Anda di halaman 1dari 15

PENGOLAHAN KARET (Hevea braziliensis Muell.

Arg)

PAPER

OLEH :

1. ESTER VERONIKA MARBUN 150301118


2. OKTA JAYA SAPUTRA SARAGIH 150301082
3. MUHAMMAD IHSAN FR 150301063
4. RIDHO KURMAWANSYAH 150301097
5. ARDIANSYAHPUTRA PRANSISKA 150301028
6. IQBAL ARYA RAMADHA 150301103
7. SUMADI PANDIANGAN 150301107

KELOMPOK 6
AGRONOMI 1

MATA KULIAH PEMULIAAN TANAMAN PERKEBUNAN


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyebaran biji karet yang terdokumentasikan dengan baik dilakukan oleh

Sir Henry Wickham pada tahun 1876 dari daerah asalnya yaitu Brasil ke daerah

koloni Inggris termasuk negara-negara di Asia Tenggara yang kemudian

berkembang sampai sekarang. Namun, biji karet yang berhasil diintroduksi

tersebut hanya sebagian kecil saja sehingga menyebabkan keragaman genetik

yang sempit. Keragaman genetik yang sempit dari biji karet yang dibawa

Wickman merupakan salah satu kendala dalam menghasilkan klon-klon karet

unggul tahan penyakit. Persilangan tanaman yang mempunyai keragaman genetik

sempit mengakibatkan erosi genetik sehingga keturunannya menjadi lebih rentan

terhadap penyakit. Untuk mendapatkan sifat-sifat unggul diperlukan program

persilangan dari genotipe-genotipe berkerabat jauh dan didukung peta hubungan

kekerabatan dari tetua-tetua yang akan digunakan dalam persilangan buatan

(Aidi dan Woelan. 2007)

Karet merupakan tanaman penghasil lateks alami yang menyuplai 40%

dari total konsumsi karet dunia, sementara 60% diperoleh dari proses sintetik.

Kebutuhan lateks alami akan terus meningkat karena sifat fisikokimianya yang

tidak dapat tergantikan oleh produk sintetik. Negara-negara penghasil lateks

adalah Indonesia, India, Thailand, Malaysia, Cina, Vietnam, Cote d’Ivoire,

Liberia, Sri Langka, Brasil, Filipina, Kamerun, Nigeria, Kamboja, Guatemala,

Myanmar, Gana, Kongo, Gabon, dan Papua Nugini. Sampai saat ini negara-negara

di Asia Tenggara menyumbang 90% dari 7.97 juta ton produksi karet dunia.
Dimana Thailand, Indonesia, Malaysia, dan India berkontribusi sekitar 74% dari

total produksi karet dunia (Cici dkk 2014)

Tanaman karet (Hevea Brasiliensis) merupakan tanaman perkebunan yang

bernilai ekonomis tinggi. Tanaman tahunan ini dapat disadap getah karetnya

pertama kali pada umur tahun ke-5. Dari getah tanaman karet (lateks) tersebut bisa

diolah menjadi lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah

(crumb rubber) yang merupakan bahan baku industri karet. Kayu tanaman karet,

bila kebun karetnya hendak diremajakan, juga dapat digunakan untuk bahan

bangunan, misalnya untuk membuat rumah, furniture dan lain-lain

(Island Dan Khaidir ,2009)

Agar tanaman karet dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan lateks

yang banyak maka perlu diperhatikan syarat-syarat tumbuh dan lingkungan yang

diinginkan tanaman ini. Apabila tanaman karet ditanam pada lahan yang tidak

sesuai dengan habitatnya maka pertumbuhan tanaman akan terhambat.

Lingkungan yang kurang baik juga sering mengakibatkan produksi lateks menjadi

rendah. Sesuai habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama Brazil yang beriklim

tropis, maka karet juga cocok ditanam di Indonesia, yang sebagian besar ditanam

di Sumatera Utara dan Kalimantan (Aidi 2006)

Indonesia memiliki areal perkebunan karet terluas di dunia, yaitu sekitar

3,40 juta ha pada tahun 2007, namun disisi produksi Indonesia berada tingkat

kedua setelah Thailand yaitu 2,76 juta ton. Produksi karet alam dunia diperkirakan

pada tahun 2020 akan mencapai 13 juta ton dan Indonesia akan menjadi Negara

penghasil karet alam terbesar di dunia. Peningkatan produksi dapat dilakukan

melalui pengembangan areal baru maupun peningkatan produktivitas dengan


melalui perbanyakan karet secara vegetatif menggunakan bibit (klon) unggul

terbaru (Lieberei, R. 2007)

Klon karet dikembangkan untuk memperolah hasil dan mutu lateks yang

tinggi dan seragam. Di alam, produktivitas klon karet sangat dipengaruhi berbagai

faktor yaitu genetik, lingkungan, dan manajemen budidaya. Salah satu respon

faktor genetik terhadap lingkungan adalah sifat resistensinya terhadap penyakit.

Resistensi tanaman merupakan komponen pengendalian terhadap penyakit penting

secara alami. Penyakit pada tanaman karet merupakan kendala dominan yang

dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi, sering pula penyakit dapat

mengakibatkan gagalnya suatu program pengembangan tanaman karet. Pada

tanaman karet dikenal berbagai jenis penyakit baik yang menyerang akar, batang,

cabang dan daun (Riza,2012)


ISI

PROSES PENGOLAHAN KARET

Penerimaan Lateks Kebun

Tahap awal dalam pengolahan karet adalah penerimaan lateks kebun dari

pohon karet yang telah disadap. Lateks pada mangkuk sadap dikumpulkan dalam

suatu tempat kemudian disaring untuk memisahkan kotoran serta bagian lateks

yang telah mengalami prakoagulasi. Setelah proses penerimaan selesai, lateks

kemudian dialirkan ke dalam bak koagulasi untuk proses pengenceran dengan air

yang bertujuan untuk menyeragamkan Kadar Karet Kering

(Mydin, and Mercykutty. 2007)

Pengenceran

Tujuan pengenceran adalah untuk memudahkan penyaringan kotoran serta

menyeragamkan kadar karet kering sehingga cara pengolahan dan mutunya dapat

dijaga tetap. Pengenceran dapat dilakukan dengan penambahan air yang bersih

dan tidak mengandung unsur logam, pH air antara 5.8-8.0, kesadahan air maks. 6

serta kadar bikarbonat tidak melebihi 0.03 %. Pengenceran dilakukan hingga

KKK mencapai 12-15 %. Lateks dari tangki penerimaan dialirkan melalui talang

dengan terlebih dahulu disaring menggunakan saringan aluminium Pedoman

Teknis Pengolahan Karet Sit Yang Diasap (Ribbed Smoked Sit). Lateks yang

telah dibekukan dalam bentuk lembaran-lembaran (koagulum) (Santoso, 1994)

Pembekuan

Pembekuan lateks dilakukan di dalam bak koagulasi dengan

menambahkan zat koagulan yang bersifat asam. Pada umunya digunakan larutan

asam format/asam semut atau asam asetat /asam cuka dengan konsentrasi 1-2% ke
dalam lateks dengan dosis 4 ml/kg karet kering Dasar Pengolahan Karet. Jumlah

tersebut dapat diperbesar jika di dalam lateks telah ditambahkan zat antikoagulan

sebelumnya. Penggunaan asam semut didasarkan pada kemampuannya yang

cukup baik dalam menurunkan pH lateks serta harga yang cukup terjangkau bagi

petani karet dibandingkan bahan koagulan asam lainnya. Tujuan dari penambahan

asam adalah untuk menurunkan pH lateks pada titik isoelektriknya sehingga lateks

akan membeku atau berkoagulasi, yaitu pada pH antara 4.5-4.7. Asam dalam hal

ini ion H+ akan bereaksi dengan ion OH- pada protein dan senyawa lainnya untuk

menetralkan muatan listrik sehingga terjadi koagulasi pada lateks

(Mydin, and Mercykutty. 2007)

Penambahan larutan asam diikuti dengan pengadukan agar tercampur ke

dalam lateks secara merata serta membantu mempercepat proses pembekuan.

Pengadukan dilakukan dengan 6-10 kali maju dan mundur secara perlahan untuk

mencegah terbentuknya gelembung udara yang dapat mempegaruhi mutu sit yang

dihasilkan. Kecepatan penggumpalan dapat diatur dengan mengubah

perbandingan lateks, air dan asam sehingga diperoleh hasil bekuan atau disebut

juga koagulum yang bersih dan kuat. Lateks akan membeku setelah 40 menit.

Proses selanjutnya ialah pemasangan plat penyekat yang berfungsi untuk

membentuk koagulum dalam lembaran yang seragam (van and Poirier. 2007)

Penggilingan

Penggilingan dilakuan setelah proses pembekuan selesai. Hasil bekuan

atau koagulum digiling untuk mengeluarkan kandungan air, mengeluarkan

sebagian serum, membilas, membentuk lembaran tipis dan memberi

garisbatikan pada lembaran. Untuk memperoleh lembaran sit, koagulum digiling


dengan beberapa gilingan rol licin, rolbelimbing dan rol motif

(batik). Menggunakan baterai crepe 3-5 gilingan beroda dua .

1. Gilingan Pendahuluan

Berupa pattron berbentuk V dengan lebar dan dalam alur dari patron ± 2-3 mm

2. Gilingan Menengah

Mempunyai lebar dan dalam alur dari patron 0,5-1,5 mm.

3. Gilingan Akhir

Disebut “finisher” tidak berpatron permukaan rata (Sayurandi, 2012)

Pengasapan dan Pengeringan

Menurut Triwijoso (1995), tujuan pengasapan adalah untuk mengeringkan

sit, memberi warna khas cokelat dan menghambat pertumbuhan jamur pada

permukaan. asap yang dihasilkan dapat menghambat pertumbuhan jamur pada

permukaan lembaran karet. Hal ini disebabkan asap mengandung

zat antiseptik yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Suhu yang

digunakan di dalam kamar asap adalah sebagai berikut :

1. Hari pertama, pengasapan dilakukan dengan suhu kamar asap sekitar 40-45 oC.

2. Hari kedua, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 50-55 oC.

3. Hari ketiga sampai berikutnya, pengasapan dengan suhu kamar asap

mencapai 55-60 oC (Aidi dan Woelan. 2007)

Sortasi dan Pembungkusan

Setelah diasap dan dikeringkan, maka sheet dapat dipilih berdasarkan

beberapa macam kriteria mutu tertentu. Dasar penentuan mutu RSS secara visual

dan organoleptik adalah sebagai berikut:

- jumlah kapang
- keseragaman warna

- noda oleh benda asing (kebersihan)

- gelembung udara

- kekeringan

- berat antara 1-1,5 kg per lembar

- tebal sheet 2,5-3,5 mm dan lebarnya 4,5 mm

Kegiatan sortasi ini biasanya dilakukan di atas meja sortasi kaca yang

diberi lampu penerang. Setelah sortasi dilakukan dilanjutkan dengan

pembungkusan sesuai klasifikasi mutu karet dan permintaan konsumen.

Pembungkusan yang dilakukan harus sesuai agar karet tidak mengalami

penurunan mutu (Riza,2012)

PROSES PENGGILINGAN KOAGULUM MENJADI SHEET

Penggilingan dilakuan setelah proses pembekuan selesai. Hasil bekuan

atau koagulum digiling untuk mengeluarkan kandungan air, mengeluarkan

sebagian serum, membilas, membentuk lembaran tipis dan memberi garis pada

lembaran. Untuk memperoleh lembaran sit, koagulum digiling dengan beberapa

gilingan rol licin, rol belimbing dan rol motif (batik). Setelah digiling, sheet dicuci

kembali dengan air bersih untuk menghindari permukaan yang berlemak akibat

penggunaan bahan kimia, membersihkan kotoran yang masih melekat serta

menghindari agar sheet tidak menjadi lengket saat penirisan. Koagulum yang telah

digiling kemudian ditiriskan diruang terbuka dan terlindung dari sinar matahari

selama 1-2 jam.

Tujuan penirisan adalah untuk mengurangi kandungan air di dalam

lembaran sheet sebelum proses pengasapan. Penirisan tidak boleh terlalu lama
untuk menghindari terjadinya cacat pada sheet yang dihasilkan, misalnya timbul

warna yang seperti karat akibat teroksidasi.Penirisan dilakukan pada tempat teduh

dan terlindung dari sinar matahari.

PROSES PENGASAPAN SHEET

Sheet yang sudah melalui penirisan kemudian dilakukan proses pengasan

didalam kamar asap sampai matang. Sheet yang telah matang dari kamar asap

diturunkan kemudian ditimbang dan dicatat dalam arsip produksi.

Proses pengasapan untuk mengeringkan lateks menjadi lembaranlembaran

kering sheet membutuhkan waktu yang cukup lama dan energi bahan bakar

berupa kayu yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan proses pengeringan dalam

ruang pengasapan masih manual dan konvensional sehingga energi panas yang

digunakan tidak maksimal. Metode seperti ini juga akan berdampak pada tingkat

produktivitas apabila suatu saat nanti ketersediaan kayu bakar semakin berkurang.

Oleh karena itu diperlukan adanya usaha rekayasa perancangan unit pengering

atau mesin yang mampu mensuplai panas secara cukup, bersih, dan terkontrol

sesuai kebutuhan sehingga kualitas mutu karet tetap terjaga.

suhu yang digunakan di dalam kamar asap adalah sebagai berikut :

1. Hari pertama, pengasapan dilakukan dengan suhu kamar asap sekitar 40-45 oC.

2. Hari kedua, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 50-55 oC.

3. Hari ketiga sampai berikutnya, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 55-

60 oC.

Pada hari pertama dibutuhkan asap yang lebih banyak untuk

pembentukan warna. Untuk memperbanyak asap dapat digunakan jenis kayubakar

(umumnya menggunakan kayu karet) yang masih basah. Pada hari kedua
lembaran harus dibalik untuk melepaskan lembaran yang lengket terhadap gantar

dan juga agar sisi lain lembaran bisa terkena asap sehingga pengasapan merata.

Mulai hari ketiga dan seterusnya yang dibutuhkan adalah panas guna memperoleh

tingkat kematangan yang tepat (Sayurandi, 2012)

PROSES SORTASI

Proses sortasi dilakukan secara visual berdasrkan warna, kotoran,

gelembung udara, jamur dan kehalusan gilingan yang mengacu pada standard

yang terdapat pada SNI 06-0001-1987. Secara umum sit diklasifikasikan dalam

mutu RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, RSS 5 dan Cutting. Cutting merupakan

potongan dari lembaran yang terlihat masih mentah, atau terdapat gelembung

udara hanya pada sebagian kecil, sehingga dapat digunting.

1. RSS 1

Kelas ini harus memenuhi persyaratan yaitu, lembaran yang dihasilkan

harus benar-benar kering, bersih, kuat, tidak ada cacat, tidak berkarat, tidak

melepuh serta tidak ada benda-benda pengotor. Jenis RSS 1 tidak boleh ada garis-

garis pengaruh dari oksidasi, lembaran lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi,

belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar.

Bila terdapat gelembung-gelembung berukuran kecil (seukuran jarum pentul)

masih diperkenankan, asalkan letaknya tersebar merata. Pembungkusan harus baik

agar tidak terkontaminasi jamur. Tetapi, bila sewaktu diterima terdapat jamur

pada pembungkusnya, masih dapat diizinkan asalkan tidak masuk ke dalam

karetnya

2. RSS 2
Kelas ini tidak terlalu banyak menuntut kriteria. Standar RSS 2 hasilnya harus

kering, bersih, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran.

Lembaran tidak diperkenankan terdapat noda atau garis akibat oksidasi, lembaran

lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan

berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Lembaran kelas ini masih menerima

gelembung udara serta noda kulit pohon yang ukurannya agak besar (dua kali

ukuran jarum pentul). Zat-zat damar dan jamur pada pembungkus, kulit luar

bandela atau pada lembaran di dalamnya masih dapat ditorerir. Tetapi bila sudah

melebihi 5% dari bandela, maka lembaran akan ditolak.

3. RSS 3

Standar karet RSS 3 harus kering, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan

tidak terdapat kotoran Bila terdapat cacat warna, gelembung udara besar (tiga kali

ukuran jarum pentul), ataupun noda-noda dari kulit tanaman karet, masih ditorerir.

Namun, tidak diterima jika terdapat noda atau garis akibat oksidasi, lembaran

lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan

berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Jamur yang terdapat pada

pembungkus kulit luar bandela serta menempel pada lembaran tidak menjadi

masalah, asalkan jumlahnya tidak melebihi 10% dari bandela dimana contoh

diambil.

4. RSS 4

Standar karet RSS 4 harus kering, kuat, tidak cacat, tidak melepuh serta tidak

terdapat pasir atau kotoran luar. Yang diperkenankan adalah bila terdapat

gelembung udara kecil-kecil sebesar 4 kali ukuran jarum pentul, karet agak rekat

atau terdapat kotoran kulit pohon asal tidak banyak. Mengizinkan adanya noda-
noda asalkan jernih. Lembaran lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi dan karet

terbakar tidak bisa diterima. Bahan damar atau jamur kering pada pembungkus

kulit bagian luar bandela serta pada lembaran, asalkan tidak melebihi 20% dari

keseluruhan masih mungkin untuk kelas RSS 4

5. RSS 5

Karet yang dihasilkan harus kokoh, tidak terdapat kotoran atau benda asing,

kecuali yang diperkenankan. Dibanding dengan kelas RSS yang lain RSS 5 adalah

yang terendah standarnya. Bintik-bintik, gelembung kecil, noda kulit pohon yang

besar, karet agak rekat, kelebihan asap dan sedikit belum kering masih termasuk

dalam batas toleransi. Bahan damar atau jamur kering pada pembungkus kulit

bagian luar bandela serta pada lembaran, asalkan tidak melebihi 30% dari

keseluruhan masih mungkin untuk kelas RSS 5. Pengeringan pada suhu tinggi dan

bekas terbakar tidak diperkenankan untuk jenis kelas ini (Aidi dan Woelan. 2007)

PENGUJIAN BARANG KARET

Untuk mendapatkan barang karet dengan mutu yang baik, perlu dilakukan

analisis karet beserta bahan kimia yang digunakan sebagai addiftiv dalam

pembuatan kompon karet, baik terhadap barang karet yang belum divulkanisasi

maupun yang sudah divulkanisasi.

Analisis barang karet dapat dilakukan berupa pengujian sifat fisika dan

analisis kimia, analisis kimia yang dilkukan meliputi analisis jenis bahan dan

analisis jumlah setiap bahan yang terdapat dalam barang karet. Sedangkan analisis

fisika meliputi uji ketebalan, kuat tarik, kekerasan, perpanjangan putus, ketahanan

sobek, bobot jenis, ketahanan kikis, ketahanan retak lentur dan

organoleptis. Analisis jenis bahan yang digunakan bertujuan untuk memberikan


informasi mengenai jenis karet, bahan pelunak, bahan pengisi, bahan pencepat,

antioksidan dan bahan kimia karet lainnya. Analisis jumlah memberikan informasi

tentang komposisi bahan utama penyusun barang karet yaitu karet, serta bahan

pelunak, karbon black, abu dan ekstrak acetone. Hasil analisis dapat digunakan

sebagai dasar perkiraan dalam pembuatan barang karet atau yang lebih baik

(Riza,2012)
DAFTAR PUSTAKA

Aidi-Daslin, Sayurandi dan S.Woelan. 2007. Analisis kekerabatan genetik


populasi F1 hasil persilangan tetua tanaman karet penghasil lateks dan
kayu berdasarkan teknik RAPD. Jurnal Penelitian Karet.

Aidi-Daslin. 2006. Kemajuan pemuliaan dan seleksi dalam menghasilkan kultivar


karet unggul. Dalam Pros. Lokakarya Nasional. Pemuliaan Tanaman
Karet, Pusat penelitian karet.

Cici Tresniawati, Nur Kholilatul Izzah dan Widi Amaria. 2014. Strategi
Pemuliaan Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg) Terhadap
Penyakit Hawar Daun Amerika Selatan (Salb). Balai Penelitian Tanaman
Industri dan Penyegar. Sukabumi.

Island Boerhendhy Dan Khaidir Amypalupy. 2009. Optimalisasi Produktivitas


Karet Melalui Penggunaan Bahan Tanam, Pemeliharaan, Sistem
Eksploitasi, Dan Peremajaan Tanaman. Balai Penelitian Sembawa.
Palembang.

Lieberei, R. 2007. South American Leaf Blight of the rubber tree (Hevea Spp.):
new steps in plant domestication using physiological features and
molecular markers. Annals of Botany 100: 1125-1142.

Mydin, K. K, and M. A. Mercykutty. 2007. High yield and precocity in RRII 400
series hybrid clones of rubber. Natural Rubber Research.

Riza, A.P. 2012. Bioteknologi Tanaman Karet untuk Indonesia. Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor.

Santoso, B. 1994. Perbaikan pola produktivitas tanaman karet melalui komposisi


klon berimbang di perkebunan. Warta Perkaretan.

Sayurandi.2012. Aktivitas Pemuliaan Tanaman Dalam Perakitan Klon Karet


Unggul Di India. Balai Penelitian Sungei Putih. Medan.

van Beilen, J.B. and Y. Poirier. 2007. Establishment of new crops for the
production of natural rubber. Trends in Biotehchnology 25(11): 522-529.

Anda mungkin juga menyukai