Anda di halaman 1dari 36

Forests and Governance Programme

Pedoman Umum
Penyusunan
Peraturan Daerah
Pengelolaan Hutan
Jason M. Patlis
Pedoman Umum
Penyusunan Peraturan Daerah
Pengelolaan Hutan

Jason M. Patlis
Penulis, Jason M. Patlis, adalah pakar di bidang hukum sumberdaya alam dan pemerintahan.
Beliau melakukan studi mengenai isu-isu sumberdaya alam di Indonesia sejak tahun 2000,
ketika menerima Beasiswa Fulbright. Sebelumnya, beliau bertugas pada Pemerintah Amerika
Serikat selama hampir 10 tahun, antara lain selama tahun 1997 - 2000 sebagai Majority
Counsel untuk Komite Lingkungan dan Sumberdaya Alam di dalam Senat Amerika Serikat.

Beliau sekarang bekerja sebagai Penasihat Hukum Senior untuk Proyek Pengelolaan
Sumberdaya Alam Pesisir yang dibiayai USAID, dimana beliau memimpin program reformasi
hukum dengan bekerja dengan institusi dan pihak terkait di tingkat regional dan nasional,
untuk memperbaiki kerangka hukum dan kelembagaan dalam pengelolaan pesisir dan
sumberdaya alam.

Foto cover oleh Herwasono Soedjito


© 2004 by Center for International Forestry Research
Hak cipta dilindungi. Diterbitkan tahun 2004
Dicetak oleh Rediprint

ISBN 979-3361-43-3

Diterbitkan oleh
Center for International Forestry Research
Alamat pos: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia
Alamat kantor: Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang,
Bogor Barat 16680, Indonesia
Tel. : +62 (251) 622622
Fax. : +62 (251) 622100
E-mail: cifor@cgiar.org
Situs: http://www.cifor.cgiar.org
Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih iv

Abstrak v

I. Pendahuluan 1

II. Kerangka Kerja Hukum dan Perundang-undangan Saat Ini 3

III. Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kotamadya 7

IV. Prinsip-prinsip Penyusunan Peraturan Daerah tentang Kehutanan 10

V. Mekanisme Penyusunan Peraturan Daerah tentang Kehutanan 21

VI. Kesimpulan 25

Daftar Pustaka 27
Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada CIFOR, yang Armin Argung, Alan Laing, Ingan Ipo, Unyat Iman, Abia
mendukung penelitian dan penerbitan pedoman ini. di Long Bila. Juga kepada para pejabat pemerintah
Ucapan terima kasih khususnya ditujukan kepada tim daerah termasuk Pak Khariul, Pak Saparuddin, Pak
CIFOR di Long Loreh, Malinau, Kalimantan Timur, Moses Gurodaboro, dan Pak Iwan Ajang, penulis
termasuk Godwin Limberg, Njau Anau, Ramses Iwan, sampaikan terima kasih.
dan khususnya I Made Sudana, atas saran, bimbingan, Penulis juga berterima kasih kepada mereka yang
petunjuk, pengetahuan, dorongan, dan telah membantu menyampaikan berbagai gagasan,
kebersamaannya. Terima kasih juga untuk staf CIFOR saran dan inspirasinya: Wiwiek Awiati, Chip Barber,
di Bogor, termasuk Carol Colfer yang pertama kali Chris Bennett, Paul Breitzke, David Brown, Tim
memutuskan untuk melakukan penelitian ini; Lini Brown, Mario Buccocci, Wahyuningsih Darajati, Ian
Wollenberg yang telah memberikan pengarahan terus- Dutton, Elfian Effendi, Chip Fay, Sapta Putra Ginting,
menerus; dan juga kepada Chris Barr, Moira M. Koesnadi Hardjasoemantri, Jeff Hayward, Laurel
Moeliono dan Tony Djogo. Secara khusus penulis Heydir, Marc Hiller, Azis Khan, Nalin Kishor, Maurice
mengucapkan terima kasih kepada Dina Juliarti Knight, Owen Lynch, Reed Merrill, Mering Ngo,
Hubudin, yang tanpa kenal lelah telah banyak Nonette Royo, Mas Achmad Santosa, Ann dan Bob
membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah Seidman, Sulaiman Sembiring, Michael Sinclair, Daud
logistik. Silalahi, Scott Stanley, Kathleen Surcliffe, Ronald
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih Titahelu, Sukma Violetta, dan Adi Wiyana.
kepada masyarakat Malinau yang dengan sabar telah Penelitian ini didanai bersama oleh Fulbright
menjawab pertanyaan-pertanyaan selama wawancara Senior Scholarship, 2000-2001 dan CIFOR. Sedangkan
dan diskusi informal. Terima kasih juga penulis biaya penterjemahan dan distribusi tulisan ini
sampaikan kepada para pemuka masyarakat dan disediakan oleh the Program on Forests (PROFOR).
perorangan termasuk Ipo Kre, Lungu Impang, Markus Semua pendapat yang tertuang dalam tulisan ini
Impang, Yusuf Incau, Alan Lawing, Aran Alang Phi, merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan
Alang Lungu, Ipo Boy, Iran Usat, Martin dari Senteban, merupakan pandangan CIFOR.

Jason M. Patlis
Juni 2004
jason@yourearth.net

iv
Abstrak

Sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, yang baik (akses kepada informasi, partisipasi, dan
tata pemerintahan Indonesia telah mengalami keadilan), belum ada pedoman untuk bagaimana
perubahan yang amat cepat. Kewenangan pengelolaan menerapkannya di lapangan. Selain itu, pada
daerah sekarang berada di tangan sekitar 420 umumnya tidak ada metoda yang digunakan secara
Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten dan konsisten dalam menyusun Perda yang baru.
Kotamadya. Dalam menjalankan kewenangan baru ini, Tulisan ini menyajikan pedoman umum untuk
Pemda Kabupaten/Kotamadya bertanggung jawab mengembangkan Perda pengelolaan sumber daya
untuk memastikan bahwa Peraturan Daerah (Perda) hutan. Dalam pedoman ini pertama kali dipaparkan
dan kebijakan yang dibuatnya konsisten dengan tanggung jawab Pemda; kemudian dijelaskan
Undang-Undang dan kebijakan Pemerintah Pusat. beberapa prinsip penting yang sebaiknya diterapkan
Mereka juga bertanggung jawab untuk menyusun dalam menyusun Perda, serta beberapa alternatif
Perda yang mengutamakan kepentingan masyarakat kemungkinan penerapannya. Setelah itu diuraikan
dan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola metodologi untuk menyusun Perda baru. Pedoman
pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab (good ini menyarankan alternatif dan cara-cara yang dapat
governance) untuk menjamin bahwa sumber daya dilakukan oleh kabupaten/kotamadya yang memiliki
alam yang dimilikinya dimanfaatkan secara lestari. keterbatasan dana dan pengalaman untuk melakukan
Meskipun Perda yang disusun secara umum sering penyempurnaan dalam penyusunan Perda baru tentang
mengacu kepada tiga pilar tata kelola pemerintahan pengelolaan kehutanan.

v
I. Pendahuluan

Sejak jatuhnya Presiden Suharto pada tahun 1998 dan kebijakan konservasi sumber daya hutan, namun yang
dimulainya era reformasi, terdapat dua perubahan lainnya justru memberikan peluang terjadinya
tata hukum dan perundang-undangan yang sangat degradasi hutan yang lebih parah.
mencolok. Yang pertama adalah bahwa perumusan Disamping memperoleh kewenangan yang baru,
peraturan beralih dari Pemerintah Pusat kepada Pemda juga mempunyai kewajiban dan tanggung
Pemerintah Daerah (Pemda); dan yang kedua, jawab dalam menggunakan kewenangannya ini. Salah
pergeseran proses dari lembaga eksekutif kepada satu tanggung jawab tersebut adalah memastikan
lembaga legislatif. Kedua perubahan ini berpotensi bahwa berbagai peraturan dan kebijakan yang
besar untuk memperbaiki kerangka kerja hukum dan mereka buat konsisten dengan Undang-Undang dan
perundangan pengelolaan sumber daya hutan. Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
studi yang telah membahas berbagai manfaat Meskipun otonomi daerah sudah berjalan, pada
desentralisasi dalam hal efisiensi, transparansi, kenyataannya Undang-Undang Pemerintah Pusat
tanggung gugat, dan daya tanggap (Asia Foundation, masih tetap lebih diutamakan dibandingkan dengan
2002). Banyak pustaka yang menyebutkan penurunan Perda, khususnya dalam hal pengelolaan sumber daya
tingkat korupsi yang terkait dengan pengelolaan yang alam (Undang-Undang 22/1999, Pasal 10). Pemda juga
terdesentralisasi (Fisman dan Gatti, 1999). Manfaat bertanggung jawab untuk menyusun Perda yang
serupa diperoleh dari perumusan peraturan yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan
dibuat secara demokratis oleh lembaga legislatif yang mengikuti prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan
dipilih rakyat daripada oleh pejabat eksekutif yang yang baik (good governance), yang merujuk kepada
ditunjuk Pemerintah. Lembaga legislatif daerah yang tiga pilar utama, yaitu akses kepada informasi
dipilih secara demokratis kemungkinan lebih (transparansi), partisipasi, dan keadilan atau
bertanggung gugat dalam melakukan kegiatan- penegakan hukum (WRI, 2002).
kegiatannya dibandingkan dengan lembaga eksekutif Keberhasilan dan resiko pelaksanaan
yang kebanyakan pejabatnya diangkat untuk jangka desentralisasi kehutanan akan bergantung kepada
waktu yang panjang, yang umumnya pegawai negeri bagaimana Pemda mengartikan dan melaksanakan
sipil (PNS) yang tidak bertanggung jawab secara kewenangan dan tanggung jawabnya. Kunci untuk
langsung kepada rakyatnya (ADB, 2002b). meningkatkan keberhasilan desentralisasi dan
Dalam kaitannya dengan reformasi, pelaksanaan menyempurnakan kerangka hukum dan perundang-
otonomi daerah diatur oleh Undang-Undang yang undangannya adalah menyusun Perda yang bisa
dibuat pada tahun 1999, yang memberikan mengantisipasi (bukan mengabaikan) kenyataan-
kewenangan kepada Pemda untuk mengelola sumber kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat
daya hutannya sendiri dan memperoleh pendapatan sehari-hari. Peraturan perundangan yang dibuat di
dari sumber daya hutan tersebut. Hal ini merupakan masa lalu mengabaikan kenyataan adanya korupsi
suatu perubahan yang sangat besar setelah selama dan ketidaktaatan atas hukum yang berlaku dan
beberapa dekade ketentuan tersebut diatur oleh dibuat seolah-olah peraturan tersebut akan benar-
Pemerintah Pusat. Pemda kabupaten dan kotamadya benar dilaksanakan dan ditegakkan (ADB, 2002b).
di seluruh Indonesia menanggapi perubahan ini Perda yang baru harus bisa mengatasi kenyataan-
dengan sangat antusias melalui penyusunan Peraturan kenyataan seperti ini. Misalnya, jika di masa lalu
Daerah (Perda) baru mengenai pengelolaan ketidaktaatan terhadap berbagai peraturan terjadi
kehutanan, meskipun banyak diantaranya tidak di mana-mana, maka tidak realistis untuk
berpengalaman dalam membuat peraturan yang baru. mengharapkan Perda yang baru akan dipatuhi dengan
Mereka menggunakan kewenangannya dalam lebih baik. Karena itu, untuk mendorong perilaku
berbagai cara dan menjalankan otonominya pada masyarakat dalam mematuhi peraturan, maka Perda
tingkat yang berbeda-beda (Simarmata 2003). tersebut harus mencakup tindakan-tindakan
Beberapa Perda baru memang turut memperkuat alternatif yang sifatnya sukarela, berbagai program
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

insentif, atau pengakuan terhadap hukum adat.1 yang mungkin lebih sesuai dengan kondisi dan situasi
Demikian juga, jika lembaga-lembaga pemerintahan di kabupaten atau kotamadyanya masing-masing.
tidak bersikap transparan atau bertanggung-gugat, Alternatif yang disajikan dalam pedoman ini bukan
maka peraturan-peraturan baru mungkin tidak akan merupakan satu-satunya yang ada; namun hanya
dilaksanakan sepenuhnya. Karena itu, Perda harus sekedar contoh saja. Selain itu, berbagai alternatif
memungkinkan keterlibatan lembaga-lembaga sebaiknya tidak dianggap saling terpisah satu sama
pemeriksa independen atau memberdayakan LSM dan lain. Sering gabungan beberapa alternatif merupakan
lembaga-lembaga adat untuk memastikan tanggung- kombinasi yang lebih baik, dan kadang-kadang
gugat dalam pengambilan kebijakan. Intinya, dengan sebagai pengganti mekanisme yang alternatifnya
menggunakan kewenangan legislatifnya, saat ini tidak ada. Pedoman ini dimaksudkan sebagai langkah
Pemda memiliki peluang untuk menjajaki cara-cara awal bagi para pengambil kebijakan untuk merancang
dan mekanisme baru untuk menjalankan tanggung kebijakan yang menurut mereka paling sesuai.
jawab mereka yang baru ini. Uraian dalam pedoman ini mungkin memberikan
Tulisan ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi kesan seolah-olah hanya ada satu pendekatan dalam
para pengambil keputusan. Tujuannya yang pertama penyusunan Perda, namun sebenarnya tidaklah
adalah membantu pengambilan keputusan apakah demikian. Penyusunan Perda merupakan proses yang
tetap akan menyusun Perda baru; dan jika memang hidup, dinamis, yang akan bervariasi antar yurisdiksi,
demikian, bagaimana melakukannya. Harus diketahui antar daerah, antar subyek, dan antara individu
bahwa dalam banyak hal, setelah para pengambil pembuat kebijakan. Meskipun ada cara-cara yang
keputusan mulai menganalisa isu-isu yang ada untuk lebih baik maupun lebih buruk, tidak ada satupun
menyusun Perda baru, mereka baru menyadari bahwa cara yang paling benar. Peraturan perundangan
penyusunan Perda baru mungkin bukan tindakan yang merupakan proses bukan sekedar sebuah produk.
terbaik. Mereka mungkin menyadari bahwa Bukan hanya sekedar isi peraturan perundangan,
melaksanakan peraturan yang sudah ada dengan tetapi proses bagaimana peraturan itu diikuti,
sepenuhnya akan merupakan tindakan yang lebih disusun, dikonsep, disosialisasikan, disahkan, dan
baik. akhirnya dilaksanakan dan ditegakkan. Penyusunan
Yang kedua, apabila Perda baru dipandang sebagai peraturan perundangan merupakan proses
tindakan yang terbaik, maka tulisan ini menyajikan pengembangan gagasan tentang bagaimana
pedoman bagi Pemda kabupaten dan kotamadya Pemerintah dan masyarakat madani saling
untuk menyusun Perda baru. Dalam pedoman ini yang berinteraksi satu sama lain.
pertama dijelaskan adalah tanggung jawab pokok Pedoman ini juga diharapkan dapat digunakan
Pemda kabupaten dan kotamadya. Selanjutnya, sebagai panduan terutama bagi para pejabat Pemda,
dijelaskan beberapa prinsip penting yang sebaiknya para wakil LSM, dan pihak-pihak lainnya yang terkait,
diterapkan dalam penyusunan Perda baru, dan khususnya di tingkat daerah. Penulis berharap
mengidentifikasi beberapa mekanisme yang pedoman ini dapat memberikan kontribusi berharga
memungkinkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip bagi para pembuat kebijakan dalam upaya mereka
tersebut dan juga beberapa alternatif mereformasi kerangka hukum dan perundang-
pelaksanaannya yang cukup mudah dan efektif. undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah,
Pemda kabupaten atau kotamadya perlu didorong untuk mengelola hutan Indonesia secara lebih lestari.
untuk mengembangkan berbagai alternatif tambahan

1
Adat secara harfiah diterjemahkan sebagai ‘kebiasaan’ atau ‘tradisi.’ Dalam konteks pemerintahan, istilah ini berarti sistem
hukum atau kebiasaan adat atau tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat terlepas dari peraturan-peraturan negara atau
peraturan yang ada (ADB, 2002a; ICRAFdan JAPHAMA, 2000).

2
II. Kerangka Kerja Hukum dan
Perundang-undangan Saat ini

A. Undang-Undang Otonomi Daerah


Republik Indonesia telah melakukan upaya penting melaksanakan Undang-Undang atau peraturan yang
dalam desentralisasi kewenangan dari Pemerintah ada.3
Pusat ke tingkat provinsi dan kabupaten/kotamadya. Meskipun dorongan ke arah desentralisasi sangat
Upaya ini dilakukan melalui proses hukum yang kuat dan luas, menurut UU 22/1999, Pemerintah Pusat
berlangsung sangat cepat dan menakjubkan (Hofman masih tetap memegang peranan yang menentukan
dan Kaiser, 2002). Pada tahun 1999 dikeluarkan tiga terhadap Pemda. Di dalam Pasal 114 ayat 1
Undang-Undang (UU) yang disahkan oleh Pemerintah disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dapat mencabut
Pusat untuk menjalankan proses ini, yaitu UU 22/ Perda yang bertentangan dengan kepentingan
1999 tentang Otonomi Daerah; UU 25/1999 tentang masyarakat luas atau PP yang lebih tinggi. Menurut
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pasal 113, Pemda diwajibkan menyerahkan berbagai
Daerah dan UU 28/1999 tentang Korupsi, Kolusi, dan Perda baru yang disusunnya kepada Departemen
Nepotisme.2 Dalam Negeri, 15 hari setelah disahkan untuk dikaji
Undang-Undang 22/1999 merupakan sarana utama ulang. Jika Perda tersebut kemudian dibatalkan oleh
pelaksanaan desentralisasi. Tujuan UU 22/1999 secara Menteri Dalam Negeri, maka Pemda harus
keseluruhan, disebutkan dalam Pasal 4, yaitu untuk mencabutnya. Namun menurut Pasal 115, apabila
memberikan kewenangan kepada masyarakat di Pemda menolak untuk mencabut kembali Perdanya,
daerah untuk menyusun dan mengatur urusan maka masalah ini langsung diserahkan kepada
daerahnya masing-masing, melalui keputusan- Mahkamah Agung. Ketentuan ini masih belum banyak
keputusan yang mereka buat sendiri, dan didasarkan dilaksanakan karena Departemen Dalam Negeri
pada aspirasi-aspirasi yang juga berasal dari mereka kewalahan dengan tumpukan Perda baru yang
sendiri. Di dalam pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa diserahkan. Namun demikian, dalam beberapa bulan
kewenangan ini meliputi semua urusan pemerintahan terakhir Menteri Dalam Negeri telah mencabut
kecuali urusan luar negeri, pertahanan dan sejumlah Perda yang melanggar UU dan PP lainnya.
keamanan, kehakiman, keuangan, dan agama. Pada umumnya Perda yang banyak ditolak berkaitan
Namun demikian, Pemerintah Pusat dapat dengan masalah pajak dan pungutan-pungutan yang
mempertahankan kewenangan untuk urusan-urusan tidak menunjang dunia usaha (Simarmata, 2003).
pemerintahan lainnya melalui berbagai PP. Selain itu, Peran Pemda provinsi terutama dalam hal
Pemerintah Pusat, menurut Pasal 7 ayat 2, tetap koordinasi dan pengawasan. Di dalam pasal 9 UU 22/
memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan yang 1999 dinyatakan bahwa Pemda provinsi memiliki
berkenaan dengan hal-hal tertentu seperti kewenangan dalam tiga keadaan berikut: (1)
pemanfaatan sumber daya alam dan konservasi (Bell, kewenangan terhadap isu-isu yang ada dalam wilayah
2001). Peran utama Pemerintah Pusat adalah yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/
memberikan petunjuk dan membuat berbagai kotamadya; (2) kewenangan untuk menangani hal-
standar, bukan mengendalikan secara langsung dan hal yang belum atau tidak mampu ditangani oleh
melakukan pengawasan dengan kebijakan khusus kabupaten/kotamadya; dan (3) kewenangan
yang harus diikuti di tingkat daerah. Meskipun peran administratif yang diwakilkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat adalah menyediakan petunjuk, Dalam kaitannya dengan sumber daya alam,
namun menurut pasal 7 UU 25/1999, Pemerintah menurut pasal 10 ayat 1 UU 22/1999, Pemda diberi
Pusat masih berwenang untuk mengambil tindakan wewenang untuk mengelola sumber daya alam yang
administratif terhadap Pemda yang gagal terdapat di dalam wilayahnya, dan bertanggung

2
Perhatikan istilah: ‘Act’ dalam versi bahasa Inggris digunakan secara khusus merujuk ‘Undang-Undang’, sementara ‘Peraturan’
merujuk pada ‘PP’. ‘Law’ dalam versi bahasa Inggris umum digunakan untuk menjelaskan ‘Undang-Undang’, tetapi ini tidak
akurat, karena ‘law’ merupakan istilah umum yang diterjemahkan sebagai ‘hukum’.
3
Istilah ‘Pemerintah daerah’ digunakan untuk mencakup pemerintah tingkat kabupaten dan provinsi.
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

jawab untuk ‘menjaga lingkungan sesuai dengan standar ini. Apakah sebaiknya bersifat wajib
Undang-Undang yang berlaku’. Ini berarti bahwa dilaksanakan atau terserah kepada masing-masing
meskipun Pemda kabupaten dan kotamadya Pemda, dan apakah standar-standar tersebut
berwenang untuk melakukan pengelolaan lingkungan diberlakukan melalui insentif atau sanksi (Donor SMP
dan sumber daya alam yang ada di dalam wilayahnya, Working Group, 2002; Patlis dkk., 2001). Pertanyaan-
mereka harus melakukannya secara konsisten sesuai pertanyaan lainnya menyangkut tingkat keterincian
dengan peraturan perundangan yang dibuat oleh dan konsistensi standar-standar tersebut diantara
Pemerintah Pusat. berbagai sektor dan daerah. Baru-baru ini,
Jika UU 22/1999 merupakan sarana untuk Departemen Dalam Negeri melaksanakan dua
pelaksanaan desentralisasi, maka UU 25/1999 adalah kebijakan yang dikeluarkan tahun lalu, yang
motornya. Undang-Undang ini menetapkan memberikan garis besar kerangka kerja untuk
perubahan pengelolaan anggaran yang hampir mengembangkan SPM (Departemen Dalam Negeri,
menyeluruh dari Pemerintah Pusat ke Pemda. 2002a dan 2002b).
Undang-Undang 25/1999 menetapkan bahwa
Pemerintah Pusat hanya menerima 20 persen dari B. Undang-Undang Kehutanan
total pendapatan sumber daya alam, khususnya Landasan hukum yang mengatur pengelolaan sumber
kehutanan, perikanan, dan pertambangan; sementara daya hutan tertuang dalam Undang-Undang Kehutanan
Pemda memperoleh 80 persen. Dari jumlah yang Nomor 41/1999 (UU 41/99), dan pelaksanaannya diatur
diterima Pemda tersebut, 64 persen diserahkan dalam PP 34/2002. Walaupun UU ini telah
kepada Pemda kabupaten/kotamadya dan 16 persen menggantikan Undang-Undang Pokok Kehutanan
kepada Pemda provinsi (UU 25/1999 pasal 6 ayat 5, (UUPK) tahun 1967 dan PP 6/1999, masih banyak
dan PP 104/2000 pasal 9-10). Untuk pendapatan ketidakjelasan mengenai pendelegasian kewenangan
Pemda kabupaten/kotamadya yang diterima dari untuk peraturan yang berada di bawahnya. Meskipun
sektor kehutanan, setengahnya dibagi sama rata telah banyak peraturan yang disahkan menurut UU
diantara semua kabupaten/kotamadya, dan 41/1999 dan peraturan-peraturan lainnya yang baru,
setengahnya lagi menjadi hak kabupaten/kotamadya namun peraturan-peraturan yang dibuat sebelum
tertentu yang melaksanakan kegiatan kehutanan. keluarnya UU 41/1999 masih tetap berlaku. Pasal 82
Dana Reboisasi, yaitu pendapatan yang berasal dari UU 41/1999 menjelaskan bahwa semua peraturan yang
kegiatan penebangan hutan yang harus diinvestasikan ada tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak
kembali untuk pengelolaan sumber daya dan bertentangan dengan Undang-Undang ini. Ketetapan
konservasi, sekarang 40 persen diserahkan kepada ini mencerminkan kenyataan bahwa kerangka kerja
Pemda dan 60 persen diserahkan kepada Pemerintah hukum yang mengatur pengelolaan hutan masih
Pusat. Undang-Undang 25/1999 dan berbagai merupakan peninggalan dari UUPK tahun 1997.
peraturan lainnya juga telah meningkatkan Kehadiran PP 34/2002 lebih memperparah
wewenang Pemda kabupaten untuk mengenakan kesimpangsiuran ini: Pasal 100 dengan tegas mencabut
pajak terhadap berbagai kegiatan, barang dan orang. PP 6/1999, tetapi Pasal 101 menyatakan bahwa semua
Sementara keempat peraturan perundang- Keputusan Menteri (KepMen) lainnya yang merupakan
undangan (UU 22/1999, UU 25/1999, PP 25/2000, dan pelaksanaan PP 6/1999 tetap berlaku sepanjang
PP 104/2000) merupakan intisari pelaksanaan KepMen tersebut tidak bertentangan dengan PP yang
desentralisasi, masih ada sekitar 1000 peraturan, baru, dan sepanjang KepMen dimaksud tidak diubah
keputusan, dan petunjuk lainnya yang diperkirakan atau dicabut oleh berbagai PP atau KepMen berikutnya.
sedang dalam proses modifikasi agar konsisten Cara pencabutan semacam ini telah menimbulkan
dengan keempat Undang-Undang pokok tersebut banyak kerancuan dalam penafsiran hukum. Berbagai
(GTZ, 2001). Namun masih banyak pertanyaan konflik yang disebabkan karena perbedaan penafsiran
mengenai kewenangan di tingkat pusat dan provinsi dan pelaksanaan kebijakan sering terjadi dan sulit
dikaitkan dengan penekanan kewenangan yang diselesaikan.
berada di Pemda kabupaten/kotamadya. Isu utama Konflik-konflik yang muncul tersebut diperparah
yang saat ini harus dihadapi dalam rangka otonomi lagi oleh kenyataan bahwa UU 41/1999 dan PP 34/
daerah adalah yang menyangkut fungsi yang harus 2002 dianggap berbau sentralistik, meskipun
dilakukan Pemda dan standar pelayanan minimal atau keduanya disahkan setelah berlakunya UU 22/1999
SPM (standar minimal yang harus dipenuhi Pemda yang seharusnya dijadikan salah satu referensi bagi
kabupaten dan kotamadya tanpa memperhatikan UU dan PP tersebut. Di dalam UU 41/1999 dinyatakan
bagaimana mereka menggunakan kewenangan bahwa Pemerintah Pusat masih tetap memiliki
barunya). Berbagai petunjuk untuk memenuhi tanggung jawab dalam menentukan status dan
berbagai kewajiban pokok dan standar minimum penataan kawasan hutan, melakukan inventarisasi
tersebut harus sesuai dengan PP 25/2000 pasal 2 ayat dan perpetaan, dan menyiapkan rencana-rencana
4b. Namun masih terdapat banyak pertanyaan pengelolaan hutan. PP 34/2002 pasal 42 menjelaskan
mengenai ruang lingkup yang sesuai untuk standar- bahwa hanya Pemerintah Pusat yang berhak

4
Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

mengeluarkan izin penebangan kayu, berdasarkan menjelaskan bahwa izin HPHH untuk 100 hektar dapat
rekomendasi dari Pemda. Hal ini merupakan dikeluarkan untuk hutan konversi atau hutan produksi
perubahan yang signifikan dari berbagai PP dan dengan tujuan konversi atau guna penataan ulang.
KepMen mengenai kehutanan beberapa tahun Namun demikian, KepMen tersebut secara khusus
terakhir ini. Perubahan ini juga telah memberi melarang pengeluaran izin HPHH untuk lahan-lahan
peluang dikeluarkannya berbagai izin oleh Pemda. yang telah berada dalam areal konsesi HPH.
Penjelasan PP 34/2002 menegaskan bahwa Menteri Berdasarkan peraturan-peraturan ini, maka Pemda
Kehutanan secara bertahap dan selektif akan mengeluarkan istilah-istilah sendiri yang berkaitan
mendelegasikan wewenang untuk mengeluarkan dengan izin penebangan dan tidak perlu mengikuti
berbagai izin pemanfaatan kayu dari hutan produksi persyaratan seperti yang tercantum dalam peraturan
kepada Pemda. Tetapi dengan syarat bahwa Pemda perundangan. Istilah-istilah tersebut termasuk IPK,
yang bersangkutan dapat menunjukkan kesiapannya IPPK, IPKH, IPKTM, IPHH, HPHKM, HPHH, dan HPH
dalam hal kelembagaan, visi maupun misi. Namun kecil. Upaya-upaya Departemen Kehutanan untuk
demikian, tidak ada petunjuk lebih lanjut atau melakukan desentralisasi pengelolaan hutan pada
persyaratan khusus mengenai pelaksanaannya. tingkat tertentu menimbulkan kesulitan untuk
Kewenangan Pemda untuk mengambil berbagai melakukan berbagai tindakan terhadap kebijakan
keputusan dalam pengelolaan hutan, tidak banyak Pemda, baik yang legal, semi-legal, maupun ilegal.
dibahas dalam UU 41/1999. Satu-satunya rujukan Sementara upaya Pemerintah Pusat untuk
tentang kewenangan Pemda adalah dalam masalah mengeluarkan izin secara terpusat melalui Undang-
pengawasan terhadap berbagai kegiatan di dalam Undang baru, Pemda kabupaten dan kotamadya tidak
hutan. Misalnya, Pasal 59-64 Bab VII UU 41/1999 senantiasa mengakuinya. Mereka bersikeras untuk
menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemda tetap mengeluarkan izin sesuai dengan pemahaman
bertanggung jawab terhadap pengawasan hutan. mereka terhadap pasal-pasal yang tercantum dalam
Kemudian dalam Bab VIII Pasal 66 disebutkan bahwa UU 22/1999.
Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan Meskipun terjadi konflik-konflik akibat kesulitan
tertentu kepada Pemda untuk meningkatkan efisiensi sistematis dalam pemahaman kerangka kerja hukum
administrasi pengelolaan hutan. Pada akhirnya peran yang mengatur pengelolaan sumber daya hutan,
Pemda hanyalah bersifat administratif, tanpa namun terdapat persyaratan-persyaratan yang
diberikan wewenang untuk mengambil keputusan sifatnya jelas dan tidak membingungkan (Patlis,
yang berarti. PP 34/2002 juga mengikuti langkah 2002). Pada tahap perencanaan kehutanan, misalnya,
kebijakan ini walaupun PP tersebut memberikan langkah awal yang harus dilakukan oleh Departemen
wewenang kepada Pemda untuk mengeluarkan Kehutanan adalah menyiapkan Tata Guna Hutan
berbagai izin di dalam wilayah yurisdiksinya. Kesepakatan (TGHK) untuk masing-masing provinsi.
Kewenangan dimaksud diberikan untuk berbagai Selanjutnya menyusun Rencana Pengukuhan dan
kegiatan yang tidak terkait dengan hasil hutan kayu, Penatagunaan Hutan (RPPH), dengan menggunakan
termasuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa penataan dan tata batas kawasan hutan berdasarkan
lingkungan, serta pemanfaatan dan pengumpulan TGHK, yang dipaduserasikan dengan Rencana Tata
hasil hutan bukan kayu (HHBK). Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP). Kemudian dalam
Kedudukan peraturan yang sentralistik ini bidang pengusahaan hutan, pemohon HPH harus
disesuaikan dengan berbagai upaya yang ada saat mengikuti persyaratan prosedural, substansial, dan
ini (yang memberlakukan kembali hampir semua PP) finansial untuk memperoleh izin HPH-nya dan
untuk melakukan desentralisasi pengelolaan hutan. melakukan berbagai kegiatan pengelolaan hutan
Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada dalam areal konsesinya. Selanjutnya, perusahaan HPH
Pemda untuk mengeluarkan izin penebangan dan harus melengkapi berbagai laporan, dua diantaranya
berbagai kegiatan kehutanan lainnya. Misalnya, PP yang paling penting adalah Laporan Hasil Cruising
No. 6/1999 yang sekarang diberlakukan kembali, (LHC), yang meliputi informasi mengenai jumlah
memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk pohon, jenis, ukuran, dan volumenya berdasarkan
mengeluarkan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hasil pengukuran blok tebangan. Dan yang kedua
untuk kawasan seluas 10.000 hektar dan memberikan adalah Laporan Hasil Produksi (LHP), yang meliputi
kewenangan kepada Bupati untuk mengeluarkan izin informasi mengenai jenis, ukuran, dan volume pohon
Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) untuk kawasan yang sesungguhnya telah ditebang. Dalam bidang
yang luasnya sekitar 100 hektar. Kedua izin ini produksi, PP 34/2002, pasal 64 menjelaskan bahwa
dikeluarkan untuk jangka waktu tidak lebih dari satu untuk pabrik penggergajian atau pabrik pengolahan
tahun. Izin-izin ini dikenakan Provisi Sumber Daya kayu lainnya dengan kapasitas produksi sampai
Hutan (PSDH) dan, jika izin ini berkaitan dengan dengan 6.000 meter kubik per tahun, izinnya
penebangan, maka dikenakan Dana Reboisasi. dikeluarkan oleh Gubernur, berdasarkan rekomendasi
KepMen No. 310/1999 yang sekarang juga teknis dari Dinas Kehutanan kabupaten dan
diberlakukan kembali dan didasarkan pada PP 6/1999, persetujuan dari Menteri Kehutanan. Untuk pabrik

5
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

pengolahan kayu yang kapasitas produksinya lebih kondisi fisik, ukuran, tipe, jumlah, dan tujuan
dari 6.000 meter kubik per tahun, harus memperoleh pengiriman produk kayu yang diangkut harus sesuai
izin dari Menteri Kehutanan, berdasarkan dengan syarat-syarat yang tercantum dalam
rekomendasi Dinas Kehutanan provinsi atas nama dokumennya. Pedoman umum pengelolaan sumber
Gubernur. Dalam kaitannya dengan transportasi, di daya hutan ini tidak menguraikan persyaratan-
dalam PP 34/2002, pasal 75 disebutkan bahwa semua persyaratan tersebut secara rinci, tetapi Pemda
hasil kayu harus memiliki Surat Keputusan Sahnya kabupaten dan kotamadya seharusnya telah cukup
Hasil Hutan (SKSHH) dan Surat Asal-usul Tumbuhan mengetahui persyaratan-persyaratan ini.
dan Satwa Liar (SATS). Selanjutnya disyaratkan bahwa

6
III. Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kotamadya

Dalam era Desentralisasi, kabupaten dan kotamadya pelestariannya sesuai dengan Undang-Undang’.
memiliki banyak tanggung jawab yang terkait dengan Persyaratan ini sudah sangat jelas. Undang-Undang
pengelolaan sumber daya alamnya, yang sebelumnya tentang lingkungan yang ada sebelumnya tetap
tidak pernah ada. Yang pertama, mengingat berlaku sesuai UU 22/1999, tetapi sekarang harus
perubahan-perubahan yang terus berlangsung dalam dilaksanakan oleh kabupaten dan kotamadya dan
pembangunan dan pelaksanaan Undang-Undang dan bukan lagi oleh Pemerintah Pusat. Karena itu
peraturan baru di semua tingkat pemerintahan, kabupaten/kotamadya bertanggung jawab untuk
Pemda kabupaten dan kotamadya harus memelihara mengetahui dan memahami syarat-syarat yang
hubungan baik dengan Pemda provinsi dan disebutkan dalam Undang-Undang tersebut, termasuk
Pemerintah Pusat untuk mengikuti perkembangan juga yang berkaitan dengan sumber daya alam dan
berbagai peraturan dan kebijakan baru. Selain itu, keanekaragaman hayati, pengelolaan lingkungan,
dengan terus mengikuti perkembangan informasi, pertambangan, perikanan, kehutanan, perairan, dan
mereka dapat turut memberikan masukannya dalam syarat-syarat untuk melakukan Analisis Dampak
penyusunan peraturan dan kebijakan baru serta Lingkungan (AMDAL). Selain itu kabupaten/
perubahan-perubahan yang mungkin akan dilakukan kotamadya juga bertanggung jawab untuk
dengan lebih baik. Ada beberapa asosiasi yang baru- melaksanakan dan menegakkan Undang-Undang
baru ini terbentuk untuk mewakili badan-badan tersebut.
pemerintahan di daerah. Asosiasi Pemerintah Keterbatasan informasi mengenai Undang-Undang
Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), misalnya, yang ada di tingkat Pemda diperparah oleh kenyataan
mewakili Pemda kabupaten secara administratif; bahwa Pemda kabupaten dan kotamadya
Asosiasi Dewan Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) menjalankan kewenangan mereka tanpa petunjuk
mewakili dewan legislatif kabupaten. Pemda dan alasan yang jelas, dan kadang-kadang, tanpa
kotamadya juga memiliki asosiasi untuk badan-badan memperhatikan Undang-Undang dan Peraturan yang
administratif, yaitu Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh berlaku (Simarmata, 2003). Misalnya, di Malinau
Indonesia (APEKSI), dan asosiasi untuk badan Kalimantan Timur, dalam waktu 11 bulan dua Bupati
legislatif, yaitu Asosiasi Dewan Kota Seluruh Indonesia berturut-turut mengeluarkan 39 Izin Pemungutan dan
(ADEKSI). Dalam lingkup Pemda provinsi juga terdapat Pemanfaatan Kayu (IPPK) yang luas totalnya hampir
dua kelompok. Yang pertama untuk badan mencapai 56.000 hektar untuk HPH-HPH kecil (Barr
administratif, yaitu Asosiasi Pemerintah Provinsi dkk., 2001). Meskipun peraturan yang ada membatasi
Seluruh Indonesia (APPSI), dan yang kedua untuk luas HPH-HPH ini hanya 100 hektar, Malinau
badan legislatif, yaitu Asosiasi Dewan Provinsi Seluruh mengeluarkan izin sampai seluas 5.000 hektar. Selain
Indonesia (APDSI). Berbagai kabupaten dan itu, banyak IPPK mengizinkan kegiatan tebang habis,
kotamadya juga dapat membentuk kelompok- yang sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang.
kelompok regional yang memiliki kepentingan Mereka juga mengizinkan penangkapan jenis-jenis
geografis atau sektoral yang serupa untuk saling satwa liar yang terancam punah yang sesungguhnya
berbagi informasi dan mengembangkan posisi dilindungi oleh Undang-Undang. Di dalam IPPK juga
mereka. tidak dicantumkan berbagai persyaratan yang
Yang kedua, Pemda kabupaten dan kotamadya diharuskan dalam kaitannya dengan perencanaan,
harus melakukan upaya untuk mempelajari status pemantauan, dan pelaporan lingkungan (Mariasa,
Undang-Undang yang saat ini masih berlaku dan harus 2001 komunikasi pribadi).
mereka laksanakan. Dalam kaitannya dengan sumber Contoh lain yang jelas-jelas merupakan kegiatan
daya hutan, Pasal 10 ayat 1 UU 22/1999 menetapkan ilegal dan dilakukan oleh beberapa kabupaten adalah
bahwa Pemda diberi kewenangan untuk mengelola pemungutan pajak atau retribusi untuk pengangkutan
sumber daya alam yang terdapat di wilayahnya dan kayu ilegal yang melewati wilayah kewenangannya.
bertanggung jawab untuk ‘menjaga lingkungan dan Kegiatan ini, yang berlangsung di Kalimantan Timur
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

dan Tengah, kadang-kadang dilaksanakan secara (Seidman dkk., 2001). Kemauan politik yang lemah
sistematis (Casson, 2001), dan kadang-kadang tidak biasanya menjadi penyebab rancangan peraturan
sistematis (McCarthy, 2001). Kabupaten dan yang sengaja dibuat buruk, dan terjadinya hal ini
kotamadya sesungguhnya berkewajiban menyita biasanya juga dikarenakan keterbatasan sumber daya
kayu-kayu ilegal yang tidak memiliki kelengkapan (meskipun ini juga mungkin mencerminkan kemauan
administrasi dan tidak ada tanda asal usulnya. Namun politik yang lemah untuk mendapatkan sumber daya).
dalam kasus ini, mereka tidak menyita kayu ilegal Pada saat ini, banyak Pemda kabupaten
tersebut, tetapi malah mengenakan pungutan sebagai menjalankan kewenangannya dengan cara-cara yang
pajak angkutan dan mengizinkan kayu tersebut keluar sebenarnya malah mempercepat kegiatan
dari wilayahnya. Dengan cara seperti ini, kabupaten penebangan, dan memperburuk berbagai konflik para
secara terang-terangan telah ikut serta melegalkan pihak yang berkepentingan, khususnya yang
kayu yang asal usulnya tidak jelas. Pungutan semacam berkenaan dengan tuntutan hak kepemilikan lahan
ini tidak sah karena kabupaten mengizinkan (ITTO, 2001). Di Sumatra dan Kalimantan, banyak
pengangkutan kayu ilegal, yang menurut Undang- Pemda kabupaten mengeluarkan berbagai izin atas
Undang tidak dapat dibenarkan. Perlu dicatat bahwa lahan pedesaan, dan di areal yang sebelumnya telah
pungutan-pungutan ini tidak berarti ‘melegalkan’ diberikan kepada HPH. Di Kalimantan Timur,
kayu-kayu yang ditebang secara ilegal, dan keterbatasan peta dan inventarisasi lahan
pemenuhan persyaratan peraturan daerah atau pusat memperburuk perselisihan batas wilayah yang terjadi
sesudah itu tidak mengubah status kayu ilegal antar IPPK, antar HPH, dan antara masyarakat desa
tersebut. Sebaliknya, pungutan-pungutan ini justru dan masyarakat adat (Tim CIFOR di Long Loreh 2001,
membuktikan bahwa kayu tersebut telah ditebang kom.pri). Para pihak yang berkepentingan tidak
secara ilegal. Pemda kabupaten dan kotamadya harus memiliki pemahaman yang jelas tentang di mana
menyadari implikasi kegiatan-kegiatan seperti ini. kegiatan-kegiatan legal dapat dilakukan atau siapa
Ketiga, Pemda kabupaten dan kotamadya harus yang memiliki kewenangan yang sah untuk melakukan
menyusun perencanaan anggaran dan ketrampilan kegiatan tertentu; tidak jelas pula hak-hak siapa yang
dalam pengelolaannya. Karena sebagian besar lebih kuat dan siapa yang tidak. Masalah-masalah
sumber penghasilan baru dari kabupaten atau yang muncul dari rancangan peraturan yang buruk
kotamadya berasal dari pemanfaatan sumber daya menjadi semakin rumit karena Desentralisasi tidak
alam, distribusi pendapatan satu daerah dengan hanya menghadirkan kewenangan baru bagi
daerah lainnya akan berbeda jauh sekali (Brown, kabupaten, tetapi juga bagi Pemda kabupaten baru.
1999). Yang lebih penting lagi, sebagian besar Jumlah kabupaten di Indonesia meningkat lebih dari
penghasilan digunakan untuk membiayai kegiatan 25 persen mulai tahun 1999 hingga sekarang. Pemda
administratif dan bukan untuk kegiatan atau program kabupaten yang baru membutuhkan pelatihan dan
pembangunan yang terencana. Dengan demikian, bantuan untuk menyusun berbagai Perda yang sesuai
kabupaten/kotamadya sering hanya memiliki dengan wilayah yurisdiksi mereka.
pendapatan baru yang sangat kecil untuk Tanpa pelatihan dan kemampuan yang memadai,
melaksanakan proyek-proyek pembangunan dan para anggota Dewan Legislatif barangkali akan
konservasi sumber daya, kecuali jika kabupaten/ memperburuk masalah-masalah yang sudah ada.
kotamadya mulai mengumpulkan pendapatan asli Sebuah peraturan baru yang dirancang dengan
daerah (PAD) dalam bentuk pajak, atau dengan tergesa-gesa dapat menambah rumit masalah jika
mengeksploitasi sumber daya alamnya. Banyak sekali peraturan tersebut membingungkan, tidak jelas,
Perda yang berkaitan dengan PAD dan transparansi terlalu umum dan tidak bisa dijalankan. Dalam era
pelaporannya yang disahkan baru-baru ini, tetapi Desentralisasi, anggota Dewan Legislatif di kabupaten
Perda itu sendiri tidak memberikan kemampuan dan kotamadya bisa mengesahkan sebuah Perda
kepada kabupaten/kotamadya untuk melakukan hanya dalam waktu beberapa minggu saja.4 Tahun
perencanaan dan pengelolaan anggaran. 2002, misalnya, Kabupaten Malinau mengesahkan
Keempat, dan mungkin ini yang terpenting, Pemda enam buah Perda yang berkaitan dengan masalah
kabupaten dan kotamadya perlu mengembangkan struktur dan administrasi pemerintahan tingkat desa,
ketrampilan baru dalam merancang Perda. Rancangan adat, pemanfaatan hutan, dan retribusi untuk
yang buruk merupakan fenomena umum di Indonesia. mendirikan bangunan. Hampir semua isi Perda
Rancangan peraturan ini kemungkinan memang tersebut dapat dikatakan disalin kata demi kata dari
disengaja, untuk memberi kesempatan agar sistem Kabupaten Bulungan, tetangganya; dan sama sekali
korupsi, kolusi dan nepotisme tetap bertahan (ADB, mengabaikan sifat-sifat dan ciri-ciri unik dari
2002b), atau memang terjadi karena Pemerintah kehidupan masyarakat dan keadaan hutan di Malinau.
tidak melakukan latihan dan tidak memiliki Padahal tidak seperti Bulungan, Malinau memiliki
infrastruktur untuk merancang peraturan yang baik jumlah penduduk yang lebih tinggi dan tersebar di

4
‘Peraturan daerah,’ atau Perda, merupakan peraturan yang disahkan oleh pemerintah daerah (Pemda) provinsi atau kabupaten.

8
Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

beberapa kabupaten dengan jumlah suku yang sangat perundang-undangan tingkat nasional maupun
bervariasi, diantaranya, suku Punan yang semi- wilayah merupakan faktor yang penting dalam
nomadik. Kondisi hutan Malinau juga relatif lebih baik mencapai pengelolaan sumber daya alam yang
dan asli (Tim CIFOR di Long Loreh 2001). Kenyataan berkelanjutan (Smith dan Martin, 2000). Perbaikan
bahwa banyak Perda baru yang tidak kerangka kerja hukum tidak terbatas hanya dalam
memperhitungkan karakteristik penduduk ini mungkin hal perumusan rancangan peraturan yang sesuai saja.
pada akhirnya akan memperburuk masalah di Kerangka ini juga meliputi berbagai fungsi
Kabupaten Malinau karena kelompok-kelompok administrasi, penegakan hukum, dan penyelesaian
tertentu akan terpinggirkan. Pengeluaran IPPK yang masalah secara adil. Menurut Bank Pembangunan
berlangsung dengan amat cepat, dapat menimbulkan Asia, empat kegiatan yang penting untuk
pergolakan sosial, kebingungan dalam penentuan meningkatkan kerangka kerja hukum adalah:
batas wilayah, dan pada gilirannya menguras sumber memperbaiki proses penyiapan peraturan dengan
daya yang menjadi basis kegiatan mereka. melakukan penilaian dampaknya secara rutin;
Dalam melaksanakan kewenangan barunya dalam melakukan cara-cara konsultasi yang efektif baik di
bidang pengelolaan sumber daya alam, Pemda dalam maupun di luar lingkup pemerintahan;
kabupaten dan kotamadya bertanggung jawab untuk memperkuat lembaga-lembaga eksternal untuk
menyusun Perda guna mengelola sumber daya alam meningkatkan tanggung gugat; dan memperkuat
secara lestari, untuk generasi sekarang dan yang akan kemampuan lembaga peradilan untuk memecahkan
datang, dan secara berkeadilan bagi semua pengguna berbagai masalah administratif (ADB, 2002b). Bagian-
sumber daya alam tersebut. Banyak hasil studi bagian berikut dalam tulisan ini akan membahas isu-
mengungkapkan bahwa penerapan prinsip-prinsip isu tersebut yang terkait dengan prinsip-prinsip ‘tata
tata kelola pemerintahan yang baik sebagai dasar kelola pemerintahan yang baik dan bertanggung
untuk penyusunan kerangka kerja hukum dan jawab.’

9
IV. Prinsip-prinsip Penyusunan
Peraturan Daerah Tentang
Kehutanan

Sebelum menyusun Perda baru tentang pengelolaan dan perundang-undangan yang berfungsi dengan
hutan, Pemda harus benar-benar memahami baik; pelaksanaan good governance harus
wewenang dan tanggung jawabnya. Selain itu terkoordinasi dan keputusannya terintegrasi,
mereka juga perlu memahami dengan jelas kerangka memiliki tanggung jawab terhadap anggaran,
kerja hukum dan perundang-undangan yang ada dan memiliki kejelasan, memiliki kepastian hukum yang
mempertimbangkan apakah sebuah Perda memang seimbang dengan fleksibilitas administratif, validitas
paling sesuai untuk memecahkan masalah yang ilmiah yang seimbang dengan berbagai pertimbangan
sedang dihadapi atau tidak. sosial-ekonomi, dll. Namun, bagaimana prinsip-
Pemerintah Pusat telah memberikan petunjuk prinsip ini bisa dilaksanakan di lapangan tidak banyak
mengenai beberapa kewenangan dan tanggung dibahas dalam pustaka (Botchway, 2001). Beberapa
jawab Pemda. Namun ada kewenangan lainnya yang pakar mulai mengidentifikasi dan mendalami prinsip-
mungkin lebih berarti tetapi justru tidak terlalu prinsip ini. Misalnya, Organisasi Pangan dan Pertanian
jelas, yaitu yang terkait dengan prinsip-prinsip ‘tata Sedunia atau Food and Agricultural Organisation,
kelola yang baik dan bertanggung jawab’ atau ‘good- menetapkan enam prinsip untuk merancang Undang-
governance’. Governance didefinisikan sebagai Undang Kehutanan yang lebih baik: (1) menghindari
proses pengambilan keputusan yang melibatkan agar tidak melampaui batas kewenangan legislatif
seluruh pihak yang berkepentingan. Good governance yang ditentukan; (2) menghindari persyaratan yang
memiliki beberapa ciri yang seluruhnya menunjang berlebihan untuk mendapatkan izin dan persetujuan;
proses pengambilan keputusan tersebut. Komisi (3) meningkatkan ketentuan-ketentuan yang bersifat
Sosial dan Ekonomi PBB untuk Asia dan Pasifik atau transparan dan bertanggung gugat; (4) meningkatkan
United Nations Economic and Social Commission for peran LSM; (5) memastikan bahwa rancangan
Asia and the Pacific (UNESCAP) menjelaskan ciri- peraturan perundangan bersifat partisipatif; dan (6)
ciri good governance sebagai berikut: memastikan bahwa Undang-Undang tersebut
mencakup mekanisme penegakkannya secara
[Good governance] bersifat partisipatif, langsung (Lindsay, 2002).
berorientasi pada konsensus, bertanggung Prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan
gugat, transparan, responsif, efektif dan bertanggung jawab —menurut definisi mana pun—
efisien, adil dan inklusif serta sesuai memenuhi tiga unsur persyaratan yang
peraturan perundang-undangan. Good diperlukannya, yaitu proses, substansi, dan keadilan
governance menjamin bahwa korupsi ditekan (lihat Gambar 1). Proses, berkaitan dengan
sekecil mungkin, pendapat-pendapat mekanisme pembuatan peraturan perundangan—
kelompok minoritas dipertimbangkan dan bagaimana cara perumusan dan pengambilan
suara-suara dari golongan masyarakat paling keputusannya dan bagaimana pelaksanaanya.
bawah didengar dalam pengambilan Mekanisme-mekanisme ini meliputi aspek-aspek
keputusan. Good governance juga bersifat transparansi, partisipasi, koordinasi, integrasi,
responsif terhadap berbagai kebutuhan tanggung gugat, penegakkannya, kejelasan, dan
masyarakat di masa kini dan mendatang. kelangsungan anggarannya. Substansi, terkait dengan
(UNESCAP, 2002) isi peraturan—apa yang diatur di dalamnya dan apa
alasannya. Sifat-sifat substansi ini meliputi kepastian
Identifikasi dan penjelasan mengenai good hukum, fleksibilitas administratif, validitas ilmiah,
governance banyak dijumpai dalam beberapa dan pertimbangan sosial-ekonomi. Keadilan,
pustaka. Para pakar dan kelompok advokasi berkaitan dengan penerapan peraturan—siapa yang
meringkasnya menjadi tiga pilar: informasi terkena peraturan dan bagaimana peraturan itu
(transparansi), partisipasi, dan akses terhadap ditegakkan. Penerapan tentang keadilan meliputi
keadilan (penegakan hukum) (WRI, 2002). Adapun akses terhadap keputusan pengadilan, proses
ketiga pilar ini sangat dipengaruhi oleh sistem hukum pemeriksaan, dan dengar pendapat yang adil.
Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

Gambar 1. Prinsip-prinsip untuk Merancang transparansi juga memberikan peluang bagi


Peraturan Daerah masyarakat untuk memantau Pemda dan memastikan
bahwa Perda yang disusun sesuai dengan Undang-
Proses Undang—pengawasan terhadap kinerja Pemda.
Transparansi Transparansi mengharuskan masyarakat untuk
Partisipasi
Koordinasi dan integrasi mengetahui berbagai kejadian, surat-surat keputusan
Tanggung gugat penting, dan kebijakan-kebijakan yang akan dibuat
Kemampuan untuk ditegakkan
Kejelasan oleh Pemda. Agar masyarakat memperoleh informasi
Kelangsungan anggaran seperti ini, maka setiap langkah dalam proses
penyusunan Perda harus diinformasikan kepada
masyarakat. Misalnya, untuk mengeluarkan suatu
izin, masyarakat harus diberitahu tentang pengajuan
Substansi Keadilan izin awal, rancangan Perda yang disertai data dan
Kepastian hukum Akses
Fleksibilitas administratif Pemeriksaan dan berbagai laporan yang mendukung Perda itu,
Validitas ilmiah Dengar pendapat yang adil
Pertimbangan Kepraktisan
keputusan akhir dan berbagai alasan yang menyusun
ekonomi/sosial Perda harus diganti, dan membuka peluang yang
memungkinkan untuk peninjauan kembali atas Perda
yang ada. Transparansi akan meningkatkan hubungan
antara Pemda dan masyarakat sehingga pertukaran
Dalam mempertimbangkan prinsip-prinsip tata informasi dan pengambilan keputusan melibatkan
kelola yang baik, ada dua hal yang sangat penting. kedua pihak ini (Tendler, 1997).
Pertama, prinsip-prinsip ini bertujuan untuk Transparansi bukan hanya sekedar
menciptakan sistem hukum yang berkaitan langsung menyebarluaskan pengetahuan dan menyampaikan
dengan masyarakat yang diaturnya—sistem hukum pemberitahuan, tetapi memerlukan penjelasan dan
yang didasarkan atas kebutuhan, keinginan, dan diskusi. Tanpa diskusi, masyarakat mungkin tidak
kemampuan masyarakat. Prinsip-prinsip ini tidak bisa memahami arti Perda yang sedang disusun , atau
terlalu normatif atau aspiratif karena jika demikian berbagai dampak yang akan diterimanya. Para
akan tidak realistis dan tidak bisa dilaksanakan. pejabat di kabupaten perlu menjelaskan rencana
Kedua, prinsip-prinsip ini didasarkan pada penyusunan Perda tersebut jika menghendaki
persyaratan bahwa masyarakat dilibatkan dalam prosesnya transparan. Beberapa alternatif berikut
penyusunan, pengenalan, dan pemahaman sistem merupakan pilihan untuk mewujudkan transparansi:
hukum mereka. Tujuannya untuk meningkatkan
pelaksanaan, penataan, dan penegakkannya (Lindsay, Alternatif A: Menyediakan berbagai surat
2000). Artinya, Undang-Undang tidak hanya keputusan dan kebijakan Pemda di tempat-
mencerminkan kepemimpinan pemerintahan suatu tempat umum. Dokumen-dokumen ini harus
negara atau instansi, tetapi juga mencerminkan disertai data dan informasi yang
masyarakat secara umum. Seperti yang dikatakan melatarbelakanginya —Undang-Undang, laporan,
Lindsay (2000), rekomendasi untuk memulai proses survei, data ekonomi, dll.—yang mungkin
pembuatan peraturan ‘tidak hanya karena didasarkan digunakan dalam menyusun Perda. Sebuah pusat
kepada keyakinan bahwa masyarakat harus memiliki informasi atau ruang baca tersendiri dapat
hak untuk dilibatkan; tetapi merupakan suatu disediakan di berbagai kantor Pemda. Alternatif
pengakuan pragmatis bahwa tanpa keterlibatan ini mudah dan tidak membutuhkan banyak biaya,
masyarakat, suatu peraturan perundangan menjadi tetapi sulit untuk menjangkau sebagian besar
lemah dalam pelaksanaannya. masyarakat, yang mungkin tidak dapat melakukan
Dalam menyusun Perda baru, Pemda tidak hanya perjalanan jauh ke kantor-kantor Pemda secara
perlu memasukkan pernyataan yang mengakui berkala.
prinsip-prinsip tata kelola yang baik —yang biasanya
mereka lakukan—tetapi mereka harus menggunakan Alternatif B: Mempublikasikan dan
bahasa yang jelas dan spesifik tentang bagaimana menyebarluaskan berbagai pengumuman,
melaksanakan prinsip-prinsip tersebut. Bagian berikut dokumen, dan keputusan. Pengumuman bisa
ini membahas beberapa prinsip tata kelola yang baik dimuat dalam koran-koran lokal, selebaran,
dan bagaimana pelaksanaannya di kabupaten atau brosur, papan pengumuman, dll. Misalnya, di desa-
kotamadya yang memiliki sumber daya yang terbatas. desa, berbagai berita dari Camat dan Bupati sering
disampaikan ke rumah Kepala Desa, sekolah, atau
A. Transparansi tempat umum lainnya di desa. Pengumuman
Proses yang transparan memungkinkan masyarakat seperti ini sebaiknya disebarluaskan untuk setiap
memperoleh informasi tentang Perda yang akan tahap dalam proses pembuatan Perda.
berdampak kepada mereka. Selain itu, proses Pengumuman tersebut juga bisa meliputi

11
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

pemberitahuan tentang dimana dan bagaimana memiliki informasi yang cukup, dan lalu
cara untuk memperoleh informasi dan berbagai memahaminya, sehingga mereka dapat mengerti
keputusan-keputusan penting lainnya. proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
Pemda. Partisipasi masyarakat juga memungkinkan
Alternatif C: Melakukan pertemuan berkala yang Pemda memperoleh informasi yang lebih baik dari
terbuka untuk umum. Berbagai pertemuan dapat masyarakat sehingga timbul gagasan baru dari Pemda,
diadakan di salah satu tempat seperti kantor dan menambah pemahaman masyarakat secara
pemerintah yang berwenang untuk membuat menyeluruh terhadap suatu masalah (Axelrod 1984).
Perda, atau di tempat lain seperti di desa-desa Partisipasi, lebih jauh membantu mengurangi
di wilayah pemerintahan yang akan terkena kemungkinan berbagai konflik dalam melaksanakan
dampak oleh Perda. Metode ini membutuhkan Perda karena berbagai isu yang mungkin memicu
banyak biaya, tetapi merupakan cara konflik telah diumumkan dari awal sehingga konflik
pemberitahuan yang paling efektif. Pertemuan- bisa ditekan selama proses pengambilan keputusan
pertemuan ini harus dihadiri oleh para pejabat (Ostrom, 1992). Akhirnya, partisipasi merupakan suatu
pemerintah untuk dapat menjawab berbagai bentuk tanggung gugat, yang memberikan kesempatan
pertanyaan dan memberikan penjelasan lebih kepada masyarakat untuk mengawasi apa yang sedang
lanjut. Agar pertemuan ini mencapai sasaran yang dikerjakan pemerintah (Estache, 1995).
diharapkan, maka tempat pertemuan harus Ada banyak sekali definisi tentang partisipasi
mudah didatangi dan dipublikasikan sebelumnya. masyarakat, tetapi pada intinya menghendaki
keterlibatan masyarakat secara berarti dalam
Alternatif D: Membangun siaran radio. Ini membuat suatu keputusan (WRI, 2002). Partisipasi
merupakan cara pemberitahuan yang paling bisa berupa sekedar menerima informasi konsultasi
efisien di berbagai kabupaten yang wilayah dan kemitraan, sampai kepada kontrol sepenuhnya
kewenangannya luas dan penduduknya sedikit, oleh masyarakat dalam pengambilan keputusan
khususnya jika infrastruktur transportasi belum (Arnstein, 1969). Berbagai kondisi dapat menentukan
berkembang dengan baik. Biaya-biaya yang harus tingkat keterlibatan apa saja yang ‘berarti’, seperti
dikeluarkan untuk perlengkapan siaran radio dan tingkat keterlibatan yang ada sebelumnya; siapa dan
frekuensi penerimaannya mungkin tinggi, tetapi apa yang akan dipengaruhi oleh Perda; untuk berapa
biaya pemeliharaannya tidak terlalu mahal, lama Perda tersebut akan berlaku; dll.
sementara akses untuk bisa mendengarkan radio Aturan hukum setempat sering menyebutkan
selalu ada. Pemda dapat mengatur jadwal siaran perlunya proses yang bersifat ‘terbuka dan
yang terkait dengan berbagai kegiatan dan demokratis’, atau melibatkan ‘partisipasi
kebijakan. Sistem Hutan Kemasyarakatan, sebuah masyarakat’, tetapi tidak menjelaskan apa arti
instansi swadaya masyarakat yang berbasis di istilah-istilah ini secara praktis. Pada umumnya,
Samarinda dan bekerja di Kutai Barat, ‘pemberitahuan dan tanggapan’ mengharuskan
mengusulkan untuk membuat jaringan radio yang adanya tiga hal: (1) kesempatan untuk mengkaji
siarannya bisa ditangkap di desa-desa terpencil rancangan peraturan dan berbagai dokumen yang
sehingga mereka dapat memperoleh akses kepada melatarbelakanginya; (2) peluang untuk memberikan
informasi dan komunikasi. tanggapan terhadap substansinya; dan (3) tanggapan
pembuat kebijakan terhadap komentar-komentar
Alternatif E: Memenuhi permintaan individu: Hal yang mereka terima. ‘Pemberitahuan dan tanggapan’
ini menyangkut kemudahan dalam memenuhi membutuhkan forum tertentu –tatap muka, atau
permohonan individu untuk memperoleh surat- tertulis, atau beberapa cara komunikasi lainnya –
surat keputusan tertentu dari Pemda, dan sehingga masyarakat dapat menyampaikan berbagai
kewajiban Pemda untuk menyediakan surat yang komentar, dan pemerintah perlu menanggapi
diminta dengan baik dan cepat. Memenuhi substansinya dengan cepat.
permintaan individu semacam ini dilakukan Namun demikian, untuk menciptakan partisipasi
sebagai tambahan dalam memberikan pelayanan yang berarti di daerah lebih banyak lagi yang perlu
informasi kepada masyarakat. dilakukan. Pejabat-pejabat yang mewakili Pemda
perlu mengunjungi desa-desa yang akan terkena
B. Partisipasi dampak akibat keluarnya Perda baru, mengadakan
Partisipasi masyarakat merupakan tahapan setelah tatap muka dengan instansi-instansi di tingkat desa,
penyebar luasan informasi. Setelah masyarakat dan mengadakan dialog dengan masyarakat untuk
memperoleh pemberitahuan tentang suatu masalah memungkinkan mereka memperoleh akses informasi.
yang terkait dengan sebuah Perda, bagaimana Kesempatan pertemuan seperti ini harus dijadikan
masyarakat tersebut kemudian bisa berpartisipasi peluang bagi masyarakat untuk mengungkapkan
dalam proses penyusunan Perda? Partisipasi pendapatnya, bukan hanya bagi pemerintah saja yang
memungkinkan masyarakat untuk ikut terlibat, memberitahukan rencananya. Sebuah pertemuan

12
Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

dimana para pejabat Pemda memberikan presentasi Alternatif C: Mengadakan konsultasi terbuka
— sering disebut ‘sosialisasi’— mungkin sudah cukup dengan masyarakat. Pemda dapat melakukan
untuk mencapai suatu tingkat transparansi (meskipun negosiasi berbagai kebijakan secara langsung
untuk ini, agar masyarakat lebih memahami isinya, dengan anggota-anggota masyarakat. Proses ini
mereka harus diberi peluang untuk mengajukan tentu saja paling diinginkan, tetapi paling sulit
pertanyaan dan mendapatkan jawaban), tetapi tidak untuk dilaksanakan. Namun, pertemuan-
cukup untuk mencapai arti partisipasi yang pertemuan khusus mungkin dapat diatur untuk
sebenarnya. Selain itu, berbagai pertemuan semacam melakukan negosiasi berbagai kebijakan dan
ini harus bisa dihadiri masyarakat, dipublikasikan rancangan Perda dengan para pemuka masyarakat.
sebelumnya, dan hasilnya harus didokumentasikan
agar bermanfaat dikemudian hari. C. Koordinasi dan Integrasi
Yang terakhir, partisipasi yang ideal memerlukan Koordinasi dan integrasi berkaitan dengan hubungan
negosiasi diantara berbagai kelompok dan anggota timbal balik diantara instansi-instansi pemerintah dan
masyarakat yang berbeda kepentingannya dengan memungkinkan pengambil keputusan pada suatu
Pemda. Proses ini akan memberikan kesempatan instansi pemerintah untuk melibatkan instansi-
kepada para anggota komisi non-pemerintah yang instansi pemerintah lainnya agar Perda yang dibuat
mewakili masyarakat untuk bersama-sama wakil dapat mengenai sasarannya dengan lebih baik.
Pemda menyusun dan menegosiasikan isi Perda. Cara Integrasi telah menjadi fokus dalam pengelolaan
ini dapat dilakukan secara mendadak sesuai kebutuhan wilayah pesisir selama tiga dekade (Cicin-Sain 1998),
atau bisa juga secara berkala, dengan para anggota dan banyak pengalaman yang dapat diperoleh dari
komisi secara bergiliran. upaya tersebut untuk pengelolaan hutan.
Komunikasi merupakan kunci utama dalam
Alternatif A: Menggunakan pemberitahuan dan melakukan koordinasi dan integrasi. Bahkan di kantor
tanggapan: Berbagai cara pemberitahuan dan kabupaten yang kecil pun, komunikasi diantara
tanggapan dapat digabungkan sebagaimana bagian sangat penting. Kelemahannya adalah bahwa
pilihan alternatif untuk menciptakan transparansi. komunikasi yang terjadi pada dasarnya sering bersifat
Hal ini termasuk penyebarluasan pengumuman, linier, dalam artian bagian yang berbeda akan
pertemuan dengan masyarakat, dan mengkaji dan menandatangani dokumen yang sama,
pemberitahuan melalui siaran radio. tetapi tidak ada kerja sama atau diskusi antar bagian.
Pemberitahuan akan mengundang masyarakat Koordinasi akan melibatkan instansi-instansi
untuk memberikan tanggapan atas rancangan lainnya untuk turut bekerja sama, dan memberikan
Perda selama jangka waktu tertentu. Tiga puluh peluang kepada instansi-instansi tersebut untuk
hari biasanya dianggap cukup untuk menyebarkan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
pemberitahuan dan mendapatkan tanggapan (WRI Proses integrasi kemudian akan mengkoordinasikan
2002), tetapi hal ini benar-benar tergantung pada berbagai kepentingan yang berbeda dan
keadaan. Sebuah kabupaten yang luas dengan menggabungkannya secara harmonis. Dengan
sarana komunikasi yang terbatas mungkin demikian, konflik dapat dikurangi, pengulangan lebih
membutuhkan waktu yang jauh lebih lama. sedikit, dan pada akhirnya tidak perlu membuat
Berbagai komentar mungkin disampaikan secara banyak Perda. Banyak instansi yang menolak upaya
tertulis atau lisan, tetapi risalah atau notulen koordinasi dan integrasi karena mereka menganggap
berbagai pertemuan harus disimpan, dan proses- upaya-upaya seperti ini akan mengurangi kewenangan
prosesnya harus didokumentasikan. mereka. Kenyataannya, integrasi tidak mengurangi
wewenang sebuah instansi. Sebaliknya, upaya-upaya
Alternatif B: Membentuk dewan penasihat. ini mengurangi otonomi mereka. Integrasi yang
Pemda dapat mengizinkan dan menyetujui efektif akan menghasilkan proses pembuatan
pembentukan komisi atau dewan-dewan peraturan yang lebih didukung oleh informasi yang
penasehat yang para anggotanya bukan lebih baik dan sistem tata kelola yang lebih efisien.
merupakan pejabat pemerintah, untuk bersama-
sama menyusun dan menegosiasikan isi Perda. Ini Alternatif A: Mengikuti cara-cara yang sama
dapat dilakukan secara ad-hoc sesuai kebutuhan untuk pemberitahuan kepada masyarakat.
atau dengan mengadakan pertemuan secara Instansi-instansi pemerintah lainnya tidak akan
berkala secara bergilir diantara pihak-pihak yang diberi peran khusus dalam pengambilan
berkepentingan yang berbeda. Pembentukan keputusan, tetapi akan berpartisipasi seperti
komisi-komisi seperti ini bukan untuk layaknya partisipasi masyarakat lainnya. Dalam
menggantikan proses pemberitahuan dan hal ini, tidak ada koordinasi khusus yang
komentar, melainkan sebagai tambahan agar dibutuhkan. Karena itu, kemajuan dalam hal
proses partisipasi masyarakat menjadi lebih koordinasi tidak akan banyak dicapai, dan
terarah. keputusan-keputusan suatu instansi akan terus

13
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

dilakukan tanpa melibatkan instansi-instansi operasional yang memadai. Untuk membentuk


lainnya, yang mungkin dapat memberikan instansi baru, banyak pertanyaan yang perlu
masukan, informasi, dan saran yang lebih baik. dijawab seperti: apakah instansi tersebut menjadi
penasihat atau memiliki wewenang untuk
Alternatif B: Melaksanakan koordinasi oleh mengambil keputusan; apakah keanggotaannya
sebuah instansi. Instansi tersebut akan hanya meliputi anggota-anggota pemerintah, atau
memberitahukan kepada instansi-instansi lain anggota-anggota non-pemerintah juga;
secara langsung dan meminta masukan dari bagaimana penentuan keanggotaannya; apa yang
mereka secara langsung juga. Meskipun harus menjadi lingkup tanggung jawabnya;
kelihatannya efisien dan hemat biaya, namun ini seberapa sering instansi tersebut harus
bisa menjadi beban yang berat bagi instansi mengadakan pertemuan; dan apa yang harus
tersebut, khususnya jika anggaran dan staf nya menjadi aturan tata caranya.
memang sudah terbatas. Selain itu, instansi-
instansi lainnya mungkin tidak bersedia membantu D. Tanggung gugat (Akuntabilitas)
instansi sejenis tanpa mandat yang jelas. Untuk Tanggung gugat mungkin merupakan prinsip yang
alternatif ini, koordinasi mungkin hanya berhasil paling sering dikemukakan sebagai ciri tata kelola yang
sebagian saja. baik. Seorang pakar menjelaskannya sebagai ‘landasan
suatu tata kelola yang baik’. (Bennett, 2001). Ada
Alternatif C: Melaksanakan koordinasi oleh banyak tipe tanggung gugat, dan para pakar
Instansi koordinasi yang sudah ada atau oleh suatu menggolongkan tipe-tipe ini secara berbeda pula.
badan koordinasi lain. Masing-masing tingkat Seorang pakar hukum mengatakan bahwa “tanggung
pemerintahan telah memiliki beberapa kantor gugat merupakan konsep yang rumit, dengan berbagai
atau instansi yang bertanggung jawab untuk definisi yang berbeda dalam konteks yang berlainan
melakukan koordinasi berbagai kebijakan yang sesuai dengan teori politik yang berbeda, sehingga
berbeda. Misalnya, di tingkat nasional, Badan tidak banyak artinya untuk mencapainya jika
Perencanaan dan Pembangunan Nasional dipisahkan dari kondisi spesifik yang faktual . Tanggung
(BAPPENAS), Sekretariat Koordinator Hubungan gugat oleh karena itu bisa berarti demokrasi,
Ekonomi dan Sosial, dan Sekretariat Kabinet, yang legitimasi, kontrol, tanggapan, dan berbagai ciri lain
semuanya memiliki tanggung jawab untuk dari suatu bentuk pemerintahan atau struktur tata
mengkoordinasikan berbagai kebijakan. Di tingkat kelola yang ideal” (Slaughter, 2001).
daerah, ada BAPPEDA dan Badan Pengelolaan Misalnya, salah satu aliran akademis
Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) untuk menggolongkan tanggung gugat menjadi tiga bentuk.
menangani berbagai isu lingkungan. Alternatif ini Yang pertama, tanggung gugat politik, di mana kantor
memiliki kelebihan, yaitu bisa mengandalkan pemerintah atau seseorang bertanggung gugat
infrastruktur yang ada, yang akan menghemat terhadap seorang pejabat yang dipilih, sebuah badan
biaya. Namun, instansi-instansi yang sudah ada legislatif, masyarakat yang memilih, atau manifestasi
ini sering memiliki berbagai bias dan posisi masyarakat madani serupa lainnya yang dijalankan
tertentu dalam berbagai subyek, yang mungkin oleh pemerintah. Yang kedua, tanggung gugat
menjadi kendala kelangsungan reformasi yang organisasi, dimana kantor pemerintah atau individu
sebenarnya. Selain itu, instansi yang ada mungkin bertanggung gugat terhadap hierarki dalam organisasi
harus diubah hingga tingkat tertentu untuk tersebut, atau terhadap instansi lainnya dalam
menangani koordinasi kebijakan sektor birokrasi tersebut; dan yang ketiga, tanggung gugat
kehutanan. legal, dimana kantor pemerintah atau individu
bertanggung gugat terhadap serangkaian Undang-
Alternatif D: Membentuk badan koordinasi baru Undang atau berbagai peraturan yang mengatur
atau lembaga antar-instansi baru yang berbagai tindakan mereka (ELI, 2003).
mengemban tanggung jawab koordinasi. Sebuah Aliran lainnya merujuk pada dua tipe tanggung
badan koordinasi baru dapat dibentuk untuk gugat, yaitu tanggung gugat horisontal, di mana
mengawasi koordinasi. Badan yang baru ini tanggung jawab didelegasikan kepada berbagai
memiliki kelebihan, yaitu tidak akan instansi yang terpisah; dan tanggung gugat vertikal
mengandalkan tatanan politik yang ada, dan dapat (atau tanggung gugat sosial), di mana wakil-wakil
disesuaikan dengan kebutuhan koordinasi masyarakat madani memiliki keterlibatan langsung
kebijakan kehutanan. Kerugiannya, secara politis (Reuben, 2003). Tanggung gugat terdapat pada dua
akan menghadapi kesulitan, dan memerlukan tingkat, yaitu kepada instansi dan kepada diri sendiri.
biaya yang besar untuk membentuk sebuah Disatu pihak, para pejabat pemerintah membuat
instansi baru. Biaya yang diperlukan bisa ditekan, berbagai keputusan atas nama instansi mereka dan
jika instansi yang ada seperti Dinas Kehutanan instansi ini bertanggung gugat kepada instansi
dapat menyediakan staf yang handal dan biaya diatasnya. Di pihak lain, para pejabat tersebut juga

14
Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

melakukan kewajibannya untuk menjunjung tinggi yang tepat; dan sebaiknya bersifat konsisten atau
tanggung jawab mereka dan untuk mematuhi Undang- tidak berubah-ubah.
Undang. Sebagai individu, mereka juga bertanggung Pembahasan tentang bagaimana tanggung gugat
gugat (Turner dan Hulme, 1997), dan mungkin harus bisa diwujudkan terdapat dalam banyak referensi.
menghadapi berbagai kemungkinan sanksi atau Berbagai alternatif berikut difokuskan pada proses
hukuman dari lembaga peradilan apabila mereka untuk melakukan pengkajian dan perbaikan terhadap
menyalahgunakan wewenang dan tanggung keputusan-keputusan pemerintah. Alternatif-
jawabnya. alternatif di bawah ini berusaha untuk memasukkan
Fokus pembahasan berikut adalah tanggung gugat banyak aspek tanggung gugat yang telah dibahas
kelembagaan atau administratif, yaitu bagaimana sebelumnya, termasuk aspek-aspek horisontal,
suatu Perda mengatur cara Pemda melakukan vertikal, politik, organisasi dan legal. Yang pertama
pekerjaan mereka atau melangsungkan fungsi berkaitan dengan standar pengkajian. Di sini terdapat
pengaturan masyarakat, untuk memastikan bahwa banyak standar yang digunakan untuk melakukan
yang mereka lakukan itu konsisten dengan Undang- pengkajian terhadap suatu Perda. Misalnya apakah
Undang (Pope, 2000). (Namun harus diingat bahwa Perda itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang
rendahnya tingkat tanggung gugat kepada diri sendiri yang berlaku, apakah sifatnya sewenang-wenang,
mungkin merupakan masalah yang lebih besar di mendadak atau dibuat tergesa-gesa, apakah telah
Indonesia). Tanggung gugat administratif di tingkat didukung oleh fakta yang lebih dari cukup, dll. Untuk
daerah sangat penting untuk memberantas korupsi tahap pertama dalam penyusunan Perda, harus
yang merajalela secara keseluruhan. Namun, yang terdapat dua standar yang sangat sederhana, yaitu
terpenting adalah bagaimana mengatasi masalah standar legalitas—yang membuktikan bahwa Perda
pengambilan keputusan yang sering menghadapi tersebut telah sesuai dengan semua Undang-Undang
kendala keterbatasan pengetahuan hukum dan fakta, yang berlaku; dan standar faktual—yang menunjukkan
yang kelihatannya tidak begitu penting, namun bahwa pembuatan suatu Perda telah didukung oleh
sebenarnya juga sama pentingnya. semua fakta yang layak dipertimbangkan (tidak
Proses pengambilan keputusan di tingkat Pemda menjadi soal apakah instansi yang menyusun Perda
terlalu sering dilakukan secara lisan. Misalnya, itu mengetahui fakta-fakta tersebut atau tidak pada
pernyataan seorang pejabat pemerintah yang tidak saat Perda itu disusun).
didukung oleh surat keputusan resmi—Undang-
Undang, peraturan atau keputusan— bisa bersifat Alternatif A: Kajian administratif: Kajian ini
menentukan. Selain itu, karena banyaknya Perda yang melibatkan kemampuan sebuah lembaga
sering melibatkan bukan saja Pemda kabupaten, administratif untuk mengkaji sebuah Perda,
tetapi juga instansi yang mewakili Pemda provinsi misalnya, melalui sebuah lembaga eksekutif
dan Pemerintah Pusat, maka secara umum tidak ada pemerintahan seperti kantor Bupati. Idealnya,
satupun instansi yang mau bertanggung jawab untuk proses ini paling sedikit dilaksanakan dalam dua
mengambil keputusan secara keseluruhan. Misalnya, tahap, yaitu pengkajian oleh instansi atau
izin-izin IPPK yang ditandatangani oleh Bupati departemen yang menyusun Perda itu sendiri; dan
Malinau, didasarkan pada perkiraan ukuran dan jenis pengkajian oleh tim independen yang memiliki
pohon yang dibuat oleh Dinas Kehutanan Kabupaten kewenangan lebih tinggi, namun tidak ada
Malinau, dan kantor Bupati menolak bertanggung hubungannya dengan institusi pembuat Perda.
jawab atas berbagai kesalahan yang mungkin terjadi Instansi ini bisa saja berupa sebuah tim yang
(Gurodaboro kom.pri 2001). bertanggung jawab langsung kepada Bupati atau
Tanggung gugat administratif memerlukan empat bahkan mungkin sebuah institusi pemerintah yang
komponen, yaitu (1) keputusan yang dibuat; (2) ditunjuk di tingkat propinsi. Hanya dengan
instansi tunggal yang berwenang—kepala instansi atau kewenangan independen yang lebih tinggi akan
kepala pemerintahan—yang bertanggung jawab dihasilkan kajian yang obyektif, dan hasil
terhadap keputusan tersebut; (3) terdapat peluang keputusan evaluasinya tidak memihak.
untuk mengkaji keputusan tersebut, Keuntungan alternatif ini, jika dibandingkan
mempertimbangkan kembali, naik banding; dan (4) dengan pengkajian yudisial, adalah bisa lebih
didasarkan pada penelaahan atau pertimbangan fleksibel dan lebih cepat. Dan yang lebih penting
kembali, harus ada kemampuan untuk mengubah atau lagi, kajian ini bisa dilaksanakan oleh instansi
mencabut kembali keputusan tersebut. Keempat pemerintah yang lebih dikenal oleh masyarakat.
komponen ini didasarkan pada berbagai pokok
peraturan administratif hukum (Aman dan Mayton, Alternatif B: Pengkajian yudisial: Pengkajian
2001). Berbagai tindakan yang diambil harus didukung yudisial merupakan cara yang cukup umum untuk
oleh keputusan resmi yang menyatakan wewenang melakukan pengkajian Perda, tetapi jarang
pihak yang mengambil keputusan tersebut; digunakan dan sering diwarnai oleh korupsi. Agar
keputusan-keputusan ini harus diambil pada waktu pengkajian yudisial bisa menjadi alternatif yang

15
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

dapat dijalankan, Pemda harus berusaha berupaya menegakkan peraturan-peraturan di


membuka akses yang setara bagi masyarakat, tingkat nasional. Kelompok semacam ini juga bisa
artinya dengan melakukan penyuluhan yang dibentuk di tingkat daerah. Idealnya, menurut
intensif, perwakilan yang bebas, dan berbagai Undang-Undang, pemerintah melalui instansi-
proses yang disederhanakan untuk melaksanakan instansinya harus memberikan tanggapan
peradilan. Beberapa kelompok LSM dan proyek- terhadap berbagai komentar dan tuntutan yang
proyek bantuan luar negeri telah mulai berupaya disampaikan oleh kelompok-kelompok pengawas
melakukan reformasi di bidang peradilan, tetapi seperti ini.
indikasi awal menunjukkan bahwa tingkat
pemahaman tentang pelaksanaan pengadilan E. Kejelasan
masih sangat rendah (Ipo Kre kom.pri 2001). Kejelasan merupakan prasyarat agar Perda dipatuhi
semua orang. Jika masyarakat harus mematuhi
Alternatif C: Kajian Legislatif: Badan legislatif sebuah peraturan, selain peraturan itu harus diterima
di tingkat kabupaten (DPRD) bisa menciptakan oleh masyarakat, maka peraturan tersebut harus jelas
mekanisme pengkajian Perda berdasarkan dan bisa dipahami (Seidman, 2001; Botchway, 2001).
Undang-Undang. Hal ini dapat dilakukan melalui Bagaimanapun patuhnya masyarakat, apabila
dengar pendapat dan hak untuk meneliti peraturannya sendiri kurang jelas, maka tidak akan
kebenaran yang dimilikinya. Menurut Pasal 18 dan bisa dipatuhi. Adanya kejelasan membuat masyarakat
19 Undang-Undang 22/1999, DPRD memiliki mengetahui isinya dan memahami kewajiban yang
wewenang dalam menyelesaikan masalah- harus dipenuhinya.
masalah administratif dan melakukan Kejelasan dapat dilihat dari bagaimana cara Perda
pengawasan. Karena itu DPRD dapat berperan itu disusun dan dipublikasikan. Dokumen legal sering
lebih banyak untuk menjamin pelaksanaan ditulis dengan kata-kata dan istilah yang kurang dapat
tanggung gugat dibandingkan peran yang sama dipahami oleh masyarakat umum dan sering bermakna
mereka lakukan di masa lalu. ganda. Kadang-kadang hal ini disengaja, tetapi yang
lebih sering terjadi, penyebabnya adalah cara
Alternatif D: Pembentukan sebuah dewan atau penulisan yang sulit dimengerti orang awam. Meskipun
instansi independen. Sebuah Perda dapat disusun mungkin tidak ada alternatif lain yang dapat
dan digunakan untuk membentuk suatu badan menggantikan ketrampilan menulis Perda dengan baik,
otonom yang independen yang bertanggung jawab tetapi ada beberapa cara yang dapat menjelaskan
untuk mengawasi, mengkaji dan menertibkan peraturan melalui penjelasan tambahan.
instansi-instansi pemerintah dan para pegawai
negeri sipil. Meskipun dewan otonom ini masih Alternatif A: Aturan Penjelasan. Cara seperti ini
merupakan bagian dari Pemda, namun karena sudah banyak sekali dilakukan dalam rancangan
sifatnya yang independen akan memberikan peraturan di Indonesia. Hampir setiap naskah
kesempatan kepadanya untuk menjadi lebih kritis Undang-Undang dan peraturan di tingkat nasional
terhadap instansi-instansi Pemda yang lain dan dan daerah selalu dilengkapi dengan aturan
bahkan terhadap Bupatinya sendiri. Kunci penjelasannya, yang menguraikan riwayat dan arti
keberhasilan badan otonom ini terletak pada masa pasal-pasal tertentu dari Undang-Undang dan
jabatan anggotanya yang terbatas, dan mereka peraturan yang dimaksud. Perda juga akan sangat
tidak boleh dikeluarkan karena permintaan suatu baik jika menyertakan penjelasannya secara
instansi tertentu. teratur. Selain itu, berbagai penjelasan perlu ditulis
dengan lebih gamblang. Seringkali, aturan
Alternatif E: Pembentukan kelompok pengawas penjelasan ini ditulis secara tergesa-gesa setelah
dari masyarakat atau lembaga pedesaan lainnya. sebagian besar dari naskah Perda selesai dirancang
Melalui suatu Perda, sebuah lembaga non- dan siap untuk disahkan. Waktu atau perhatian
pemerintah dapat dibentuk untuk memantau dan yang diberikan untuk menguraikan berbagai
mengawasi pelaksanaan Perda oleh instansi- penjelasan terhadap ketetapan yang bermakna
instansi dalam lingkup Pemda. Lembaga non- ganda hanya sedikit sekali. Seharusnya, penjelasan
pemerintah ini bisa berbentuk lembaga-lembaga itu ditulis secara bersamaan dengan rancangan
swadaya masyarakat (LSM) atau atau bisa juga peraturan yang dibuat.
kelompok semacam KADIN untuk tingkat desa. Bisa
juga lembaga-lembaga kemasyarakatan di desa, Alternatif B: Penjelasan kepada masyarakat dan
dengan wewenang untuk mengajukan petisi dan penerbitan buletin. Kepala pemerintahan, seperti
mencari keadilan atas berbagai ketidakpuasan Bupati atau Gubernur, dapat mengeluarkan
masyarakat (Bennett, 2001). Kelompok-kelompok sebuah keterangan lengkap yang menyertai
seperti ini sebenarnya sudah ada, misalnya sebuah Perda, untuk memberikan ikhtisar Perda
Gabungan Pengamat Polisi-Gamatpol) yang dan persyaratannya secara lebih sederhana dan

16
Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

lebih komprehensif dibandingkan aturan sosial-ekonominya. Hal ini dapat dilakukan melalui
penjelasannya. Buletin-buletin tentang kemajuan proses tertentu atau bisa merupakan bagian dari
yang dicapai selama penerapan Perda juga bisa proses partisipasi masyarakat. Cara apa pun yang
tetap diterbitkan dan disebarkan secara berkala. akan ditempuh, diperlukan adanya peluang untuk
melakukan kajian ilmiah dan masukan dari para pakar
Alternatif C: Pertemuan-pertemuan publik. akademisi.
Pertemuan-pertemuan publik yang dilakukan saat
ini sebenarnya menjalankan fungsi ‘sosialisasi’. Alternatif A: Tenaga ilmiah yang profesional. Jika
Pertemuan semacam ini pada dasarnya merupakan Pemda memiliki tenaga yang cukup
bentuk penjelasan tentang isi suatu Perda dan berpengalaman, maka kajian ilmiah terhadap
tujuan apa yang akan dicapainya. Pertemuan publik Perda baru dan berbagai kegiatan dapat dilakukan
biasanya berlangsung sebelum pengesahan sebuah secara internal. Sebaiknya ada dokumen publik
Perda, sebagai pengganti proses konsultasi. yang dipublikasikan untuk menunjukkan bahwa
Sosialisasi terjadi setelah suatu peraturan kajian tersebut telah dilaksanakan.
disahkan, sebagai bentuk komunikasi tambahan.
Pertemuan-pertemuan tersebut bisa berlangsung Alternatif B: Tim masyarakat. Jika Pemda tidak
di berbagai tempat yang berbeda sehingga bisa memiliki personil yang memadai, atau meskipun
sampai kepada masyarakat yang akan paling memilikinya, namun menginginkan bantuan
terkena peraturan, khususnya jika anggaran yang eksternal, maka sebuah tim beranggotakan warga
tersedia bagi pemerintah merupakan kendala. masyarakat secara formal dapat dibentuk. Tugas
tim adalah melakukan kajian dan membuat
Alternatif D: Rekaman-rekaman radio/DVD. rekomendasi untuk Pemda kabupaten.
Selain penggunaan siaran-siaran radio seperti yang
dibahas sebelumnya, penjelasan Perda juga bisa Alternatif C: Panduan pemerintah. Jika instansi
dibuat dalam digital video disks (DVD). Komunitas pemerintah provinsi atau pemerintah pusat
masyarakat yang tinggal di daerah-daerah memiliki pengalaman yang lebih luas, mereka
terpencil dan tidak terjangkau siaran televisi dan dapat mempersiapkan dan menerbitkan buku
radio, sering bergantung pada peralatan DVD panduan untuk membantu Pemda membuat
untuk memperoleh hiburan. Pembuatan dan berbagai Perda yang baik secara ilmiah. Namun
sirkulasi DVD yang membahas berbagai isu kegunaan dokumen seperti ini terbatas. Buku-
kebijakan publik bisa menjadi cara-cara yang buku panduan sering bersifat umum, tanpa rincian
sangat murah dan efisien untuk menyampaikan yang memadai tentang bagaimana menyusun
Perda kepada masyarakat. Perda. Tanpa panduan yang rinci dan instruksi
langsung, para pejabat Pemda mungkin tidak
F. Validitas ilmiah dan berbagai dapat menggunakan buku-buku panduan tersebut
pertimbangan sosial ekonomi secara efektif.
Perda apa pun yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya alam harus dibuat berdasarkan hasil Alternatif D: Pengkajian secara ad-hoc.
temuan ilmiah apabila diharapkan dapat membantu Pengkajian secara ad-hoc akan mengharuskan
pengelolaan sumber daya alam secara efektif dan Pemda untuk membentuk tim ad-hoc yang akan
lestari. Para ilmuwan akan sependapat dengan bekerja dalam waktu pendek untuk membahas
penggunaan dasar-dasar ilmiah yang sesuai— Perda tertentu. Dengan cara seperti ini, Pemda
pengelolaan yang berbasiskan ekosistem, pengelolaan akan memperoleh masukan dari para pakar tanpa
adaptif, pemantauan dan evaluasi, dll. —tetapi Pemda harus mengeluarkan biaya untuk menggaji
dan para pengelola lapangan sering tidak mengetahui pegawai tetap. Instansi-instansi pemerintah
hal-hal tersebut atau cara melaksanakannya. Selain propinsi atau pemerintah pusat dapat menugaskan
itu, secara universal juga disepakati bahwa jika upaya tim seperti ini secara bergiliran di beberapa
untuk melakukan konservasi sumber daya alam ingin kabupaten, atau suatu tim ad-hoc dapat
berhasil, maka aspek-aspek ekonomi dan sosial yang bergabung dalam LSM atau wadah lainnya
ada di seputar sumber daya tersebut dan masyarakat berdasarkan kasus per kasus.
yang memanfaatkannya juga perlu diperhitungkan
(Borrini-Feyerabend, 1997). Alternatif E: Pengkajian jarak jauh. Dialog dan
Pertanyaan kuncinya adalah bagaimana Pemda pengkajian oleh para ilmuwan dapat dilakukan
bisa bekerja sama dengan para ilmuwan dan dari jarak jauh dengan menggunakan radio,
akademisi sehingga validitas ilmiah dan pengkajian faksimili, telepon, dan internet. Meskipun
sosial-ekonomi dalam Perda dapat ditingkatkan? penggunaan alat elektronik ini mungkin
Jawabannya, harus ada persyaratan bahwa Perda menimbulkan resiko logistik, namun komunikasi
tersebut perlu dikaji secara ilmiah, termasuk aspek jarak jauh tidak memerlukan biaya tinggi, dan

17
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

merupakan cara yang efisien untuk melakukan bergantung pada kebutuhan dana tahunan untuk
analisa ilmiah apabila Pemda setempat tidak mendanai konservasi hutan dalam setiap tahun
memiliki ilmuwan yang memadai. Sebelum anggaran. Pendekatan ini tidak menjamin
dilakukan pengkajian, sebuah tim Pemda mungkin tersedianya dana yang berkelanjutan dari tahun
dapat ditugaskan untuk mengumpulkan data yang ke tahun.
diperlukan guna dianalisis dalam persiapan
pengkajian jarak jauh. H. Kepastian hukum
Kepastian hukum pada hakekatnya merupakan inti
G. Keberlanjutan sistem anggaran masalah dalam tata kelola yang baik dan supremasi
Sistem anggaran yang berkelanjutan merupakan hukum. Kepastian hukum dibutuhkan sebagai bagian
jaminan tersedianya dana yang memadai untuk terpenting dari proses maupun substansi Perda.
mengimplementasikan Perda. Namun kebanyakan Misalnya, masyarakat perlu mengetahui bagaimana
Pemda mengalokasikan sebagian besar dananya untuk Perda disusun—Perda-perda apa saja yang sudah
berbagai kegiatan operasional dan administrasi—gaji, berlaku dan kapan, Perda mana yang menggantikan
dana pensiun, biaya-biaya pengeluaran kantor, dll. Perda lainnya, dll. Masyarakat juga perlu mengetahui
Hanya sedikit sekali anggaran yang dialokasikan untuk bagaimana Perda-perda tersebut dilaksanakan—apa
biaya-biaya yang sifatnya penyusunan program dan arti dan tujuannya, kriteria mana yang mengatur
rencana pembangunan, kecuali jika tersedia sumber tindakan tertentu, dll. Kepastian hukum pada
pendapatan khusus. Keterbatasan kemampuan dasarnya sangat penting untuk mencapai sistem
finansial seperti inilah yang menjadi salah satu alasan pemerintahan yang efisien dan berkeadilan.
utama lemahnya penegakan hukum di Indonesia (ADB, Perencanaan ekonomi dan investasi membutuhkan
2002b). kepastian. Misalnya, Gubernur Kalimantan Timur
Undang-Undang 25/1999 telah mengatur menyusun Perda No. 20/2000, yang mewajibkan HPH
perimbangan alokasi dana anggaran yang berkaitan untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 1.500,00 per
dengan sumber daya hutan secara langsung untuk meter kubik kayu kepada masyarakat pemilik lahan
Pemda. Oleh karena itu, dana untuk melakukan yang kayunya ditebang. Upaya untuk mengumpulkan
beberapa pilihan alternatif kegiatan baru telah pungutan dari HPH yang sudah tidak beroperasi lagi
tersedia. menimbulkan banyak sekali kebingungan. Peraturan
pembayaran ganti rugi tidak menciptakan kepastian
Alternatif A: Penentuan Dana Reboisasi regional. hukum. Konservasi lingkungan juga memerlukan
Seperti halnya pemerintah pusat yang memungut kepastian hukum. Misalnya, para pengusaha HPH yang
Dana Reboisasi, Pemda Provinsi atau Kabupaten sebelumnya mematuhi peraturan-peraturan
juga dapat menentukan Dana Reboisasinya sendiri pemerintah pusat tentang tebang pilih, tidak lagi
untuk program konservasi hutan. Masing-masing memiliki insentif untuk melakukan hal ini ketika
Pemda dapat menentukan persentase tertentu Pemda mengeluarkan IPPK yang mengizinkan kegiatan
dari penghasilan yang diperoleh dari kegiatan tebang habis di lahan-lahan konsesi mereka.
kehutanan untuk diinvestasikan kembali dalam Masyarakat yang tidak memiliki kepastian atas
kegiatan pengelolaan dan konservasi sumber daya kepemilikan lahan mereka juga tidak akan mau
alam. Keuntungan dari cara ini adalah adanya melakukan konservasi di lahan tersebut dalam jangka
jaminan sumber dana dari kelompok yang panjang (Lynch, 2001; Smith dan Martin, 2000).
menggunakan sumber daya hutan untuk tujuan Keadilan sosial juga memerlukan adanya
konservasi, sesuai prinsip siapa yang memakai, kepastian hukum. Misalnya, masyarakat yang sumber
merekalah yang harus membayar. dayanya terbatas tidak memiliki sarana untuk ikut
mempengaruhi dan mengikuti perubahan sistem
Alternatif B: Dana khusus dialokasikan dari hukum. Adanya kepentingan tertentu dan politik uang
anggaran umum. Jika karena satu dan lain hal seringkali mendorong perubahan-perubahan legislatif
Pemda tidak mau mendanai program konservasi dengan cepat dan tanpa memberikan peringatan
dengan biaya hasil pungutan kegiatan kepada tujuan-tujuan mereka sendiri. Suatu sistem
penebangan, maka dana program konservasi hukum yang didasarkan pada kepastian tidak akan
diambil dari anggaran umum. Pada hakekatnya mudah terpengaruh oleh dorongan perubahan seperti
ini akan menunjukkan bahwa seluruh masyarakat ini.
sama-sama menanggung biaya pengelolaan hutan, Kepastian hukum harus seimbang dengan
bukan hanya para pengguna hasil hutan saja. fleksibilitas—peningkatan suatu kualitas tertentu
akan mengorbankan kualitas lainnya. Apakah Pemda
Alternatif C: Penggunaan sistem anggaran akan memprioritaskan kepastian hukum dibandingkan
tahunan. Alternatif ini tidak akan berusaha fleksibilitas atau sebaliknya, perlu didasarkan pada
mencari jaminan dana konservasi dari sumber kondisi-kondisi tertentu dan masalah yang sedang
mana pun. Sebaliknya, alternatif ini hanya dihadapi. Beberapa alternatif dapat dipilih dengan

18
Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

memperhatikan proses penyusunan Perdanya dan menyebabkan pemahaman terhadap Perda


pelaksanaan Perda itu sendiri (substansi): menjadi sangat sulit, karena tidak ada panduan
yang menjelaskan mana yang bertentangan dan
Kepastian dalam proses penyusunan Perda mana yang tidak. Pemda harus lebih berupaya
Alternatif A: Mencantumkan masa berlakunya untuk memastikan bahwa kalimat seperti ini
Perda. Alternatif ini mengharuskan sebuah Perda hanya digunakan apabila terpaksa, dalam kondisi-
diberlakukan dalam batas waktu tertentu, atau kondisi yang sangat khusus dan terbatas.
jelas masa berlakunya. Dengan melakukan hal ini
akan menjadi jelas kapan sebuah Perda perlu Kepastian dalam implementasi Perda
diganti dan ditentukan jadwalnya untuk Alternatif A: Membuat persyaratan-persyaratan
melakukan penggantian ini. Karena itu, semua untuk melaksanakan kegiatan secara langsung
pihak yang berkepentingan akan mengetahui yang disebut dalam Perda. Kebanyakan peraturan
kapan sebuah Perda dipertimbangkan kembali yang berlaku di semua tingkat pemerintahan di
untuk direvisi, sehingga mereka dapat membuat Indonesia hanya menyampaikan panduan kriteria
rencana. Keuntungan dibuatnya batas waktu ini yang sangat umum, dan kemudian menyerahkan
adalah untuk memacu dilakukannya perbaikan pelaksanaannya kepada lembaga eksekutif.
untuk meningkatkan kualitas Perda dari waktu ke Akibatnya, pelaksanaan peraturan menjadi tidak
waktu; namun kerugiannya adalah menghabiskan konsisten pada saat para pimpinan lembaga
waktu dan tenaga, karena proses legislatif perlu eksekutif diganti atau pada saat kebutuhan politik
diulangi secara berkala. mereka berubah. Daripada menyerahkan aturan
pelaksanaan yang rinci kepada lembaga eksekutif,
Alternatif B: Mencantumkan waktu pengkajian peraturan itu sendiri harus bisa menjelaskannya.
dalam Perda. Alasan untuk menentukan waktu
pengkajian mirip dengan penetapan batas waktu Alternatif B: Membuat penjelasan yang lengkap
di atas. Tetapi alternatif ini sebenarnya untuk keputusan administratif. Meskipun lembaga
dimaksudkan untuk tidak membiarkan sebuah eksekutif membuat sebagian besar persyaratan
Perda habis masa berlakunya tanpa ada melalui keputusan-keputusannya, masih
pengkajian; alternatif ini menghendaki memungkinkan di dalam Perda untuk menjelaskan
diberikannya kesempatan untuk mengkaji sebuah bagaimana keputusan-keputusan tersebut
Perda dan membuat rekomendasi perubahan. sebaiknya dibuat.
Kerugiannya adalah tidak ada persyaratan bahwa
Perda tersebut benar-benar akan diubah meskipun Alternatif C: Menetapkan mata rantai wewenang
hasil kajian merekomendasikannya. untuk keputusan-keputusan administratif.
Kepastian hukum sering mengalami masa-masa
Alternatif C: Memberlakukan sebuah Perda yang sulit hanya karena tidak ada yang tahu siapa yang
memayungi proses penyusunan Perda lainnya. bertanggung jawab untuk melaksanakan
Dengan membuat sebuah Perda yang memayungi keputusan-keputusan setelah sebuah Perda
Perda lainnya, maka akan tercipta proses yang disusun. Setiap Perda perlu mencantumkan
seragam untuk mengevaluasi, meninjau ulang, peranan DPRD, Bupati, dan Camat. Dalam hal
dan mengubah Perda-perda lainnya. Dengan Perda tersebut melibatkan masyarakat adat, maka
alternatif ini, kriteria dapat disusun untuk para pemuka adat dan kelompok-kelompok adat
menentukan kapan sebuah Perda bisa dikaji, dan juga perlu ditentukan peranannya.
bagaimana amandemennya dapat dibuat. Selain
itu, juga dapat diciptakan mekanisme koordinasi I. Fleksibilitas administratif
dalam membuat keputusan, baik di bidang Fleksibilitas sering terjadi pada saat diperlukannya
legislatif maupun administratif pemerintahan. suatu pertimbangan khusus untuk mengatur sesuatu.
Pertimbangan khusus ini bisa digunakan oleh instansi
Alternatif D: Mengurangi penggunaan istilah pemerintah baik secara positif maupun negatif.
‘pencabutan tidak langsung’. Suatu Perda baru Dalam hal-hal tertentu, pertimbangan khusus penting
tentu mempunyai hubungan dengan Perda digunakan untuk sebuah Perda karena tidak ada
sebelumnya—mungkin Perda baru ini satupun peraturan yang secara efektif dapat
menggantikannya, memodifikasi, atau memperkirakan semua kejadian atau kenyataan yang
mengamandemen Perda lama. Konvensi standar perlu diselesaikan di lapangan (Botchway, 2001).
peraturan perundangan yang dibuat di Indonesia Namun di lain pihak, pertimbangan khusus yang
biasanya menyebutkan bahwa semua peraturan terlalu sering digunakan bisa menyebabkan
yang ada tetap berlaku, kecuali jika bertentangan kesewenang-wenangan, korupsi, dan sulit diprediksi.
dengan peraturan baru tersebut. Kalimat seperti Tidak seperti kepastian hukum yang perlu diuraikan
ini merupakan “pencabutan tidak langsung” dan secara jelas dalam Perda, pertimbangan khusus bisa

19
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

bersifat eksplisit atau implisit. Misalnya, jika sebuah Alternatif A: Membolehkan untuk menguraikan
Perda tidak secara langsung menyinggung masalah secara rinci hal-hal yang dituangkan dalam
tertentu, maka artinya instansi pelaksana mempunyai Keputusan Bupati atau Keputusan Gubernur atau
pertimbangan khusus untuk melakukan suatu keputusan administratif lainnya. Hal seperti ini
tindakan tertentu sesuai dengan caranya sendiri. sudah sangat terbiasa dilakukan di Indonesia dan
Pertimbangan khusus bersifat sangat umum dan telah menjadi patokan dalam pembuatan
mempunyai kepastian hukum yang kuat, yang bisa peraturan selama bertahun-tahun. Umumnya,
dengan cepat membuat kesewenangan dalam sebuah peraturan menyertakan penjelasan yang
pengambilan keputusan. Jika Perda memiliki rinci untuk ditetapkan dalam suatu keputusan
beberapa standar atau kriteria, atau memungkinkan administratif. Namun, peraturan sering tidak
Bupati membuat keputusan akhir, maka pertimbangan menyatakannya lebih jauh dari itu. Malahan
khusus ini akan menjadi lebih terbatas. peraturan dapat menyertakan beberapa rincian
Pertimbangan khusus yang terbatas bermanfaat dasar atau subyek yang harus ditanggulangi dalam
untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, keputusan administratif. Selain itu, peraturan
memungkinkan penerapan Perda yang lebih tepat, tersebut juga dapat menyertakan berbagai proses
adil dan berlaku untuk semua kondisi individu. yang harus ditempuh oleh Pemda dalam menyusun
Penerapan Perda dengan cara yang sama untuk semua Perda untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip
keadaan bisa berujung kepada ketidakadilan dan tata kelola yang baik tidak hanya diterapkan di
tidak efisien. Kedua, mengurangi berbagai bidang legislatif, tetapi juga di bidang
kesenjangan dalam peraturan. Perda tidak bisa administratif.
mengantisipasi setiap kejadian atau keadaan.
Pertimbangan khusus dapat digunakan untuk Alternatif B: Memasukkan standar-standar dan
menjalankan sebuah Perda dalam berbagai situasi kriteria di dalam Perda untuk pembuatan
berbeda dengan cara yang berbeda pula. Ketiga, keputusan administratif. Alternatif ini
meningkatkan efisiensi dalam sistem hukum. memungkinkan Bupati atau Gubernur untuk
Daripada menyusun Perda-perda baru—yang membuat keputusan yang berdasarkan parameter
membuang waktu dan proses yang tidak mudah—, atau kriteria tertentu. Misalnya, izin-izin yang
pertimbangan khusus lebih baik digunakan untuk dikeluarkan oleh Bupati atau Gubernur harus
mengatasi situasi yang sangat beragam dengan sesuai dengan kriteria dan standar yang telah
peraturan yang sudah ada. ditetapkan di dalam Perda tersebut, dan harus
didukung oleh dokumentasi yang memadai.

20
V. Mekanisme Penyusunan Peraturan
Daerah Tentang Kehutanan

A. Proses Umum
Setelah Pemda memahami dengan baik prinsip- merancang Perda —pertanyaan-pertanyaan ini harus
prinsip dasar untuk membuat peraturan dijawab dalam analisis lingkup dan kajian kebutuhan,
perundangan, selanjutnya mereka perlu mulai dan dibahas dalam laporan penelitian. Rencana untuk
mengembangkan kerangka kerja dan mulai menjawab tiga pertanyaan terakhir juga harus
melakukan penyusunan Perda. Perumusan sebuah tertuang dalam laporan penelitian tersebut.
Perda dapat dipandang sebagai latihan untuk Pada umumnya, penyusunan Perda baru harus
memecahkan masalah secara rasional (Seidman dkk., mencakup tujuh langkah sebagai berikut.
2001). Seperti halnya dalam pemecahan masalah apa
pun, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah 1. Pengkajian kebutuhan/identifikasi masalah.
mengidentifikasi permasalahannya dahulu; kemudian Pengkajian dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengidentifikasi dan menganalisa kemungkinan merumuskan, menetapkan, dan menentukan prioritas
penyelesaiannya untuk mengatasi masalah tersebut. masalah yang dihadapi dalam pengelolaan hutan,
Jika setelah melihat berbagai pertimbangan akhirnya yang mempengaruhi semua pihak yang
diputuskan untuk menyusun sebuah Perda baru, maka berkepentingan. Berbagai pihak yang berkepentingan
langkah-langkah berikut ini dapat dilakukan. dengan hutan akan menghadapi masalah yang
The Organisation for Economic Cooperation and berbeda. Para pemegang HPH akan lebih peduli
Development (OECD) membuat 10 pertanyaan yang terhadap berbagai aturan yang membebaninya dan
harus dijawab Pemda sebelum memutuskan untuk biaya-biaya ekonomi yang terkait dengan kewajiban
menyusun Perda baru, yaitu. pengelolaan hutan; masyarakat lebih tertarik dengan
hak-hak kepemilikan dan pemanfaatan lahan; LSM
1. Apakah permasalahannya telah terdefinisikan akan peduli dengan masalah-masalah konservasi dan
dengan jelas? kelestarian hutan. Tahap ini juga mencakup
2. Apakah tindakan pemerintah dapat dijadikan penentuan prioritas dan kelayakan, seperti
dasar pembenaran? penentuan bentuk dan lingkup peraturan apa yang
3. Apakah penyusunan Perda merupakan tindakan paling mendesak, dan langkah apa yang paling efisien
terbaik yang dapat dilakukan pemerintah? bisa dilakukan.
4. Apakah tindakan tersebut ada dasar hukumnya?
5. Pada tingkat pemerintahan yang mana yang 2. Identifikasi legalitas Perda. Analisis mengenai
tindakan ini paling sesuai? infrastruktur hukum dan kemampuan Pemda adalah
6. Apakah penyusunan Perda baru lebih besar langkah kedua dalam penyusunan Perda. Langkah ini
manfaatnya dibandingkan biaya yang harus meliputi inventarisasi peraturan hukum dan
dikeluarkan untuk membuatnya? perundang-undangan yang ada dan evaluasi
7. Apakah Perda ini dampaknya secara transparan ketrampilan pegawai Pemda di bidang hukum.
merata untuk seluruh pihak yang terkait? Kegiatan ini juga meliputi evaluasi pelaksanaan dan
8. Apakah Perda tersebut telah jelas, konsisten, penegakan hukum yang ada saat ini. Seringkali,
dapat dipahami, dan bisa diakses oleh semua masalah yang dihadapi mungkin dapat diatasi dengan
pihak terkait? melakukan penegakan peraturan yang ada, dan tidak
9. Apakah semua pihak yang berkepentingan dengan menyusun Perda baru. Pemahaman terhadap
mempunyai kesempatan memberikan pandangan- landasan hukum yang ada sekarang merupakan
pandangan mereka? langkah pertama untuk mengembangkan sebuah
10.Bagaimana agar peraturan yang dibuat dapat kerangka kerja hukum yang baru. Keinginan dan
dipatuhi dan tujuan penyusunan Perda dapat kebutuhan untuk menyusun Perda memerlukan suatu
tercapai? pengkajian.

Semua pertanyaan tersebut, kecuali tiga yang 3. Persiapan laporan penelitian. Laporan resmi yang
terakhir, perlu dijawab terlebih dahulu sebelum menguraikan ringkasan hasil analisa kebutuhan dan
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

pertimbangan-pertimbangan hukum perlu disiapkan yang diadakan di berbagai desa. Selain itu,
sebagai landasan untuk merancang Perda baru. serangkaian pertemuan dengan pihak yang
Laporan penelitian pada dasarnya mengupas alasan- berkepentingan perlu diadakan secara terpisah.
alasan untuk menyusun Perda baru, tujuan Perda, Pertemuan tersebut menyertakan para pejabat
cakupan serta isi Perda, dan proses yang akan pemerintahan di tingkat provinsi dan pusat dan para
dilakukan untuk menyusun Perda tersebut. Laporan pejabat Pemda kabupaten yang berdekatan, wakil-
ini disusun oleh sebuah tim yang beranggotakan para wakil dari LSM baik dari kelompok-kelompok
pakar dari kalangan pemerintah dan non-pemerintah, konservasi dan kelompok-kelompok industri, serta
dan dibantu oleh tim penasihat atau konsultan. kalangan akademisi.
Partisipasi dan keterlibatan aktif dari masyarakat
dalam mempersiapkan laporan ini juga harus 6. Perbaikan rancangan Perda. Berdasarkan hasil
diusahakan; dengan kata lain, persiapan pembuatan kajian oleh masyarakat, rancangan Perda kemudian
laporan ini harus mematuhi prinsip-prinsip yang sama direvisi. Sebagai bagian dari proses ini, tim kerja
dengan persiapan penyusunan Perda itu sendiri. perlu menganalisa komentar-komentar yang diterima
dan menyiapkan laporan terpisah yang meringkas
4. Merancang Perda. Proses pembuatan rancangan komentar-komentar tersebut dan memberikan
Perda memerlukan beberapa langkah berikut. tanggapannya. Tanggapan ini harus menjelaskan
Pertama, sebuah tim kerja dibentuk untuk menyusun bagaimana rancangan Perda ini akan diubah untuk
rancangan Perda. Tim ini tidak harus besar, tetapi mengakomodasikan berbagai komentar serta
jumlahnya bisa bervariasi dari satu Pemda dengan memberikan alasan-alasan untuk perubahan yang
Pemda lainnya. Tim ini dipilih dari para pejabat akan dilakukan. Selain itu, tanggapan ini juga harus
Pemda dan kalangan akademisi, LSM dan tokoh-tokoh menjelaskan alasan-alasan mengapa rancangan Perda
masyarakat. Kelompok-kelompok pihak yang tersebut tidak dirubah bila memang tidak perlu
berkepentingan, kelompok konsultan, atau kelompok merubahnya.
penasihat, semuanya dapat memberikan komentar
dan saran kepada tim kerja tersebut. Kelompok- 7. Pengesahan rancangan Perda. Rancangan Perda
kelompok ini bekerja berdasarkan laporan penelitian kemudian dibahas dan dipertimbangkan
untuk membuat pokok-pokok dan kerangka kerja pengesahannya oleh DPRD. Pengesahan merupakan
dasar dari rancangan Perda tersebut. Kemudian, langkah terakhir dalam penyusunan Perda baru,
pokok-pokok isi rancangan Perda akan dijabarkan tetapi juga merupakan langkah awal dalam
lebih lanjut melalui serangkaian diskusi perumusan menerapkan Perda baru. Salah satu aspek terpenting
rancangan yang dilakukan oleh tim kerja. Disini agar Perda berhasil diterapkan adalah perlunya masa
penting melibatkan pejabat legislatif dan transisi sebelum Perda tersebut benar-benar
administratif sejak awal proses ini. Kebiasaan selama diterapkan. Perda baru tidak harus berlaku segera
ini adalah peraturan disusun melalui suatu proses setelah pengesahan; sebaliknya, harus ada tenggang
legislatif atau proses eksekutif, tanpa banyak waktu untuk awal masa berlakunya sehingga
melibatkan instansi lain sampai tahap penyelesaian. persiapan-persiapan yang memadai dapat dilakukan,
Kebiasaan ini menyulitkan dan menghambat proses termasuk kepedulian masyarakat atas persyaratan-
legislatif. Hubungan antara dua lembaga pemerintah persyaratan baru, dan pelatihan dan pendidikan
ini sangat kuat: yang satu membuat peraturan dan untuk instansi pelaksana dan para petugas yang
yang lain melaksanakannya. Karena itu koordinasi menjalankannya.
berbagai kebijakan oleh kedua lembaga ini harus
berlangsung sejak dari awal. B. Konsep Kerangka Kerja Peraturan
Perundangan
5. Kajian terhadap rancangan Perda oleh Untuk merancang peraturan perundangan yang
masyarakat. Proses konsultasi ini dilakukan agar berbeda untuk setiap keadaan, dapat dilakukan dua
terjadi aliran informasi dua arah: DPRD harus pendekatan umum. Yang pertama, Pemda dapat
memberitahu masyarakat tentang peraturan yang segera mulai menyusun Perda mengenai topik atau
diusulkannya dengan alasan-alasan, penilaian, dan sektor-sektor tertentu, dengan rincian penyelesaian
konsekuensi aturan tersebut; dan pada saat yang masalah untuk masing-masing sektor; dan yang
sama, masyarakat harus memberikan komentar dan kedua, penyusunan Perda dapat dimulai dengan
kepeduliannya kepada DPRD. Karena itu, kedua pihak membuat serangkaian aturan administratif umum,
ini memiliki tanggung jawab masing-masing. Kajian yang membentuk kerangka kerja kelembagaan untuk
oleh masyarakat dapat berlangsung dalam beberapa Perda sektoral berikutnya. Secara umum, makalah
tahap. Pertama, penyebaran informasi tentang ini merekomendasikan pendekatan yang kedua.
rancangan Perda ke desa-desa dan masyarakat di Memang lebih masuk akal untuk menyiapkan
kabupaten atau provinsi. Kemudian dilanjutkan oleh sebuah Perda yang berisikan kerangka aturan-aturan
serangkaian pertemuan terbuka dengan masyarakat dasar sebagai landasan, atau kerangka kerja untuk

22
Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

penyusunan Perda yang lainnya. Sebuah kerangka Beberapa hal yang tidak kalah pentingnya, namun
Perda akan menyebutkan tujuan-tujuan dasar, tidak termasuk dalam kerangka dasar Perda adalah:
berbagai prinsip, proses, dan standar untuk suatu tidak berusaha mengelola berbagai kegiatan dengan
bidang yang akan ditatakelolakan —seperti pengalaman pengetahuan yang sangat terbatas—
kehutanan. Kerangka kerja ini akan meletakkan pengelolaan seperti ini dapat ditampung dalam Perda
dasar-dasar mekanisme tata kelola, yaitu: lain. Di sebuah kabupaten yang kemampuannya tidak
menentukan agenda kegiatan; melakukan koordinasi; memadai atau pengalamannya sedikit, mungkin sulit
membentuk berbagai kelembagaan yang penting; untuk menyusun Perda yang sangat rinci dan teknis.
memastikan penyediaan dana yang diperlukan; dan Meskipun kabupaten tersebut berhasil dalam
mungkin menangani beberapa elemen substansi dasar menyusun Perda baru (seringkali melalui proyek
seperti pendidikan dan penyuluhan. Kerangka kerja bantuan luar negeri atau LSM internasional), Pemda
dapat juga mengatur jalannya proses untuk yang bersangkutan mungkin tidak memiliki cukup
memperoleh informasi dan penyebarluasannya, kemampuan untuk melaksanakan atau menegakkan
seperti Undang-Undang Kebebasan Pers, atau peraturan yang dibuatnya. Sebuah kerangka kerja
mungkin membuat mekanisme pengkajian Perda sebenarnya merupakan cara untuk
administratif dan tanggung gugat seperti Undang- mengembangkan kapasitas secara bertahap.
Undang Prosedur Administratif (Andreen, 2000). Pengembangan suatu peraturan mungkin memerlukan
Secara khusus, kerangka kerja untuk penyusunan waktu beberapa generasi: Perda ‘generasi pertama’
Perda yang efektif akan mencapai beberapa sasaran: membuat kerangka kerjanya, kemudian diikuti oleh
(1) menetapkan agenda pengelolaan sumber daya Perda ‘generasi kedua’ yang benar-benar membuat
alam termasuk tujuan, visi, dan prioritas kegiatan berbagai peraturan yang sesungguhnya.
konservasi dan pengelolaan sumber daya; (2) Karena sifatnya politis, sebuah kerangka kerja
menggariskan peran dan tanggung jawab masing- Perda memiliki beberapa keuntungan tambahan.
masing institusi yang ikut serta dalam pengelolaan Kerangka kerja ini tidak untuk mengatur para pihak
sumber daya alam (mungkin termasuk membuat atau yang berkepentingan secara berlebihan, sehingga
merubah institusi-institusi pemerintah dan LSM); (3) tidak ada satu pun pihak yang merasa ditinggalkan ,
membuat daftar kebutuhan informasi untuk berbagai dan akhirnya hanya akan menimbulkan perselisihan
inisiatif pengelolaan di masa mendatang; (4) dan mengurangi kegunaannya. Sebaliknya, kerangka
menjamin ketersediaan sumber dana untuk kerja seperti ini bermanfaat untuk meningkatkan
pengelolaan sumber daya alam; dan (5) jika jumlah konstituen untuk masalah tertentu, seperti
memungkinkan dan dapat dilaksanakan, membuat pentingnya meningkatkan pengelolaan sumber daya
beberapa program dan kegiatan sebagai agenda alam untuk kepentingan semua pihak. Masalah-
pengelolaan. masalah politis yang sulit, seperti peraturan-

Gambar 2. Menyusun Kerangka Kerja Peraturan Daerah (Perda)

Kerangka kerja
penyusunan Perda

Proses Institusi Informasi Pendanaan

Kerangka kerja pengambilan keputusan

Perda Perda Perda Perda Perda


Kehutanan Pertambangan Pariwisata Perikanan lainnya

23
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

peraturan khusus, dapat ditangani kemudian, setelah skenario yang kedua —lemahnya penegakan—yang
landasan politik dan masyarakat madani yang lebih sering terjadi. Karena itu, Perda-perda yang
berpendidikan terbentuk. lebih menekankan kewajiban dan nampak memiliki
kekuatan di atas kertas, dalam kenyataannya
C. Kerangka Hukum yang Bersifat seringkali lemah dan diabaikan di lapangan.
Sukarela dan Wajib Tipe Perda lainnya adalah yang didasarkan atas
Peraturan perundangan adalah sebuah perangkat insentif, yang berusaha untuk mendorong pola-pola
untuk membentuk berbagai pola perilaku. Peraturan perilaku tanpa memaksakannya. Perda ‘sukarela’
dapat berperan sebagai salah satu dari dua cara semacam ini tidak membutuhkan aparat
berikut: mendorong pola-pola perilaku tertentu, atau pemerintahan yang kuat. Namun dalam
mewajibkan untuk berperilaku seperti yang kenyataannya, Perda seperti ini relatif sering tidak
diinginkan. Sebuah Perda yang isinya preskriptif dipatuhi, karena insentif-insentif untuk
umumnya bersifat memerintah, dan membutuhkan mempertahankan status quo sering jauh lebih
aparat pemerintahan yang kuat untuk melaksanakan dipentingkan daripada insentif untuk mengikuti
dan menegakkannya. Sebaliknya, Perda yang program baru.
deskriptif merefleksikan pola-pola perilaku yang ada Pendekatan yang optimal adalah dengan
di masyarakat, dan tidak akan memaksa untuk menggabungkan kedua tipe aturan: sesuatu yang
mengubah perilaku; karena itu, tidak memerlukan didasarkan pada pola-pola perilaku deskriptif tetapi
aparat pemerintahan yang kuat. bergerak menuju ke sesuatu yang preskriptif. Tipe
Pada umumnya sebuah Perda berisi sejumlah Perda ini dapat dibuat berdasarkan model sukarela
aturan yang sifatnya wajib untuk ditaati oleh yang berbasis insentif. Insentif akan diberikan jika
masyarakat. Peraturan yang sifatnya memerintah syarat-syarat yang diperlukan dipenuhi—Pemda perlu
biasanya merupakan pemaksaan kemauan penguasa menyusun berbagai Perda dan program sesuai dengan
atas sekelompok masyarakat (Hart 1961). Peraturan standar dan petunjuk tertentu untuk memastikan
semacam ini bisa jadi atau tidak merefleksikan bahwa mereka akan mengikutinya dengan baik. Perda
kemauan kelompok masyarakat tersebut; dan seperti ini menghindari harapan-harapan yang tidak
mungkin atau tidak mungkin menunjukkan realistis, yang sering menyertai sebuah Perda yang
kemampuan golongan masyarakat tersebut. bersifat preskriptif, yang memerintahkan berbagai
Peraturan seperti ini sangat sulit ditegakkan, dan larangan dan persyaratan, dan kemungkinan
umumnya memerlukan investasi sumber daya yang penegakkannya sangat kecil. Perda yang berdasarkan
besar—manusia, dana, dan pelatihan—yang mungkin insentif dapat membangkitkan pola-pola perilaku
tidak dimiliki oleh Pemda. Jika Perda itu dengan arah tertentu tanpa perlu memaksakan pola-
merefleksikan kemauan masyarakat, atau jika Pemda pola perilaku tersebut. Memang benar, program
dapat menegakkan peraturan dengan baik, maka sukarela berbasis insentif seperti ini memiliki banyak
Perda ini akan berhasil. Namun, jika Perda tersebut keterbatasan. Perilaku mungkin tidak berubah karena
tidak merefleksikan kemauan masyarakat, atau jika perubahan tidak diperlukan. Namun, pendekatan ini
Perda tersebut tidak menunjukkan kemampuan tetap lebih menjanjikan daripada aturan yang
masyarakat, serta penegakkannya lemah, maka Perda sifatnya memerintah, yang pada kenyataannya sama
tersebut akan gagal. Dalam banyak hal, dan ini sekali tidak dijalankan.

24
VI. Kesimpulan

Pengelolaan hutan dan tata kelola di Indonesia telah Pedoman ini dimaksudkan untuk membantu
mengalami perubahan signifikan yang sangat pesat Pemda dengan mengajukan berbagai alternatif yang
sejak tahun 1998, terutama perubahan kewenangan konkrit, khususnya dalam menyusun dan menerapkan
dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Selain prinsip-prinsip penyusunan Perda yang sering bersifat
itu, sistem pembuatan Undang-Undang dan abstrak.
peraturan, yang biasanya dilakukan oleh lembaga Dalam kaitannya dengan mekanisme penyusunan
administratif, sekarang oleh lembaga legislatif. Perda baru, para pakar dan praktisi telah
Kebijakan otonomi daerah juga telah menyebabkan mengidentifikasi sejumlah langkah yang harus diambil
banyak kabupaten baru yang muncul di negeri ini. dan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
Karena itu banyak berdiri instansi-instansi pemerintah sebelum inisiatif pembuatan peraturan baru dimulai.
yang baru, terutama badan legislatif di daerah, yang Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab antara
memiliki peluang-peluang baru dan tanggung jawab lain terkait dengan pengkajian kebutuhan, analisa
dalam mengelola sumber daya hutan. Namun, banyak biaya-manfaat, dan berbagai studi kelayakan tentang
Pemda baru saat ini mengalami serba kekurangan kemungkinan implementasi dan penegakan
dalam hal pengalaman, pegawai, ketrampilan, dana, peraturan. Pertanyaan-pertanyaan ini sering diajukan
dan sumber daya lainnya untuk menyusun dan secara abstrak, dan tidak banyak contoh praktis atau
melaksanakan Perda baru yang akan mendorong implementasi yang dapat digunakan oleh Pemda yang
pengelolaan hutan lestari. sedang memulai proses tersebut. Meskipun
Dua aspek yang sangat penting untuk diperhatikan pemerintah pusat mengharuskan untuk membuat
dalam menyusun Perda baru dalam pengelolaan hutan laporan penelitian sebelum merancang sebuah Perda,
lestari adalah: prinsip-prinsip yang digunakan, dan ternyata kualitas laporan yang dibuat pada umumnya
mekanisme pembuatannya. Para pakar dan praktisi kurang memadai dan tanpa menguraikan analisa yang
mengidentifikasi sejumlah prinsip yang terkait dengan mendalam. Laporan penelitian semacam ini umumnya
penguasaan sumber daya hutan untuk mencapai juga tidak diwajibkan di tingkat daerah. Pedoman
kelestariannya. Sementara banyak prinsip yang umum ini mengusulkan suatu metodologi untuk
terfokus pada akses dan partisipasi, informasi dan menyusun Perda baru, termasuk persiapan
keadilan, prinsip-prinsip penting lainnya juga pembuatan laporan penelitian dengan rincian dan
diperlukan untuk mencapai kelestarian—prinsip-prinsip analisa yang dapat memenuhi syarat, dan juga
yang berkaitan dengan koordinasi dan integrasi, bagaimana menyelenggarakan konsultasi publik dan
tanggung gugat, kepastian hukum, kejelasan, dan merevisi rancangan Perda yang sedang dibuat.
fleksibilitas administratif. Prinsip-prinsip tata kelola Pedoman ini juga membahas dua tipe kerangka
yang baik ini dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek, kerja perundangan bagi Pemda untuk
yaitu: proses (bagaimana Perda disusun); substansi dipertimbangkan sebagai alternatif Perda yang
(apa yang tertuang dalam Perda tersebut); dan umumnya bersifat mengatur, sangat preskriptif
keadilan (bagaimana Perda ini dilaksanakan). Hanya dengan persyaratan-persyaratan yang sulit, dan yang
sedikit sekali contoh-contoh yang memperlihatkan dalam kenyataannya tidak banyak ditaati dan
bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara ditegakkan. Tipe pertama merupakan konsep
praktis, khususnya di tingkat Pemda yang memiliki peraturan berupa kerangka kerja, atau Perda dasar
sumber daya yang terbatas. Peraturan daerah mungkin yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Perda ini
mengenali beberapa prinsip secara umum, dengan merupakan landasan untuk membuat kerangka kerja
ungkapan yang umum, tetapi tanpa penjelasan yang hukum dan kelembagaan untuk pengelolaan, tanpa
spesifik atau petunjuk pelaksanaannya. Dalam larangan-larangan khusus yang bersifat mengatur dan
beberapa kasus, kekurangan ini disengaja karena kemungkinan belum direncanakan dengan baik, dan
kurangnya kemauan politik; namun dalam kasus-kasus tentu saja sulit ditegakkan. Untuk Pemda-pemda yang
lain, kekurangan ini terjadi karena keterbatasan tidak memiliki Perda pengelolaan hutan, pendekatan
sumber daya. seperti ini direkomendasikan dalam pedoman ini.
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

Kerangka kerja Perda ‘generasi pertama’ akan mengangkat berbagai isu, dan mengusulkan cara-cara
menyediakan kerangka kerja hukum dan praktis yang dengan mudah dapat dilaksanakan.
kelembagaan untuk pengelolaan sumber daya, dan Sasaran pembacanya adalah para pejabat Pemda yang
memungkinkan Perda-perda generasi berikutnya sedang bergulat dengan kenyataan yang dihadapinya
dirancang dengan lebih baik, sejalan dengan sehari-hari yaitu keterbatasan dana dan staf yang
peningkatan sumber daya dan kemampuan Pemda dapat diandalkan, kekurangan pengalaman dan
untuk melaksanakannya. Tipe kedua adalah konsep pelatihan, dan kepentingan kelompok penguasa di
Perda sukarela yang berdasarkan insentif. Untuk masa lalu yang lebih banyak menentukan aturan
Pemda-pemda yang tidak memiliki sumber daya atau pengelolaan hutan. Karena itu, petunjuk-petunjuk
kemauan politik guna melakukan penegakan hukum, yang disajikan di dalam pedoman ini dimaksudkan
tambahan Perda-perda baru yang menuntut untuk mengatasi berbagai masalah yang sedang
persyaratan lebih banyak akan mengalami kegagalan dihadapi sektor kehutanan di Indonesia, yang mungkin
karena tidak ditegakkannya peraturan yang ada. secara teori tidak ideal, dan mungkin tidak memuaskan
Pedoman ini menyarankan agar Pemda kalangan akademisi yang mendambakan model yang
mempertimbangkan penggunaan alternatif-alternatif sempurna dari tata kelola yang baik. Sebaliknya,
ini, seperti Perda yang berbasis insentif. pedoman ini menawarkan berbagai solusi yang dapat
Pedoman ini bukan dimaksudkan sebagai naskah dilaksanakan, meskipun belum sempurna, untuk
akademis mengenai peraturan perundangan dan tata Pemda-pemda yang memiliki keinginan sungguh-
kelola di sektor kehutanan. Sebaliknya, pedoman ini sungguh untuk mengelola hutannya secara lestari.
dimaksudkan sebagai sebuah petunjuk praktis, untuk

26
Daftar Pustaka

Aman, Alfred C., dan Mayton, William T., 2001. Social Sustainability in Conservation, IUCN, 1997,
Administrative Law, 2d ed., West Group, St. Paul, p. 14.
MN. Botchway, Francis, 2001. Good Governance: The Old,
Andreen, William L., 2000. Environmental Law and the New, the Principle, and the Elements, Florida
International Assistance: The Challenge of Journal of International Law, Vol 13, hal. 159, 161.
Strengthening Environmental Law in the Brown, Timothy H., 1999. Economic Crisis, Fiscal
Developing World, 25 Columbia Journal of Decentralization and Autonomy: Prospects for
Environmental Law, Vol 25, hal. 17, 27. Natural Resource Management. Jakarta,
Arnstein, Sherry R., 1969. A Ladder of Citizen diterbitkan oleh the Natural Resources
Participation, Journal of the American Institute Management Project.
of Planners, Vol. 35: 216-224. Casson, Anne, 2001. Decentralisation of Policies
Asia Foundation, 2002. First Indonesia Rapid Affecting Forests and Estate Crops in
Decentralization Appraisal (IRDA): Synopsis Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan:
Report, Jakarta. Case Study 5 on Decentralisation and Forests in
Asian Development Bank, 2002a. Indigenous Peoples/ Indonesia, Center for International Forestry
Ethnic Minorities and Poverty Reduction in Research, Bogor.
Indonesia, Manila. Cicin-Sain, Biliana dan Knecht, Robert W., 1998.
Asian Development Bank, 2002b. Draft Country Integrated Coastal and Ocean Management:
Governance Assessment Report: Indonesia. Concepts and Practices, Washington, D.C.: Island
Jakarta. Press.
Axelrod, R.M., 1984. The Evolution of Cooperation. CIFOR Long Loreh team, 2001. Tim terdiri dari:
Basic Books, New York, NY. Godwin Limberg, Njau, Ramses, Made, Moira
Barr, Christopher, dkk., 2001. The Impacts of Moeliono, Tony Djogo. Komunikasi Pribadi, 3-25
Decentralization on Forests and Forest-Dependent Mei.
Communities in Kabupaten Malinau, East Departemen Dalam Negeri, 2002a. Surat Edaran No.
Kalimantan: Case Study 3 on Decentralisation and 100/756/OTDA tentang Penyusunan Kewenangan
Forests in Indonesia, Center for International Wajib dan Standar Pelayanan Minimal (8 Juli
Forestry Research, Bogor, Indonesia. 2002), ditujukan kepada Sekretaris Jenderal
Bell, Gary F., 2001. The New Indonesian Laws Relating Departemen and Lembaga Pemerintah Non-
to Regional Autonomy: Good Intentions, Confusing Departemen, http://www.gtzsfdm.or.id/
Laws, Asian-Pacific Law & Policy Journal, Vol. 2, documents/laws_n_regs/others/SE-8Juli02-
hal. 1. SEKTOR%20SEK-DEP-LPND.pdf.
Bennett, C.P.A., 2001. Village Governance and Departemen dalam Negeri, 2002b. Surat Edaran No.
Decentralisation of Natural Resource Management 100/757/OTDA tentang Penyusunan Kewenangan
in Indonesia: Of “Responsibility”, Accountability Wajib dan Standar Pelayanan Minimal (8 Juli
and National Unity. dalam Colfer, C.J.P. and 2002), ditujukan kepada para Gubernur Provinsi,
Resosudarmo, I.A.P. (eds.) 2002. Which Way Bupati, dan Walikota. http://www.gtzsfdm.or.id/
Forward? People, Forests, and Policymaking in documents/laws_n_regs/others/
Indonesia. Resources for the Future (RFF), SE_KWandSPM_Gubernur_Juli2002.pdf.
Washington, D.C. Dicey, A.V. 1958. Introduction to the Study of the
Blumenthal, Dan dan Jannink, Jean-Luc, 2000. A Law of the Constitution Part II.
Classification of Collaborative Management Donor SMP Working Group, 2002. Local Government
Methods, Conservation Ecology 4(2): 13. Obligatory Functions and Minimum Service
(www.consecol.org/vol4/iss2/art13). Standards: A Proposal for Conceptual
Borrini-Feyerabend, ed., Beyond Fences: Seeking Development and Implementation, draft tidak
Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

dipublikasikan, Juni. (The Donor SMP Working Lynch, Owen J. dan Emily Harwell, 2002. Whose
Group terdiri dari: United States Agency for Natural Resources? Whose Common Good?
International Development, the Deutsche Towards a New Paradigm of Environmental Justice
Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit, the and the National Interest in Indonesia, CIEL.
Canadian International Development Agency, the Jakarta, hal. 142.
Japanese International Cooperation Agency, the Mariasa, I.G.P., 2001. Pimpinan, PT Inhutani II Sub-
Australian Agency for International Development, Unit Malinau. Kabupaten Malinau, Kalimantan
The World Bank, the Asian Development Bank, dan Timur, komunikasi pribadi, 11 Mei.
the United Nations Development Program). McCarthy, John F., 2001. Decentralisation, Local
Estache, Antonio, ed. Decentralizing Infrastructure: Communities and Forest Management in Barito
Advantages and Limitations, World Bank Discussion Selatan District, Central Kalimantan: Case Study
Paper 290, Washington D.C., 1995, hal. 18 1 on Decentralisation and Forests in Indonesia,
Fisman, Raymond dan Gatti, Roberta, 1999. Center for International Forestry Research, Bogor,
Decentralization and Corruption: Cross-County hal.11-13.
and Cross-State Evidence. The World Bank, Ostrom, E. 1992. The rudiments of a theory of the
Washington, D.C. origins, survival and performance of common-
GTZ (Deutche Gesellschaft fur Technische property institutions. Hal. 293-318 dalam DW
Zusammenarbeit), 2001. Project Support for Bromley dkk. Eds., Making the commons work:
Decentralization Measures (SfDM), Theory, practice, and policy, ICS Press, Oakland
Decentralization News Issues No. 1-8. Tersedia di CA.
situs: http://www.gtzsfdm.or.id. Agustus. 2001. Patlis, J.M., Dahuri, R., Knight, M. dan Tulungen, J.,
Gurodaboro, Moses, 2001. Bagian Hukum, Kantor 2001. Integrated Coastal Management in a
Bupati, Kabupaten Malinau. Komunikasi Pribadi Decentralized Indonesia: How It Can Work, Jurnal
26 Mei. Pesisir & KelautanVol. 4, No. 1, Bogor, Indonesia.
Hart, H.L.A., 1961. The Concept of Law. Oxford, Patlis, Jason, 2002. Mapping Indonesia’s Forest Estate
England: Oxford University Press. from the Lawyer’s Perspective: Laws, Legal
Hofman, Bert dan Kaiser, Kai, 2002. The Making of Fictions, Illegal Activities, and the Gray Area.
the Big Bang and Its Aftermath: A Political Pengkajian Awal yang tidak dipublikasikan,
Economy Perspective. Makalah disampaikan pada disiapkan untuk The World Bank-World Wildlife
Konperensi “Can Decentralization Help Rebuild Fund Alliance, Jakarta.
Indonesia?” oleh International Studies Program, Patlis, Jason, Knight, Maurice dan Benoit, Jeff, 2003.
Andrew Young School of Policy Studies, Georgia Integrated Coastal Management in Decentralizing
State University. 1-3 Mei. Atlanta. Developing Countries: The General Paradigm, the
Impang, Lungu, 2001. Kepala Desa Langkap, Malinau. U.S. Model and the Indonesian Example, The
Komunikasi Pribadi, 15 Mei. Ocean Yearbook, Vol. 17, U. Chicago Press,
International Tropical Timber Council, 2001. Achieving Chicago, IL.
Sustainable Forest Management in Indonesia: Reuben, William, 2003. The Role of Civic Engagement
Report Submitted to the ITTC by the Mission and Social Accountability in the Governance
Established Pursuant to Decisions 12 (XXIX) Equation, Social Development Notes, Note No. 75,
‘Strengthening Sustainable Forest Management The World Bank, Washington, D.C.
in Indonesia, 31 st Session, 29 Okt.-3 Nov., Seidman, Ann dan Seidman, R.B., 1997. Beyond
Yokohama, Japan. Contested Elections: the Process of Bill Creation
Kre, Ipo, 2001. Kepala Adat, komunikasi pribadi 17 and the Fulfillment of Democracy’s Promises to
Mei. the Third World, Harvard Journal on Legislation,
Lindsay, Jonathan M., 2000. Creating Legal Space for Vol 34, hal. 1.
Community Based Management: Principles and Seidman, Ann, Seidman, R.B. dan N. Abeyesekere,
Dilemmas, in Decentralization and Devolution of 2001. Legislative Drafting for Democratic Social
Forest Management in Asia and the Pacific, ed. Change: A Manual for Drafters. Boston, Mass.:
Thomas Enters, Patrick B. Durst and Michael Kluwer Law International.
Victor, RECOFTC Report No. 18 and RAP Simarmata, Rikardo, 2003. Regional Autonomy and
Publication, 2000, Bangkok, Thailand. the Character of Local Government Laws and
Lindsay, Jon, Ali Mekour dan Lawrence Christy, 2002. Regulations ~ New Pressures on the Environment
Why Law Matters: Design Principles for and Indigenous Communities: A Preliminary
Strengthening the Tole of Forestry Legislation in Diagnosis, Paper submitted for the International
Reducing Illegal Activities and Corrupt Practices, Association for the Study of Common Property 9th
FAO Development Law Service, FAO Legal Papers Biennial Conference, Victoria Falls, Zimbabwe.
Situs nomor 27, http://www.fao.org/Legal/ Smith, Scott dan Martin, Alejandra, 2000. Achieving
pb-e.htm. Sustainability of Biological Conservation: Report

28
Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

of a GEF Thematic Review. Monitoring and Book), Transparency International, Berlin.


Evaluation Working Paper I. Global Environment Turner, Mark dan Hulme, David, 1997. Governance,
Facility. Administration and Development: Making the
Tendler, Judith, 1997. Good Government in the State Work. Kumarian Press, West Hartford, CT.,
Tropics, The Johns Hopkins University Press, hal. 122-124.
Baltimore, hal. 146. U.S. Embassy, 1999. Economic Report: Where the
Thorburn, Craig , 2002. Community Development (Natural Resource) Wealth Is, 18 Mei.
Advisor, Bejis Project, AusAID. Komunikasi Pribadi, World Resources Institute, 2002. Closing the Gap:
23 Mei. Access to Information, Participation, and Justice
Pope, Jeremy, 2000. Confronting Corruption: The in Decision-Making for the Environment.
Elements of a National Integrity System (TI Source Washington, DC.

Publikasi terkait
Case Study 1. McCarthy, J.F. 2001. Decentralisation, local communities and forest management in Barito
Selatan District, Central Kalimantan. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Case Study 2. McCarthy, J.F. 2001. Decentralisation and forest management in Kapuas District, Central
Kalimantan. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Case Study 3. Barr, C., Wollenberg, E., Limberg, G., Anau, N., Iwan, R., Sudana, I.M., Moeliono, M., and
Djogo, T. 2001. The Impacts of decentralisation on forests and forest-dependent communities in Malinau
District, East Kalimantan. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Case Study 4. Casson, A. 2001. Decentralisation of policymaking and administration of policies affecting
forests and estate crops in Kutai Barat District, East Kalimantan. Center for International Forestry Research,
Bogor, Indonesia.
Case Study 5. Casson, A. 2001. Decentralisation of policymaking and administration of policies affecting
forests and estate crops in Kotawaringin Timur District. Central Kalimantan. Center for International Forestry
Research, Bogor, Indonesia.
Case Studies 6 and 7. Potter, L. and Badcock, S. 2001. The effects of Indonesia’s decentralisation on
forests and estate crops: Case study of Riau province, the original districts of Kampar and Indragiri Hulu.
Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Case Study 8. Soetarto, E., Sitorus, M.T.F. and Napiri, Y. 2001. Decentralisation of administration, policy
making and forest management in West Kalimantan. Center for International Forestry Research, Bogor,
Indonesia.
Case Study 9. Obidzinski, K. and Barr, C. 2002. The effects of decentralisation on forests and forest
Industries in Berau District, East Kalimantan. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.

Publikasi lainnya
Anau, N., Iwan, R., van Heist, M., Limberg, G., Sudana, M. and Wollenberg, E. 2002. Negotiating More than
Boundaries: Conflict, Power and Agreement Building in the Demarcation of Village Borders in Malinau, 131-
156. In: Technical Report Phase I 1997-2001. ITTO Project PD 12/97 Rev.1 (F) Forest, Science and Sustainability:
The Bulungan Model Forest. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Casson, A. and Obidzinski, K. 2002. From New Order to Regional Autonomy: Shifting Dynamics of Illegal
Logging in Kalimantan, Indonesia. World Development 30(12):2133-51.
Resosudarmo, I.A.P. 2003. Shifting Power to the Periphery: The Impact of Decentralisation on Forests and
Forest People. In: Aspinall, E. and Fealy, G. (eds.) Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation
and Democratisation, 230-244. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies.
Oka, N.P. and William, D. 2004. The Policy Dilemma for Balancing Reforestation Funds. Decentralisation
Brief. No. 1. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Colfer, C.J.P. and Resosudarmo, I.A.P. (eds). 2002. Which Way Forward: People, Forests and Policymaking in
Indonesia. Washington, Resources for the Future.

29
Program Forests and Governance di CIFOR mengkaji cara
pengambilan dan pelaksanaan keputusan berkenaan dengan
hutan dan masyarakat yang hidupnya bergantung dari hutan.
Tujuannya adalah meningkatkan peran serta dan pemberdayaan
kelompok masyarakat yang kurang berdaya, meningkatkan
tanggung jawab dan transparansi pembuat keputusan dan
kelompok yang lebih berdaya dan mendukung proses-proses
yang demokratis dan inklusif yang meningkatkan keterwakilan
dan pengambilan keputusan yang adil di antara semua pihak.

Anda mungkin juga menyukai