Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ETIKA KEPERAWATAN

DILEMA ETIK PADA KASUS ABORSI

DOSEN PENGAMPU:
Yessy Dessy Arna, S.Kp. M.Kep., Sp.Kom

Disusun Oleh Kelompok 2 :


1. M. Nur Dwi Prasetyo (P27820414011)

2. Arman Rosyadio Firmansyah (P27820414013)

3. Riasty Avisha Wardhany (P27820414016)

4. Citra Aulia Rahma (P27820414017)

5. Sri Ajeng Panuntun (P27820414024)

6. Mita Puji Rahayu (P27820414027)

7. Nila Prameswari (P27820414031)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA


PRODI D3 KEPERAWATAN SIDOARJO
TAHUN AJARAN 2014-2015
DILEMA ETIK TENTANG ABORSI

1. Pengertian
Menurut medis, Aborsi dibagi menjadi dua :
a. Abortus spontan (keguguran/miscarriage), yaitu aborsi secara tidak sengaja dan
berlangsung alami tanpa ada kehendak dari pihak-pihak tertentu. Masyarakat
mengenalnya dengan istilah keguguran.
b. Abortus provocatus (pengguguran/digugurkan), yaitu aborsi yang dilakukan secara
sengaja dengan tujuan tertentu. Aborsi Provocatus ini dibagi menjadi dua :
a) Jika bertujuan untuk kepentingan medis dan terapi serta pengobatan, maka
disebut dengan Abortus Provocatus Therapeuticum.
b) Jika dilakukan karena alasan yang bukan medis dan melanggar hukum yang
berlaku, maka disebut Abortus Provocatus Criminalis.

2. Pandangan Aborsi dari Berbagai Aspek


a. Ditinjau dari aspek medis
Dari segi medis, ada kalanya aborsi boleh dilakukan, yaitu aborsi spontan. Namun
memiliki resiko pada kehamilan berikutnya, bayi lahir dengan berat badan rendah
sampai kemungkinan terjadinya kemandulan akibat kerusakan yang luas pada
endometrium. Berbeda dengan aborsi provocatus yang merupakan tindakan amoral.
Karena sesungguhnya umat manusia itu adalah umat yang mulia dan membunuh satu
nyawa berarti membunuh semua orang. Sebaliknya, menyelamatkan satu nyawa berarti
menyelamatkan nyawa semua orang.
Resiko dari tindakan aborsi provocatus tidak hanya mencakup resiko jangka
pendek melainkan juga resiko jangka panjang. Resiko jangka pendek yang tersering
adalah terjadinya perdarahan yang dapat mengancam jiwa. Resiko lain adalah syok
septik akibat tindakan aborsi yang tidak steril biasanya berakhir dengan kematian dan
kegagalan ginjal. Kegagalan ginjal ini dapat terjadi sebagai penyerta syok ataupun yang
ditimbulkan karena penggunaan senyawa-senyawa racun yang dipakai untuk
menimbulkan aborsi, seperti lisol, sabun, phisohex. Sedangkan Resiko jangka panjang
yang akan dialami adalah kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik (kehamilan di luar
tempat yang semestinya) pada kehamilan berikutnya. Hal ini terjadi akibat kerusakan
pada lapisan dalam rahim (endometrium) setelah dilakukan dilatasi (pelebaran secara
paksa leher rahim dengan alat khusus) dan kuretase (pengerokan endometrium dengan
1
alat khusus) pada tindakan aborsi. Kerusakan pada endometrium yang diakibatkan
dilatasi dan kuretase ini juga meningkatkan resiko terjadinya placenta previa (letak
plasenta tidak pada tempat semestinya sehingga mengganggu proses persalinan).

b. Ditinjau dari aspek agama


Menurut hukum Islam (fiqih), hukum dasar aborsi adalah dilarang atau haram.
Namun hukum dasar tersebut dapat berubah apabila ada sebab-sebab yang dapat
dibenarkan secara syar’i. Dalam Islam sendiri ada beberapa pandangan mengenai
sampai usia kehamilan berapa aborsi masih boleh dilakukan. Dalam Islam ada yang
memakai batas 120 hari usia kehamilan, setelah usia 120 hari sama sekali dilarang,
kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu. Nabi Muhammad S.A.W memberitahukan
dalam proses terciptanya manusia sel telur dan sel sperma tersimpan selama 40 hari
dalam rahim sebagai nuthfah (mani), selama 40 hari berikutnya sebagai alaqah
(segumpal darah), kemudian 40 hari berikutnya sebagai mudhghah (segumpal daging),
setelah itu proses khalqan aakhar (pemberian nyawa) terjadi.
Al Quran dalam surat Al-Mukminun ayat 12-14 memberikan informasi yang
serupa. Menurut Mazhab Hanafi, aborsi sebelum kehamilan berusia 120 hari diizinkan
jika ada alasan yang dibenarkan hukum Islam. Indikasinya antara lain kondisi kesehatan
ibu sangat buruk, kehamilan dan persalinan beresiko tinggi, atau kehamilan yang terjadi
saat perempuan masih menyusui bayi sementara ayah si bayi tidak mempunyai
pendapatan yang tetap untuk membeli susu pengganti ASI. Jika tidak ada alasan-alasan
tersebut maka hukum melakukan aborsi menjadi makruh.
Penganut mazhab Syafi’i terpecah tiga pendapat, sebagian seperti Ibn al-Imad dan
al Ghazali melarang aborsi karena termasuk kejahatan terhadap makhluk hidup.
Muhammad ibn Abi Said mengizinkan dalam batas 80 hari, alasannya karena janin
masih dalam bentuk nuthfah dan alaqah. Dan yang lainnya lagi membolehkan aborsi
secara mutlak sebelum kehamilan berusia 120 hari. Sebagian besar pengikut mazhab
Maliki kecuali al Lakhim tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan membuang
produk kehamilan, walaupun sebelum 40 hari. Alasannya, bila air mani telah tersimpan
dalam rahim berarti sudah ada proses kehidupan.

c. Ditinjau dari aspek sosial budaya


Indonesia merupakan negara yang memiliki nilai dan norma yang sangat tinggi.
Masyarakat Indonesia masih memegang tinggi nilai dan norma dalam kehidupan.
Sebenarnya salah satu penyebab tingginya aborsi di masyarakat kita adalah kebiasaan di
2
masyarakat juga. Tekanan masyarakat terhadap kehamilan diluar nikah juga menjadi
salah satu pemicu orang nekad untuk aborsi. Masyarakat sendiri tidak melihat
kehamilan itu sebagai anugerah, tapi justru mencela dan mengejek sebagai aib.
Seandainya masyarakat atau paling tidak orang tua bertindak bijak dengan memberikan
support, maka bisa jadi si calon ibu tidak sampai berpikir pendek dan nekad.
Adanya pengaruh globalisasi yang terjadi di Indonesia, membuat remaja mulai
menjadikan kultur negara-negara maju sebagai acuan hidupnya. Terkadang remaja tidak
memfilter apa yang mereka dapat, baik dan sekedar ditiru saja. Adanya anggapan bahwa
budaya barat adalah sesuatu yang hebat dan lebih modern. Sehingga para remaja
beranggapan bahwa, bila tidak menirukan budaya barat tersebut maka akan dianggap
ketinggalan jaman. Misalnya dampak dari adanya globalisasi adalah terjadinya
pergaulan yang bebas dan terkesan tanpa adanya kontrol. Pada awalnya pergaulan bebas
belum meluas, sehingga masih terlihat sebagai sesuatu yang tabu. Namun dengan
berjalannya waktu, dan kurang adanya kontrol terhadap penetrasi budaya barat tersebut,
free sex pun semakin meluas. Sehingga free sex mulai dianggap sebagai hal yang biasa
pada sebagian orang, misalnya pada kota besar atau metropolitan. Free sex mulai
menjamur, sehingga akibat dari free sex seperti aborsi mulai banyak terjadi.

d. Ditinjau dari aspek hukum


Abortus provocatus atau pembunuhan paksa yang dilakukan oleh seorang wanita
terhadap bayi yang dikandungnya termasuk tindakan pidana. Sebenarnya aborsi
dilakukan dengan sengaja untuk menutup aib yang tidak ingin diketahui. Tindakan ini
melanggar hukum pidana yang diberlakukan untuk melindungi atau mencegah
perlakuan tidak terpuji tersebut. Beberapa pasal yang mengatur abortus provocatus
antara lain:
1) UU HAM, pasal 53 ayat 1:
Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup &
meningkatkan taraf kehidupannya.
2) Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan:
Ayat (1) : Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil
dan atau janinya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
Ayat (2) : Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya
dapat dilakukan :
a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut;
3
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung
jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya;
d. Pada sarana kesehatan tertentu;
3) Pasal 347 KUHP
Ayat (1) : Sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuan, pidana penjara 12 tahun
Ayat (2) : Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, pidana
penjara 15 tahun
4) Pasal 348 KUHP
Ayat (1) : Sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, pidana penjara 5 tahun
Ayat (2) : Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, pidana 7
tahun
5) Pasal 349 KUHP
“Apabila tindakan pengguguran kandungan sesuai pasal 346. 347 dan 348
dilakukan oleh dokter, bidan atau juru obat maka pidananya diperberat dengan
ditambah 1/3 dan dapat dicabut hak profesinya”
6) Pasal 299 KUHP :
Ayat (1) : Sengaja mengobati seorang perempuan atau mengerjakan sesuatu
perbuatan terhadap seorang perempuan dengan memberitahukan atau
menimbulkan pengharapan, bahwa oleh karena itu dapt gugur
kandungannya dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.
Ayat (2) : Kalau Si tersalah melakukan pekerjaan itu karena mengharapkan
keuntungan dan menjadi kebiasaan dan dilakukan oleh tabib, bidan atau
tukang pembuat obat maka hukumannya dpt ditambah 1/3nya.

3. Studi Kasus
a. Contoh kasus
1) Kasus 1
Ada seorang ibu hamil muda dengan usia kandungan 4 bulan. Tetapi
mempunyai penyakit jantung kronik yang dapat membahayakan ibu maupun janin
yang dikandungnya. Dia pun datang memeriksakan dirinya pada seorang Dokter.
4
Dokter mengatakan kalau janinnya tetap dipertahankan nyawa ibu akan terancam,
janinnya pun sama. Sang ibu pun sangat takut dan bersedih dengan masalah yang
dia alami.
2) Kasus 2
Seorang remaja yang berumur 18 tahun yang baru lulus SMA telah melakukan
hubungan sex pranikah, akibatnya remaja tersebut hamil. Ketika usia
kandungannya mencapai 2 bulan dia mengatakan kepada pasangannya dan meminta
pasangannya untuk bertanggungjawab sebelum perutnya semakin besar. Akan
tetapi, pasangannya tidak mau bertanggung jawab atas perbuatnnya dan memaksa
untuk menggugurkan kandungannya. Remaja perempuan itu merasa cemas dan
bersedih. Bila tidak digugurkan dia juga takut mencoreng nama baik keluarganya
dan membuat malu orang tuanya jika masyarakat tahu akan kehamilannya.
Akhirnya dia memilih jalan untuk menggugurkan kandungannya di sebuah klinik.
b. Analisis kasus
1) Pada kasus pertama, dilema etik yang terjadi adalah:
a) Menurut medis, jika janin tersebut tidak digugurkan ibunya akan meninggal,
janinnya pun sama padahal dengan menggugukan janin tersebut, nyawa ibunya
akan tertolong.
b) Menurut islam, setelah usia kandungan 120 hari aborsi sama sekali dilarang,
kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu.
c) Menurut hukum, dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan
jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu
(aborsi)
2) Pada kasus kedua dilema etik yang terjadi adalah:
a) Menurut medis, abortus provocatus memiliki resiko jangka pendek dan jangka
panjang yang sangat menbahayakan.
b) Menurut islam, hukum dasar aborsi adalah dilarang atau haram. Aborsi
diizinkan jika ada alasan yang dibenarkan hukum Islam
c) Menurut sosial budaya, aborsi yang dilakukan remaja itu adalah hal yang biasa.
d) Menurut hukum, tindakan abortus provocatus dapat dikenai tindak pidana
karena bertentangan dengan HAM dan KUHP.
c. Pembahasan
1) Kasus 1
Kasus pertama merupakan kasus Abortus Provocatus Therapeuticum. Dalam
kondisi ini, secara medis kehamilan boleh digugurkan yang dilakukan untuk
5
menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa ibunya. Begitu juga menurut islam,
menggugurkan kandungan diperbolehkan jika ada alasan yang dibenarkan hukum
Islam. Seperti kondisi kesehatan ibu buruk dan tidak bisa lagi untuk mengandung sang
bayi. Menurut hukum pun memperbolehkan aborsi dalam keadaan darurat sebagai
upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinya, dapat dilakukan tindakan
medis tertentu oleh tim ahli dan melalui persetujuan yang bersangkutan.
Jadi, tindakan yang harus dilakukan oleh tim medis dalam menghadapi kasus
dilema etik ini antara lain:
 Memberi penjelaskan kepada yang bersangkutan bahwa tindakan menggugurkan
adalah jalan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa ibu.
 Meminta persetujuan kepada ibu hamil, suami dan keluarganya.
 Menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
 Menjalankan proses aborsi sesuai dengan prosedur yang benar.
2) Kasus 2
Kasus kedua merupakan kasus Abortus Provocatus Criminalis. Dalam kondisi ini,
secara medis abortus provocatus tidak diperbolehkan jika tidak ada kepentingan
medis dan juga memiliki resiko jangka pendek serta jangka panjang yang sangat
membahayakan sang ibu. Begitu juga menurut islam, hukum dasar aborsi adalah
dilarang atau haram kecuali jika ada alasan yang dibenarkan hukum Islam. Menurut
hukum pun, tindakan abortus provocatus dapat dikenai tindak pidana karena
bertentangan dengan HAM dan KUHP. Bukan hanya pelaku aborsi saja, tetapi juga
tim medis yang membantu proses aborsinya juga dikenakan hukuman.
Jadi, tindakan yang harus dilakukan oleh tim medis dalam menghadapi kasus
dilema etik ini antara lain:
 Memberi penjelasan bahwa abortus provocatus memiliki resiko yang sangat
berbahaya.
 Menjelaskan bahwa aborsi provocatus criminalis tidak diperbolehkan karena akan
dikenai hukuman pidana bagi pelaku dan tim medis yang membantu.
 Memberi motivasi pada pasangan remaja tersebut untuk mempertahankan
kehamilannya dan menyarankan untuk memilih jalan pernikahan yang telah
disetujui oleh orang tua masing-masing.

4. Kesimpulan
Menurut medis, Aborsi dibagi menjadi dua yaitu abortus spontan
(keguguran/miscarriage), Abortus provocatus (pengguguran/digugurkan). Aborsi

6
Provocatus ini dibagi menjadi dua, yaitu Abortus Provocatus Therapeuticum dan Abortus
Provocatus Criminalis.
Bila aborsi dipandang dari berbagai aspek :
a. Abortus spontan tidak menentang dari aspek medis, agama, hukum dan sosial
budaya. Karena aborsi ini terjadi secara langsung tanpa ada kesengajaan dari
pelaku dan tindakan medis.
b. Abortus provocatus dibedakan menjadi 2:
 Abortus Provocatus Therapeuticum diperbolehkan dalam medis, agama
maupun hukum. Hal ini dikarenakan bertujuan untuk kepentingan medis dan
terapi serta pengobatan.
 Abortus Provocatus Criminalis tidak diperbolehkan dari semua aspek. Hal ini
sudah jelas karena termasuk tindakan kriminal yang bertentangan dengan
HAM, agama serta medis.

7
DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens, Aborsi sebagai Masalah Etika PT. Gramedia, Jakarta : 2003


Sarwono, Pengantar Ilmu Kandungan, 1991, Yayasan Pustaka.
http://dinanyurin.blogspot.com/2013/12/dilema-etik-kebidanan.html diakses pada tanggal 9
Maret 2015
http://www.academia.edu/6348414/CONTOH_KASUS_ISBD_ABORSI diakses pada tanggal 9
Maret 2015
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_23_92.htm diakses pada tanggal 10 Maret 2015

Anda mungkin juga menyukai