosa terjadi pada 70% pasien dengan erythema multiforme.
Derajatnya biasanya ringan dan terbatas pada satu permukaan mukosa. Lesi

19
oral yang paling sering terkena adalah di daerah bibir, palatum dan gusi. Erosi
yang lebih parah pada setidaknya 2 permukaan mukosa terlihat pada erythema
multiforme mayor dan ditandai dengan kerak hemoragik (hemorrhagic
crusting) pada bibir dan ulserasi pada mukosa nonkeratinized (lihat Gambar 5).
Biasanya, lesi mukosa yang sangat nyeri ini cukup luas, dengan sedikit atau
tanpa lesi kulit (Djuanda et al, 2013).

Gambar 5. Hemorrhagic crust pada bibir (Olivia & Zucoloto, 2008).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap; kadar elektrolit; determinasi BUN (BUN
determination); laju endap darah (LED; erythrocyte sedimentation rate
[ESR]); tes fungsi hati; dan kultur dari darah, sputum dan area erosive
diindikasikan pada kasus parah erythema multiforme mayor. Pada
kasus yang parah, peningkatan ESR, leukositosis moderat, dan sedikit
peningkatan kadar transaminase hati mungkin ditemukan. Antigen
HSV spesifik telah dapat dideteksi di dalam keratinosit dengan
pemeriksaan immunofluorescence. DNA HSV telah dapat
diidentifikasi terutama di dalam keratinosit dengan menggunakan
amplifikasi polymerase chain reaction (PCR) (Lamoreux, et al., 2006).
b. Pemeriksaan histologis
Pemeriksaan histopatologik biopsy kulit dapat digunakan untuk
memastikan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis diferensial. Secara
histologis, erythema multiforme adalah prototypical vacuolar interface
dermatitis yang memperlihatkan infiltrate limfositik di sepanjang

20
dermoepidermal junction yang berhubungan dengan perubahan
hidropik dan diskeratosis dari keratosit basal. Selain itu,gambaran
infiltrate limfositik level jarang hingga sedang muncul di sekeliling
plexus vascular superficial. Ketika lesi berkembang, dapat muncul
nekrosis epidermal dengan ketebalan parsial hingga penuh (partial-to-
full-thickness epidermal necrosis), vesikulasi intraepidermal, atau
subepidermal yang melepuh, yang nantinya akan berujung pada
spongiosis dan kerusakan selular lapisan basal epidermis. Kadang-
kadang, edema papiler hebat juga muncul. Infiltrateinflamasi dermal
terdiri atas makrofag dan limfosit (CD4+ lebih mendominasi
daripadaCD8+), dengan sedikit neutrofil dan kadang-kadang eosinofil
(terutama pada kasus yang berkaitan dengan obat-obatan) (Lamoreux,
et al., 2006).

Gambar 5. Interface dermatitis dengan sel diskeratotik prominen pada


epidermis (Lamoreux, et al., 2006).

G. Penatalaksanaan
Tatalakasana penyakit eritema multiform harus dilihat dari golongan,
pengobatan terbatas pada pasien, dan akan sembuh dalam beberapa minggu
tanpa gejala yang signifikan. Perlakuan eritema multiform sangat tergantung
pada apa yang menyebabkan reaksi. Jika eritema multiform diinduksi obat,

21
langkah pertama adalah menghentikan pengobatan yang menyebabkan rekasi.
Pada eritema multiform yang diinduksi HSV, eritema multiform biasanya
terjadi delapan hari setelah infeksi HSC, pada saat pengobatan untuk infeksi
tidak lagi diindikasikan, dan pengobatan tidak akan mengubah klinis.
Kortikosteroid topikal dan antihistamin oral dapat diberikan kepada pasien
dengan gatal dan pembakaran lesi kulit. Jika pasien hadir dengan lesi oral yang
menyakitkan, gel kortikosteroid topikal potensial tinggi, pencuci antiseptik
oral, dan larutan anestesi oral dapat diberikan. Jika keterlibatan mukosa cukup
menyakitkan untuk mencegah asupan oral yang cukup, glukokortikoid sistemik
(prednison) dapat diberikan. Sangat penting bahwa setiap pasien dengan
keterlibatan lokasi di okular dikonsultasikan pada oftalmologi. Pengobatan
pasien dengan eritema multiform berulang adalah tantangan. Pada eritema
multiform berulang yang diinduksi HSV, profilaksis antivirus dianggap sebagai
terapi lini pertama. Pendekatan yang dipakai adalah terapi antiviral kontinyu,
dengan salah satu dari obat antiviral berikut: Asiklovir 400mg 2x1 sehari,
Valacyclovir 500 mg 2x1 sehari, Famciclovir 250 mg 2x1 sehari, Jika eritema
multiform resisten terhadap terapi antiviral, terapi sistemik lini kedua meliputi
azathioprin, Dapson, siklosporin, atau mycophenolate mofetil. (Sokumbi, 2012;
Webber, 2012).

H. Prognosis
Kedua tipe eritema multiforme sering rekuren, terutama kasus-kasus
yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Biasanya penyakit ini berjalan
ringan dan sembuh sesudah 2-3 minggu (Djuanda, 2013).

22
IV. PEMBAHASAN

Pasien Ny W usia 48 tahun datang ke Rumah Sakit Margono Soekarjo


dengan keluhan utama bercak kemerahan dan lenting diseluruh tubuh. Pasien
datang ke IGD RSUD Margono Soekarjo pada tanggal 7 Juli 2017 rujukan dari
RSI Purwokerto. Pasien datang dengan bercak kemerahan hampir seluruh tubuh,
mata berair terasa pedih, bibir kering hingga terkelupas dan timbul perdarahan
sehingga sulit digerakkan, dan sulit menelan karena tenggorokan merasa perih.
Pada Kamis 30 Juni 2017 pasien mengalami demam dan mata kemerahan, lalu
pasien berobat ke puskesmas, lalu mendapat obat paracetamol dan amoxicillin.
Setelah konsumsi obat dari puskesmas pasien merasa panas dan perih pada wajah
dan dada, lalu beberapa jam kemudian mulai muncul bercak-bercak merah pada
wajah dan dada. Bercak-bercak merah semakin meluas dan mulai timbul lenting-
lenting di seluruh tubuh, oleh karena itu pasien dibawa ke RSI Purwokerto pada
Sabtu 1 Juli 2017. Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang
serupa. Riwayat alergi ikan asin dan Riwayat urtikaria. Pasien menyangkal
mempunyai penyakit sistemik seperti darah tinggi dan diabetes. Pasien juga
mengaku keluarga tidak ada yang pernah mengalami hal serupa, riwayat alergi
pada anggota keluarga, riwayat penyakit sistemik pada keluarga. Pasien tinggal
bersama dengan anak dan suaminya dalam dalam rumah berukuran 7x10 m2.
Pasien adalah ibu rumah tangga dengan penghasilan suami rata-rata per bulan
sekitar Rp 1.000.000,00. Pasien berobat dengan menggunakan jaminan kesehatan
berupa BPJS non PBI. Kesan status ekonomi menengah.
Pemeriksaan fisik didapatkan plak dan makula eritem keunguan, vesikel dan
bula disertai erosi dan ekskoriasi dengan pusat keunguan generalisata. Eksoriasi
dan krusta merah kehitaman pada labia superior et inferior.
Diagnosa eritem multiforme dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gejala klinis, dan pemeriksaan status dermatologis. Berdasarkan anamnesis yang
telah didapatkan, diagnosa merujuk kepada eritem multiforme yaitu timbulnya lesi
target (target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel

23
atau eritem keunguan dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan
kemudian lingkaran yang merah. Erupsi timbul medadak, simetris dengan
predileksi dipunggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas. Lesi
terjadi tidak serentak tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu.
Pasien ini dilakukan rawat inap dan dilakukan stabilisasi dan mencegah
dehidrasi karena penguapan perkutan yang meningkat dengan diberikan infus RL :
D5% 20 tetes per menit. Secara umum, obat yang diberikan untuk pasien eritem
multiforme adalah kortikosteroid (Djuanda, 2015). Pada pasien ini diberikan
injeksi dexamethasone 2x1 ampul. Untuk mencegah efek samping
metilprednisolon diberikan injeksi ranitidin 2x1 ampul dan difenhidramin 2x1
ampul. Untuk pengobatan topikal pasien diberikan salep dari campuran
desoksimetason cream II + Acdat + Soft U Derm II + Asam salisilat 1%+ Vaselin
album. Salep tersebut diberikan 2 kali sehari dioleskan pada lesi.
Desoksimethason cream dimasukan dalam campuran salep sebagai antiinflamasi.
Sebelum pengolesan salep dilakukan kompres menggunakan NaCl 0,9% selama
10-15 menit untuk membantu proses skuamasi. Selain itu diberikan antibiotik
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pada pasien ini diberikan
gentamysin. Selain itu juga diberikan vitamin A untuk regenerasi epitel mata.
Pasien diberikan edukasi faktor risiko apa saja yang dapat menyebabkan eritem
multiforme sehingga pasien harus menghindari faktor risiko tersebut, salah
satunya yaitu karena alergi obat sehingga pasien harus menghentikan konsumsi
obat tersebut. Pasien diedukasi untuk tidah menggaruk dan menggosok pada
daerah yang gatal. Pasien disarankan untuk menjaga kebersihan badan, pakaian
dan lingkungan.
Pada kasus ini prognosis quo ad vitam, functionam adalah bonam karena
pada pasien tidak terjadi komplikasi ke organ lain sehingga fungsi vitalnya masih
normal sehingga pasien masih mampu menjalankan fungsinya sebagai individu.
Untuk prognosis quo ad sanationam dan qou ad kosmetikum adalah dubia ad
bonam karena mungkin terjadi kekambuhan jika pasien mengonsumsi obat
pencetus alergi dan luka bekas lesi sulit untuk kembali seperti kulit normal.
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada eritem multiforme yaitu
infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan oleh bakteri, timbulnya scar biasanya

24
terjadi secara lambat dalam hitungan bulan sampai tahun. Pada eritem multiforme
sering rekuren, terutama kasus-kasus yang disebabkan oleh virus herpes simpleks.
Biasanya penyakit ini sembh sesudah 2-3 minggu.

25
V. KESIMPULAN

Eritema multiforme adalah suatu kondisi kulit akut, self-limited, dan dapat
rekuren karena reaksi hipersensitivitas tipe IV yang dipicu oleh infeksi, obat-
obatan, dan berbagai pemicu lain. Gejalanya berupa lesi kulit yang penyebaran
dan keparahannya bervariasi menurut kategorinya masing-masing. Kondisi ini
dapat terjadi pada siapa saja,tetapi sebagian besar terjadi pada usia 20 – 40 tahun.
Penatalaksanaan utamanya adalah menghindari pemicu utamanya, kemudian
ditambah juga dengan antihistamin, dan antibiotik sesuai dengan tipe eritena
multiforme yang terjadi.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A., Mochtar H., dan Siti A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ke-6. Jakarta : FK UI, 2013, hal 162.

2. French, L. E., Prins, C. 2008. Dermatology. 2nd Edition. UK: Elsevier Inc.

3. Isik, et al. 2007. Multidrug-Induced Erythema Multiforme. J Investig


Allergol Clin Immunol, 17(3): 196-198.

4. Lamoreux, et al. 2006. Erythema Multiforme. Am Fam Physician, 74: 1883-


8.

5. Langlais, R. P. 2006. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim.


Edisi 1. Jakarta: Hipokrates.

6. Oliveira, L.R. dan Zucoloto, S. 2008. Erythema Multiforme Minor: A


Revision. American Journal of Infectious Diseases, 4(4):224-231.

7. Osterne, et al. 2009. Management of Erythema Multiforme Associated with


Recurrent Herpes Infection: A Case Report. Available at: http://www.cda-
adc.ca/jcda/vol-75/issue-8/597.pdf

8. Plaza, J. A. dan Victor, G. P. 2009. “Erythema Multiforme”. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/1122915

9. Regezi J. A., Sciubba J. 2003. Oral pathologi, Clinical Phatologic


Correlation. 4th ed. Philadelphia: W. B Saunders.

10. Samim, F., Zed, C., Williams, P. M. 2013. Erythema Multiforme, A Review
of Epidemiology, Pathogenesis, Clinical Features, and Treatment. Dent Clin
N Am, 57: 583-596.

11. Sokumbi, O. and Wetter, D. A. 2012. Clinical Features, Diagnosis, and


Treatment of Erythema Multiforme: A review for The Practicing
Dermatologist. International Journal of Dermatology, 51: 889–902.

12. Webber, David A. 2017. “Treatment of erythema multiforme.” Available at:


http://www.uptodate.com.proxy.uchicago.edu/contents/treatment-of-
erythemamultiforme?source=see_link

27

Anda mungkin juga menyukai