Anda di halaman 1dari 16

AKUNTANSI PERILAKU

TEORI-TEORI YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

oleh:
041624253030 Kuntum Chairunnisa
041624253031 Trisula N Pandunita
041624253036 Wahyu Helmy D S
041624253045 Helmy Aulia R

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018
I. LEVEL OF ASPIRATION THEORY

Level of aspiration theory berasumsi bahwa seseorang yang dimotivasi oleh


keinginan untuk mengalami rasa kesuksesan dan menghindari perasaan gagal. “persepsi
keberhasilan dan kegagalan itu subjektif bukan merupakan tingkat yang objektif”. Perasaan
untuk sukses dan gagal akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana kinerja individu untuk
mencapai tingkat aspirasi yang dapat didefinisikan sebagai tingkat kinerja masa depan pada
sebuah pekerjaan dimana individu tersebut mengetahui bagaimana tingkat kinerjanya di masa
lalu berdasarkan pekerjaan tersebut. Dengan demikian, pada tingkat kinerja yang sama,
dengan konsekuensi obyektif yang sama, dapat secara subyektif menjadikeberhasilan atau
kegagalan tergantung pada apakah itu lebih tinggi atau lebih rendah daripada tingkat aspirasi
individu tersebut.
Penelitian di tahun 1940 dan 1950 an mengidentifikasi 2 faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat aspirasi dari individu, antara lain:
 Valensi atau daya tarik dari hasil yang mungkin di dapatkan dari pekerjaan dimana
valensi akan positif untuk hasil yang sukses dan akan negative untuk hasil yang gagal
 Probabilitas untuk sukses dan gagal dimana tingkat Kemungkinan keberhasilan yang
lebih rendah cenderung mengimbangi daya tarik kesuksesan yang lebih tinggi pada
pekerjaan yang lebih sulit ndividu cenderung untuk menetapkan tujuan yang sulit bagi
diri mereka walaupun mereka sebenarnya sulit untuk meraih tujuan tersebut daripada
mencapai tujuan yang lebih mudah.
Pada organisasi, praktek akuntansi manajemen dapat memberikan pengaruh yang
besar terhadap tingkat aspirasi dari seorang karyawan. Contohnya adalah jika seorang
karyawan telah menetukan budget sebuah perusahaan maka mencapai target budget tersebut
merupakan ukuran kesuksesan dan kegagalan, dan karyawan tersebut akan termotivasi untuk
mencapai tujuan nya yaitu mencapai target sesuai budget yang telah dibuat. Karena individu
tersebut akan termotivasi untuk mencapai target tersbut maka tujuan perusahaan atau
organisasi tersebut akan semakin mudah seiring dengan ke konsistenan tingkat aspirasi yang
dimiliki karyawannya. Sehingga teori ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi motivasi dan
target yang dituju maka performa rata rata untuk mecapai tujuan tersebut aka nada di tingkat
yang tinggi juga.
II. GOAL SETTING THEORY

Goal setting theory sebenarnya berhubungan dengan level of aspiration theory dimana
kedua teori tersebut memiliki model yang sama yaitu mengenai individu yang menginginkan
tujuan, tujuanya, memilih tujuanya, dan menjadi termotivasi. Goal setting theory berasumsi
bahwa individu yang secara sadar dipilih mempengaruhi motivasi mereka dengan satu dari
empat mekanisme antara lain tujuan membangkitkan usaha untuk mencapai tujuan, tujuan
untuk memberikan perhatian langsung dan usaha menuju tujuan, tujuan daapt meningkatkan
usaha dan kegigihan, dan tujuan dapat mempengaruhi aksi secara tidak langsung
Penelitian mengenai bagaiman tujuan dapat mempengaruhi performa telah
menyimpulkan hubungan anatara tujuan dan performa antara lain:
- Performa merupakan fungsi positif dari tingkat kesulitan dari tujuan sampai individu
tersebut mencapai batas dan menurunkan tingkat kesulitan tujuan tersebut
- Saat performa dapat dikontrol maka tujuan yang spesifik mengurangi variasi dalam
performa dengan mengurangi ambiguitas performa
- Performa tidak bertambah dari partisipasi dalam menentukan tujuan dibandingkan
dengan tujuan yang dipaksakan
- Performa tidak secara langung dipengaruhi oleh insentif yang diberikan, walaupun
insentif memang mempengaruhi tingkat tujuan atau komitmen untuk mencapai tujuan
tersebut, yang mungkin dapat meningkatkan performa.
- Seseorang menggunakan feedback dalam mengasess apa yang telah mereka capai
dalam tujuan mereka
Hubungan antara tujuan dan performa dipengaruhi komitmen atas tujuan, pentingnya
tujuan, feedback, kompleksitas pekerjaan, dan keberhasilan diri sendiri.
Goal setting theory memprediksi bahwa kondisi yang diperlukan untuk mencapai tujuan sulit
untuk mempengaruhi Kinerja adalah bahwa umpan balik terhadap kemajuan mencapai tujuan
yang dapat diberikan.
III. COGNITIVE – DISSONANCE THEORY (CDT)

Teori konsistensi kognitif menyatakan bahwa pikiran merupakan penengah antara


stimulus dan respon. Jadi, saat kita mendapatkan rangsangan maka kita akan berpikir, yaitu
proses mengolah rangsangan tersebut baru setelah itu kita memberikan respon. Jika kita
mendapat rangsangan yang sesuai, maka akan terjadi keseimbangan (konsonansi). Namun,
jika rangsangan yang kita dapatkan tidak sesuai, maka kita akan mengalami disonansi, yaitu
perasaan tidak nyaman yang memotivasi kita untuk mengurangi ketidaknyamanan itu.
Menurut Leo Festinger (1957), cognitive dissonance adalah suatu perasaan
ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran dan perilaku yang tidak konsisten.
Hal ini merupakan suatu perasaan yang dimiliki oleh seseorang ketika mereka menemukan
diri mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui atau pada
saat mereka mempunyai pendapat yang ternyata tidak sesuai dengan pendapat lain yang
mereka pegang. Konsep inilah yang membentuk inti dari Cognitive Dissonace Theory (CDT).
CDT ini berpendapat bahwa dissonance adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang
memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan itu.

Asumsi CDT
Teori ini berfokus pada efek inkonsistensi yang ada di antara kognisi-kognisi. Ada
empat asumsi dasar dari teori ini:
a. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan
perilakunya.
Asumsi ini menekankan model mengenai sifat dasar dari manusia yang
mementingkan adanya stabilitas dan konsistensi. Orang tidak akan menikmati
inkonsistensi dalam pikiran dan keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka mencari
konsistensi.
b. Dissonance diciptakan oleh inkonsistensi psikologis.
Fakta-fakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk
menimbulkan disonansi kognitif. Asumsi ini lebih kepada jenis konsistensi yang
penting bagi seseorang. CDT tidak berpegang pada konsistensi yang logis yang kaku.
Sebaliknya, teori ini merujuk pada fakta bahwa kognisi harus tidak konsisten secara
psikologis (dibandingkan tidak konsisten secara logis) satu dengan yang lainnya untuk
menimbulkan cognitive dissonance.
c. Dissonance adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan
tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur.
Seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman,
sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.
d. Dissonance akan mendorong usaha untuk memperoleh consonance dan usaha untuk
mengurangi dissonance.
Rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari
inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.
Tingkat Disonansi
Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan
kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi. Tiga faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang (Zimbardo, Ebbesen, dan
Maslach; 1977) :
a. Tingkat kepentingan (importance) atau seberapa signifikan suatu masalah,
berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan.
b. Rasio Disonansi (dissonance Ratio) atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan
jumlah kognisi yang konsonan.
c. Rasonalitas (rationale). Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk
menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyak alasan yang
dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit
disonansi yang seseorang rasakan.

Disonansi Kognitif dan Persepsi


Teori CDT berkaitan dengan proses pemilihan terapan (selective exposure), pemilihan
perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan
retensi (selective retention), karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari
informasi yang meningkatkan disonansi.
a. Terapan Selektif (Selective Exposure)
Metode untuk mengurangi disonansi dengan cara mencari informasi yang konsisten
yang belum ada. CDT memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi
yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan
prilaku mereka.
b. Pemilihan Perhatian (Selective Attention)
Metode untuk mengurangi disonansi dengan memberikan perhatian pada informasi
yang konsonan dengan keyakian dan tindakan yang ada saat ini. Orang
memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan
keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.
c. Interpretasi Selektif (Selective Interpretation)
Melibatkan penginterpretasian informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten.
Dengan menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan
sikap teman dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya
terjadi (Bescheid&Walster,1978).
d. Retensi Selektif (Selective Retention)
Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan
keyakinan dan tindakan yang ada saat ini..

Mengatasi Disonansi
Beberapa metode yang mungkin digunakan untuk mengurangi disonansi, antara lain :
a. Mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita.
b. Menambah keyakinan yang konsonan.
c. Menghapuskan disonansi dengan cara tertentu.
IV. JUSTICE THEORY

Organizational justice merupakan salah satu elemen dasar dari teori equity yang
berarti keadilan dimana seseorang akan membandingkan hasil yang ia peroleh dengan
pengorbanannya maupun dengan hasil yang telah diperoleh orang lain (Schermerhorn et al.,
2012, p109-110). Keadilan organizational adalah keadilan organisasi yang dipersepsikan
(perceived justice) oleh karyawan. Ketika individu memutuskan untuk mencapai tujuan
merupakan dasar keadilan yang dirasakan, mereka mungkin akan meningkatkan komitmen
mereka karena mereka yakin dan memutuskan untuk mencapai tujuan atas dasar keadilan
yang dirasakan.
Menurut Folger dan Cropanzano (1998), dalam Fransiskus (2005), organizational
justice digunakan untuk mengkategorikan dan mendeskripikan pandangan dan perasaan
pegawai tentang sikap mereka sendiri dan orang lain dalam suatu organisasi di tempat mereka
bekerja. Hal itu kemudian dihubungkan dengan pemahaman mereka dalam menyatukan
persepsi secara subyektif yang dihasilkan dari hasil keputusan yang diambil oleh organisasi,
prosedur, dan proses yang digunakan untuk menuju pada keputusan-keputusan ini.
Parker dan kohlmeyer (2005) menjelaskan organizational justice meliputi persepsi
anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka alami dalam organisasi, secara
khusus tentang rasa keadilan yang terkait dengan alokasi penghargaan organisasi seperti gaji
dan promosi. Rasa keadilan akan muncul ketika otoritas organisasi konsisten dan tidak bias
dalam pengambilan keputusan organisasi, terutama terkait dengan alokasi gaji dan promosi.
Peraturan organisasi yang tidak konsisten dan bias terhadap individu adalah suatu tindakan
diskriminasi, sehingga muncul rasa diskriminasi (perceived discrimination) oleh individu.

Tipe Organizational Justice


Greenberg (1990) dalam Cropanzano et. al, (2000) menyatakan bahwa secara garis
besar para karyawan akan mengevaluasi keadilan dalam tiga klasifikasi peristiwa yaitu
1) Keadilan distribusi (distributive justice)
Merupakan keadilan yang diterima seseorang sebagai hasil yang diterima dari
organisasi atau dari keputusan managemen dalam hal pembagian alokasi sumber daya.
Orang menentukan apakah mereka diperlakukan adil dengan membandingkan rasio input
yang mereka berikan (misalnya, waktu, sumber daya) dihubungkan dengan apa yang mereka
terima (misalnya gaji, promosi, kesempatan pengembangan diri). Perbandingan rasio ini juga
dibandingkan dengan perbandingan rasio yang sama pada orang lain. Tingkatan keadilan
distributif :
a. Keadilan distributif terletak pada nilai. Pada tingkat nilai, keadilan hanya berlaku
sesuai dengan nilai yang dianut. Prinsip pemerataan dikatakan adil berdasarkan pada
nilai apa yang dianut oleh pengambil kebijakan.
b. Keadilan distributif terletak pada perumusan nilai-nilai. Nilai yang diterapkan dalam
perusahaan dilihat dari sejauh mana para karyawan mendapatkan hasil dari apa yang
mereka berikan kepada perusahaan, salah satunya adalah kompensasi. Karena
kompensasi tersebut menjadi salah satu tolak ukur terhadap keadilan yang ditegakan
di perusahaan.
c. Keadilan distributif terletak pada implementasi peraturan. Untuk menilai distribusi
adil atau tidak dapat dilihat dari tegaknya peraturan yang diterapkan. Nila peraturan
tidak dijalankan sama sekali atau dijalankan hanya sebagian, keadilan distributif tidak
tercapai (Van den Boss, 1999). Pada taraf ini, peraturan yang dibuat harus
diimplementasikan sesuai dengan tata yang telah diputuskan.

2) Keadilan prosedural (procedural justice)


Alokasi evaluasi keputusan individu tidak hanya dipengaruhi oleh penghargaan apa
yang diterima, tetapi juga bagaimana proses penghargaan itu dilakukan. Procedural justice
(keadilan prosedural) yaitu keadilan yang dirasakan melalui kebijakan dan prosedur yang
digunakan dalam membuat keputusan dalam lingkungan kerja (Hubbel & Assad, 2005;
Sunjoyo, 2007). Aturan pokok procedural justice:
a. Konsistensi. Prosedur yang adil harus konsisten baik terhadap satu orang ke orang
yang lain maupun juga konsistensi dari satu waktu ke waktu yang lain. Setiap orang
memiliki hak diperlakukan sama dalam satu prosedur yang sama.
b. Minimalisasi bias. Ada dua sumber bias yang sering muncul, yaitu kepentingan
individu dan doktrin yang memihak. Oleh karenanya, dalam upaya minimalisasi bias
ini, baik kepentingan individu maupun pemihakan harus dihindarkan.
c. Informasi yang akurat. Informasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar penilaian
keadilan harus akurat adalah harus mendasarkan pada fakta. Kalau opini sebagai
dasar, hal itu harus disampaikan oleh orang yang benar-benar mengetahui
permasalahan, dan informasi yang disampaikan harus lengkap.
d. Dapat diperbaiki. Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan
penting perlu ditegakkan keadilan. Oleh karena itu, prosedur yang adil juga
mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun
kesalahan yang mungkin akan muncul.
e. Representatif. Prosedur dikatakan adil jika sejak awal ada upaya untuk melibatkan
semua pihak yang bersangkutan. Meskipun keterlibatan yang dimaksudkan dapat
disesuaikan dengan sub-sub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan
dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol juga terbuka
f. Etis. Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral. Dengan
demikian, meskipun berbagai hal tersebut dipenuhi, bila substansinya tidak memenuhi
standar etika dan moral, tidak bisa dikatakan adil.

3) Keadilan interaksional (interactive justice)


Keadilan tentang perlakuan interaksional pembuat keputusan (decision maker)
terhadap bawahan atau karyawan ketika mengimplementasikan prosedur pembagian sumber
daya. Menurut Nowakowski & Conlon (2005) menyebutkan ada tiga hal penting yang patut
diperhatikan dalam membahas keadilan interaksional, ketiga aspek tersebut adalah:
a. Penghargaan. Khususnya penghargaan kepada status seseorang, hal ini tercermin
dalam bentuk perlakuan yaitu bentuk perlakuan atau tindakan dari orang yang
berkuasa (pimpinan) terhadap anggota kelompoknya. Apabila makin baik kualitas
perlakuan pimpinan terhadap para anggota maka interaksinya dinilai makin adil oleh
anggotanya (Donovan dkk, 1989)
b. Netralitas. Netralitas dalam keputusan atas konflik kedua belah pihak dapat tercapai
manakala dasar-dasar dalam pengambilan keputusan lebih banyak menggunakan fakta
dan bukan opini, apalagi fakta yang ditampilkan mempunyai nilai objektivitas yang
tinggi juga punya nilai validitas yang tinggi pula.
c. Kepercayaan. Kepercayaan (trust) sering didefinisikan sebagai harapan pihak lain
dalam melakukan hubungan sosial, yang di dalamnya mencakup resiko yang
berkaitan dengan harapan tersebut. Sztompka (1999 dalam Yuwono, I dkk., 2005:133)
menyebutkan kepercayaan sebagai suatu pertaruhan terhadap hasil masa depan
dengan menyerahkan kepada orang lain.

Dampak Organizational Justice


Persepsi keadilan di organisasi mempunyai dampak bagi organisasi maupun pegawai.
Dampak tersebut antara lain adalah:
a. Agresi di tempat kerja
Menurut Henry (2005) menyatakan bahwa persepsi tentang keadilan organisasi
mempunyai hubungan dengan tingkat agresivitas di tempat kerja. Semakin rendah
persepsi tentang keadilan organisasi, semakin tinggi tingkat agresivitas pegawai,
seperti: mencemooh organisasi atau atasan, berkata kasar, merusak benda-benda
sekitar.
b. Kesiapan untuk berubah
Menurut Krause (2008) persepsi keadilan organisasi mempunyai pengaruh terhadap
kesiapan pegawai mengahadapi perubahan. Pegawai yang memprediksikan adanya
keadilan di organisasi cenderung lebih siap mengahadapi perubahan.
c. Kepuasan kerja
Menurut Samad (2006) bahwa keadilan organisasi memiliki hubungan positif dan
signifikan terhadap kepuasan kerja. Semakin tinggi persepsi keadilan organisasi,
semakin tinggi pula kepuasan kerja. Persepsi tentang keadilan membuat pegawai puas
dengan rekan kerja, gaji, atasan, dan tugas yang diberikan kepadanya.
d. Komitmen organisasi
Keadilan organisasi mempunyai hubungan yang positif terhadap komitmen
organisasi. Semakin tinggi keadilan organisasi, semakin tinggi komitmen pegawai
terhadap organisasi (Samad, 2006). Hal ini disebabkan adanya komitmen dari
organisasi, organisasi dapat memperlakukan pegawai secara adil. Sebagai balasannya,
pegawai pun komitmen terhadap organisasi.
V. EXPECTANCY THEORY

Teori harapan kadang disebut teori ekspektansi atau expectancy theory of


motivation dikemukakan oleh Victor Vroom pada tahun 1964. Vroom lebih menekankan
pada faktor hasil (outcomes), ketimbang kebutuhan (needs) seperti yang dikemukakan oleh
Maslow and Herzberg.
Teori ini menyatakan bahwa intensitas kecenderungan untuk melakukan dengan cara
tertentu tergantung pada intensitas harapan bahwa kinerja akan diikuti dengan hasil yang
pasti dan pada daya tarik dari hasil kepada individu.
Vroom mengemukakan bahwa orang-orang akan termotivasi untuk melakukan hal-hal
tertentu guna mencapai tujuan apabila mereka yakin bahwa tindakan mereka akan mengarah
pada pencapaian tujuan tersebut.
Sehubungan dengan tingkat ekspektansi seseorang Craig C. Pinder (1948) dalam
bukunya Work Motivation berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat harapan atau ekspektansi seseorang yaitu:
a. Harga diri.
b. Keberhasilan waktu melaksanakan tugas.
c. Bantuan yang dicapai dari seorang supervisor dan pihak bawahan.
d. Informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas
e. Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja.
Sementara teori harapan menyatakan bahwa motivasi karyawan adalah hasil dari
seberapa jauh seseorang menginginkan imbalan (Valence), yaitu penilaian bahwa
kemungkinan sebuah upaya akan menyebabkan kinerja yang diharapkan (Expectancy), dan
keyakinan bahwa kinerja akan mengakibatkan penghargaan (Instrumentality ). Singkatnya,
Valence adalah signifikansi yang dikaitkan oleh individu tentang hasil yang diharapkan.
Ini adalah kepuasan yang diharapkan dan tidak aktual bahwa seorang karyawan
mengharapkan untuk menerima setelah mencapai tujuan. Harapan adalah keyakinan bahwa
upaya yang lebih baik akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Harapan dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti kepemilikan keterampilan yang sesuai untuk melakukan pekerjaan,
ketersediaan sumber daya yang tepat, ketersediaan informasi penting dan mendapatkan
dukungan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Teori harapan mengasumsikan bahwa individu memilih tindakan, tingkat usaha, dan
pekerjaan yang diharapkan yang memaksimalkan kesenangan yang diharapkan dan
meminimalkan rasa sakit yang diharapkan, konsisten dengan hedonisme. Donovan (2001),
Kanfer (1990), dan Pinder (1998) meninjau dan menganalisis bukti tentang teori harapan.
Teori harapan memodelkan kekuatan motivasional individu sebagai fungsi dari harapan
mereka (probabilitas subjektif bahwa usaha mereka akan menghasilkan hasil tingkat pertama
seperti kinerja), instrumen (probabilitas subjektif bahwa kinerja akan menghasilkan hasil
kedua seperti gaji), dan valensi (orientasi afektif menuju hasil tingkat kedua). Individu
diasumsikan menggabungkan harapan, instrumentalitas, dan valensi yang konsisten dengan
perhitungan nilai yang diharapkan untuk menentukan kekuatan motivasional mereka terhadap
masing-masing alternatif dan kemudian memilih alternatif dengan kekuatan motivasi
tertinggi.
Brownell & McInnes (1986) menggunakan teori harapan untuk memberikan bukti
apakah motivasi menengahi antara penganggaran partisipatif dan kinerja, sebagaimana
diasumsikan oleh penelitian sebelumnya. Hasilnya menunjukkan bahwa penganggaran
partisipatif meningkatkan dua komponen harapan motivasi (probabilitas subyektif bahwa
usaha akan menghasilkan pencapaian anggaran) dan instrumen (probabilitas subjektif bahwa
mencapai anggaran akan menghasilkan penghargaan). Namun, motivasi yang diukur sebagai
kombinasi dari komponen teori harapan tidak meningkat karena kenaikan probabilitas
diimbangi oleh penurunan valensi. Brownell dan McInnes berspekulasi bahwa hasilnya
bertentangan dengan prediksi mereka karena potensi misspecifications potensial seperti arah
kausal yang salah (kinerja mempengaruhi penganggaran partisipatif dan sebaliknya) dan
variabel yang dihilangkan seperti kesulitan sasaran anggaran.

Kelebihan Teori Harapan


 Teori harapan mendasarkan diri pada kepentingan individu yang ingin mencapai
kepuasan maksimal dan ingin meminimalkan ketidakpuasan.
 Teori ini menekankan pada harapan dan persepsi, apa yang nyata dan aktual.
 Teori harapan menekankan pada imbalan atau pay-off.
 Teori harapan sangat fokus terhadap kondisi psikologis individu dimana tujuan akhir
dari individu untuk mencapai kesenangan maksimal dan menghidari kesulitan.

Keterbatasan Teori Harapan


 Teori harapan tampaknya terlalu idealis karena hanya individu tertentu saja yang
memandang korelasi tingkat tinggi antara kinerja dan penghargaan.
 Penerapan teori ini terbatas sebab tidak langsung berkorelasi dengan kinerja di banyak
organisasi. Hal ini terkait dengan parameter lain juga seperti posisi, tanggung jawab
usaha, pendidikan, dan lain-lain.

Implikasi Teori Harapan


 Para manajer dapat mengkorelasikan hasil yang lebih disukai untuk tingkat kinerja
yang ditujukan.
 Para manajer harus memastikan bahwa karyawan dapat mencapai tingkat kinerja yang
ditujukan.
 Karyawan yang layak harus dihargai untuk kinerja luar biasa mereka.
 Sistem imbalan harus berlaku jujur dan adil dalam suatu organisasi.
 Organisasi harus merancang pekerjaan yang dinamis dan menantang.
 Tingkat motivasi karyawan harus terus dikaji melalui berbagai teknik seperti
kuesioner, wawancara personal, dan lain-lain.
VI. ATTRIBUTION THEORY

Atribusi adalah sebuah teori yang membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan
untuk memahami penyebab-penyebab perilaku kita dan orang lain. Pada umumnya, teori
atribusi menekankan pada bagaimana setiap individu menafsirkan berbagai kejadian dan
bagaimana hal tersebut berkaitan dengan pemikiran dan perilaku mereka. Teori atribusi
mengasumsikan bahwa orang mencoba untuk menentukan mengapa orang melakukan apa
yang mereka lakukan. Orang akan berusaha untuk memahami mengapa orang lain melakukan
sesuatu dan memberikan penyebab bagi perilaku.
Terkait dengan hal ini, Heider menyatakan bahwa orang dapat membuat dua atribusi
yaitu atribusi internal dan atribusi eksternal. Atribusi internal adalah inferensi yang dibuat
oleh seseorang tentang sikap, karakter, atau pribadi seseorang. Sementara itu, atribusi
eksternal adalah inferensi yang dibuat seseorang terakit dengan situasi dimana ia berada.
Sementara menurut Weiner (Weiner, 1980) “Attribution theory is probably the most
influential contemporary theory with implications for academic motivation”. Artinya Atribusi
adalah teori kontemporer yang paling berpengaruh dengan implikasi untuk motivasi
akademik. Hal ini dapat diartikan bahwa teori ini mencakup modifikasi perilaku dalam arti
bahwa ia menekankan gagasan bahwa peserta didik sangat termotivasi dengan hasil yang
menyenangkan untuk dapat merasa baik tentang diri mereka sendiri.
Teori yang dikembangkan oleh Bernard Weiner ini merupakan gabungan dari dua
bidang minat utama dalam teori psikologi yakni motivasi dan penelitian atribusi.Teori yang
diawali dengan motivasi, seperti halnya teori belajar dikembangkan terutama dari pandangan
stimulus-respons yang cukup popular dari pertengahan 1930-an sampai 1950-an.
Sebenarnya istilah atribusi mengacu kepada penyebab suatu kejadian atau hasil
menurut persepsi individu. Dan yang menjadi pusat perhatian atau penekanan pada penelitian
di bidang ini adalah cara-cara bagaimana orang memberikan penjelasan sebab-sebab kejadian
dan implikasi dari penjelasan-penjelasan tersebut. Dengan kata lain, teori itu berfokus pada
bagaimana orang bisa sampai memperoleh jawaban atas pertanyaan “mengapa”? (Kelly
1973).
Heider (1958) memulai studi tentang bagaimana orang menghubungkan penyebab
perilaku mereka sendiri dan orang lain untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku di
lingkungan mereka (Shaw & Costanzo 1982; Weiner, 1989). Teori atribusi telah memberi
perhatian khusus pada asas perilaku terhadap penyebab yang bersifat internal (kemampuan,
usaha) atau eksternal (task difficulty, luck) kepada focal person, yaitu orang yang perilakunya
sedang diamati atau dievaluasi. Banyak penelitian telah menemukan bahwa orang fokal
cenderung untuk mengaitkan perilaku dirinya sendiri dengan penyebab eksternal, sementara
orang lain cenderung menganggap perilaku yang sama lebih pada penyebab internal; Ini
disebut bias pemeran aktor. Temuan ini penting bagi akuntansi manajemen karena mereka
memberikan dasar untuk menjelaskan dan memprediksi bagaimana individu secara subjektif
akan menjelaskan mengapa kinerja aktual dan anggaran berbeda. Selain itu, mereka
menunjukkan bahwa penjelasan subyektif atasan dan bawahan untuk varians anggaran
bawahan diduga berbeda, dan kedua penjelasan subyektif mereka dapat menyimpang dari
penilaian objektif varians anggaran.
Shields et al. (1981) memberikan bukti bahwa ketika individu menganggap peran
atasan atau bawahan dan diminta untuk menjelaskan kinerja manufaktur bawahan yang
dilaporkan, mereka menggunakan atribusi yang diidentifikasi oleh penelitian psikologi.
Ketika individu menganggap peran atasan (bawahan) atribusi mereka untuk kinerja yang
dilaporkan oleh bawahan lebih mengarah ke internal (eksternal) daripada penyebab eksternal
(internal). Harrison dkk. (1988) memperpanjang Shields et al. (1981) dan menemukan,
seperti yang diperkirakan, bahwa ketika individu menganggap peran atasan atau bawahan dan
diminta untuk menjelaskan varians produksi yang dilaporkan di bawah bawahan, mereka
menggunakan atribusi internal lebih banyak daripada atasan daripada yang mereka lakukan
sebagai bawahan. Harrison dkk. (1988) juga memasukkan keputusan investigasi varians di
mana atasan dan bawahan memilih dari daftar yang diberikan oleh para periset pertanyaan
yang paling mereka ingin dijawab oleh investigasi varians. Seperti yang diprediksi, atasan
(bawahan) memilih lebih banyak pertanyaan yang berkaitan dengan informasi yang bersifat
internal (eksternal) kepada bawahan, dan internalitas atribusi mereka dikaitkan dengan sejauh
mana mereka memilih pertanyaan yang ditujukan untuk mengetahui informasi internal.

Kelebihan dan Kekurangan Teori Atribusi


Teori atribusi pun dipandang memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan
dan kekurangan teori atribusi adalah sebagai berikut :
a. Kelebihan teori atribusi
 Teori atribusi menyediakan kemampuan dalam memberikan prediksi guna membantu
kita mengatasi semua yang ditawarkan oleh kehidupan.
 Teori atribusi efektif dalam memprediksi perilaku ketika identifikasi penyebabnya
dilakukan dengan benar.
b. Kekurangan teori atribusi
 Kesimpulan yang tidak akurat dapat menyebabkan penilaian yang salah.
 Dapat menimbulkan pengharapan adanya perilaku tertentu dari diri sendiri atau orang
lain yang bisa saja tidak akan menjadi kenyataan.
 Dalam teori atribusi, berbagai penyebab lain mungkin diabaikan.
 Dalam teori atribusi, kesimpulan yang dibuat oleh seseorang kemungkinan besar
menjadi bias karena cenderung melestarikan citra dirinya.
VII. UTILITY THEORY

Teori utilias (teori nilai guna) yaitu teori ekonomi yang mempelajari kepuasan atau
kenikmatan yang diperoleh seseorang konsumen dari mengkonsumsi barang – barang. Teori
utilitas dibedakan diantara dua pengertian, yaitu
- Utilitas Total/Kardinal. Kepuasaan yang dinikmati konsumen dalam
mengonsumsi sejumlah barang atau jasa tertentu secara keseluruhan. Pendekatan
kardinal menganggap bahwa kepuasan konsumen yang diperoleh dari kegiatan
konsumsi barang dan jasa dapat diukur secara kuantitatif. Artinya kepuasan
konsumen dapat diukur dengan angka/satuan tertentu seperti uang, jumlah atau
buah. Sebagaimana kita mengukur berat badan, tinggi badan dan sebagainya.
Kepuasan konsumen yang diperoleh dari hasil konsumsi barang dan jasa disebut
dengan istilah utilitas (utility).
- Utilitas Ordinal. Utilitas marjinal (marginal utility: MU) sementara itu dimengerti
sebagai tambahan manfaat atas tambahan konsumsi barang atau jasa sejumlah satu
unit.
Pada permulaan abad ke – 18, ahli matematika Daniel Bernoulli telah mempelopori
perkembangan suatu ukuran utilitas. Bernoulli mengusulkan bahwa nilai sebenarnya ( true
worth) kekayaan seseorang merupakan logaritma sejumlah uang. Selanjutnya konsep utilitas
dikembangkan lagi oleh Von Neumann dan Morgenstern pada tahun 1974, mereka
mengusulkan bahwa kurva utilitas dapat dibuat untuk setiap individu, asalkan asumsi tertentu
tentang preferensi individu tersebut berlaku.
Utlitas merupakan preferensi atau nilai guna pengambil keputusan dengan
mempertimbangkan faktor risiko berupa angka yang mewakili nilai pay off sebenarnya
berdasarkan keputusan. Angka utilitas terbesar mewakili alternative yang paling disukai,
sedangkan angka utilitas terkecil menunjukkan alternative yang paling tidak disukai
(Supranto : 2005 : 374).
Pada saat diperlukan pemahaman yang lebih mendetail tentang consumer behavior,
pembahasan konsep utilitas memiliki relevansi yang lebih nyata. Teori utilitas, atau sering
pula disebut teori tentang nilai subyektif (subjective value theory), telah lama berkembang.
Dasar – dasar teorisasi utilitas ini telah muncul ke permukaan sejak tahun 1870an, yang pada
saat itu dicetuskan hampir dalam waktu yang bersamaan oleh tiga orang ahli ekonomi yang
bekerja dalam kemandirian masing – masing. Mereka adalah Williom Stanley Jevons dari
Great Britain, Karl Menger seorang warga negara Austria dan Leon Walras ahli ekonomi
berkewarganegaraan Perancis. Kepada merekalah, perkembangan teori utilitas yang dewasa
ini banyak dibicarakan pada dasarnya berakar.
Istiliah UTILITAS ini sendiri sering diartikan sebagai : the satisfaction that a
consumer receives from the goods and services that he or she consumes. Kepuasan dalam
konsumsi barang ini tentu sudah syarat nilai dan sangat subyektif yang tidak mudah
dilakukan pengukuran – pengukuran. Namun demikian, para ekonomis telah banyak yang
berikhtiar bagimana teorisasi ini bisa dilakukan untuk analisis lebih memadai terhadap
perilaku konsumen, dan pada gilirannya perilaku permintaan, level individual dan pasar.
Dari penjelasan diatas maka, teori utilitas merupakan turunan dari Perilaku
Konsumen, dalam ekonomi teori ini dibagi menjadi dua, yaitu teori Kardinal dan teori
Ordinal, teori Kardinal adalah teori yang menjelaskan bahwa kegunaan dasar dapat dihitung
secara nominal, sedangkan teori Ordinal adalah teori yang mengasumsikan bahwa konsumen
mampu membuat urutan kombinasi barang yang akan dikonsumsinya berdasarkan kepuasan
yang diperolehnya tanpa harus menyebutkan secara absolut.

ASUMSI TEORI UTILITAS


Asumsi utilitas setiap pengambil keputusan dapat berbeda – beda, dan mewakili salah
satu dari lima kategori berikut :
1) Peringkat Preferensi.
Asumsi peringkat preferensi merupakan asumsi utilitas pengambil keputusan yang
mengacu pada struktur dari keputusan dengan jumlah alternatif terbatas.
2) Transitivitas Preferensi.
Asumsi transitivitas preferensi merupakan asumsi utilitas pengambil keputusan dengan
tidak menganggap keberadaan alternatif dari setiap alternatif tertentu dalam situasi
yang dihadapi.
3) Asumsi Kontinuitas.
Asumsi kontinuitas merupakan asumsi utilitas pengambil keputusan yang mempunyai
hasil terbaik dan terburuk sebagai hadiah, bahwa perorangan (individu) menganggap
sama preferensinya dengan hasil yang sedang atau cukup saja atau di antara kedua hasil
yang ekstrim tersebut.
4) Asumsi substitutabilitas.
Asumsi substitutabilitas merupakan asumsi utilitas pengambil keputusan yang
memungkinkan adanya revisi / perbaikan dengan penggantian (substitusi) suatu hasil
dengan hasil lainnya, asalkan terdapat kesamaan.
5) Asumsi Peningkatan Preferensi.
Asumsi peningkatan preferensi merupakan asumsi utilitas pengambil keputusan yang
mempunyai hasil yang sama dan untuk keputusan yang mempunyai probabilitas
terbesar untuk hasil yang lebih diinginkan maka harus lebih disukai.
VIII. PERSON–ENVIRONMENT FIT THEORY

Teori ini didasarkan pada teori medan Lewin dan mengasumsikan bahwa motivasi
adalah fungsi dari kecocokan antara kemampuan kinerja individu dan lingkungannya
(Caplan, 1983; Edwards, 1996; Van Harrison, 1978, 1985). Karena tuntutan lingkungan
seperti kesulitan sasaran anggaran yang semakin melebihi kemampuan kinerja individu
(misalnya, keterampilan, usaha, fisik, dan sumber daya moneter), keadaan menurun dan
mereka mengalami stres (ketegangan) karena kelebihan tugas dari tuntutan tugas yang
melebihi kemampuan kinerjanya. Hal ini pada akhirnya meningkatkan ketidakpastian
subyektif individu tentang dampak usaha mereka, yang berakibat pada perasaan ambiguitas
dan / atau kehilangan kendali yang kemudian menyebar dan mengurangi usaha mereka,
sehingga mengurangi kinerjanya.
Shields et al. (2000) menggunakan teori ini untuk mengembangkan prediksi tentang
bagaimana stres menengahi efek penganggaran terhadap kinerja. Mereka memprediksi dan
menemukan bahwa penganggaran partisipatif mempengaruhi kinerja oleh tiga jalur. Pertama,
penganggaran partisipatif meningkatkan perasaan terkendali, yang mengurangi stres,
sehingga meningkatkan kinerja. Kedua, penganggaran partisipatif mengurangi kesulitan
sasaran anggaran, sehingga lebih mungkin bahwa tujuan tidak akan melebihi kemampuan
kinerja individu. Pencocokan tujuan dan kemampuan ini mengurangi stres dan dengan
demikian meningkatkan kinerja. Ketiga, penganggaran partisipatif meningkatkan insentif
berbasis anggaran, yang diharapkan dapat membangkitkan dan memfokuskan usaha,
sehingga meningkatkan kemampuan kinerja, yang pada gilirannya mengurangi stres dan
meningkatkan kinerja.
Kesesuaian person-environment (PE fit) didefinisikan sebagai sejauh mana
karakteristik individu dan lingkungan sesuai. Karakteristik orang mungkin mencakup
kebutuhan, nilai, sasaran, kemampuan, atau kepribadian individu. Karakteristik lingkungan
dapat mencakup penghargaan intrinsik dan ekstrinsik, tuntutan pekerjaan atau peran, nilai
budaya, atau karakteristik individu lain dan kolektif dalam lingkungan sosial seseorang.
Karena implikasinya yang penting di tempat kerja, kecocokan person-environment telah
mempertahankan posisi terdepan dalam psikologi Industri dan Organisasi dan bidang terkait.

Person-Organization Fit
Kesesuaian person-organisasi (fit P-O) adalah area yang paling banyak diteliti sesuai
dengan lingkungan manusia, dan didefinisikan oleh Kristof (1996) sebagai, "kompatibilitas
antara orang dan organisasi yang terjadi bila :
(a) setidaknya satu entitas menyediakan apa kebutuhan lainnya,
(b) mereka memiliki karakteristik dasar yang sama, atau
(c) keduanya
Kesesuaian nilai tinggi adalah segi besar kecocokan person–organization, yang
menyiratkan budaya yang kuat dan nilai-nilai bersama di antara rekan kerja. Hal ini dapat
diterjemahkan ke tingkat kepercayaan yang meningkat dan rasa bersama komunitas
perusahaan (Boon & Hartog, 2011). Kesesuaian nilai tinggi ini pada gilirannya akan memetik
manfaat bagi organisasi itu sendiri, termasuk pengurangan omset, meningkatnya perilaku
kewarganegaraan, dan komitmen organisasional (Andrews et al., 2010; Gregory et al., 2010).
The attraction–selection–attrition theory menyatakan bahwa individu tertarik dan berusaha
untuk bekerja untuk organisasi di mana mereka memandang tingkat tinggi kemauan orang-
organisasi (Gregory et al., 2010). Kesesuaian orang-organisasi yang kuat juga dapat
menyebabkan berkurangnya omset dan perilaku kewargaan organisasional yang meningkat
(Andrews, Baker, & Hunt, 2010).

Person-Job Fit
Kecocokan person-job, atau P-J, mengacu pada kompatibilitas antara karakteristik
seseorang dan karakteristik pekerjaan tertentu (Kristof-Brown & Guay, 2011). Perspektif
pelengkap telah menjadi fondasi bagi pekerjaan orang. Ini termasuk pandangan tradisional
tentang seleksi yang menekankan kecocokan KSA karyawan dan kualitas lainnya terhadap
tuntutan pekerjaan (Ployhart, Schneider, & Schmitt, 2006). Model ketidaksesuaian kepuasan
kerja dan stres yang berfokus pada kebutuhan dan keinginan karyawan dipenuhi oleh
persediaan yang diberikan oleh pekerjaan mereka (Locke, 1969, 1976).

Person-Group Fit
Fit person-group, atau fit P-G, adalah topik yang relatif baru berkaitan dengan
lingkungan orang. Karena kesesuaian kelompok orang sangat baru, penelitian terbatas telah
dilakukan untuk menunjukkan bagaimana kompatibilitas psikologis antara rekan kerja
mempengaruhi hasil individu dalam situasi kelompok. Namun, sebuah penelitian oleh Boone
& Hartog (2011) mengungkapkan bahwa kelompok orang cocok paling kuat terkait dengan
hasil berorientasi kelompok seperti kepuasan rekan kerja dan perasaan kohesi.

Person–Person Fit
Kecocokan orang-orang dikonseptualisasikan sebagai kecocokan antara preferensi
budaya individu dan preferensi orang lain. Ini sesuai dengan hipotesis ketertarikan kesamaan
yang menyatakan bahwa orang tertarik pada orang lain yang serupa berdasarkan nilai, sikap,
dan pendapat mereka (Van Vianen, 2000). Jenis yang paling banyak dipelajari adalah mentor
dan anak didik, supervisor dan bawahan, atau bahkan pelamar dan perekrut. Penelitian telah
menunjukkan bahwa orang-supervisor sesuai paling kuat terkait dengan hasil berorientasi
supervisor seperti kepuasan supervisor (Boon & Hartog, 2011).

Anda mungkin juga menyukai