TINJAUAN PUSTAKA
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid),
tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut
cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan
makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa
kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi
atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam
fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang merupakan
sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.1
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut.
Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari
arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Permukaan medial tonsil bentuknya
beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah
epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat
pada fasia pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada
otot pharynx, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.1
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannnya tampak
berlubanglubang kecil yang berjalan ke dalam cryptae tonsillares yang berjumlah 6-20 kripte.
Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam.
Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.1,2
areolar longgar. A. karotis interna terletan 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsil.
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina
asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri
lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah
tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri
palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas
tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari
tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui
pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringea.2
b. Inervasi Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
c. Imunologi
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan
sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil
dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu pertama
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan kedua sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.1,3
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan, setelah
serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Terjadinya perubahan
histologi pada tonsil. Dan terdapatnya jaringan fibrotik yang menyelimuti mikroabses dan
dikelilingi oleh zona sel-sel radang.Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan
diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan
terlihat membesar disertai dengan hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan apabila
tonsil ditekan keluar detritus.3,4
2.3. Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-anak
muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada
anak-anak muda. Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis
merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25
tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis
yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun
keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis
Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada
penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %)
pada kelompok usia 5-14 tahun.2 Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7
provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8%
tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009
sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang
sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11
2.3 Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penelitian dari Commission on
Acute Respiration Disease yang bekerja sama dengan Surgeon General of the Army, dimana
dari 169 kasus didapatkan 25 % disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang pada
masa penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum
penderita. Kemudian 25 % disebabkan oleh Streptokokus lain yang tidak menunjukkan
kenaikan titer Sreptokokus antibodi dalam serum penderita dan sisanya adalah Pneumokokus,
Stafilokokus, Hemofilus influensa.4
Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis antara lain Streptokokus
hemolitikus Grup A, Hemofilus influenza, Streptokokus pneumonia, Stafilokokus (dengan
dehidrasi, antibiotika), dan Tuberkulosis (pada immunocompromise). Beberapa faktor
predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronis, yaitu rangsangan kronis (rokok, makanan),
higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah),
alergi (iritasi kronis dari alergen), keadaan umum (gizi jelek, kelelahan fisik), pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Adapun faktor predisposisi dari tonsillitis kronis antara lain rangsangan kronis seperti
rokok dan makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu
yang berubah-ubah), alergi (iritasi kronis dari alergen), keadaan umum (gizi jelek, kelelahan
fisik), dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.2,5
2.4 Patofisiologi
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submadibularis.3,5
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun
lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis. Pada
penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara
relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. Beberapa Faktor predisposisi
timbulnya tonsillitis kronik yaitu: 1 Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis
makanan 2 Higiene mulut yang buruk 3 Pengaruh cuaca 4 Kelelahan fisik 5 Pengobatan
tonsillitis akut yang tidak adekuat.5
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil yang mungkin tampak :
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis secara
tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan
diagnosis. Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting, karena hampir 50 % diagnosa
dapat ditegakkan dari anamnesa saja.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang berupa
nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada rasa
kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna
dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.
- Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut.
Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju/dempul amat banyak
terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil,
biasanya membuat lekukan dan seringkali dianggap sebagai “kuburan” dimana tepinya
hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.
- Pemeriksaan Penunjang
2.8.Diagnosa Banding
a. Tonsilitis difteri
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala pada
penyakit ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri dimulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan faring
hiperemis, membran putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus
alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.
d. Mononukleosis infeksiosa
e. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat,
karena bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik,
kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen antibody. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa
demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior
membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.
f. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier.
Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil, dan
dinding posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah
faring yang tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula
yang tidak nyeri tekan.
g. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis
tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia dan odinofagia. Pasien
mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar
limfa servikal.5,6,7
2.9.Komplikasi
1 Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2 Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997. p263-340
3 Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
4 Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
6 Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
7 Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 Nd ed.. Philadelphia: WB
Saunders Co; 1959: 239-57.
8 Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ke 6. Jakarta; Balai Penerbitan
FKUI;2011.h.217-8.