Arg)
PAPER
OLEH :
KELOMPOK 6
AGRONOMI 1
Latar Belakang
Sir Henry Wickham pada tahun 1876 dari daerah asalnya yaitu Brasil ke daerah
yang sempit. Keragaman genetik yang sempit dari biji karet yang dibawa
dari total konsumsi karet dunia, sementara 60% diperoleh dari proses sintetik.
Kebutuhan lateks alami akan terus meningkat karena sifat fisikokimianya yang
Myanmar, Gana, Kongo, Gabon, dan Papua Nugini. Sampai saat ini negara-negara
di Asia Tenggara menyumbang 90% dari 7.97 juta ton produksi karet dunia.
Dimana Thailand, Indonesia, Malaysia, dan India berkontribusi sekitar 74% dari
bernilai ekonomis tinggi. Tanaman tahunan ini dapat disadap getah karetnya
pertama kali pada umur tahun ke-5. Dari getah tanaman karet (lateks) tersebut bisa
diolah menjadi lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah
(crumb rubber) yang merupakan bahan baku industri karet. Kayu tanaman karet,
bila kebun karetnya hendak diremajakan, juga dapat digunakan untuk bahan
Agar tanaman karet dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan lateks
yang banyak maka perlu diperhatikan syarat-syarat tumbuh dan lingkungan yang
diinginkan tanaman ini. Apabila tanaman karet ditanam pada lahan yang tidak
Lingkungan yang kurang baik juga sering mengakibatkan produksi lateks menjadi
rendah. Sesuai habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama Brazil yang beriklim
tropis, maka karet juga cocok ditanam di Indonesia, yang sebagian besar ditanam
3,40 juta ha pada tahun 2007, namun disisi produksi Indonesia berada tingkat
kedua setelah Thailand yaitu 2,76 juta ton. Produksi karet alam dunia diperkirakan
pada tahun 2020 akan mencapai 13 juta ton dan Indonesia akan menjadi Negara
Klon karet dikembangkan untuk memperolah hasil dan mutu lateks yang
tinggi dan seragam. Di alam, produktivitas klon karet sangat dipengaruhi berbagai
faktor yaitu genetik, lingkungan, dan manajemen budidaya. Salah satu respon
secara alami. Penyakit pada tanaman karet merupakan kendala dominan yang
tanaman karet dikenal berbagai jenis penyakit baik yang menyerang akar, batang,
Tahap awal dalam pengolahan karet adalah penerimaan lateks kebun dari
pohon karet yang telah disadap. Lateks pada mangkuk sadap dikumpulkan dalam
suatu tempat kemudian disaring untuk memisahkan kotoran serta bagian lateks
kemudian dialirkan ke dalam bak koagulasi untuk proses pengenceran dengan air
Pengenceran
menyeragamkan kadar karet kering sehingga cara pengolahan dan mutunya dapat
dijaga tetap. Pengenceran dapat dilakukan dengan penambahan air yang bersih
dan tidak mengandung unsur logam, pH air antara 5.8-8.0, kesadahan air maks. 6
KKK mencapai 12-15 %. Lateks dari tangki penerimaan dialirkan melalui talang
Teknis Pengolahan Karet Sit Yang Diasap (Ribbed Smoked Sit). Lateks yang
Pembekuan
menambahkan zat koagulan yang bersifat asam. Pada umunya digunakan larutan
asam format/asam semut atau asam asetat /asam cuka dengan konsentrasi 1-2% ke
dalam lateks dengan dosis 4 ml/kg karet kering Dasar Pengolahan Karet. Jumlah
tersebut dapat diperbesar jika di dalam lateks telah ditambahkan zat antikoagulan
cukup baik dalam menurunkan pH lateks serta harga yang cukup terjangkau bagi
petani karet dibandingkan bahan koagulan asam lainnya. Tujuan dari penambahan
asam adalah untuk menurunkan pH lateks pada titik isoelektriknya sehingga lateks
akan membeku atau berkoagulasi, yaitu pada pH antara 4.5-4.7. Asam dalam hal
ini ion H+ akan bereaksi dengan ion OH- pada protein dan senyawa lainnya untuk
Pengadukan dilakukan dengan 6-10 kali maju dan mundur secara perlahan untuk
mencegah terbentuknya gelembung udara yang dapat mempegaruhi mutu sit yang
perbandingan lateks, air dan asam sehingga diperoleh hasil bekuan atau disebut
juga koagulum yang bersih dan kuat. Lateks akan membeku setelah 40 menit.
membentuk koagulum dalam lembaran yang seragam (van and Poirier. 2007)
Penggilingan
1. Gilingan Pendahuluan
Berupa pattron berbentuk V dengan lebar dan dalam alur dari patron ± 2-3 mm
2. Gilingan Menengah
3. Gilingan Akhir
sit, memberi warna khas cokelat dan menghambat pertumbuhan jamur pada
1. Hari pertama, pengasapan dilakukan dengan suhu kamar asap sekitar 40-45 oC.
2. Hari kedua, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 50-55 oC.
beberapa macam kriteria mutu tertentu. Dasar penentuan mutu RSS secara visual
- jumlah kapang
- keseragaman warna
- gelembung udara
- kekeringan
Kegiatan sortasi ini biasanya dilakukan di atas meja sortasi kaca yang
sebagian serum, membilas, membentuk lembaran tipis dan memberi garis pada
gilingan rol licin, rol belimbing dan rol motif (batik). Setelah digiling, sheet dicuci
kembali dengan air bersih untuk menghindari permukaan yang berlemak akibat
menghindari agar sheet tidak menjadi lengket saat penirisan. Koagulum yang telah
digiling kemudian ditiriskan diruang terbuka dan terlindung dari sinar matahari
lembaran sheet sebelum proses pengasapan. Penirisan tidak boleh terlalu lama
untuk menghindari terjadinya cacat pada sheet yang dihasilkan, misalnya timbul
warna yang seperti karat akibat teroksidasi.Penirisan dilakukan pada tempat teduh
didalam kamar asap sampai matang. Sheet yang telah matang dari kamar asap
kering sheet membutuhkan waktu yang cukup lama dan energi bahan bakar
berupa kayu yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan proses pengeringan dalam
ruang pengasapan masih manual dan konvensional sehingga energi panas yang
digunakan tidak maksimal. Metode seperti ini juga akan berdampak pada tingkat
produktivitas apabila suatu saat nanti ketersediaan kayu bakar semakin berkurang.
Oleh karena itu diperlukan adanya usaha rekayasa perancangan unit pengering
atau mesin yang mampu mensuplai panas secara cukup, bersih, dan terkontrol
1. Hari pertama, pengasapan dilakukan dengan suhu kamar asap sekitar 40-45 oC.
2. Hari kedua, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 50-55 oC.
3. Hari ketiga sampai berikutnya, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 55-
60 oC.
(umumnya menggunakan kayu karet) yang masih basah. Pada hari kedua
lembaran harus dibalik untuk melepaskan lembaran yang lengket terhadap gantar
dan juga agar sisi lain lembaran bisa terkena asap sehingga pengasapan merata.
Mulai hari ketiga dan seterusnya yang dibutuhkan adalah panas guna memperoleh
PROSES SORTASI
gelembung udara, jamur dan kehalusan gilingan yang mengacu pada standard
yang terdapat pada SNI 06-0001-1987. Secara umum sit diklasifikasikan dalam
mutu RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, RSS 5 dan Cutting. Cutting merupakan
potongan dari lembaran yang terlihat masih mentah, atau terdapat gelembung
1. RSS 1
harus benar-benar kering, bersih, kuat, tidak ada cacat, tidak berkarat, tidak
melepuh serta tidak ada benda-benda pengotor. Jenis RSS 1 tidak boleh ada garis-
garis pengaruh dari oksidasi, lembaran lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi,
belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar.
agar tidak terkontaminasi jamur. Tetapi, bila sewaktu diterima terdapat jamur
karetnya
2. RSS 2
Kelas ini tidak terlalu banyak menuntut kriteria. Standar RSS 2 hasilnya harus
kering, bersih, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran.
Lembaran tidak diperkenankan terdapat noda atau garis akibat oksidasi, lembaran
berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Lembaran kelas ini masih menerima
gelembung udara serta noda kulit pohon yang ukurannya agak besar (dua kali
ukuran jarum pentul). Zat-zat damar dan jamur pada pembungkus, kulit luar
bandela atau pada lembaran di dalamnya masih dapat ditorerir. Tetapi bila sudah
3. RSS 3
Standar karet RSS 3 harus kering, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan
tidak terdapat kotoran Bila terdapat cacat warna, gelembung udara besar (tiga kali
ukuran jarum pentul), ataupun noda-noda dari kulit tanaman karet, masih ditorerir.
Namun, tidak diterima jika terdapat noda atau garis akibat oksidasi, lembaran
berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Jamur yang terdapat pada
pembungkus kulit luar bandela serta menempel pada lembaran tidak menjadi
masalah, asalkan jumlahnya tidak melebihi 10% dari bandela dimana contoh
diambil.
4. RSS 4
Standar karet RSS 4 harus kering, kuat, tidak cacat, tidak melepuh serta tidak
terdapat pasir atau kotoran luar. Yang diperkenankan adalah bila terdapat
gelembung udara kecil-kecil sebesar 4 kali ukuran jarum pentul, karet agak rekat
atau terdapat kotoran kulit pohon asal tidak banyak. Mengizinkan adanya noda-
noda asalkan jernih. Lembaran lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi dan karet
terbakar tidak bisa diterima. Bahan damar atau jamur kering pada pembungkus
kulit bagian luar bandela serta pada lembaran, asalkan tidak melebihi 20% dari
5. RSS 5
Karet yang dihasilkan harus kokoh, tidak terdapat kotoran atau benda asing,
kecuali yang diperkenankan. Dibanding dengan kelas RSS yang lain RSS 5 adalah
yang terendah standarnya. Bintik-bintik, gelembung kecil, noda kulit pohon yang
besar, karet agak rekat, kelebihan asap dan sedikit belum kering masih termasuk
dalam batas toleransi. Bahan damar atau jamur kering pada pembungkus kulit
bagian luar bandela serta pada lembaran, asalkan tidak melebihi 30% dari
keseluruhan masih mungkin untuk kelas RSS 5. Pengeringan pada suhu tinggi dan
bekas terbakar tidak diperkenankan untuk jenis kelas ini (Aidi dan Woelan. 2007)
Untuk mendapatkan barang karet dengan mutu yang baik, perlu dilakukan
analisis karet beserta bahan kimia yang digunakan sebagai addiftiv dalam
pembuatan kompon karet, baik terhadap barang karet yang belum divulkanisasi
Analisis barang karet dapat dilakukan berupa pengujian sifat fisika dan
analisis kimia, analisis kimia yang dilkukan meliputi analisis jenis bahan dan
analisis jumlah setiap bahan yang terdapat dalam barang karet. Sedangkan analisis
fisika meliputi uji ketebalan, kuat tarik, kekerasan, perpanjangan putus, ketahanan
antioksidan dan bahan kimia karet lainnya. Analisis jumlah memberikan informasi
tentang komposisi bahan utama penyusun barang karet yaitu karet, serta bahan
pelunak, karbon black, abu dan ekstrak acetone. Hasil analisis dapat digunakan
sebagai dasar perkiraan dalam pembuatan barang karet atau yang lebih baik
(Riza,2012)
DAFTAR PUSTAKA
Cici Tresniawati, Nur Kholilatul Izzah dan Widi Amaria. 2014. Strategi
Pemuliaan Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg) Terhadap
Penyakit Hawar Daun Amerika Selatan (Salb). Balai Penelitian Tanaman
Industri dan Penyegar. Sukabumi.
Lieberei, R. 2007. South American Leaf Blight of the rubber tree (Hevea Spp.):
new steps in plant domestication using physiological features and
molecular markers. Annals of Botany 100: 1125-1142.
Mydin, K. K, and M. A. Mercykutty. 2007. High yield and precocity in RRII 400
series hybrid clones of rubber. Natural Rubber Research.
Riza, A.P. 2012. Bioteknologi Tanaman Karet untuk Indonesia. Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor.
van Beilen, J.B. and Y. Poirier. 2007. Establishment of new crops for the
production of natural rubber. Trends in Biotehchnology 25(11): 522-529.