Anda di halaman 1dari 25

A.

Judul Penelitian
IMPLEMENTASI SIKLUS BELAJAR MODEL PERMAINAN ”POHKIMON GO”
DENGAN BERBANTUAN LKS DALAM UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS
DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS X MIPA-7 SMA N 1 KUTA
SELATAN TAHUN PELAJARAN 2016/2017

B. Identitas Peneliti
Nama : Komang Wisya Suwadarma
Tempat Tanggal Lahir : Patemon, 4 Januari 1984
NIP : 19840104 200902 1 005
Tempat Tugas : SMA Negeri 1 Kuta Selatan
Jabatan : Guru Kimia

C. Pendahuluan
C.1 Latar Belakang
Dewasa ini perhatian berbagai pihak terhadap dunia pendidikan semakin meningkat. Hal
ini didorong oleh terjadinya perubahan dan perkembangan aspek kehidupan yang perlu
direspon oleh kinerja pendidikan secara profesional dan bermutu tinggi. Mutu pendidikan
yang tinggi mendukung terciptanya sumber daya manusia yang cerdas, mampu bersaing
secara terbuka di era globalisasi, dan mampu memenuhi tantangan reformasi. Untuk mencapai
hal itu, perlu adanya pembenahan dan penyempurnaan dalam berbagai aspek pendidikan.
Menyadari hal tersebut, pemerintah telah melakukan penyempurnaan sistem pendidikan,
antara lain dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pendidikan. Selain itu, pemerintah juga telah melakukan upaya penyempurnaan sistem
pendidikan melalui perubahan kurikulum. Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang
relevan, efektif, efisien, dan fleksibel. Relevansi kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, efektif dalam arti dapat menghasilkan lulusan seperti yang direncanakan, efisien
dalam arti menghasilkan lulusan yang direncanakan dengan menggunakan sumber daya
manusia, waktu, pikiran, dan dana minimal, serta fleksibel dalam arti mudah disesuaikan
untuk mengikuti perubahan kebutuhan masyarakat (Tripod, 2004). Perubahan kurikulum yang
dilakukan tidak akan mendapatkan hasil sesuai dengan harapan jika pelaku pendidikan di
lapangan tidak ikut berpikir maju.

1
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa proses pembelajaran kurang meningkatkan
kreativitas peserta didik. Masih banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode
konvensional secara monoton dalam pembelajaran di kelas, dimana peserta didik hanya
duduk, mendengarkan, dan mencatat, sehingga tidak terlihat aktivitas peserta didik karena
proses pembelajaran hanya didominasi oleh pendidik. Dengan demikian, suasana
pembelajaran terkesan kaku dan kurang kondusif sehingga peserta didik menjadi pasif.
Secara umum kimia dianggap sebagai mata pelajaran yang tergolong sulit dipahami
peserta didik. Hal ini terkait dengan karakteristik ilmu kimia yang memiliki sifat abstraksi
tinggi (Kirna, dkk., 2007). Banyak peserta didik mengalami miskonsepsi karena kekeliruan
dalam proses internalisasi yang dilakukannya. Belajar kimia pada dasarnya adalah proses
bermakna untuk mencapai kompetensi atau kecakapan hidup (life skill). Agar pembelajaran
kimia menjadi bermakna, guru tidak cukup mengajarkan apa yang mesti dipelajari oleh
peserta didik, tetapi yang lebih penting bagaimana mereka belajar. Untuk itu, dalam
mengajarkan materi ajar guru harus menguasai strategi dan pedagogi untuk melakukan
transformasi pengetahuan supaya mudah dipahami oleh peserta didik yang memiliki
kemampuan dan latar belakang berbeda-beda.
Salah satu bidang kajian ilmu kimia yang pada kurikulum 2013 diajarkan di kelas X
Semester I SMA/MA adalah Penentuan Orbital Molekul. Materi tersebut kaya akan kajian
yang bersifat mikroskopis dan jarang ditemukan dalam kehidupan nyata, sehingga sulit
dipahami oleh peserta didik. Kondisi itu diperparah lagi mengingat guru cenderung
mengajarkannya hanya memakai metode ceramah sehingga aktivitas peserta didik tidak
terlihat. Hal ini tentu tidak sesuai dengan proses pembelajaran kurikulum 2013 yang menuntut
partisipasi aktif dari seluruh peserta didik, dimana kegiatan belajar berpusat pada peserta didik
dan guru sebagai motivator dan fasilitator. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya penerapan
model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas proses aktivitas peserta didik dan hasil
belajar peserta didik, terutama dengan berbagai metode yang pembelajarannya menyenangkan
peserta didik.
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada era globalisasi ini memiliki peranan
yang semakin penting. Salah satu ilmu pengetahuan yang berperan penting dalam kemajuan
IPTEK adalah Sains, termasuk di dalamnya ilmu kimia. Ilmu kimia berperan penting bagi
kemajuan teknologi terutama teknologi pangan, lingkungan, pertanian, farmasi, tekstil, dan
forensik. Itulah sebabnya kimia sering dikatakan sebagai “The Central Science” (Sutresna,

2
2004). Pendidikan Sains sebagai salah satu bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi harus mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Sejauh ini di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai
perangkat fakta-fakta yang harus dihafal (Depdiknas, 2003). Seringkali peserta didik mampu
menyajikan tingkat hafalan tentang materi yang diterimanya, tetapi dalam kenyataannya
peserta didik tidak mampu mengaitkan materi yang dipelajarinya dengan bagaimana
pengetahuan tersebut akan digunakan atau dimanfaatkan. Peserta didik mengalami kesulitan
mengaitkan konsep karena peserta didik kurang mendapat kesempatan untuk mengkonstruksi
sendiri pengetahuannnya.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kualitas
pendidikan, seperti peningkatan atas kualifikasi guru, perubahan dan perbaikan kurikulum,
pengadaan sarana dan prasarana. Namun, masih banyak sekolah yang mengalami
permasalahan dalam proses pembelajaran di kelas. Salah satunya tercermin dari hasil belajar
peserta didik yang belum optimal, baik dari prestasi belajar peserta didik maupun aktivitas
peserta didik di kelas, seperti pada peserta didik kelas X MIPA-7, SMA N 1 Kuta Selatan. Hal
ini dapat dilihat dari rata-rata nilai ketuntasan klasikal kimia peserta didik pada KD 3.2
tentang struktur atom dan KD 3.3 tentang penentuan letak suatu unsur dalam Sistem Periodik
Unsur, yaitu sebesar 69,34 dari KKM sekolah sebesar 67.
Sesuai dengan pedoman pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM) di SMA N 1 Kuta
Selatan, disebutkan bahwa aspek kognitif telah mencapai skor minimal 67 atau ketuntasan
individualnya ≥ 67. Peserta didik dikatakan tuntas pada aspek psikomotor jika rata-rata nilai
psikomotornya berada pada ≥ 67. Data tersebut menunjukkan masih rendahnya prestasi
belajar kimia di SMA N 1 Kuta Selatan khususnya di kelas X MIPA-7. Rendahnya prestasi
belajar kimia di SMA N 1 Kuta Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya dalam
proses pembelajaran.
Pertama, pola pembelajaran kimia yang cenderung menggunakan metode ceramah,
kemudian dilanjutkan dengan latihan soal sehingga kurang adanya keragaman metode dan
pola belajar. Hal ini mengakibatkan peserta didik cenderung hanya sebagai pendengar yang
pasif.
Kedua, peserta didik cenderung pasif saat proses pembelajaran berlangsung. Pada saat
peserta didik diberikan permasalahan yang terkait dengan materi yang diberikan pada
pertemuan sebelumnya terdapat beberapa peserta didik tidak dapat
menjawab/menyelesaikannya. Kurangnya kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan

3
permasalahan diakibatkan peserta didik hanya menghafal materi yang diberikan guru dan
kurang memahaminya. Kurangnya pemahaman tersebut menyebabkan peserta didik tidak tahu
secara praktis proses penemuandari suatu informasi yang telah diterima baik dari guru
maupun dari hasil membaca buku. Peserta didik menjadi kuarng mampu merefleksi kegiatan
kognitif yang telah mereka lakukan dalam proses pembelajaran, dan belum mengetahui apa
yang tidak dimengerti terhadap materi yang diberikan. Hal ini mencerminkan proses
pengkonstruksian pengetahuan peserta didik masih lemah.
Ketiga, selama proses pembelajaran, peserta didik jarang belajar secara berkelompok,
sehingga kurangnya interaksi antara peserta didik dengan peserta didik maupun peserta didik
dengan guru. Kurangnya interaksi antara peserta didik dengan guru terlihat dari enggannya
peserta didik dalam mengemukakan pendapat maupun mengajukan pertanyaan saat proses
pembelajaran berlangsung. Peserta didik merasa malu dan takut untuk mengemukakan
pendapatnya dan mengajukan pertanyaan. Rasa malu dan takut yang muncul pada diri peserta
didik disebabkan oleh: (1) Kecenderungan peserta didik menertawakan peserta didik lain yang
mengemukakan pendapat yang salah, (2) tidak mau dianggap kurang dalam pembelajaran
karena mengajukan pertanyaan terhadap gurunya. Selain itu peserta didik merasakan adanya
jurang pemisah yang cukup tinggi antara peserta didik yang berkemampuan tinggi dengan
peserta didik yang berkemampuan rendah. Peserta didik cenderung bekerja sendiri-sendiri dan
jarang tukar informasi dengan teman-teman di kelasnya. Padahal dalam Kurikulum 2013,
peserta didik dituntut bekerja dalam kelompok-kelompok kecil atau bekerja mandiri dalam
proses pembelajar, dalam rang mempelajari teori dan contoh, mengerjakan tugas-tugas,
menggunakan alat-alat bantu, mempelajari dan memilih pustaka. Disamping itu gutu
diharapkan mengajak peserta didik secara keseluruhan untuk melakukan diskusi kelas, guru
bertugas sebagai fasilitator untuk memberikan bantuan secara klasikal atau individual kepada
peserta didik yang membutuhkan (Depdiknas, 2004:1).
Keempat, evalusi terhadap pembelajaran masih terbatas pada paper and pencil test
sebagai satu-satunya alat penilaian dalam mengukur keberhasilan peserta didik pada aspek
kognitif. Penilaian kognitif hanya mengacu pada perolehan dari ulangan blok saja, sedangkan
aspek psikomotor yang juga menjadi tuntutan kurikulum dalam proses pembelajaran di kelas
belum dilakukan penilaian secara optimal oleh guru. Penekanan lebih banyak pada hasil
belajar daripada proses belajar. Sememtara penilaian pada kinerja peserta didik cenderung
diabaikan dan tidak diperhitungkan sebagai suatu penilaian yang bermakna.

4
Kelima, aktivitas peserta didik dalam mengikuti pelajaran masih sangat kurang. Dalam
pembelajaran peserta didik yang aktif hanya peserta didik yang pintar, sedangkan peserta
didik yang memiliki kemampuan kurang hanya menjadi pendengar dan menunggu perintah
guru saja.
Keenam, penggunaan Lembar Kegiatan Peserta didik (LKS) sebagai media
pembelajaran masih belum banyak dilakukan. Masalah-masalah yang ditemukan sehari-hari
yang terkait dalam kimia sebenarnya dapat dikemas dalam LKS. LKS merupakan salah satu
sarana yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam proses
belajar mengajar karena dalam LKS terdapat sejumlah informasi serta instruksi yang
ditujukan untuk mengarahkan peserta didik bertingkah laku sebagaimana diharapkan
(Selamat,dkk., 2004).
Berdasarkan uraian permasalahan di kelas X MIPA-7, maka untuk mencapai tujuan
pembelajaran secara optimal, perlu diterapkan strategi atau model pembelajaran yang inovatif
yang sesuai dengan kondisi budaya pebelajar dan mengarahkan kepada pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik. Salah satu model pembelajaran serta pendekatan yang akan
diterapkan adalah model belajar permainan Pohkimon GO (Penentuan Orbital Hibridisasi dan
Bentuk Geometri Molekulnya). Metode ini terinspirasi dari meledaknya permainan Pokemon
Go, yang berusaha menemukan suatu pokemon dengan mencari di lingkungan sekitar.
Salah satu metode pembelajaran yang menyenangkan adalah metode permainan. Hal ini
dikarenakan metode permainan akan membuat anak merasa senang atau tidak tertekan dalam
melakukannya. Anak justu merasa senang dan bahkan merasa tidak sadar kalau sebenarnya
mereka sedang belajar. Menurut Winkel (Dwi Sunar Prasetyono, 2008:51), jika dalam hati
perasaan senang, maka biasanya akan menimbulkan minat. Bila diperkuat dengan sikap
positif, maka minat akan berkembang dengan baik. Permainan ini juga diharapkan memacu
kreatifitas, aktivitas, dan kerjasama peserta didik, sehingga nantinya diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar peserta didik.

C.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
a. Apakah implementasi model belajar permainan Pohkimon GO dengan berbantuan
LKS dapat meningkatkan aktifitas peserta didik dalam pembelajaran kimia?

5
b. Apakah implementasi model belajar permainan Pohkimon GO dengan berbantuan
LKS dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran kimia?

C.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan aktivitas peserta didik kelas X MIPA-7
SMA N 1 Kuta Selatan melalui implementasi model belajar permainan Pohkimon GO
dengan berbantuan LKS.
b. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan prestasi belajar peserta didik kelas X
MIPA-7 SMA N 1 Kuta Selatan melalui implementasi model belajar permainan
Pohkimon GO dengan berbantuan LKS.

C.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif pendekatan dalam upaya
meningkatkan prestasi belajar siswa.
b. Hasil penelitian ini dapat memotivasi guru-guru untuk mengembangkan proses
pembelajaran dengan model permainan untuk materi atau bidang studi yang lain.

D. Kajian Pustaka
D.1 KARAKTERISTIK ILMU KIMIA
Ilmu kimia mempunyai kedudukan yang sangat penting di antara ilmu-ilmu lain karena
ilmu kimia dapat menjelaskan secara mikro (molekuler) terhadap fenomena makro. Di
samping itu, ilmu kimia memberikan konstribusi yang penting dan berarti terhadap
perkembangan ilmu-ilmu terapan, seperti pertanian, kesehatan, dan perikanan serta teknologi
(Depdiknas, 2003).
Ilmu kimia merupakan cabang IPA yang khusus mempelajari struktur, susunan, sifat,
dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan tersebut. Pembahasan tentang
struktur materi mencakup struktur partikel yang menyusun materi mikroskopis, dan
bagaimana partikel-partikel yang sangat kecil tersebut bergabung membentuk materi dengan
ukuran yang lebih besar sehingga bisa diamati. Pembahasan susunan materi mancakup
komponen-komponen penyusun materi dan perbandingan jumlah komponen penyusun materi

6
tersebut. Sifat materi dideskripsikan sebagai sifat fisika yang berhubungan dengan sifat
makroskopis dan sifat kimia yang berhubungan dengan jenis partikel materi. Perubahan
materi dideskripsikan menjadi perubahan fisika dan perubahan kimia yang fenomenanya bisa
diamati, tetapi apa yang terjadi di tingkat partikel materi merupakan kajian mikroskopis
(Depdiknas, 2003).
Aspek kimia bersifat “kasat mata” (visible), artinya dapat dibuat fakta kongkritnya
(makroskopis), dan sebagian aspek yang lain “tidak kasat mata” (invisible), artinya tidak bisa
dibuat fakta kongkritnya (mikroskopis). Namun demikian, aspek kimia yang tidak “kasat
mata” masih bersifat “kasat logika”, artinya kebenarannya bisa dibuktikan dengan
menggunakan logika kimia atau kajian teoritik (Depdiknas, 2006). Atas dasar itu
pembelajaran konsep-konsep kimia memiliki ciri-ciri khusus, terutama menekankan
keterkaitan aspek makroskopis, mikroskopis dan simbol (Kirna, dkk. 2007).
\
Makroskopis

Simbolik Mikroskop

Gambar 1. Tiga Aspek Ilmu Kimia

Pembelajaran kimia menghendaki adanya jalinan konseptual antara representasi


makroskopis, mikroskopis, dan simbolik. Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa
mempelajari representasi mikroskopis dan simbolik kimia merupakan hal yang sulit bagi
peserta didik (Osborne & Freyberg, 1985; dan Ben-Zvi, Eylon & Silberstein, 1987 dalam
Subarkah, 2008). Kesulitan peserta didik di antaranya disebabkan oleh adanya
ketidaksesuaian antara pengetahuan yang didapatkannya di sekolah dengan pengalaman dunia
nyata dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik cenderung hanya menghafalkan representasi
mikroskopis dan simbolik yang bersifat abstrak, sehingga ilmu kimia cenderung dianggap
sebagai ilmu yang sulit untuk dipelajari. Di sisi lain, banyak informasi kimia dapat diperoleh
peserta didik dari lingkungannya merupakan gambaran kimia makroskopis konkrit (Wu, 2004
dalam Suja, 2008).
Konsep-konsep dalam kimia merupakan konsep yang berjenjang, artinya berkembang
dari konsep yang sederhana sampai konsep-konsep kompleks (Sastrawijaya dalam Suheimi,

7
2003). Suatu konsep yang kompleks hanya bisa dipelajari (dikuasai) jika sudah menguasai
konsep yang lebih sederhana, kemudian diikuti dalam pembentukan konsep-konsep baru yang
benar-benar telah dikuasai. Pembelajaran konsep-konsep kimia tidak dapat dilakukan secara
verbal saja, tetapi harus disertai dengan kegiatan tertentu seperti melakukan percobaan dan
mempergunakan model/media.

D.2 Siklus Belajar


Siklus belajar merupakan salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model
konstruktivis (Herron, 1988 dalam Dahar, 1996). Siklus belajar terdiri dari tiga fase, yaitu
fase eksplorasi, fase pengenalan konsep, dan fase aplikasi konsep. Pada fase eksplorasi
peserta didik belajar melalui aksi dan reaksinya sendiri dalam menghadapi situasi baru.
Mereka diharapkan mampu mengidentifikasi adanya pola keteraturan dalam fenomena yang
diselidikinya, namun tetap menyisakan permasalahan yang tidak dapat dipecahkannya dengan
gagasan-gagasan sendiri atau dengan pola-pola penalaran yang biasa digunakannya. Fase
pengenalan konsep biasanya dimulai dengan memperkenal-kan konsep-konsep yang ada
hubungannya dengan fenomena yang diselidiki, dan didiskusikan dalam konteksnya dengan
hasil eksplorasi. Terakhir, pada fase aplikasi konsep peserta didik diberikan kesempatan
untuk menggunakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan kepadanya, termasuk untuk
melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Lawson (1988) dalam Dahar (1996), mengemukakan tiga macam siklus belajar, yaitu:
deskriptif, empiris-induktif, dan hipotetis-deduktif. Ketiga siklus belajar tesebut
menunjukkan suatu kontinum dari sains deskriptif hingga sains eksperimental. Ketiga siklus
belajar tersebut menghendaki perbedaan dalam inisiatif, pengetahuan, dan kemampuan
menalar para peserta didik. Pada siklus belajar deskriptif peserta didik menemukan dan
memaparkan suatu pola empiris dalam konteks khusus (fase eksplorasi), guru memberikan
nama dan penjelasan tentang pola tersebut (fase pengenalan konsep), selanjutnya pola tersebut
ditentukan dalam konteks-konteks yang lainnya (fase aplikasi konsep).
Pada siklus belajar empiris-induktif peserta didik juga dikondisikan untuk menemukan
dan memaparkan suatu pola empiris dalam konteks khusus (fase eksplorasi), tetapi mereka
dituntut untuk mengemukakan penyebab atas terjadinya pola tersebut. Hal itu membutuhkan
penalaran dan analogi untuk mentransfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-
konteks lainnya (fase pengenalan konsep). Akhirnya, dengan bimbingan guru para peserta
didik menganalisis data yang dikumpulkannya selama fase eksplorasi untuk melihat apakah

8
sebab-sebab yang dihipotesiskan ajeg dengan data dan fenomena lain (fase aplikasi konsep).
Singkatnya, siklus belajar empiris-induktif memberikan peluang bagi peserta didik untuk
melakukan pengamatan secara deskriptif, tetapi mesti ditindaklanjuti dengan mengemukakan
penyebab pola yang ditemukan dan mengujinya pada kasus yang lain.
Siklus belajar hipotetis-deduktif dimulai dengan pertanyaan tentang sebab suatu
masalah (fase eksplorasi). Para peserta didik diminta untuk merumuskan hipotesis-hipotesis
terhadap permasalahan yang diajukan guru. Selanjutnya, mereka diminta untuk menurunkan
konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis tersebut, serta merencanakan dan
melakukan eksperimen untuk menguji hipotesis yang telah disusunnya (fase pengenalan
konsep). Analisis hasil-hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak, sedangkan
yang lainnya diterima. Dari hipotesis yang diterima dapat diperkenalkan konsep-konsep
pendukungnya kepada peserta didik (fase pengenalan konsep). Pada akhirnya, konsep-konsep
tersebut dan pola-pola penalaran-nya diterapkan untuk situasi-situasi yang lain (fase aplikasi
konsep). Dengan demikian, siklus belajar hipotetis-deduktif menuntut peserta didik untuk
merumuskan hipotesis melalui deduksi logis dengan hasil empiris.

D.3 Model Permainan Pohkimon GO


Salah satu model pembelajaran yang menyenangkan adalah metode permainan. Hal ini
dikarenakan metode permainan akan membuat anak merasa senang atau tidak tertekan dalam
melakukannya. Anak justu merasa senang dan bahkan merasa tidak sadar kalau sebenarnya
mereka sedang belajar. Menurut Winkel (Dwi Sunar Prasetyono, 2008:51), jika dalam hati
perasaan senang, maka biasanya akan menimbulkan minat. Bila diperkuat dengan sikap
positif, maka minat akan berkembang dengan baik. Permainan ini juga diharapkan memacu
kreatifitas, aktivitas, dan kerjasama peserta didik, sehingga nantinya diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Model belajar dengan permainan Pohkimon GO (Penentuan Orbital Hibridisasi dan
Bentuk Geometri Molekulnya), terinspirasi dari meledaknya permainan Pohkimon GO, yang
berusaha menemukan/menangkap Pokestops (monster pokemon) dengan mencari di
lingkungan sekitar. Para pemain berusaha menemukan Pokestops dengan media HP melalui
teknologi AR (Augmented Reality), sehingga para pemain Pohkimon GO dituntut untuk
berinteraksi langsung dengan lingkungan untuk menangkap Pokestops yang tersebar di
lingkungan sekitar. Interaksi itulah yang diaplikasikan dalam pembelajaran kimia materi
pelajaran Orbital Molekul dengan model permainan Pohkimon GO.

9
Dalam model permainan Pohkimon GO, peserta didik akan mencari kepingan Gemoh
(Geometri Molekul dan Orbital Hibridisasi) yang peneliti sebar di lingkungan sekitar sekolah.
Sebagai pengganti HP dalam menangkap monster pokemon, peserta didik diberikan LKS
(Lembar Kerja Siswa) untuk menuntun pencarian Gemoh tersebut. Gemoh yang sudah
terkumpul akan ditempelkan pada tabel yang sudah disediakan dalam LKS.

D.4 Lembar Kerja Siswa


Lembar kerja siswa (LKS) adalah lembar duplikat yang dibagikan guru kepada peserta
didik di satu kelas untuk melakukan suatu kegiatan (aktivitas) belajar mengajar (Pujani,
2002). Dalam LKS terdapat sejumlah informasi serta instruksi yang ditujukan untuk
mengarahkan peserta didik bertingkah laku sebagaimana diharapkan pembuatnya.
Penggunaan LKS dimaksudkan untuk menumbuhkan aktivitas peserta didik dalam
kegiatan pembelajaran. Faktor utama untuk mengoptimalkan tercapainya hasil belajar adalah
keterlibatan peserta didik atau aktivitas peserta didik dalam proses belajar mengajar. Salah
satu sarana yang dapat digunakan guru untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik atau
aktivitas peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar adalah penggunaan lembar kerja
peserta didik (Selamat,dkk. 2000). Di samping itu, penggunaan LKS dalam proses belajar
mengajar juga dapat memudahkan guru untuk mengelola proses belajar mengajar, misalnya
mengubah kondisi belajar dari ’guru sentris’ (guru menerangkan, mendikte, dan
memerintahkan; sedangkan peserta didik mendengar, mencatat dan mematuhi perintah guru)
berubah menjadi ’peserta didik sentris’ (peserta didik memperoleh informasi dari berbagai
sumber) (Darmajo dan Kaligis,1992).
Adapun unsur-unsur LKS menurut Ardana (2000) yaitu:
1. materi pokok yang akan dibicarakan
2. tujuan pembelajaran untuk topik yang akan dibicarakan.
3. beberapa pertanyaan dan langkah-langkah yang mungkin dapat dilakukan
untuk menggali prakonsepsi siswa (pengetahuan yang terkait dengan yang
dibicarakan)
4. beberapa pertanyaan yang mengaitkan prakonsepsi mereka dengan konsep
yang akan diuji
5. beberapa pertanyaan yang dapat membantu siswa sehingga siswa mampu
membuat hubungan antar ide-ide matematis dan hubungan antar pengetahuan
konseptual dan prosedural

10
beberapa soal latihan sebagai bahan dalam aplikasi konsep.
Menurut Waluyo (dalam Wisna, dkk, 2003) ada beberapa alasan perlunya pengerjaan
tugas dalam LKS, yaitu sebagai berikut.
1) Dapat meningkatkan ingatan peserta didik pada suatu konsep dengan lebih lama,
bahkan bisa permanen, sehingga dapat mengurangi jumlah peserta didik yang gagal
dan menunjukkan kinerja yang tidak memuaskan.
2) Memberikan kesempatan yang luas untuk terjadinya interaksi antar peserta didik dan
lebih memperhatikan keadaan individu peserta didik.
3) Dapat menjadikan pebelajar lambat laun mampu bekerja secara mandiri, sehingga
menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik.
4) Guru mempunyai waktu yang lebih untuk memantau setiap peserta didik, sehingga
dapat melakukan bimbingan individu maupun kelompok.
Manfaat yang diperoleh dari proses pembelajaran menggunakan LKS sebagaimana
diungkapkan oleh Suwindra (2001) adalah sebagai berikut.
1) Dapat meningkatkan motivasi peserta didik, karena setiap kali mengerjakan LKS
mereka harus dituntut membaca buku materi yang sesuai dengan yang ada pada LKS,
sehingga arah belajar lebih jelas.
2) Peserta didik akan menyadari kekeliruannya atau kesalahannya tentang apa yang
mereka kerjakan dalam LKS setelah diadakan diskusi dan mereka dituntut untuk
berupaya memperbaikinya.
3) Peserta didik mampu mengukur kemampuannya, karena dalam LKS sudah ada upaya
memunculkan daya nalar peserta didik dan menyimpulkan suatu konsep.
4) Proses pembelajaran akan menjadi lebih terencana karena setiap kali mengerjakan
LKS suatu konsep diharapkan terselesaikan.
5) Pemahaman konsep akan menjadi lebih terstruktur, karena urutan pemberian materi
telah terencana dalam LKS.
Citrawati dkk. (2001) menyatakan LKS memiliki manfaat sebagai berikut : 1)
memudahkan guru untuk mengelola proses pembelajaran, misalnya mengubah kondisi belajar
dari suasana “guru sentries” yaitu guru yang menerangkan, mendikte, memerintah dan peserta
didik hanya mendengar, mencatat dan mematuhi semua perintah guru. Berubah menjadi
“peserta didik sentris” yaitu peserta didik mendapat informasi dari berbagai sumber, misalnya
dari perpustakaan, internet, mengamati sendiri di lapangan, dan 2) LKS dapat membantu guru
mengarahkan peserta didiknya untuk menemukan konsep-konsep melalui aktifitasnya sendiri

11
atau kelompok kerja, mengembangkan keterampilan proses, serta membengkitkan minat
peserta didik terhadap alam sekitarnya.

D.5 AKTIVITAS BELAJAR PESERTA DIDIK


Aktivitas adalah segala kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani maupun
rohani (Sriyoni dalam Miniawati, 2006). Aktivitas peserta didik adalah aktivitas fisik yang
nampak relevan dengan kegiatan pembelajaran. Aktivitas peserta didik dalam pembelajaran
sangat penting karena dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik dan suasana pada
saat pembelajaran berlangsung. Di sini terlihat jelas seorang guru untuk menumbuh
kembangkan aktivitas peserta didik. Seorang guru harus mampu meramu/ menciptakan situasi
pembelajaran menjadi suasana yang sedemikian rupa, sehingga peserta didik menjadi aktif.
Dalam pembelajaran, aktivitas peserta didik sangat penting, karena:
1. para peserta didik mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri;
2. memupuk kerjasama yang harmonis di kalangan peserta didik;
3. para peserta didik bekerja menurut minat dan kemampuan sendiri;
4. memupuk disiplin kelas secara wajar dan suasana belajar menjadi demokratis;
5. pengajaran diselenggarakan secara realistis dan kongkrit, sehingga
mengembangkan pemahaman dan berpikir kritis; dan
6. pengajaran di sekolah menjadi hidup.
Jenis aktivitas itu banyak sekali macamnya. Dierich (dalam Hamalik, 2004) membagi
aktivitas menjadi delapan.
1. Kegiatan-kegiatan visual, yaitu: membaca, melihat gambar-gambar, mengamati
eksperimen, demonstrasi, pameran dan mengamati orang lain bekerja atau bermain.
2. Kegiatan-kegiatan lisan, yaitu: mengemukakan suatu prinsip atau fakta,
menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran,
mengemukakan pendapat, wawancara, dan diskusi.
3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan, yaitu: mendengarkan penyajian bahan,
mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok dan mendengarkan radio.
4. Kegiatan-kegiatan menulis, yaitu: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa
karangan, membuat rangkuman, mengerjakan tes dan mengisi angket.
5. Kegiatan-kegiatan menggambar, yaitu: menggambar, membuat grafik, diagram peta
dan pola.
6. Kegiatan-kegiatan metrik, yaitu: melakukan percobaan, memilih alat-alat,
melaksanakan pameran, membuat model, menari dan menyelenggarakan
permainaan.
7. Kegiatan-kegiatan mental, yaitu: merenungkan, mengingat, memecahkan masalah,
menganalisis, melihat, hubungan-hubungan dan membuat keputusan.
8. Kegiatan-kegiatan emosional, yaitu: tenang, berani membedakan dan lain-lain.

12
D.6 HASIL BELAJAR
Hasil belajar merupakan suatu tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Hasil
belajar dapat dibedakan menjadi dampak pembelajaran dan dampak pengiring. Dampak
pembelajaran adalah hasil yang dapat diukur seperti tertuang dalam angka raport, angka
dalam ijazah atau kemampuan berenang setelah latihan. Dampak pengiring adalah terapan
pengetahuan dan kemampuan di bidang lain (Dimyati & Mudjiono, 2001).
Suatu pengajaran yang baik, apabila proses pengajaran itu menggunakan waktu yang
cukup sekaligus dapat membuahkan hasil (pencapaian kompetensi yang diinginkan) secara
tepat, cermat, dan optimal. Untuk mengetahui pencapaian tujuan yang diinginkan, dilakukan
pengukuran terhadap penguasaan konsep belajar peserta didik melalui tes hasil belajar. Tes
merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu
dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2002).

E. Metodologi Penelitian
E.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian tindakan kelas. Penelitian adalah proses
pengamatan terhadap suatu objek dengan menggunakan metodologi untuk mendapatkan data
akurat mengenai peningkatan objek yang diteliti, tindakan menunjuk pada sesuatu gerak
kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu, sedangkan kelas merupakan kegiatan
yang dilakukan selama penelitian yang terdiri dari beberapa siklus, dan kelas merupakan
tempat para siswa mendapatkan pelajaran dari guru yang sama (Suharsimi Arikunto, dkk.,
2009:2). Secara ringkas, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah bagaimana sekelompok
guru dapat mengorganisasikan kondisi praktek pembelajaran mereka, dan belajar dari
pengalaman sendiri (Rochiati Wiriaatmadja, 2007:13).

E.2 Lokasi dan Setting Penelitian


Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Kuta Selatan, dengan waktu penelitian
disesuaikan dengan jadwal kegiatan program, yaitu bulan Oktober – Desember 2016. Adapun
rincian rencana kegiatan adalah sebagai berikut.
Proposal : Oktober 2016
Perijinan : Oktober 2016
Pengumpulan Data : Nopember 2016

13
Analisis Data : Desember 2016
Penulisan Laporan : Desember 2016

E.3 Subjek dan Objek Penelitian


Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X MIPA-7 SMA Negeri 1 Kuta Selatan,
sedangkan objek penelitiannya adalah aktivitas dan hasil belajar siswa kelas X MIPA 7.

E.4 Prosedur Penelitian


Penelitian ini direncanakan dalam 2 (dua) siklus yang berisi tahap perencanaan,
aksi/tindakan, observasi dan refleksi dengan model Taggart. Bagan siklus dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Gambar 2. Bagan Model Taggart


Pada kegiatan siklus akan dilakukan sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
a. Rencana tindakan siklus I
1. Perencanaan
 Peneliti melakukan analisis kurikulum untuk menentukan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang akan disampaikan kepada siswa dengan menggunakan
pembelajaran siklus belajar model permainan Pohkimon GO.

14
 Membuat rencana pembelajaran kooperatif model permainan Pohkimon GO dan
lembar observasi.
 Membuat Instrumen yang digunakan dalam siklus penelitian tindakan kelas/alat
bantu/media yang diperlukan.
 Membuat alat evaluasi
2. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan mengacu pada skenario dan RPP yang telah dirancang.
Pelaksanaan tindakan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal, inti, dan akhir. Guru
menerapkan metode permainan Pohkimon GO, dan pengawasan dilakukan oleh guru
yang bertindak sebagai observer.
a). Tahap awal
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan diantaranya mempersiapkan materi dan
merancang pembelajaran, membuat kriteria kelompok Heterogen (jenis kelamin,
kemampuan serta agama) dan mempersiapkan instrument observasi disertai cara
penskoran.
b). Tahap inti
Dalam tahap ini pengajar menyebutkan tujuan pembelajaran memotivasi rasa ingin
tahu, memberikan apersepsi, umpan balik sesering mungkin, penjelasan yang tepat
agar tidak terjadi miskonsepsi, dan beralih pada konsep lain, jika siswa telah
memahami pokok masalahnya.
Selanjutnya masing-masing kelompok menerima LKS, siswa mempelajari
konsep-konsep materi Kimia, dan melaksanakan petunjuk yang ada di dalam LKS.
Semua siswa dalam satu kelompok saling berdiskusi untuk mengerjakan latihan
soal yang diberikan dan mencari Gemoh (Geometri Molekul dan Orbital
Hibridisasi) yang disebar di lingkungan sekolah. Mereka terus berkomunikasi dan
selalu mengerjakan petunjuk yang tertera dalam LKS.

c). Tahap akhir


Peserta didik menyimpulkan konsep tentang materi yang dipelajari. Guru
memberikan tanggapan dan penegasan tentang materi yang dibahas. Dilanjutkan
dengan tes hasil belajar (tes kecil). Dilakukan 1 x tes setelah pertemuan, tes
dikerjakan secara inividu mandiri. Tes dikerjakan selama 15 menit. Hasil tes

15
digunakan untuk mengetahui apakah ada peningkatan siswa pada pemahaman
materi yang dipelajari.

3. Observasi
Pada tahap ini dilakukan observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan
menggunakan lembar observasi. Peneliti selaku observer mengamati dan mencatat
aktivitas siswa sesuai dengan format observasi yang telah disiapkan. Observasi
dilakukan dengan mengamati aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Guru
melakukan evaluasi menggunakan post test untuk mengukur tingkat keberhasilan.

4. Refleksi
Hasil yang didapat dalam tahap observasi dikumpulkan serta dianalisis. pada tahap
ini, pengajar dapat merefleksi diri berdasarkan hasil observasi dan diskusi.Untuk
mengkaji apakah tindakan yang telah dilakukan dapat meningkatkan pemahaman siswa
pada materi yang dipelajari. Hasil analisis data yang dilakukan dalam tahapan akan
dipergunakan sebagai acuan untuk merencanakan siklus berikutnya. Apabila hasil
tindakan siklus I belum mencapai indikator keberhasilan, maka dilakukan perbaikan pada
siklus II. Sebaliknya, apabila hasil tindakan telah mncapai indikator keberhasilan maka
dilakukan penguatan pada siklus II. Kelemahan dan kekurangan pada siklus I dipakai
untuk perbaikan pada siklus II.

b. Rencana tindakan siklus II


1. Perencanaan
Pada tahap ini peneliti menyiapkan lembar observasi, menyusun skenario
pembelajaran, menentukan pokok bahasan, dan membuat Rencana Pelaksanaan Tindakan
(RPP) dengan materi yang sudah ditetapkan. Selain itu, peneliti perlu menyiapkan media
untuk lebih mendukung pembelajaran, serta membuat alat evaluasi. Pada siklus II ini,
agar lebih menarik, kartu permainan Pohkimon GO dikombinasikan dengan warna-warni
dan pemberian materi dengan media power point sebelum pelaksanaan metode permainan
Pohkimon GO. Selain itu, ditambah dengan reward bagi kelompok yang lebih cepat dan
tepat dalam menyelesaikan pembelajaran metode Pohkimon GO.

2. Pelaksanaan Tindakan

16
Pelaksanaan tindakan mengacu pada skenario dan RPP yang telah dirancang.
Pelaksanaan tindakan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal, inti, dan akhir. Guru
menerapkan metode permainan Pohkimon GO, dan pengawasan dilakukan oleh guru
yang bertindak sebagai observer. Pada pelaksanaan siklus II berbeda dengan siklus I.
Perbedaannya yaitu penyusunan materi dimodifikasi dengan warna-warna agar lebih
menarik, dikombinasikan dengan pemberian materi melalui media powerpoint, dan
pemberian hadiah.

3. Observasi
Observasi dilakukan selama pelaksanaan tindakan berlangsung dengan peneliti
mengamati dan mencatat aktivitas siswa sesuai dengan format observasi yang telah
disiapkan. Observasi dilakukan dengan mengamati aktivitas siswa selama proses
pembelajaran. Guru melakukan evaluasi menggunakan post test untuk mengukur tingkat
keberhasilan siswa.

4. Refleksi
Pada tahap ini, peneliti menganalisis seluruh data yang diperoleh selama tindakan.
Apabila data-data yang diperoleh pada siklus II telah mencapai indikator keberhasilan,
maka siklus II dapat dihentikan. Prestasi belajar semakin mengalami peningkatan apabila
dalam pelaksanaannya dikombinasikan dengan menggunakan kartu Pohkimon GO yang
warna-warni, pemberian materi dengan powerpoint, dan pemberian reward bagi siswa
yang memenangkan permainan.

E.5. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data


a. Sumber data
Sumber data merupakan tempat, orang, atau benda dimana data-data tersebut dapat
diperoleh peneliti dengan cara mengamati, bertanya, atau membaca tentang hal-hal yang
berkenaan dengan variabel yang diteliti (Suharimi Arikunto, 2007: 129).
Adapun sumber data yang digunakan untuk penelitian ini diantaranya adalah
sebagai berikut.
1. Data mengenai prestasi peserta didik di kelas pada materi sebelumnya
2. Lembar observasi yang diperoleh selama penelitian
3. Lembar test prestasi siswa yang terdiri dari soal pre test dan post test

17
b. Teknik Pengambilan Data
1. Observasi
Menurut Nana Sudjana (2006: 48), observasi merupakan pengmatan yang
dilakukan sebagai alat penilaian yang digunakan untuk mengukur tingkah laku
individu ataupun melakukan pengamatan saat proses kegiatan sedang berlangsung
baik itu kegiatan yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan. Dalam penelitian
ini, observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan dalam proses pembelajaran
siswa. Peneliti mengadakan observasi di dalam dan diluar kelas, guna mengetahui
dan mengamati siswa saat proses pembelajaran berlangsung, sehingga nantinya
peneliti mendapat gambaran pada saat melakukan penelitian tindakan kelas. Hasil
observasi akan dituliskan pada sebuah lembaran kertas yang sudah dipersiapkan.
Pengambilan data mengenai aktivitas siswa dilakukan dengan menggunakan
pedoman observasi aktivitas belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Pedoman observasi tersebut menggunakan 6 indikator disertai dengan masing-
masing 3 deskriptor. Indikator dengan beberapa deskriptornya diuraikan sebagai
berikut:
1. Antusiasme siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran
o Siswa memperhatikan penjelasan guru selama proses pembelajaran
berlangsung dengan dibantu media pembelajaran
o Siswa tidak mengerjakan pelajaran lain saat pembelajaran berlangsung
o Siswa tidak terpengaruh dengan situasi di luar kelas
2. Interaksi siswa dengan guru
o Siswa mengajukan pertanyaan pada guru terkait dengan hal-hal yang
belum jelas pada media pembelajaran
o Siswa berusaha menjawab dengan benar pertanyaan dari guru
o Siswa memanfaatkan guru sebagai fasilitator selama pembelajaran
berlangsung
3. Interaksi siswa dengan siswa
o Siswa berdiskusi/bertanya kepada temannya yang lebih mampu dalam
memecahkan permasalahan yang disajikan pada media pembelajaran
dengan bantuan LKS
o Siswa menjawab pertanyaan temannya

18
4. Kerja sama
o Siswa mengerjakan tugas yang diberikan
o Siswa berusaha mengerjakan tugas sampai tuntas
o Siswa saling membantu jika ada hal yang kurang dimengerti
5. Aktivitas belajar siswa
o Siswa mengungkapkan pendapatnya
o Siswa memperbaiki pendapat temannya yang kurang tepat
o Siswa ikut aktif menemukan atau mencari solusi dari permasalahan
yang ada
6. Partisipasi siswa dalam menyimpulkan materi
o Siswa mengacungkan tangan untuk ikut menyimpulkan materi dengan
mempelajari media pembelajaran yang telah diberikan
o Siswa merespons pernyataan atau kesimpulan temannya
o Siswa menyempurnakan kesimpulan yang dinyatakan oleh temannya
Untuk setiap deskriptor yang muncul dari setiap indikator diberi skor 1
dan yang tidak muncul dari aktivitas setiap siswa diberi skor 0.

2. Tes Prestasi Belajar


Tes merupakan alat atau prosedur yang dipergunakan dalam rangka untuk
mengukur atau menilai kemampuan siswa dalam proses pembelajaran (Anas
Sudijono, 2006: 66). Tes memiliki dua fungsi sebagai alat pengukur peserta didik,
dalam hal ini untuk mengukur perkembangan atau kemajuan yang dicapai oleh
peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
Ada beberapa penggolongan tes diantaranya tes awal, tes akhir, tes tertulis, tes
lisan, tes kelompok, maupun tes individu. Tes awal yang biasa disebut pre test
dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan materi atau bahan pelajaran
dapat dikuasai siswa. Sedangkan tes akhir atau post test merupakan tes yang
dilaksanakan di akhir proses pembelajaran dengan tujuan untuk mengetahui apakah
semua materi pelajaran telah dapat dikuasai sebaik-baiknya oleh siswa (Anas
Sudijono, 2006: 69-70).

19
Dalam memperoleh data tentang prestasi siswa dengan penerapan model
permainan Pohkimon GO dilakukan pada tahap Tes (test). Pada tahap tes ini siswa
diberikan soal-soal untuk dikerjakan secara mandiri. Tahapan-tahapan yang
dilakukan dalam pengumpulan data prestasi siswa adalah siswa diberikan soal
sebanyak 5 butir soal essay tergantung materi yang diberikan dalam waktu 90
menit. Pada saat tes siswa diharapkan mengerjakan soal-soal dengan mandiri
berdasarkan kemampuannya masing-masing. Setelah selesai mengerjakan soal,
jawaban dikumpulkan lalu diberikan penilaian oleh guru. Data prestasi belajar
kimia siswa yang diperoleh dengan tes (test) akan dianalisis secara deskriptif
dengan cara menghitung rata-rata skor prestasi belajar kimia siswa atau rata-rata
kelas, daya serap, dan ketuntasan belajar siswa secara klasikal.

E.6 Teknik Analisis Data


E.6.1Data Aktivitas Belajar Siswa
Skor yang diberikan pada aktivitas belajar siswa pada masing-masing indikator
mengikuti skala penilaian yang berbeda. Rentangan nilainya dari 0 sampai dengan 3 dan juga
memiliki kriteria yang berbeda pada setiap nilai. Skala penilaiannya tampak pada tabel
berikut.

No. Nilai Kriteria


1. 0 Jika ada 0 deskriptor tampak
2. 1 Jika ada 1 deskriptor tampak
3. 2 Jika ada 2 deskriptor tampak
4. 3 Jika ada 3 deskriptor tampak

Pedoman observasi aktivitas belajar siswa yang dikumpulkan lalu dianalisis dengan
menghitung rata-rata aktivitas belajar siswa ( A ), Mean Ideal (Mi), dan Standar deviasi Ideal
(SDi). Mi dan SDi dihitung dengan rumus sebagai berikut.
1
Mean ideal (Mi) = (Skor maksimum + Skor minimum)
2
1
Standar Deviasi ideal (SDi) = (Skor maksimum + Skor minimum)
6
Hasil yang diperoleh diklasifikasikan dengan kriteria penggolongan seperti berikut.
Kriteria Kategori
Mi  1,5 SDi  A Sangat Aktif
Mi  0,5 SDi  A  Mi  1,5 SDi Aktif

20
Mi  0,5 SDi  A  Mi  0,5 SDi Cukup Aktif
Mi  1,5 SDi  A  Mi  0,5 SDi Kurang Aktif
A  MI  1,5 SDI Sangat Kurang Aktif
(dimodifikasi dari Pedoman Studi Undiksha 2008)
Untuk aktivitas belajar siswa, skor tertinggi ideal adalah 18 dan skor terendah ideal
adalah 0, dengan demikian dapat dihitung Mi dan SDi-nya yaitu.
1
Mi = (18+0) = 9
2
1
SDi = (18 + 0) = 3
6

Untuk skor rata-rata aktivitas belajar siswa digunakan rumus:


N

A i
A i 1

N
Keterangan:
A = skor rata-rata aktivitas belajar siswa
Ai = skor aktivitas belajar siswa ke-i
N = banyaknya siswa

Penggolongan aktivitas di atas menjadi:


Kriteria Kategori
M  13,5 Sangat Aktif
10,5  M  13,5 Aktif
7,5  M  10,5 Cukup Aktif
4,5  M  7,5 Kurang Aktif
M  4,5 Sangat Kurang aktif
Kriteria keberhasilan untuk masing-masing siklus adalah aktivitas belajar siswa minimal
berkategori aktif.

E.6.2Data Prestasi Belajar Kimia Siswa


Data prestasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif dengan cara menghitung rata-rata
skor prestasi belajar kimia siswa atau rata-rata kelas, daya serap, dan ketuntasan belajar siswa
secara klasikal dengan rumus.
a. Rata-rata Kelas

21
Untuk mengetahui rata-rata skor prestasi siswa dihitung dengan menggunakan rumus
berikut.
n

x i
X  i 1

n
Keterangan :
X = skor rata-rata tes prestasi siswa
Xi = skor tes prestasi siswa ke-i
n = banyaknya siswa

b. Daya Serap
Untuk mengetahui daya serap kelas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut.
X
DS   100%
Skor Maksimal Ideal
Keterangan :
X = skor rata-rata tes prestasi siswa
DS = daya serap kelas

c. Ketuntasan Belajar Secara Klasikal


Ketuntasan belajar siswa secara klasikal dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut.
banyaknya siswa yang memperoleh nilai  67
KK   100%
banyaknya siswa yang ikut tes

Keterangan :
KK = ketuntasan belajar siswa secara klasikal
Pedoman yang digunakan untuk melakukan interpretasi terhadap hasil belajar siswa
secara klasikal adalah tercapainya rata-rata kelas, daya serap, dan ketuntasan belajar klasikal.
Selain itu indikator keberhasilan juga dilihat dari adanya peningkatan rata-rata belajar tiap
siklus. Peningkatan prestasi belajar siswa dihitung dengan rumus :
X i 1  X i
X   100%
Xi

Keterangan :
X = peningkatan prestasi belajar dari siklus i ke siklus i + 1

22
Xi = skor rata-rata tes prestasi siklus ke-i
X i 1 = skor rata-rata tes siklus ke-i + 1

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2016a. Pengembangan Model dan Perangkat Pembelajaran. http//www.4shared.net.


Diakses pada tanggal 12 Oktober 2016.
Anonim, 2016b. Perubahan Kurikulum. http//pay-kbk.tripod.com. Diakses pada tanggal 12
Oktober 2016

23
Arikunto, S. 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revesi). Jakarta: PT Bumi Aksara.

Citrawati dan Warsiki, 2001. Pengembangan Pembelajaran Biologi dengan menggunakan


Pendekatan Konstruktivisme dan Lembar Kerja Peserta didik (LKS) berwawasan
Sains-Teknologi masyarakat (STM) di SLTP N 2 Singaraja. Laporan Penelitian :
Jurusan Pendidikan Matetatika dan MIPA STKIP Singaraja.
Depdiknas, 2005a. Peraturan Pemerintah RI No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Jakarta: Depdiknas

Depdiknas. 2003a. Kurikulum 2004 SMA: Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan
penilaian Mata Pelajaran Kimia. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2003b. Kurikulum Berbasis Kompetensi mata Pelajaran Kimia Sekolah


Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas, 2005b. Pengembangan Silabus dan Topik Pembelajaran Pengetahuan Alam.


Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas, 2006. KTSP Mata Pelajaran Kimia untuk SMA. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2008. Pengembangan Pembelajaran Kontekstual. Jakarta: Depdiknas

Dimyati dan Mudjiono. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, O. 2004. Proses Belajar Mengajar. PT Bumi Aksara: Jakarta.

Kirna, I. M., dkk. 2007. Model Pembelajaran Berorientasi Konteks dan Struktur pada
Kompetensi Dasar Kimia di SMP. Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan).
Universitas Pendidikan Ganesha.

Miniawati, N. 2006. Penerapan Pembelajaran Partisifatif dengan Teknik Kelompok Buzz


untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika siswa kelas VIIID
SMP N 3 Sawan. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Jurusan Pendidikan Matematika,
Universitas Pendidikan Ganesha.

Nurkancana dan Sunartana.1990. Evaluasi Belajar. Surabaya: Usaha Nasional

Selamat I N dan Suwenten, 2004. Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif dengan


Metode SQ3R berbantu LKS Untuk Meningkatkan Aktifitas dan Prestasi belajar
Kimia Peserta didik SMA N 3 Singaraja. Laporan Penelitian : Fakultas pendidikan
MIPA IKIP Negeri Singaraja.

Subarkah, C.Z. 2008. “Analisis Kemampuan Intertekstualitas Mahasiswa pada Topik


Fermentasi Karbohidrat.” Proceeding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan
Kimia IV di UPI Bandunguardana,

24
Suheimi, S. 2003. Siklus Belajar sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran dalam
Mempelajari Hukum Lavoisier Siswa Kelas 1 SMU Negeri Singaraja Tahun Ajaran
2002/2003. Tesis (Tidak Diterbitkan). Universitas Negeri Malang.

Suja, I W., Retug, N., Nurlita, F., 2008. Pengembangan Model Pembelajaran Kimia Berbasis
Siklus Belajar Catur Pramana. Laporan Research Grant I-MHERE Undiksha tidak
diterbitkan. Singaraja: Undiksha.
Suwindra, 2001. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Berbantu LKS Sebagai Upaya
Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika Peserta didik IIIE SLTP N 3 Singaraja.
Laporan Penelitian: Pusat penelitian pengabdian pada masyarakat STKIP Singaraja.

Wiriaatmadja, Rochiati. 2005. Motode Program Tindakan Kelas untuk Meningkatkan Kinerja Guru
dan Dosen. Jakarta : PT Remaja Rosdakarya.

25

Anda mungkin juga menyukai