Anda di halaman 1dari 46

KEGAWATDARURATAN PADA MATA

Disusun untuk memenuhi tugas


Kepaniteraan klinik madya LAB/SMF IlmuKesehatan Mata
RSUD dr. SoebandiJember

Pembimbing :
dr. Bagas Kumoro, Sp. M

Oleh
Mega Nur Purbo Sejati (072011101066)

LAB/SMF ILMU KESEHATAN MATA


RSD. DR SOEBANDI JEMBER
2013
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Kegawatdaruratan ................................................................................ 1
1.2 Anamnesis .............................................................................................. 2
1.3 Pemeriksaan .......................................................................................... 2
1.4 Pemeriksaan Khusus Mata .................................................................. 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 6
2.1 Trauma Kimia ....................................................................................... 6
2.1.1 Trauma Basa / Alkali ..................................................................... 8
2.1.2 Trauma Asam................................................................................. 11
2.2 Oklusi Arteri Retina Sentral................................................................ 12
2.3 Trauma Radiasi .................................................................................... 15
2.3.1 Trauma Sinar Ultra Violet ............................................................. 15
2.3.2 Sinar Infra Merah ........................................................................... 16
2.3.3 Trauma Sinar X dan Sinar Ionisasi ................................................ 16
2.4 Trauma Jaringan Ekstra Okular ........................................................ 17
2.5 Trauma Tumpul Bola Mata ................................................................. 18
2.6 Trauma Tajam dan Tembus Bola Mata ............................................. 21
2.6.1 Trauma Tajam Bola Mata (Laserasi Kornea) ................................ 22
2.6.2 Trauma Tembus Bola Mata ........................................................... 25
2.7 Benda Asing Kornea ............................................................................. 27
2.8 Tukak (Ulkus) Kornea ......................................................................... 29
2.9 Glaukoma Sudut Tertutup Akut ......................................................... 32
2.10 Konjungtivitis Gonore .......................................................................... 33
2.11 Selulitis Orbita ...................................................................................... 34
2.12 Ablasi Retina Akut ............................................................................... 35
2.13 Endoftalmitis ......................................................................................... 38
2.14 Trombosis Sinus Kavernosus .............................................................. 39
BAB III. PENUTUP ....................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 42
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata adalah suatu keadaan dimana
mata terancam akan kehilangan fungsi penglihatannya atau akan terjadi kebutaan
apabila tidak dilakukan tindakan atau pengobatan sesegera mungkin.
Terancamnya fungsi penglihatan atau kebutaan dapat diakibatkan oleh suatu
penyakit atau kelainan mata dan oleh trauma mata. Biasanya penderita dengan
kelainan di mata akan datang meminta pertolongan seorang dokter dengan
keluhan mata merah, mata lelah, mata sakit, melihat ganda, tajam penglihatan
yang menurun, pandangan tertutup sesuatu, adanya kilatan-kilatan pada lapang
pandangan dan adanya sakit kepala. Tidak semua pasien dengan mata merah akan
terancam penglihatannya, dan tidak semua pasien dengan tajam penglihatan yang
menurun berarti berada dalam keadaan darurat yang memerlukan penanganan
segera. Tetapi keadaan tersebut di atas dapat dijadikan acuan dokter untuk
melaksanakan pemeriksaan selanjutnya baik pemeriksaan secara fisik atau
pemeriksaan mata dengan lengkap, sehingga dapat diketahui apakah kelainan
pada mata pasien tesebut termasuk dalam kondisi yang darurat atau tidak (Khare
& Symons, 2008).
Dalam kasus kegawatdaruratan mata, kecepatan menentukan diagnosis dan
ketepatan penanganan atau terapi merupakan hal paling utama dalam usaha dokter
untuk menyelamatkan bola mata dan fungsi penglihatan pasien. Tidak kalah
penting adalah dokter harus dapat membuat prioritas diagnosis dan beberapa
diferensial diagnosis yang akan timbul, karena sering kali gejala-gejala dan tanda
klinis yang ditemukan saat pemeriksaan akan tumpang tindih. Seorang dokter di
IGD harus mengetahui kasus kegawatdaruratan mata yang membutuhkan dokter
spesialis mata sehingga mampu merujuk secara cepat dan menciptakan kolaborasi
antara dokter IGD dan dokter spesialis mata (Magauran, 2008).
Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata secara umum dapat terbagi
dua, yaitu yang trauma dan non trauma. Kegawatdaruratan mata karena trauma

1
dapat terbagi menjadi gawat darurat yaitu trauma kimia (basa/alkali dan asam) dan
oklusi arteri retina sentralis, kondisi gawat yakni trauma radiasi (solar/matahari,
ultraviolet), trauma jaringan ekstra okular (palpebra, sistem lakrimal), trauma
tumpul bola mata, trauma tajam bola mata (laserasi dan trauma tembus) serta yang
bersifat non trauma antara lain, glaukoma sudut tertutup akut, infeksi
(konjungtivitis GO, endoftalmitis, selulitis orbita), dan ablasi retina akut (Khare &
Symons, 2008).

1.2 Anamnesis
Setiap penderita yang datang dengan ketentuan pada mata atau
penglihatannya, penggalian anamnesis secara terperinci merupakan hal sangat
penting yang akan mengarahkan dokter dalam menentukan diagnosa, antara lain
identitas penderita, riwayat penyakit yang diderita saat ini penyakit yang sedang
di detita, riwayat ada atau tidak trauma sebelum atau sesudah adanya keluhan dan
riwayat penyakit mata yang pernah diderita. Penggalian anamnesis disini biasanya
akan sangat membantu dokter dalam melakukan pemeriksaan selanjutnya dan
penilaian apakah penderita berada dalam kondisi daturat atau tidak, itu dapat
dilakukan secara auto anamnesis dari penderita sendiri atau secara allo-anamnesis
dengan keluarga terdekat/pengantar pasien (Webb, 2004).

1.3 Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik secara umum pada pasien diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya keadaan umum penderita yang dapat merupakan penyebab
penyakit mata yang sedang di derita dan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan kondisi fisik secara umum penderita tersebut dengan kelainan mata saat
itu (Webb, 2004).

1.4 Pemeriksaan Khusus Mata


Pemeriksaan khusus mata meliputi semua pemeriksaan yang dapat
memperkuat atau menegakkan diagnosis dari penyakit mata yang sedang diderita.
Pemeriksaan ini meliputi (Webb, 2004):

2
a. Pemeriksaan tajam penglihatan, yang dilakukan dengan menggunakan
Snellen Chart yang bila didapatkan gangguan penglihatan, maka diakukan
pemeriksaan dengan menggunakan pinhole vang dapat menentukan
kelainan penglihatan tersebut disebabkan kelainan refraktif atau kelainan
pada media refrakta.

Gambar 1.1 Snellen Chart. Dapat digunakan untuk memeriksa tajam penglihatan. (Sumber: Cho &
Savitsky, 2009)

b. Pemeriksaan gerakan bola mata, pemeriksaan ini dapat untuk menilai


fungsi ke enam otot penggerak bola mata adakah gangguan keseimbangan
otot penggerak mata dan kedudukan bola mata.

Gambar 1.2 Arah Pergerakan Muskulus Ektraokuler. (Sumber: Webb, 2004)

c. Pemeriksaan mata bagian luar dan system lakrimal.dengan menggunakan


senter dan loupe, serta pemeriksaan segment anterior mata menggunakan
slit-lamp biomikroskopis.

3
Gambar 1.3 Segmen Anterior Mata. (Sumber: Webb, 2004)

d. Pemeriksaan pupil, disini dinilai adalah bentuk dan ukuran, pupil serta
refleks pupil terhadap cahaya yang diberikan baik direk dan indirek, hal ini
dapat untuk menilai sistem saraf simpatis dan parasimpatis.

Gambar 1.4 Kornea Normal dengan Refleks Cahaya Normal. (Sumber: Webb, 2004)

e. Pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan ini untuk .menilai kondisi segment


posterior mata dengan menggunakan ophthalmoscope direk atau indirek.

Gambar 1.5 Pemeriksaan Funduskopi. (Sumber: Webb, 2004)

f. Pemeriksaan tekanan bola mata, dapat dilakukan secara digital dengan jari,
menggunakan tonometer Schiotz atau tonometer aplanasi Goldman, pada
pemeriksaan ini akan diketahui adanya penurunan tekan bola mata yang
dapat terjadi pada trauma tembus bola mata atau adanya ablasio retina atau
peningkatan tekanan bola mata, yang terjadi pada penyakit glukoma.

4
Gambar 1.6 Pemeriksaan Tonometri. (Sumber: Webb, 2004)

g. Pemeriksaan lapangan pandang perlu dilakukan untuk mendeteksi


penyakit yang dapat mengganggu lapang pandangan seperti glaukoma,
ablasio retina, neuritis optik, neuropati optik, dan lain-lain.

Gambar 1.7 Pemeriksaan Lapangan Pandang. (Sumber: Webb, 2004)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Kimia


Semua luka bakar akibat bahan kimia harus diterapi sebagai kedaruratan
mata. Harus segera dilakukan lavase di lokasi cedera dengan air keran sebelum
pasien dikirim. Semua benda asing yang jelas tampak harus diirigasi apabila
mungkin. Di ruang darurat, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan singkat serta
irigasi permukaan kornea, termasuk forniks konjungtiva, dengan cairan dalam
jumlah besar. Salin isotonik konjungtiva, dengan cairan dalam jumlah besar. Salin
isotonik steril (beberapa liter untuk satu mata yang cedera) diteteskan dengan
selang intravena standar. Mungkin diperlukan spekulum kelopak mata dan
infiltrasi anastetik lokal untuk mengatasi blefarospasme. Analgesik dan anastetik
topikal serta siklopegik hampir selalu harus diberikan. Gunakan aplikator
berujung kapas yang basah dan forseps ahli perhiasan untuk mengeluarkan benda-
benda berbentuk partikel dari forniks. Perhatikan kemungkinan gangguan
pernapasan akibat pembengkakan jaringan lunak di saluran napas atas. pH
permukaan mata diperiksa dengan menaruh seberkas kertas indikator di forniks;
ulangi irigasi apabila pH tidak terletak antara 7,3 dan 7,7. Setelah lavase, berikan
salep antibiotik dan pembalut tekan (Vaughan et al, 2000).
Karena bahan basa cepat menembus jaringan mata dan akan terus
menimbulkan kerusakan jauh setelah cedera berhenti, maka diperlukan lavase
jangka panjang dan pemantauan pH. Asam membentuk suatu sawar presipitat
jaringan nekrotik yang cenderung membatasi penetrasi dan kerusakan lebih lanjut.
Luka bakar akibat bahan alkalis menyebabkan peningkatan segera tekanan
intraokular akibat kontraksi sklera dan kerusakan jaringan trabekular. Peningkatan
tekanan sekunder 2-4 jam kemudian terjadi akibat pelepasan prostaglandin, yang
mendorong memberatnya uveitis. Hal ini sulit dipantau melalui kornea yang opak.
Pengobatan adalah dengan steroid topikal, obat-obatan antiglaukoma, dan
siklopegik selama 2 minggu pertama. Setelah 2 minggu, pemakaian steroid harus
berhati-hati karena obat ini menghambat reepitelisasi. Kemudiaan dapat terjadi

6
perlunakan kornea dan kemungkinan perforasi akibat berlanjutnya aktivitas
kolegenase. Tetes mata askorbat (vitamin C) dan sitrat hanya memiliki efek
pencegahan minimal terhadap perlunakan kornea pada pasien dengan luka bakar
berat atau defek epitel kornea persisten. Suatu percobaan dengan inhibitor
kolagenase (asetilsistein) mungkin bermanfaat. Terpajannya kornea dan adanya
defek epitel yang menetap diterapi dengan air mata buatan, tarsorafi, atau lensa
kontak bebat (Vaughan et al, 2000).
Penyulit jangka panjang dari luka bakar kimia adalah glaukoma sudut
tertutup, pembentukan jaringan parut kornea, simblefaron, entropion, dan keratitis
sika. Kompetensi pembuluh darah sklera dan konjungtiva dibuktikan memiliki
nilai prognostik. Semakin banyak jaringan epitel perilimbus dan pembuluh darah
sklera dan konjungtiva yang rusak semakin buruk prognosisnya (Vaughan et al,
2000).
Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di dalam
laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertania,
dan peperangan yang memakai bahan kimia di abad modern (Ilyas, 2008).
Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat
dibedakan dalam bentuk: trauma asam dan trauma basa atau alkali. Pengaruh
bahan kimia sangat bergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia
tersebut mengenai mata. Dibanding bahan asam, maka trauma oleh bahan alkali
cepat dapat merusak dan menembus kornea. Setiap trauma kimia pada mata
memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah yang terkena trauma kimia
merupakan tindakan yang segera harus dilakukan karena dapat memberikan
penyulit yang lebih berat. Pembilasan dilakukan dengan memakai garam
fisiologik atau air bersih lainnya selama mungkin dan paling sedikit 15-30 menit
(Ilyas, 2008).
Luka bakar kimia harus dibilas secepatnya dengan air yang tersedia pada
saat itu seperti dengan air keran, larutan garam fisiologik, dan asam berat.
Anestesi topikal diberikan pada keadaan di mana terdapatnya blefarospasme berat.
Untuk bahan asam digunakan larutan natrium bikarbonat 3%, sedang untuk basa
larutan asam borat, asam asetat 0,5% atau bufer asam asetat pH 4,5% untuk

7
menetralisir. Diperhatikan kemungkinan terdapatnya benda asing penyebab luka
tersebut. Untuk bahan basa diberikan EDTA. Pengobatan yang diberikan adalah
antibiotik topikal, siklopegik dan bebat mata selama mata masih sakit. Regenerasi
epitel akibat asam lemah dan alkali sangat lambat yang biasanya sempurna setelah
3-7 hari (Ilyas, 2008).

Gambar 2.1 Segera Bilas dengan Air Mengalir di Bawah Keran. Tanpa membuang waktu.
(Sumber: Webb, 2004)

Trauma kimia yang mengenai organ mata secara umum dapat


menimbulkan kerusakan dari ringan sampai berat, terutama trauma basa / alkali
dan trauma asam. Trauma jenis ini merupakan kondisi gawat darurat mata,
dimana tindakan harus cepat dan tepat serta konsultasi pada dokter mata dengan
segera sangat dianjurkan (Webb, 2004).

2.1.1 Trauma Basa / Alkali


Bahan kimia yang bersifat basa / alkali memiliki pH yang tinggi sehingga
dapat menyebabkan pecah atau rusaknya sel jaringan dengan timbulnya proses
persabunan pada membran sel epitel kornea, yang akan mempemudah penetrasi
bahan kimia, serat kolagen kornea akan rusak, stroma kornea yang rusak akan
menimbulkan tukak pada kornea dan dapat terjadi perforasi kornea. Bila trauma
berat akan merusak sel goblet konjungtiva bulbi, produksi musim terganggu,
sehingga menimbulkan kekeringan air mata dan simblefaron, gangguan sekresi
musin ini juga dapat menimbulkan keratinisasi epitel kornea. Bila terjadi perforasi
kornea, bahan ini akan merusak vaskularisasi iris badan siliar dan epitel lensa.
Bahan-bahan dasar alkali yang sering menimbulkan trauma antara lain ammonia
(NH), NAOH, Ca(OH) (Kosoko et al, 2009).

8
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat
gawat pada mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea, bilik mata depan,
dan sampai pada jaringan retina. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran
jaringan kolagen kornea. Bahan kimia alkali bersifat koagulasi sel dan terjadi
proses persabunan, disertai dengan dehidrasi. Bahan akustik soda dapat
menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik (Ilyas, 2008).
Pada trauma alkali akan terbentuk kolagenase yang akan bertambah
kerusakan kolagen kornea. Alkali yang menembus ke dalam bola mata akan
merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita (Ilyas, 2008).
Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam(Ilyas,
2008) :
Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel kornea
Derajat 3: hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel
kornea
Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Pada pemeriksaan akan didapatkan pH bola mata meningkat (pH >7,3),
penurunan tajam penglihatan oleh karena edema kornea, pada pemeriksaan
dengan menggunakan fluorescein dan slit lamp akan tampak membran sel epitel
rusak hingga hilangnya epitel, sindroma kekeringan air mata. Bila berat timbul
simblefaron, konjungtiva dan sklera yang pucat, peningkatan atau penurunan
tekanan intra ocular (TIO) (Kosoko et al, 2009).

Gambar 2.2 Trauma Basa Akut: Ringan-Sedang. (Sumber: NSW Department of Health, 2009)

9
Gambar 2.3 Trauma Basa Akut: Berat. (Sumber: NSW Department of Health, 2009)

Tindakan bila terjadi trauma basa adalah dengan secepatnya melakukan


irigasi dengan garam fisiologik. Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin.
Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit segera setelah trauma.
Penderita diberi siklopegia, antibiotika, EDTA untuk mengikat basa. EDTA
diberikan 1 minggu trauma alkali diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang
terbentuk pada hari ke tujuh (Ilyas, 2008).

Gambar 2.4 Irigasi dengan Eversi Kelopak Mata. (Sumber: NSW Department of Health, 2009)

Penanganan trauma basa/alkali antara lain irigasi dengan larutan saline


minimal 30 menit, dianjurkan menggunakan pembuka palpebra, periksa PH setiap
5-10 menit. Irigasi sampai pH netral kembali (pH 6.8–7.4), bila terdapat benda
asing yang menyebabkan pH tetap tinggi, harus segera diambil. Obat-obatan yang
diberikan antara lain EDTA, tetes mata sikloplegik untuk mengatasi spasme badan
siliar dan mengurangi sakit, salep mata antibiotic, obat anti glaukoma bila ditemui
peningkatan TIO (Kosoko et al, 2009).

10
Gambar 2.5 Universal Indicator Paper. Digunakan untuk memeriksa pH. (Sumber: NSW
Department of Health, 2009)

Penyulit yang dapat ditimbulkan trauma alkali adalah simblefaron,


kekeruhan kornea, edema dan neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan
terjadi ftisis bola mata (Ilyas, 2008).

2.1.2 Trauma Asam


Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik
(asetat, forniat), dan organik anhidrta (asetat). Bila bahan asam mengenai mata
maka akan segera terjadi pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan
sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti
trauma alkali. Biasanya akan terjadi kerusakan hanya pada bagian superfisial saja.
Bahan asama dengan konsentrasi tinggi dapat bereaksi seperti terhadap trauma
basa sehingga kerusakan yang diakibatkannya akan lebih dalam (Ilyas, 2008).
Asam akan merusak dan memutus ikatan intramolekul protein, sehingga
terjadi koagulasi protein, keadaan ini dapat merupakan barier yang menghambat
penetrasi zat ke intraokular. Bila trauma disebabkan oleh zat asam kuat maka akan
menembus stroma kornea sehingga berubah warna menjadi kelabu dalam 24 jam
dan juga timbul kerusakan pada badan siliar . bahan –bahan asam yang sering
menyebabkan trauma antara lain as. Sulfat (H2SO4)2. As. Hidrofluric (HF), as.
Asetat (CHCOOH), as.hidroklorat (HCL). Pada saat pemeriksaan ditemukan pH
cairan mata turun 30 menit setelah trauma, hipertermia, dan kemosis konjungtiva
bulbi. Peningkatan TIO pada hari pertama, bila kerusakan mengenai endotel
kornea maka ditemukan membrane fibrosa yang mengganti kedudukan sel endotel
yang rusak. Penatalaksanaan seperti trauma basa, irigasi sampai pH kembali netral
dan obat-obatan juga seperti pada trauma basa (Kosoko et al, 2009).

11
Gambar 2.6 Trauma Asam. (Sumber: Webb, 2004)

Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan


selama mungkin untuk menghilangkan dan melarutkan bahan yang
mengakibatkan trauma. Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali,
sehingga tajam penglihatan tidak banyak terganggu (Ilyas, 2008).

2.2 Oklusi Arteri Retina Sentral


Penyumbatan akut pada arteri retina sentralis seringkali sukar ditemukan
penyebabnya, tetapi pada orang tua biasanya disebabkan oleh thrombus atau
emboli pada penyakit hipertensi, penyakit jantung atau kelainan karotis, infark
miokard, diabetes mellitus, sedang pada orang yang lebih muda disebabkan oleh
trauma, spasme pembuluh darah pada penyalahgunaan obat, pasien dengan
penyakit koagulopati dan riwayat penyakit arteritis temporalis (Murphy-Lavoie et
al, 2008).
Emboli yang masuk ke dalam peredaran darah dapat berasal dari jantung
atau arteri karotis. Emboli biasanya terjadi setelah patah pada tulang panjang,
sedang emboli udara terjadi pasca bedah leher dan toraks. Spasme pembuluh
darah dapat terjadi pada penderita hipertensi (Murphy-Lavoie et al, 2008).
Pada oklusi arteri retina sentral daerah yang paling sering tersumbat
terdapat pada lamina kribosa. Hal ini disebabkan karena daerah ini arteri dan vena
terikat oleh jaringan ikat dan kolagen. Akibat penyumbatan pembuluh darah ini
akan terjadi edema retina, lisis sel ganglion retina yang disusul dengan serbukan
sel makrofag ke dalamnya. Lama kelamaan proses degenerasi mengenai seluruh
lapis retina sehingga seluruh lapis hilang yang diikuti dengan atrofi papil saraf
optik (Murphy-Lavoie et al, 2008).

12
Pada pemeriksaan histopatologik didapatkan pada stadium dini edema
berat pada sel ganglion, edema dan nekrosis pada 2/3 lapis dalam retina, yang
pada akhirnya lapis ini atrofi total sedang lapis luar tetap normal (Murphy-Lavoie
et al, 2008).
Gambaran klinis pada oklusi arteri retina sentral yang selalu hanya
mengenai satu mata adalah penglihatan pada satu mata turun mendadak malahan
dapat buta sama sekali. Turunnya tajam penglihatan dapat berupa serangan-
serangan atau amaurosis fugaks. Serangan ini terjadi akibat spasme pembuluh
darah arteri yang tidak terus menerus (Murphy-Lavoie et al, 2008).
Kadang-kadang tajam penglihatan masih normal pada oklusi arteri retina
sentral. 10% penderita oklusi arteri retina sentral tajam penglihatannya tetap
normal akibat tidak terganggunya makula lutea yang mempunyai pembuluh darah
silioretina (Murphy-Lavoie et al, 2008).
Pupil lebar disebabkan oleh tajam penglihatan yang berkurang. Pupil dapat
tidak bereaksi terhadap sinar langsung akibat tajam penglihatan yang sangat
berkurang. Mata tidak merah dan tidak merasa sakit (Murphy-Lavoie et al, 2008).
Pada pemeriksaan funduskopi terlihat seluruh retina berwarna pucat
dengan pembuluh darah yang gelap.warna pucat pada retina terutama didaerah
polus posterior kecuali daerah fovea. Daerah fovea diperdarahi oleh koroid. Pada
makula akan terlihat warna yang lebih merah dan disebut sebagai cherry red spot.
Pembuluh darah retina terlihat berbentuk sosis akibat isinya yang tidak merata.
Pada stadium lanjut gambaran fundus dapat menjadi normal kembali kecuali arteri
yang halus dan papil yang pucat. Pada pemeriksaan angiografi fluoresin terlihat
gangguan pengisian arteri dan terdapat pemanjangan waktu tangan-retina (Webb,
2004).

13
Gambar 2.7 Oklusi Arteri Retina Sentral. Pada kasus ini yakni arteri silioretina. Terlihat daerah
pucat berbatas tegas, infrak retina, dan emboli yang telihat di dalam arteri. (Sumber:
Webb, 2004)

Pada pemeriksaan ditemukan mata tenang dengan penglihatan yang tiba-


tiba hilang (hitung jari sampai lambaian tangan) tanpa disertai sakit. Defek pupil
aferen, pemeriksaan fundus tampak retina memucat, bercak cherry-red di fovea,
tampak gambaran emboli pada bifurcation arteriola retina, dan gangguan lapang
pandangan. Pemeriksaan lain yang pelu dilakukan untuk mencari penyebab
timbulnya oklusi arteri, antara lain tekanan darah, pemeriksaan lab lengkap,
evaluasi arteri karotis, dan pemeriksaan jantung (Webb, 2004).
Penanganan yang terpenting pasien harus langsung dirujuk ke dokter mata,
pemijatan bola mata, penurunan TIO dengan azetazolamid 500 mg IV atau 500
mg oral disertai timolol 0,5% topical, parasintesis bilik mata depan, terapi inhalasi
dengan karbogen (campuran O2 dan CO2 ), bila dicurigai terdapat giant cell
arteritis dapat dilakukan biopsi arteri temporalis serta diberi terapi steroid baik
oral maupun intravena. Yang terbaru dapat dilakukan operasi dan pemberian obat-
obatan trombolisis (Webb, 2004).
Penyulit yang dapat ditemukan yakni mudah terjadi glaukoma
neovaskular. Prognosis daripada oklusi arteri retina sentral bergantung pada lama
dan letak penyumbatan pembuluh darah. Kadang-kadang masih terdapat tajam
penglihatan yang normal dengan lapang pandang yang sempit. Retina bersifat
lebih tahan terhadap hipoksia dibanding dengan otak. Pernah didapatkan hasil

14
yang baik sesudah pengobatan cepat pada oklusi arteri retina sentral (Webb,
2004).

2.3 Trauma Radiasi


Trauma radiasi di sini dapat disebabkan oleh sinar ultraviolet dari matahari
(solar retinopati), sinar infra merah atau sinar yang lain seperti sinar X dan sinar
terionisasi. Sering terjadi pada pengamat gerhana matahari, pelaut, tukang las
yang tidak menggunakan kacamata pelindung. Sinar ini dapat diserap oleh kulit,
epitel konjungtiva, dan menembus kornea, serta dapat diabsorbpsi oleh lensa
sehingga timbul denaturasi protein lensa. Gejala yang timbul biasanya fotofobia,
blefarospasme, lakrimasi, pada pemeriksaan slit-lamp terdapat infiltrat kornea.
Bila sinar langsung mengenai macula maka dalam 1/10 detik penglihatan akan
turun karena fovea terbakar, bahkan sampai menimbulkan lubang / hole pada
fovea. Penanganan hanya bersifat simptomatis, mengurangi rasa sakit dengan
analgetik dan steroid untuk mengurangi gejala radang yang timbul (Ilyas, 2008).

2.3.1 Trauma Sinar Ultra Violet


Sinar ultraviolet merupakan sinar gelombang pendek yang tidak terlihat
mempunyai panjang gelombang antara 350-295 nM. Sinar ultra violet banyak
terdapat pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari atau pantulan sinar
matahari di atas salju. Sinar ultra violet akan segera merusak epitel kornea. Sinar
ultra violet biasanya memberikan kerusakan terbatas pada kornea sehingga
kerusakan pada lensa dan retina tidak akan nyata terlihat. Kerusakan ini akan
segera baik kembali setelah beberapa waktu, dan tidak akan memberikan
gangguan tajam penglihatan yang menetap. Pasien yang telah terkena sinar ultra
violet akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma. Pasien akan merasa
mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau kemasukan pasir, fotofobia,
blefarospasme, dan konjungtiva kemotik. Kornea akan menunjukkan adanya
infiltrat pada permukaannya, yang kadang-kadang disertai dengan kornea yang
keruh dan uji fluoresein positif. Keratitis terutama terdapat pada fisura palpebra.
Pupil akan terlihat miosis. Tajam penglihatan akan terganggu. Keratitis ini dapat

15
sembuh tanpa cacat, akan tetapi bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat
permanen sehingga akan memberikan kekeruhan pada kornea. Keratitis dapat
bersifat akibat efek kumulatif sinar ultra violet sehingga gambaran keratitisnya
menjadi berat. Pengobatan yang diberikan adalah siklopegia, antibiotika lokal,
analgetik, dan mata ditutup untuk selama 2-3 hari. Biasanya sembuh setelah 48
jam (Ilyas, 2008).

2.3.2 Trauma Sinar Infra Merah


Akibat sinar infra merah dapat terjadi pada saat menatap gerhana matahari
dan pada saat bekerja di pemanggangan. Kerusakan ini dapat terjadi akibat
terkonsentrasinya sinar infra merah yang terlihat. Kaca yang mencair seperti yang
ditemukan di tempat pemanggangan kaca akan mengeluarkan sinar infra merah.
Bila seseorang berada pada jarak 1 kaki selama satu menit di depan kaca yang
mencair dan pupilnya melebar atau midriasis maka suhu lensa akan naik sebanyak
9 derajat Celcius. Demikian pula iris yang mengabsorpsi sinar infra merah akan
panas sehingga berakibat tidak baik terhadap kapsul lensa di dekatnya. Absorpsi
sinar infra merah oleh lensa akan mengakibatkan katarak dan eksfoliasi kapsul
lensa. Akibat sinar ini pada lensa maka katarak mudah terjadi pada pekerja
industri gelas dan pemanggangan logam. Sinar infra merah akan mengakibatkan
keratitis superfisial, katarak kortikal anterior-posterior dan koagulasi pada koroid.
Bergantung pada beratnya lesi akan terdapat skotoma sementara ataupun
permanen. Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang sudah terjadi kecuali
mencegah terkenanya mata oleh sinar infra merah ini. Steroid sistemik dan lokal
diberikan untuk mencegah terbentuknya jaringan parut pada makula atau untuk
mengurangi gejala radang yang timbul (Ilyas, 2008).

2.3.3 Trauma Sinar X dan Sinar Ionisasi


Sinar ionisasi dibedakan dalam bentuk sinar alfa yang dapat diabaikan,
sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan, sinar gama dan sinar X. Sinar
ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan katarak dan rusaknya retina. Dosis
kataraktogenik bervariasi dengan energi dan tipe sinar, lensa yang lebih muda dan

16
lebih peka. Akibat dari sinar ini pada lensa, terjadi pemecahan diri sel epitel
secara tidak normal. Sedang sel baru yang berasal dari sel germinatif lensa tidak
menjadi jarang. Sinar X merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang
diakibatkan diabetes melitus berupa dilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneuris
mata dan eksudat. Luka bakar akibat sinar X dapat merusak kornea yang
mengakibatkan kerusakan permanen yang sukar diobati. Biasanya akan terlihat
sebagai keratitis dengan iridosiklitis ringan. Pada keadaan yang berat akan
mengakibatkan parut konjungtiva atrofi sel goblet yang akan mengganggu fungsi
air mata. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topikal dengan steroid 3
kali sehari dan siklopegik satu kali sehari. Bila terjadi simbleferon pada
konjungtiva dilakukan tindakan pembedahan (Ilyas, 2008).

2.4 Trauma Jaringan Ekstra Okular


Trauma tajam atau tumpul yang mengenai kelopak dan jaringan ekstra
okuler dapat menimbulkan luka robek / laserasi yang sering disertai dengan
kerusakan sistem lakrimal mata, tendon kantus internus dan eksternus, septum
orbita dan aponeurosislevator palpebra (NSW Department of Health. 2009).
Apabila terdapat pasien dengan laserasi kelopak mata, maka periksa
cedera lain dan obati dengan tepat, baik mata dan yang non-okular. Kemudian
nilai kedalaman luka, jika dalam maka bola mata juga mungkin terkena. Jika tidak
dalam dan tidak mengenai daerah kelopak mata, cukup bersihkan dan perbaiki
dengan jahitan benang sutra 6/0, vicryl atau prolene pada kulit. Jika luka dalam
atau mengenai daerah kelopak mata atau pungtum lakrimal. (kira-kira setengah
daerah kelopak mata) maka berikan perbaikan apapun pada dokter mata. Periksa
status tetanus dan obati dengan tepat. Tempatkan penutup yang kering steril dan
longgar di atas luka. Perlu dicurigai adanya ruptur okuler yang mendasari atau
adanya penetrasi pada bola mata maka segera rujuk ke dokter spesialis mata.
Laserasi kelopak mata dapat dibiarkan selama 24 jam sebelum dilihat oleh dokter
mata. Laserasi minor yang tidak mencederai mata dapat dijahit tanpa dirujuk ke
dokter spesialis mata, kemudian angkat jahitan setelah 6-10 hari (Webb, 2004).

17
Gambar 2.8 Laserasi Kelopak Mata yang Dalam Pre (a) dan Post Operasi (b). Diakibatkan pecahan
kaca. (Sumber: Webb, 2004)

Laserasi kelopak mata yang luas memerlukan pemeriksaan yang lebih


teliti dibawah mikroskop untukmengetahui seberapa dalam kerusakan dan ada
atau tidak jaringan yang hilang, yang akan menimbulkan masalah dalam
melakukan rekonstruksi. Penanganan harus dilakukan oleh dokter mata terutama
terdapat keterlibatan sistem lakrimal. Rekonstruksi dilakukan diawali dengan
perbaikan saluran lakrimasi, dilanjutkan penjahitan jaringan palpebra lapis demi
lapis yang dilakukan dibawah mikroskop. Bila kerusakan kanalis lakrimalis berat
sehingga tidak dapat direkonstruksi kembali, maka dapat dilakukan
dakriosistorinostomi (Webb, 2004).

Gambar 2.9 Dakriosistorinostomi. (Sumber: Webb, 2004)

2.5 Trauma Tumpul Bola Mata


Trauma tumpul pada mata dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan
mata seperti edema kornea sehingga kornea menjadi keruh dan penglihatan akan
menurun, bisa terjadi hifema di bilik mata depan yang disebabkan pecahnya
pembuluh darah iris yang terkadang disertai lepasnya iris dari akarnya
(iridodialisis) atau timbul perdarahan badan kaca karena rusaknya pembuluh darah
di badan siliar (Pokhrel & Loftus, 2007).

18
Gambar 2.10 Hifema Sedang. Iris dan pupil dapat mudah terlihat. (Sumber: Webb, 2004)

Trauma tumpul pada mata memerlukan perawatan yang tepat dan


pencegahan terhadap terjadinya penyulit yang diakibatkannya. Trauma pada mata
ini dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan mata seperti (Pokhrel & Loftus,
2007):
a. Kornea
Trauma tumpul dapat mengakibatkan edema kornea. Edema kornea yang
berat akan mengakibatkan kekeruhan yang menetap. Bila kekeruhan terletak pada
sumbu penglihatan kadang-kadang diperlukan tindakan pembedahan. Pada edema
kornea akan terlihat kornea yang keruh. Jaringan intraokular sukar dilihat akibat
kekeruhan kornea yang mengalami edema. Pengobatan pada edema kornea adalah
dengan memberikan larutan hiperosmotik. Tekanan bola mata yang tinggi akan
mengakibatkan bertambahnya edema kornea akibat endotel yang rusak. Biasanya
tekanan intraokular diatur agar tidak tinggi untuk memperbaiki fungsi kornea
yang sakit, misalnya dengan memberi acetazolamid.
b. Sklera
Trauma tumpul dapat mengakibatkan ruptur sklera. Tempat ruptur akibat
trauma tumpul biasanya di sekitar sklera yang lemah seperti pada daerah antara
insersi rektus dengan ekuator bola mata. Ruptur sklera juga mudah terjadi di
daerah limbus. Ruptur sklera dengan prolaps jaringan akan memberikan prognosis
kurang baik. Pada keadaan ini akan terbentuk jaringan granulasi yang akan
mengakibatkan hilangnya penglihatan. Bila diberikan perawatan yang tepat pada
ruptur sklera maka tajam penglihatan dapat dipertahankan. Pada ruptur sklera
pengangkatan bola mata hanya dilakukan bila tidak terdapat lagi proyeksi sinar

19
atau kerusakan sudah demikian besarnya sehingga usaha untuk melakukan
perbaikan secara anatomik sudah tidak mungkin lagi.
Untuk menegakkan diagnosa adanya ruptur sklera kadang-kadang sukar
sekali. Biasanya ditemukan tekanan bola mata yang rendah, perdarahan
subkonjungtiva, kadang-kadang bilik mata menjadi dangkal atau dalam dan
ditemukan darah di dalam bola mata. Tanda lain dapat ditemui periorbital
ekimosis, laserasi palpebra, perdarahan subkonjungtiva, vossius ring, subluksasi
atau dislokasi lensa, ruptur bola mata, ablasio retina, dan timbulnya neuropati
optic traumatic (Webb, 2004).

Gambar 2.11 Hematom Orbita tanpa Terlihat Mata. (Sumber: Webb, 2004)

Pemeriksaan yang harus dilakukan antara lain pemeriksaan visus, reflex


pupil, pemeriksaan dengan slip-lamp disertai fluorescein, pemeriksaan TIO,
funduskopi dengan pupil yang dilebarkan, dan pemeriksaan laboratorium darah.
Pemeriksaan mata dilakukan dengan berhati-hati karena akibat manipulasi
pemeriksaan dapat terjadi keadaan yang bertambah buruk. Pemberian analgetik
dapat diberikan untuk mempermudah pemeriksaan. Pada ruptur sklera sebaiknya
diambil bahan untuk pemeriksaan bakteriologik (Webb, 2004).

Gambar 2.12 Hematom dengan Tampilan Bola Mata yang Tampak Normal. Perhatikan tidak ada
tekanan yang diberikan pada mata, kelopaknya ditarik dari tepi tulang orbital.

20
Penatalaksanaan antara lain menghentikan perdarahan dengan obat- obat
anti perdarahan, mengendalikan TIO, pemberian sikloplegik dan bila terdapat
hifema penuh dilakukan parasintesis untuk mencegah naiknya TIO dan mencegah
inhibisi kornea. Penderita dianjurkan untuk dirawat, bed rest total dengan tidur
menggunakan bantal tinggi (60º). Kedua mata dianjurkan untuk ditutup agar mata
dapat diistirahatkan. Bila terdapat ruptur bola mata atau ablasio retina, harus
segera dilakukan tindakan operatif sebagai usaha untuk menyelamatkan bola mata
dan fungsi penglihatan. Bila terdapat jaringan uvea yang prolaps, untuk
memotongnya harus hati-hati. Bila tidak perlu, jangan memotongnya atau sedapat
mungkin dilakukan reposisi jaringan yang prolaps. Pemotongan jaringan badan
siliar harus dihindarkan sebanyak mungkin. Penyulit yang dapat ditemukan antara
lain perdarahan intraokular, endoftalmitis, ablasio retina, dan ftisis bulbi akibat
terbentuknya jaringan fibrosis (Webb, 2004).

2.6 Trauma Tajam dan Tembus Bola Mata


Trauma tajam pada bola mata dapat menimbulkan hanya laserasi pada
sklera atau kornea, bila ini terjadi, tindakan yang dilakukan adalah penjahitan
kembali dibawah mikroskop. Laserasi kornea dibedakan dalam bentuk laserasi
kornea sebagian dan laserasi dengan perforasi kornea. Tetapi bila trauma tajam
tersebut menembus bola mata, dapat merusak susunan anatomik dan fungsional
jaringan intraokular. Trauma tembus dapat disertai atau tanpa masuknya benda
asing intraocular, gejala yang timbul antara lain turunnya penglihatan karena
adanya kekeruhan pada media refrakta (Pokhrel & Loftus, 2007).

21
Gambar 2.13 Trauma Tajam dan Tembus Bola Mata. Biasa disebabkan oleh partikel berkecepatan
tinggi, biasanya fragmen logam dari benturan antara logam dengan logam, misalnya
menggedor paku atau memahat, cedera senapan angin. (Sumber: Webb, 2004)

2.6.1 Trauma Tajam Bola Mata (Laserasi Kornea)


Pada setiap kemungkinan laserasi kornea diperlukan riwayat yang lengkap
dari penyebab trauma. Dengan riwayat yang baik dapat disimpulkan kemungkinan
hal yang terjadi pada jaringan kornea atau bola mata akibat trauma tersebut dan
kemungkinan penyulit yang dapat terjadi (Sukati, 2012).
Bila laserasi disertai dengan perforasi kornea maka biasanya disertai
dengan prolaps jaringan intraokular di tempat perforasi. Jaringan tidak prolaps
hanya bila perforasi kecil. Akibat prolaps atau terjepitnya jaringan iris maka pupil
akan terlihat lonjong (Sukati, 2012).
Bila terdapat laserasi dengan perforasi luas maka pemeriksaan bagian lain
bola mata akan lebih sukar. Bila dilakukan pemeriksaan jaringan intraokular
mudah prolaps akibat dari manipulasi pemeriksaan (Sukati, 2012).
Pemeriksaan pada laserasi kornea selain daripada untuk melihat gangguan
susunan anatomik akibat trauma juga dapat untuk melihat adanya benda asing,
katarak dan untuk melihat apakah sudah terjadi infeksi sekunder ke dalam
jaringan intraokuler. Diagnosis pasti adanya benda asing di dalam bola mata
hanya dapat ditentukan dengan pemeriksaan radiologik atau ultrasonografi
(Sukati, 2012).

22
Pemeriksaan harus dilakukan oleh dokter mata dengan sangat berhati- hati
karena sedikit penekanan saja dapat menyebabkan isi bola mata prolaps atau
keluar. Tekanan bola mata menurun karena cairan akuos yang keluar melalui luka
tembus atau bahkan badan kaca dapat keluar. Pada trauma jenis ini harus
dilakukan pemeriksaan radiologi foto orbita menggunakan marker (ring atau lensa
kontak Comberg) untuk menentukan ada atau tidak benda asing dan lokasi benda
asing tersebut berada di ekstra atau intraokular, pemeriksaan ERG untuk
mengetahui fungsi retina dan VER untuk melihat fungsi jalur penglihatan ke pusat
penglihatan (Cho & Savitsky, 2009).
Pengobatan pada laserasi membedakan kasus anak dan dewasa. Kornea
neonatus berkembang sampai usia 6 bulan. Ukuran kornea mata bayi sama dengan
ukuran kornea dewasa bila bayi telah berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Kornea
bayi hampir sferis yang akan menjadi lebih rata pada penambahan umur. Kornea
bayi lebih tipis dibanding kornea dewasa. Akibatnya persiapan dan peralatan
pembedahan mempunyai pertimbangan sendiri (Rappon, 2006).
Bila terjadi laserasi sebagian yang diakibatkan benda tajam dan bersih
seperti kaca atau pisau yang tidak menembus kornea, tidak perlu dilakukan
pembedahan. Pada penderita hanya diberikan bebat tekan dengan antibiotik untuk
beberapa hari (Rappon, 2006).
Bila terdapat laserasi yang tidak teratur tanpa perforasi tidak perlu
dilakukan pembedahan. Bila keadaan ini mengancam akan perforasi atau terdapat
decemetokel sebaiknya direncanakan untuk keratoplasti tembus. Bila hal ini tidak
mungkin maka dianjurkan diberi lensa kontak lembek atau flep konjungtiva
sebagai pelindung (Rappon, 2006).
Bila laserasi kornea dengan perforasi kecil, bersih dengan bentuk susunan
jaringan intraokular normal tidak perlu dilakukan pembedahan. Penderita diberi
bebat tekan atau lensa kontak lembek atau flep konjungtiva (Rappon, 2006).
Bila laserasi dengan perforasi luas maka pertolongan pertama yang
dilakukan adalah (Webb, 2004):
 Menutup kedua mata dengan kasa steril
 Memberi kapsul antibiotik spektrum luas

23
 ATS
 Pembedahan dilakukan bila perlengkapan bedah sudah memadai

Gambar 2. 14 Teknik Bebat Dobel. (Sumber: Webb, 2004)

Pembedahan dilakukan dengan anastesi umum. Bila dilakukan dengan


anastesi lokal akan berbahaya karena dapat terjadi perdarahan retrobulbar pada
waktu penyuntikan obat anastetika. Anastesi umum dilakukan dengan induksi
cepat yang mencegah tekanan intraokular naik. Pada anastesi umum hindari
pemakaian obat anastesi yang meninggikan tekanan bola mata, seperti suksinil,
ketalar, dan lain-lain. Bila tekanan intraokular naik pada waktu pembiusan dengan
bola mata terbuka atau laserasi dengan perforasi maka dapat terjadi prolaps
jaringan intraokular (Cho & Savitsky, 2009).
Penatalaksanaan ditujukan untuk mempertahankan bola mata dan fungsi
penglihatan, bila terdapat benda asing, harus segera dievakuasi dan luka yang
terbuka harus segera ditutup. Pada penderita diberikan analgetik dan sedative,
serta antibiotika spectrum luas intravena. Dapat juga disertai antibiotika intra
camera atau intravitreal untuk mencegah infeksi post trauma (Cho & Savitsky,
2009).

24
Laserasi dengan perforasi yang luas dapat berakhir dengan ftisis bulbi
yang merupakan tanda degenerasi berat bola mata. Oftalmia simpatika merupakan
penyulit yang berat pada kerusakan jaringan intraokular (Cho & Savitsky, 2009).

2.6.2 Trauma Tembus Bola Mata


Perforasi bola mata merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata
karena pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata selain
dapat mengakibatkan kerusakan susunan anatomik dan fungsional jaringan
intraokular (Sukati, 2012).
Trauma tembus pada bola mata dapat dengan atau tanpa masuknya benda
asing intraokular. Bila bersamaan dengan trauma tembus terdapat benda asing
intraokular maka benda asing tersebut akan memberikan akibat buruk di dalam
bola mata seperti siderosis, kalkosis, dan oftalmia simpatika (Webb, 2004).
Trauma tembus dapat berbentuk perforasi sklera dengan prolaps badan
kaca disertai dengan perdarahan badan kaca. Dapat juga perforasi sklera ini
disertai dengan prolaps badan siliar. Sebaiknya diketahui apakah trauma tembus
disebabkan oleh benda yang kotor sehingga dapat diprediksi dan dicegah
kemungkinan akan terjadinya endoftalmitis (Webb, 2004).

Gambar 2.15 Laserasi Konjungtiva dan Fragmen Kayu dari Cabang Pohon. Waspadai adanya
ruptur sklera. (Sumber: Webb, 2004)

Tajam penglihatan akan menurun akibat terdapatnya kekeruhan media


penglihatan secara langsung atau tidak langsung akibat trauma tembus tersebut.
Pemakaian retraktor atau spekulum untuk melakukan pemeriksaan trauma tembus
sebaiknya dilakukan secara berhati-hati. Pemakaian yang salah akan
mengakibatkan meningginya tekanan bola mata seihngga mendesak isi bola mata
keluar (Cho & Savitsky, 2009).

25
Bila terdapat perforasi kornea akan terlihat bilik mata yang dangkal.
Jaringan uvea akan menempel pada kornea atau malahan akan terlihat jaringan iris
yang prolaps keluar. Akibat perlengketan iris dengan bibir luka kornea akan
terdapat bentuk pupil yang lonjong atau terjadi perubahan bentuk pupil. Kadang-
kadang terdapat hifema, hal ini menunjukkan terjadinya ruptur iris atau badan
siliar oleh trauma tembus tersebut (Cho & Savitsky, 2009).
Tekanan bola mata akan rendah akibat cairan mata keluar melalui luka
tembus dan malahan badan kaca dapat keluar. Pemeriksaan tambahan yang
sebaiknya dilakukan pada trauma tembus adalah (Cho & Savitsky, 2009):
 Pembiakan kuman dari benda yang merupakan penyebab trauma tembus
untuk menjadi petunjuk pemberian obat antibiotik pencegah infeksi
 Pemeriksaan radiologi foto orbita untuk melihat adanya benda asing yang
radioopak, bila ada dilakukan pemeriksaan dengan lensa kontak Comberg,
dan dapat ditentukan apakah benda asing intraokuler atau ekstraokuler
 Pemeriksaan ERG untuk mengetahui fungsi retina yang rusak atau yang
masih ada
 Pemeriksaan VER untuk melihat fungsi jalur penglihatan ke pusat
penglihatan
Keadaan trauma tembus pada mata merupakan hal yang gawat dan harus
segera mendapat perawatan khusus karena dapat menimbulkan bahaya infeksi,
siderosis, kalkosis, dan oftalmia simpatika. Pertimbangan tindakan bertujuan
mempertahankan bola mata dan mempertahankan penglihatan. Pada setiap
keadaan harus dilakukan usaha untuk mempertahankan bola mata bila masih
terdapat kemampuan melihat sinar atau masih ada proyeksi penglihatan (Cho &
Savitsky, 2009).
Bila terdapat benda asing dalam bola mata, maka sebaiknya dilakukan
usaha untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Pada tindakan sebaiknya
dipertimbangkan bahaya mengeluarkan benda dibanding dengan keuntungan
melakukan enukleasi pada mata tersebut. Pada penderita diberikan antibiotik
spektrum luas, analgetik, dan sedativa. Dilakukan pembedahan pada luka yang

26
terbuka. Penyulit yang dapat ditemukan yakni endoftalmitis, ablasi retina,
perdarahan badan kaca, glaukoma, dan katarak (Webb, 2004).
Prognosis bergantung pada banyak faktor seperti (Sukati, 2012):
 Besarnya luka tembus, makin kecil luka tembus makin baik prognosisnya
 Tempat luka pada bola mata, bila terdapat di segmen anterior prognosis
lebih baik daripada di segmen posterior
 Bentuk trauma, apakah dengan benda asing atau tidak
 Benda asing magnetik atau tidak
 Dalamnya luka tembus apakah tumpul atau luka ganda
 Sudah terdapatnya penyulit akibat luka tembus

2.7 Benda Asing Kornea


Benda asing yang terdapat pada kornea dapat terdiri atas satu atau
beberapa buah. Benda asing yang terdapat pada kornea dapat berasal dari gerinda
atau pecahan besi yang diketuk dengan martil. Sering saat datangnya benda
tersebut tidak disadari atau tidak diduga oleh penderita, sehingga tidak segera
memberikan keluhan atau meminta pertolongan. Keadaan ini dapat berlanjut
dengan terbentuknya karat di sekitar logam yang tertanam pada bola mata (Webb,
2004).

Gambar 2.16 Benda Asing Logam. Superfisial tanpa cincin karat pada tahap awal. (Sumber:
Webb, 2004)

Terdapatnya rasa pedas dan sakit pada mata merupakan gejala dini benda
asing pada kornea. Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis
atau tukak pada mata tersebut. Perasaan sakit ini disertai dengan keluarnya air
mata yang banyak (epifora) (Cho & Savitsky, 2009).

27
Di sekitar limbus terlihat pelebaran pembuluh darah perikorneal atau
disebut sebagai suatu injeksi siliar. Pada kornea terlihat adanya benda asing.
Terjadi miosis pupil akibat refleks perasaan sakit pada kornea (Webb, 2004).

Gambar 2.17 Benda Asing yang Menembus. Perhatikan kornea kabur dengan refleks cahaya
ireguler. (Sumber: Webb, 2004)

Kadang-kadang sesudah diberikan obat anastesi topikal, benda asing ini


dapat dikeluarkan dengan memakai kapas yang digosokkan di atasnya. Bila tidak
dapat dikeluarkan dengan kapas, maka dikeluarkan dengan ujung jarum suntik.
Mengeluarkan benda asing dilakukan dengan menggunakan loupe. Cincin karat di
sekitar benda asing dikeluarkan untuk mencegah reaksi radang pada karat logam.
Mengeluarkan karat logam kadang sukar sehingga untuk mengeluarkan perlu
dilakukan di depan slitlamp. Bila mungkin benda asing pada kornea dikeluarkan
seluruhnya pada satu saat tindakan. Diberi sikoplegik topikal untuk mengurangi
rasa sakit dan menghilangkan gejala siklitis yang dapat terjadi (Webb, 2004).

Gambar 2.18 Tempatkan ujung jarum oranye ke


dalam lubang jarum hijau dan
bengkokkan sekitar 30 derajat.
Hal ini menghasilkan 'duri' yang
berguna untuk memanipulasi
benda asing di kornea. (Sumber:
Webb, 2004)

Gambar 2.19 Kemudian tekuk poros sekitar 30


derajat. Hal ini memungkinkan
pendekatan tangensial yang lebih
mudah ke permukaan kornea.
(Sumber: Webb, 2004)

28
Gambar 2.20 Tahan kelopak mata dan ambil.
Beri anestesi lokal jika
diperlukan. (Sumber: Webb,
2004)

Gambar 2.21 Pengambilan Benda Asing


Kornea dengan Jarum 25 G.
Dilakukan di depan Slit lamp.
(Sumber: NSW Department
of Health, 2009)

Antibiotik spektrum luas dalam bentuk tetes atau salep diberikan untuk
mencegah infeksi sekunder. Bebat tekan diberikan selama 8-48 jam untuk
mempercepat pertumbuhan epitel. Bebat tekan juga akan mengurangi rasa sakit
karena defek epitel tidak terganggu akibat kedipan (NSW Department of Health,
2009).
Hati-hati dalam memberi steroid karena dapat terjadi infeksi sekunder dan
sangat berbahaya bila terdapat virus herpes simplek. Obat anastesi lokal harus
diberikan dengan berhati-hati karena dapat mengakibatkan keratitis dan adiksi
terhadap obat ini. Untuk menghilangkan rasa sakit dapat diberi kodein, aspirin,
dan obat analgetika lainnya (NSW Department of Health, 2009).
Pada defek epitel dengan benda asing kornea mudah terjadi infeksi oleh
Pseudomonas ataupin virus. Selain dari infeksi sekunder pada bekas benda asing
ini dapat terjadi jaringan parut yang akan mengganggu penglihatan atau sukarnya
tertutup epitel kornea sehingga terjadi erosi rekuren (NSW Department of Health,
2009).

2.8 Tukak (Ulkus) Kornea


Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya
kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal dua bentuk

29
tukak pada kornea, yaitu sentral dan marginal atau perifer. Tukak kornea perifer
dapat disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun, dan infeksi. Infeksi pada
kornea perifer biasanya oleh Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, dan
Moraxella lacunata (Ilyas, 2008).
Selain karena radang dan infeksi, penyebab lain tukak kornea ialah
defisiensi vitamin A, lagoftalmus akibat paresis saraf VII, lesi saraf V atau
neurotrofik dan ulkus Mooren (Ilyas, 2008).
Pada tukak kornea yang disebabkan jamur dan bakteri akan terdapat defek
epitel yang dikelilingi leukosit polimorfonuklear. Bila infeksi disebabkan virus,
akan terlihat reaksi hipersensitivitas di sekitarnya. Bentuk tukak marginal dapat
fokal, multifokal atau difus yang disertai dengan masuknya pembuluh darah ke
dalamnya (Ilyas, 2008).
Perjalanan penyakit tukak kornea dapat progresif, regresi atau membentuk
jaringan parut. Pada proses kornea yang progresif dapat terlihat infiltrat sel
leukosit dan limfosit yang memakan bakteri atau jaringan nekrotik yang
terbentuk. Pada pembentukan jaringan parut akan terdapat epitel, jaringan kolagen
baru dan fibroblas (Ilyas, 2008).
Tukak kornea biasanya terjadi sesudah terdapatnya trauma ringan yang
merusak epitel kornea. Pada mulanya mata akan terasa pedih dan sakit disertai
fotofobia. Biasanya kokus Gram positif, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumonie akan memberikan gambaran tukak yang terbatas, berbentuk bulat atau
lonjong, berwarna putih abu-abu pada tukak yang supuratif. Daerah kornea yang
tidak terkena akan tetap berwarna jernih dan tidak terlihat infiltrasi sel
radang(Ilyas, 2008) .
Kadang-kadang di dalam bilik mata depan ditemukan hipopion. Bila tukak
disebabkan Pseudomonas maka tukak akan terlihat melebar dengan cepat, bahan
purulen berwarna kuning hijau terlihat melekat pada permukaan tukak(Ilyas,
2008) .

30
Gambar 2.22 Ulkus Putih Dalam dan Abses Kornea. Perhatikan hypopyon di ruang anterior mata.
(Sumber: Webb, 2004)

Pemeriksaan laboratorium sangat berguna untuk membantu membuat


diagnosis penyebab. Pemeriksaan jamur dilakukan dengan sediaan hapus yang
memakai larutan KOH. Bila tukak disebabkan jamur, maka infiltrat akan
berwarna abu-abu dikelilingi infiltrat halus di sekitarnya (fenomena satelit). Bila
tukak terbentuk dendrit akan terlihat hipoestesi pada kornea. Tukak yang berjalan
cepat dapat membentuk descemetokel atau terjadi perforasi kornea yang akan
membuat suatu bentuk lekoma adheren (Ilyas, 2008).
Bila proses pada tukak berkurang maka akan terlihat berkurangnya rasa
sakit, fotofobia, berkurang infiltrat pada tukak dan defek epitel kornea menjadi
bertambah kecil (Ilyas, 2008).
Pengobatan pada tukak kornea bertujuan untuk menghalangi hidupnya
bakteri dengan antibiotika, mengurangi reaksi radang dengan steroid. Secara
umum, tukak diobati sebagai berikut (Ilyas, 2008):
 Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi
sebagai inkubator
 Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari
 Perhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder
 Debridement sangat membantu penyembuhan
 Diberi antibiotika yang sesuai penyebab. Biasanya diberi lokal kecuali
keadaan berat.
Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat
tenang kecuali penyebabnya Pseudomonas yang memerlukan pengobatan
ditambah 1-2 minggu. Pada tukak kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti

31
bila dengan pengobatan tidak sembuh dan terjadinya jaringan parut yang
mengganggu penglihatan (Ilyas, 2008).

2.9 Glaukoma Sudut Tertutup Akut


Glaukoma sudut tertutup akut merupakan suatu kondisi mata yang gawat,
karena pada kondisi ini tekanan bola mata naik secara cepat dan tiba- tiba karena
adanya blok pada pupil sehingga menimbulkan gejala-gejala akut seperti mata
merah, rasa sakit dimata, pusing, mual sering disertai muntah, penglihatan turun
mendadak karena edema kornea, terdapat gambaran halo atau pelangi saat melihat
lampu, lumpuhnya sphingter pupil, atrofi iris, TIO yang sangat tinggi (Khare &
Symons, 2008).

Gambar 2.23 Aliran Aquous Humour pada Glaukoma Sudut Tertutup. (Sumber: Webb, 2004)

Penyakit ini biasanya terdapat pada penderita berusia lebih dari 40 tahun.
Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit mengenai sekitar mata dan daerah belakang
kepala bagian mata yang mendapat serangan glaukoma akut. Akibat rasa sakit
yang berat terdapat gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah yang kadang-
kadang dapat mengaburkan gejala glaukoma akut kongestif. Tajam penglihatan
sangat menurun. Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat.
Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar. Edema kornea berat
sehingga kornea terlihat keruh. Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek
tyndal yang positif, akibat timbulnya reaksi radang uvea. Pupil lebar dengan
reaksi terhadap sinar yang lambat. Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan
karena terdapat kekeruhan media penglihatan. Tekanan bola mata yang sangat
tinggi. Tekanan bola mata antara dua serangan dapat normal. Biasanya serangan

32
akut ini diprovokasi dengan melebarnya pupil atau bila penderita di tempat yang
gelap (Khare & Symons, 2008).
Serangan dapat mengenai kedua mata pada suatu saat. Biasanya bila tidak
terdapat serangan pada kedua mata, maka mata yang lain mendapat serangan
sesudah 2-5 tahun kemudian. Bila serangan sudah berulang kali atau serangan
terlalu lama maka akan terjadi perlengketan antara pangkal iris dan kornea atau
goniosinekia (Ilyas, 2008).
Kondisi ini harus mendapatkan penanganan segera, yaitu obat untuk
menghilangkan gejala simptomatik. Dan dilakukan usaha untuk menurunkan TIO
baik dengan pemberian obat hiperosmotik secara intravena, asetazolamid oral dan
khemolol, timolol 0,5 % topical, miotika dapat diberikan bila tekanan sudah
menurun dengan tujuan untuk membuka sudut irido korneal setelah TIO dapat
terkontrol dianjurkan untuk dilakukan terapi operatif, yaitu iridotomi laser atau
iridektomi perifer bila trabekulum masih berfungsi baik, bila fungsi trabekulum
tidak berfungsi baik dilakukan operasi filtrasi atau trabekulektomi (Ilyas, 2008).
Bila glaukoma akut kongestif tidak mendapat pengobatan yang tepat dan
cepat, maka kebutaan akan terjadi dalam waktu yang pendek sekali. Pengawasan
dan pengamatan mata yang tidak mendapat serangan diperlukan karena dapat
memberikan keadaan yang sama seperti mata yang dalam serangan (Ilyas, 2008).
Nasihat pada penderita dengan glaukoma sudut tertutup (Ilyas, 2008):
 Emosi seperti bingung dan takut dapat menimbulkan serangan akut
 Membaca dekat yang mengakibatkan miosis atau pupil kecil akan
menimbulkan serangan pada glaukoma blokade pupil
 Berbahaya memakai obat simpatomimetik karena dapat melebarkan pupil
yang menimbulkan serangan
 Berbahaya penderita dengan hipermetropia dan sudut bilik mata dangakal
memakai obat antihistamin dan antispasme

2.10 Konjungtivitis Gonore


Konjungtivitis gonore disebabkan oleh kuman diplokokkus gram negative
aerob Neiseria Gonorhoeae yang bersifat sangat pathogen, virulen dan invasive,

33
reaksi radang yang timbul sangat berat. Pada neonatus, infeksi konjungtiva terjadi
pada saat berada pada jalan kelahiran (oftalmia neonatorum), sedang pada bayi,
penyakit ini juga ditularkan oleh ibu yang sedang menderita penyakit
(konjungtivitis gonore infatum). Pada orang dewasa, penularan penyakit melalui
hubungan seksual (konjungtivitis gonore adultorum). Pada pemeriksaan
ditemukan edema kelopak, spasme, sakit, hiperemis, konjungtiva, dan khemosis.
Pada stadium supuratif terdapat secret yang mukopurulen, pada bayi ini berwarna
kuning dan kental dan terdapat pseudomembran pada permukaan konjungtiva,
penyakit akan berlangsung selama 6 minggu dan sering kali disertai pembesaran
dan rasa sakit kelenjar preaurikular. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan sediaan
apus konjungtiva, terdapat bakteri diplokokkus. Penanganan penyakit ini
dilakukan irigasi setiap 15 menit, pemberian antibiotic baik sistemik dan topical
(penicillin G disertai sectinomisin atau tetrasiklin). Penisilin G topical diberikan
dengan dosis 10.000-20.000 unit/ml setiap 30 menit. Pengobatan dihentikan bila
setelah tiga kali pemeriksaan laboratorium berturut-turut memberikan hasil
negative (Ilyas, 2008).

Gambar 2.24 Konjungtivitis Gonore. (Sumber: Webb, 2004)

2.11 Selulitis Orbita


Selulitis orbita merupakan peradangan jaringan ikat yang terdapat
dirongga orbita. Biasanya disebabkan oleh peradangan pada kelopak mata atau
kelenjar air mata ataupun melalui pembuluh darah (bakterimia). Kuman yang
sering menjadi penyebab selulitis orbita akut antara lain pneumococcus,
staphylococcus, dan streptococcus, sedangkan lues, jamur dan sarkoid
menyebabkan selulitis orbita kronik. Gejala yang tampak antara lain febris, visus

34
menurun atau dobel, rasa sakit pada perabaan, kelopak mata dan konjungtiva
hiperemis dan edem, konjungtiva kemosis dan proptosis, sakit hebat pada
pergerakan bola mata. Terdapat malaise dan keadaan Umum pasien buruk. Bila
keadaan berat dapat terlihat sindroma fisura orbita superior berupa kelumpuhan
saraf III, IV, V, dan VI. Penderita harus dirawat di rumah sakit dan diberikan
antibiotika dosis tinggi IM dan IV. Selulitis orbita ini suatu kondisi yang gawat
karena dapat menyebabkan thrombosis sinus cavernosis. Meningitis, abses otak
yang dapat mengancam jiwa penderita (Rassbach, 2011).

a b
Gambar 2.25a,b Selulitis Orbita. Terlihat pembengkakan konjungtiva. Gerakan mata mungkin
terbatas. (Sumber: Webb, 2004)

2.12 Ablasi Retina Akut


Ablasi retina adalah lepasnya lapisan fungsional retina dari epitel pigmen
retina. Akibatnya akan terjadi degenerasi dan atrofi sel reseptor retina. Salah satu
predisposisi ablasi retina ini antara lain adalah trauma, minus tinggi, penyakit
seperti diabetes mellitus yang tidak terkontrol, atau penyakit infeksi sistemik
lainnya (Khare & Symons, 2008).

Gambar 2.26 Ablasio Retina. (Sumber: Webb, 2004)

Lepasnya retina dapat terjadi akibat eksudasi, tarikan dan terdapatnya


robekan pada retina. Apabila karena suatu sebab terjadi gerakan pada badan kaca

35
maka akan terjadi terikan yang menyebabkan robekan pada retina. Sering ablasi
retina dihubungkan dengan trauma dan miopia. Ablasi retina pada kedua mata
biasanya terdapat pada kira-kira 12-30 % penderita ablasi retina (Khare &
Symons, 2008).
Riwayat trauma bukan merupakan faktor penyebab utama untuk timbulnya
ablasi retina. Trauma merupakan faktor tambahan saja pada mata yang
mempunyai faktor predisposisi untuk terjadinya ablasi retina. Pada ablasi retina
bagian luar retina yang tadinya mendapat nutrisi dari pembuluh darah koriokapiler
tidak lagi mendapat nutrisi yang baik dari koroid. Akibatnya akan terjadi
degenerasi dan atrofi sel reseptor retina. Pada waktu degenerasi retina terjadi
kompensasi sel epitel pigmen yang melakukan serbukan sel ke daerah degenerasi.
Akibat reaksi kompensasi akan terlihat sel epitel pigmen di depan retina. Akibat
gangguan nutrisi ini akan terjadi penghancuran sel kerucut dan sel batang retina.
Bila degenerasi berlangsung lama, sel pigmen akan bermigrasi ke dalam cairan
subretina dan ke dalam sel reseptor kerucut dan batang. Pada percobaan binatang
terlihat terjadi degenrasi sel dalam waktu 2-3 minggu sesudah ablasi retina. Pada
manusia degenerasi makula sistoid terjadi 5-6 minggu sesudah ablasi retina
(Khare & Symons, 2008).
Bila pada retina terdapat ruptur besar maka badan kaca akan masuk ke
dalam cairan subretina. Apabila terjadi kontak langsung antara badan kaca dengan
koroid maka akan terjadi degenerasi koroid. Apabila terjadi degenerasi sel
reseptor maka keadaan ini berlanjut ke dalam jaringan yang lebih dalam, yang
kemudian jaringan ini diganti dengan jaringan glia (Webb, 2004).
Bila proses di atas belum terjadi dan ablasi retina ditemukan dini dan
kemudian kedudukan retina dikembalikan ke tempat asal, maka akan terjadi
pengembalian penglihatan yang sempurna. Pada proses penyembuhan terlihat
fungsi batang kembali menjadi normal lebih cepat dibanding dengan fungsi
kerucut. Kembalinya penglihatan warna dapat terjadi sesudah 1 tahun (Webb,
2004).
Gejala yang biasanya terjadi antara lain turunnya tajam penglihatan,
terutama bila macula sudah terlibat, timbulnya floaters, fotopsia, pandangan

36
seperti melihat tirai yang tertutup. Pada pemeriksaan retina terlihat berwarna abu-
abu dan pembuluh darah retina berkelok-kelok seperti gelombang sesuai dengan
retina yang terangkat. Tekanan bola mata lebih rendah dari normal (Magauran,
2008).

Gambar 2.27 Ablasio Retina (Retinal Detachment). Jika terjadi barusan, retina mungkin mobile.
(Sumber: Webb, 2004)

Penanganan ablasi retina, pasien harus dirujuk ke dokter mata, dan dirawat
untuk segera dilakukan operasi. Operasi pengembalian letak retina, baik itu
dengan metode scleral buckling atau pars plana vitrektomi. Bila diagnosis ablasi
retina sudah dibuat maka penderita sudah harus dirawat dan dipersiapkan untuk
pembedahan. Penderita istirahat terutama tidak membaca, kedua mata diberi
lubang pengintip. Mata diberi sikoplegik. Pembedahan harus segera dilakukan
bila lepasnya makula baru 2 hari, ablasi mengancam terangkatnya makula, dan
robek retina besar (Magauran, 2008).
Pembedahan tidak terlalu akut bila ablasi lama dan makula lepas, ablasi
lama yang tidak mengancam makula lutea. Pembedahan bertujuan melekatkan
kembali retina yang lepas dengan diatermi tanpa atau dengan mengeluarkan cairan
subretina, implan yang diletakkan pada kantung sklera sesudah dilakukan reseksi
sklera, dan band yang merupakan ikatan melingkar pada bola mata (Webb, 2004).
Prognosis tajam penglihatan setelah operasi ablasi retina sangat
bergantung pada lamanya ablasio, serta keterlibatan macula, prognosis akan baik
bila ablasi masih baru (<48 jam) dan makula tidak terlibat, sebaliknya bila ablasi
sudah lama dan makula sudah terlibat maka prognosis tajam penglihatan setelah
operasi akan buruk (Webb, 2004).

37
2.13 Endoftalmitis
Endoftalmitis merupakan penyakit yang memerlukan perhatian dan
penanganan yang cepat dan tepat karena penyakit ini menyebabkan kebutaan total.
Endoftalmitis dapat terjadi karena trauma, infeksi, atau setelah operasi intraokuler.
Kuman yang paling sering menyebabkan penyakit ini setelah operasi adalah
staphylococcus epidermidis dan staphylococcus aureus, kuman gram negative
yang sering adalah proteus dan pseudomonas aeruginosa (Vidyashankar et al,
2000).

Gambar 2.28 Endoftalmitis. (Sumber: Webb, 2004)

Gejala yang sering tampak adalah rasa sakit pada mata dan turunya tajam
penglihatan dalam 24-72 jam, edema kelopak mata, kemosis konjungtiva dan
kekeruhan baik pada kornea dan badan kaca. Endoftalmitis yang disebabkan
jamur berjalan lambat, tidak ada rasa sakit dan gejala yang timbul ringan,
iridosiklitis dan vitritis yang progresif yang tidak bereaksi dengan pemberian obat
anti radang. Penyakit ini termasuk dalam kondisi gawat dan memerlukan
pengobatan dan pengawasan yang intensif langsung oleh dokter mata (Khare &
Symons, 2008).
Pengobatan endoftalmitis pasca operasi intra ocular terbaru menurut
Endoftalmitis Vitrektomi Study (EVS), bila visus pada saat dating masih hitung
jari sampai lambaian tangan, maka dilakukan penyuntikan antibiotika intravitreal.
Bila visus saat dating hanya persepsi cahaya, sangat dianjurkan untuk melakukan
operasi vitrektomi untuk mengeluarkan kuman dan badan kaca (Vidyashankar et
al, 2000).

38
2.14 Trombosis Sinus Kavernosus
Biasanya trombosis sinus kavernosus bersifat aseptik dan disebabkan oleh
trauma kepala yang mengakibatkan fraktur fossa kranii anterior dan media atau
dapat juga akibat penyulit pada bedah saraf. Bila penyebabnya suatu infeksi
biasanya berasal dari penyebaran suatu infeksi di tempat lain ke dalam sinus
kavernosus melalui peredaran darah. Sumber infeksi dapat berasal dari suatu
infeksi ringan pada kulit atau infeksi muka, rongga orbita, rongga mulut, dan
rongga hidung. Infeksi hidung dan muka memerlukan perawatan khusus karena
cabang angular vena fasial beranastomose dengan vena oftalmik dalam rongga
orbita (Khare & Symons, 2008).
Pembuluh darah ini masuk langsung ke dalam sinus kavernosus. Bakteri
yang sering menjadi penyebab adalah Sterptococcus. Gejala klinik timbul akibat
penyumbatan vena yang menghalangi jalannya pembuluh darah balik orbita. Bila
terdapat infeksi rongga orbita maka akan terjadi proptosis (eksoftalmus), sedang
gejala oftalmoplegia disebabkan kelumpuhan saraf ke III, IV, dan VI yang melalui
sinus kavernosus (Khare & Symons, 2008).
Dengan perkembangan antibiotika, trombosis sinus kavernosus tidak
mengakibatkan kematian yang tinggi sekali seperti sebelumnya. Penyakit ini
masih dimasukkan ke dalam penyakit yang gawat karena memerlukan pengobatan
cepat, tepat, dan intensif (Khare & Symons, 2008).
Perjalanan penyakit ini biasanya subakut. Gejala yang dapat dilihat yakni
badan terasa panas, sakit kepala, demam, dan kadang-kadang muntah dan mual.
Penderita terlihat sakit berat. Gejala mulai dengan sakit di sekitar mata disertai
lakrimasi dan fotofobia. Tajam penglihatan menurun disertai pergerakan mata
terganggu atau terjadi oftalmoplegi. Mata merah, kelopak mata bengkak dan
eksoftalmus bola mata. Kornea dapat menjadi keruh akibat eksoftalmus atau
akibat hipestesi yang terjadi (Khare & Symons, 2008).
Pada pemeriksaan funduskopi terlihat pelebaran pembuluh darah vena
dengan perdarahan retina dan edema papil ringan. Gejala biasanya mulai pada
satu mata yang kemudian disusul pada mata yang lain. Timbulnya gejala pada

39
mata yang lain terjadi dalam waktu 24-48 jam. Terdapat leukositosis yang tinggi.
Penyakit ini perlu dibedakan dengan penyakit lain seperti kelainan fisura sfenoid
atau kelainan apeks orbita. Pada trombosis sinus kavernosus kelumpuhan dimulai
dengan kelumpuhan saraf ke IV yang disertai dengan rasa sakit. Pada kelainan
fisura sfenoid oftalmoplegi dimulai dengan kelumpuhan saraf ke III disertai
dengan kornea yang anastetik. Pada kelainan apeks ditemukan oftalmoplegia
dengan protusio bola mata dan gangguan penglihatan. Kadang-kadang terlihat
gejala menyerupai selulitis orbita. Pada sinus kavernosus terdapat tekanan yang
tinggi dari belakang bola mata sehingga terjadi edema papil, stasis vena dan
gangguan pada tajam penglihatan. Bila terdapat gejala sakit kepala yang berat
disertai gejala rangsangan meningeal dan tanda-tanda oftalmoplegia total keadaan
ini menunjukkan trombosis sinus kavernosus dan bukan suatu selulitis orbita. Bila
telah terdapat gejala pada kedua mata maka keadaan ini menunjukkan prognosis
yang memburuk. Akan terlihat mata sukar bergerak, ptosis, pupil kaku, akomodasi
hilang, edema yang disertai kongesti kelopak disertai protusio bulbi. Pada anak,
sinus kavernosus sindrom diakibatkan oleh infeksi yang berasal dari sinus atau
telinga yang ditandai rasa sakit dan sepsis sistemik. Perbedaan dengan anuerisma
karotid maka pada sinus kavernosus tidak ditemukan tanda-tanda bruit. Sindrom
ini juga ditimbulkan oleh radang, tumor, dan gangguan peredaran darah. Sindrom
sinus kavernosus juga disebut sindrom sfenokavernosus (Khare & Symons, 2008).
Pengobatan trombosis sinus kavernosus yakni penderita harus istirahat
total dengan pemberian antibiotika dosis tinggi untuk mencegah kematian,
penisilin atau sefalostin IV. Gentamycin 120 mg/hari (30 mg setiap 6 jam). Bila
tidak muntah kloramfenikol per OS. Bila tidak ada perbaikan sesudah 48 jam,
mungkin terdapat resistensi kuman terhadap antibiotik yang dipakai antibiotik
alternatif (Khare & Symons, 2008).
Trombosis sinus kavernosus dapat berakhir dengan kematian ataupun
kelumpuhan. Penderita dengan sindrom sinus kavernosus sebaiknya mendapat
perawatan oleh ahli penyakit dalam, ahli saraf, dan ahli bedah saraf (Khare &
Symons, 2008).

40
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata adalah suatu keadaan dimana
mata terancam akan kehilangan fungsi penglihatannya atau akan terjadi kebutaan
apabila tidak dilakukan tindakan atau pengobatan sesegera mungkin.
Terancamnya fungsi penglihatan atau kebutaan dapat diakibatkan oleh suatu
penyakit atau kelainan mata dan oleh trauma mata. Dalam kasus kegawatdaruratan
mata, kecepatan menentukan diagnosis dan ketepatan penanganan atau terapi
merupakan hal paling utama dalam usaha dokter untuk menyelamatkan bola mata
dan fungsi penglihatan pasien.
Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata secara umum dapat terbagi
dua, yaitu yang trauma dan non trauma. Kegawatdaruratan mata karena trauma
dapat terbagi menjadi gawat darurat yaitu trauma kimia (basa/alkali dan asam) dan
oklusi arteri retina sentralis, kondisi gawat yakni trauma radiasi (solar/matahari,
ultraviolet), trauma jaringan ekstra okular (palpebra, sistem lakrimal), trauma
tumpul bola mata, trauma tajam bola mata (laserasi dan trauma tembus) serta yang
bersifat non trauma antara lain, glaukoma sudut tertutup akut, infeksi
(konjungtivitis GO, endoftalmitis, selulitis orbita), dan ablasi retina akut.

3.2 Saran
Pada kasus kegawatdaruratan di dalam ilmu penyakit mata, maka dokter
harus dapat membuat prioritas diagnosis dan beberapa diferensial diagnosis yang
akan timbul, karena sering kali gejala-gejala dan tanda klinis yang ditemukan saat
pemeriksaan akan tumpang tindih. Seorang dokter di IGD harus mengetahui
apakah kelainan pada mata pasien tesebut termasuk dalam kondisi yang darurat
atau tidak. Jika kasus kegawatdaruratan mata maka dapat dirujuk ke dokter
spesialis mata secara cepat dan menciptakan kolaborasi antara dokter IGD dan
dokter spesialis mata.

41
DAFTAR PUSTAKA

Vaughan, D., Asbury, T., & Riordan-Eva, P. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14.
Jakarta: Widya Medika.

Ilyas, S. 2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Webb, L. 2004. Manual of Eye Emergencies: Diagnosis and Management.


London: Butterworth-Heinemann.

Khare, G., & Symons, R. 2008. Common Ophthalmic Emergencies. Int J Clin
Pract. 2008;62(11):1776-1784. http://www.hudsoneyemd.com/files/-
Common%20Ophthalmic%20Emergenci...pdf

NSW Department of Health. 2009. Eye Emergency Manual An Illustrated Guide


Second Edition. http://www.aci.health.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file-
/0013/155011/eye_manual.pdf

Pokhrel, P., & Loftus, S. 2007. Ocular Emergencies. Am Fam Physician


2007;76:829-36. http://www.aafp.org/afp/2007/0915/p829.pdf

Rappon, J. 2006. Primary Care Ocular Trauma Management. Oregon: Pacific


University. http://www.pacificu.edu/optometry/ce/list/documents/Primary-
CareOcularTraumaManagement.pdf

Kosoko, A., Vu, Q., & Kosoko-Lasaki, O. 2009. Chemical Ocular Burns: A Case
Review. American Journal of Clinical Medicine. Volume Six, Number
Three. http://www.aapsus.org/articles/29.pdf

Murphy-Lavoie, H., Butler, F., & Hagan, C. 2008. Central Retinal Arteri
Occlusion. Hyperbaric Oxygen Therapy: Indications: Arterial
Insufficiencies. Undersea and Hyperbaric Medical Society, Inc.
http://www.bayareahyperbarics.com/files/Central-Retinal-Artery-
Occlusion.pdf

Rassbach, C. 2011. Periorbital and Orbital Cellulitis Summary.


http://peds.stanford.edu/Rotations/blue_team/documents/Periorbital_and_
Orbital_Cellulitis_Summary.pdf

Sukati, V. 2012. Ocular Injuries a Review. S Afr Optom 2012 71(2) 86-94.
http://www.saoptometrist.co.za/SUKATI_JUN2012.pdf

Vidyashankar, B., Arora, S., Singal, R., Shahnawaz, K., & Motwane, S. 2000.
Medical Treatment of Endophthalmitis. Journal of the Bombay

42
Ophthalmologists’ Association. Vol. 11 No.2. http://www.boa-
mumbai.com/journalpdfs/apr-jun01/medrxendoph.PDF

Cho, R., & Savitsky, E. 2009. Ocular Trauma Chapter 7. http://www.cs.amedd.-


army.mil/borden/book/ccc/UCLAchp7.pdf

Magauran, B. 2008. Condition Requirinf Emergency Ophthalmologic


Consultation. Emerg Med Clin N Am 26 (2008) 233-238.
http://unmedstudents.squarespace.com/storage/documents/Emergent%20O
phthal%20Consultation.pdf

43

Anda mungkin juga menyukai