Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan pada bidang industri di Indonesia semakin pesat. Seiring
dengan semakin pesatnya perkembangan pada bidang industri tersebut semakin
banyak pula limbah yang dihasilkan dari sisa-sisa buangan industri. Limbah yang
dihasilkan sangat mempengaruhi pencemaran lingkungan, baik pencemaran udara
maupun pencemaran air. Limbah industri, khususnya limbah cair dapat memberikan
kontribusi terhadap pencemaran air (Jayasantha et al., 2017). Salah satu limbah cair
yang sering ditemukan adalah pewarna tekstil dari sisa hasil industri tekstil. Dalam
industri tekstil, salah satu bahan baku utamanya merupakan pewarna tekstil, dan
sekitar 10-15 % dari zat warna yang sudah digunakan tersebut dibuang keperairan
seperti sungai dan sebagainya. Pewarna tekstil umumnya terbuat dari senyawa yang
mengandung gugus benzen seperti metilen biru, rhodamin B, methanol yellow,
tatrazine, malachite green, dan indigo karmin. Namun, metilen biru yang lebih
banyak ditemukan dalam limbah cair pada industri tekstil di Indonesia (Luis et al.,
2014).
Metilen biru merupakan pewarna beracun yang sangat berbahaya bagi
lingkungan dan kehidupan manusia. Keberadaan metilen biru dalam lingkungan air
walaupun konsentrasinya hanya 1 ppm saja dapat mempengaruhi proses fotosintetis
pada tumbuhan di dalam air karena menghambat transisi sinar matahari (Jauris et al.,
2016). Apabila kegiatan industri tekstil dalam setiap prosesnya menghasilkan limbah
metilen biru dan mencemari lingkungan perairan maka akan dapat dipastikan
lingkungan perairan menjadi rusak. Hal ini akan mengganggu kehidupan makhluk
hidup karena dampak negatif dari pencemaran air oleh aktivitas industri, sehingga
para peneliti mencari cara untuk menghilangkan zat pewarna metilen biru pada sistem
perairan (Zhao et al., 2016).

1
Salah satu proses yang sangat efektif untuk menghilangkan pewarna metilen
biru dari limbah buangan industri adalah dengan proses adsorpsi. Proses adsorpsi ini
sering dilakukan untuk menghilangkan zat warna berbahaya dari air limbah buangan
industri dengan menggunakan adsorben yang cocok karena memiliki banyak
kelebihan dari proses lainnya seperti memiliki efisiensi penyerapan yang tinggi,
proses operasi yang mudah, regenerasinya mudah, stabilitas mekanik yang baik dan
biaya yang rendah. Adsorben yang pernah digunakan adalah arang aktif, silika
(Karnib et al., 2014), cangkang telur, kerang (Ahmad et al., 2010), dan khitosan
(Mohammad et al., 2015).
Khitosan merupakan salah satu polimer alami yang dapat terdegradasi sebagai
bahan adsorben untuk menghilangkan metilen biru. Khitosan memiliki sifat kimia
yang lemah karena khitosan mudah larut dalam asam organik encer seperti asam
format, asam asetat, asam propionat dan asam laktat. Kelemahan dari sifat khitosan
ini dapat diperbaiki dengan adanya ikat silang pada rantai polimer khitosan dengan
menggunakan agen pengikat silang seperti epiklorohidrin. Selain itu, kelemahan
khitosan tersebut juga dapat diatasi dengan modifikasi khitosan seperti khitosan
sulfonat. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi penyerapan pada khitosan karena
adanya gugus sulfonik. Untuk memisahkan khitosan yang telah digunakan dalam
proses adsorpsi pada medium reaksi, maka khitosan harus memiliki sifat magnetik
dengan cara menginterkalasikan Fe3O4 dalam pasir besi pada khitosan . Sehingga
khitosan mudah untuk dipisahkan dari sampel (Jayasantha et al., 2017).
Penelitian sebelumnya (Zhao et al., 2016), telah melakukan penelitian untuk
membuat adsorben khitosan magnetik yang dapat didaur ulang dan dapat diregenerasi
untuk menyerap metilen biru dari lapisan nanopartikel polietilenemin magnetik
dengan khitosan sulfonat yang diinterkalisasikan dengan Fe3O4 dan selanjutnya diikat
silang dengan glutaraldehid. Fe3O4 disini merupakan Fe3O4 komersial, sedangkan
Fe3O4 dapat juga ditemukan pada pasir besi yang keberadaannya sangat melimpah di
Indonesia khususnya di Aceh. Beberapa pantai di Aceh yang memiliki pasir besi yang
berlimpah yaitu pantai Syiah kuala (Jalil et al., 2016), pantai Anoe Hitam, pantai

2
keneke, pantai Beungkah, pantai Dakota, pantai Lerhob, pantai Monklayu, dan pantai
Ceurapi (Zulkarnain, 2000).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu dilakukannya penelitian untuk
membuat suatu adsorben magnetik yang digunakan dalam proses adsorpsi zat warna
metilen biru. Agar memperoleh adsorben magnetik yang stabil maka khitosan
disulfonasi terlebih dahulu untuk menghasilkan gugus sulfonik dengan menambahkan
HSO3Cl/dimetilformamida, kemudian diinterkalasikan dengan pasir besi yang
diperoleh dari pantai syiah kuala dan diikat silang dengan epiklorohidrin, sehingga
akan diperoleh komposit khitosan magnetik tersulfonasi sebagai adsorben metilen
biru. Pada penelitian ini akan dilakukan variasi komposisi dari
HSO3Cl/dimetilformamida, dan pasir besi agar diperoleh komposisi optimum serta
dilakukan variasi waktu kontak, konsentrasi metilen biru dan pH pada proses adsorpsi
metilen biru.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Apakah Komposit khitosan magnetik tersulfonasi yang diinterkalasikan
dengan pasir besi dan diikat silang dengan epiklorohidrin dapat digunakan
sebagai adsorben untuk menyerap metilen biru.
2. Bagaimana pengaruh sulfonasi khitosan dan ikat silang epiklorohidrin pada
komposit khitosan magnetik sebagai adsorben metilen biru
3. Berapakah komposisi optimum HSO3Cl/dimetilformamida dan pasir besi
untuk memperoleh adsorben khitosan magnetik tersulfonasi.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Membuat komposit khitosan magnetik tersulfonasi yang dapat diregenerasi
serta dapat digunakan untuk adsorpsi metilen biru.
2. Mengetahui pegaruh sulfonasi khitosan dan ikat silang epiklorohidrin pada
adsorben khitosan magnetik.
3
3. Mengetahui berapa komposisi optimum HSO3Cl/dimetilformamida dan pasir
besi untuk memperoleh adsorben khitosan magnetik tersulfonasi

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat:
1. Memperoleh adsorben khitosan magnetik tersulfonasi yang dapat diregenerasi
untuk adsorpsi metilen biru.
2. Memberikan manfaat dalam pelestarian lingkungan serta penanganan limbah
metilen biru pada industri-industri tekstil.

4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Komposit polimer

Komposit merupakan material yang tersusun dari dua campuran atau lebih
material dengan sifat kimia dan fisika yang berbeda serta menghasilkan sebuah
material baru yang memiliki sifat berbeda dengan material penyusunnya (Kartika
dkk., 2014). Dengan adanya perbedaan dari material penyusunnya maka komposit
antar material harus berikatan dengan kuat, sehingga perlu adanya penambahan
wetting agent (Haldorai and Shim, 2014).
Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang
sederhana. Nama ini diturunkan dari bahasa yunani poly, yang berarti “banyak”, dan
mer yang berarti “bagian”. Makromolekul merupakan istilah yang sinonim dengan
polimer. Polimer dihubungkan dengan molekul besar atau suatu makromolekul yang
strukturnya bergantung pada monomer atau monomer monomer yang dipakai dalam
preparasi (Stevens, 2007).
Komposit polimer adalah campuran secara fisika antara dua atau lebih
molekul polimer yang berbeda (kopolimer). Kelemahan pada material polimer dapat
diatasi dengan memilih bahan clay yang sesuai dan ditambahkan ke dalam polimer
dasarnya (Tirtom et al., 2012), maka dapat juga disebut dengan komposit polimer.
Penambahan agen pengikat silang dapat mempengaruhi sifat mekanik komposit
polimer tersebut (Emami et al., 2013).

2.2. Khitosan

Khitosan adalah suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari


proses deasetilasi khitin dengan menggunakan alkali kuat. Khitosan merupakan
polimer dengan kelimpahan terbesar kedua setelah selulosa yang pada umumnya
khitosan ini diperoleh dari cangkang telur atau udang (Teimouri et al., 2016). Proses
utama dalam pembuatan khitosan, meliputi penghilangan protein dan kandungan
5
mineral melalui proses deproteinasi dan demineralisasi, yang masing-masing
dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, khitosan
diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa
(Kurniasih dkk.,2011).
Khitosan adalah polimer dari 2-amino-2 Deoksi-D-glukosa. Perbedaan antara
polimer dengan khitin yaitu berdasarkan kandungan nitrogennya. Polimer khitin
mempunyai kandungan nitrogen kurang dari 7% sedangkan khitosan mempunyai
kandungan nitrogen lebih dari 7%. Di alam kelompok khitin dan khitosan merupakan
senyawa yang tidak dibatasi dengan stoikiometri secara pasti. Khitosan merupakan
senyawa yang mempunyai daya koagulan dan sering dimanfaatkan sebagai koagulan
limbah industri seperti limbah zat warna tekstil karna sifatnya yang biodegradable.
Berat molekul khitosan 1,2 x 105, tergantung pada degradasi yang terjadi selama
proses deasetilasi. Adsorben khitosan mempunyai kemampuan mengikat lebih kuat
dari pada khitin karena gugus-gugus aktifnya (Maharmani et al., 2003).
Khitosan biasanya digunakan dalam bentuk serbuk dan serpihan, tetapi paling
banyak sebagai gel baik berupa bead, membran, pelapis (coating), fiber, hallowfiber,
dan scaffold. Khitosan telah digunakan secara luas dalam bidang biomedia karena
memiliki sifat biokompatibilitasnya. Khitosan dapat dimetabolisme oleh enzim-enzim
dalam tubuh manusia seperti lisozim, sehingga khitosan juga bersifat biodegradabel
(Alauhdin, 2014). Pemanfaatan khitosan yang cukup luas dalam proses adsorpsi
disebabkan karena adanya gugus amina dan hidroksil, yang menyebabkan khitosan
mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation
sehingga berperan sebagai penukar ion dan adsorben yang baik (Permanasari dkk.,
2010). Khitosan bersifat sebagai polimer kationik yang tidak larut dalam air, beberapa
pelarut organik dan larutan alkali dengan pH di atas 6,5. Ketidaklarutan khitosan
dalam air disebabkan struktur kristalnya yang tersusun oleh ikatan hidrogen
intramolekuler dan intermolekuler (Kurniasih and Kartika, 2011).

6
Gambar 2.1. Struktur khitosan

Khitosan mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam asetat,
dan asam sitrat (Victor M et al., 2016). Khitosan sangat banyak diaplikasikan
diberbagai bidang karna sifatnya yang biodegradable, diantaranya dalam bidang
industri, bidang pertanian dan pangan, serta bidang kedokteran (Raafat, 2008).
Kereaktifan khitosan disebabkan oleh adanya gugus amino yang bersifat sebagai
nukleofilik kuat dan sekaligus bersifat polielektrolit, maka khitosan digolongkan
sebagai Highly functional biopolymer polielektrolit. Gugus fungsional –OH dan –
NH2 pada khitosan memungkinkan dilakukan berbagai modifikasi kimia untuk
aplikasi tertentu. Modifikasi khitosan secara kimia menghasilkan derivat-derivat
khitosan, yaitu: O-Alkil khitosan, O-Dietil Posfat Khitosan, N-3,5-Dietilamino
Benzoil Khitosan, N-Asetil Khitosan, N-Alkil Khitosan, Khitosan Asetat, Khitosan
Palmitat, Basa Schiff, Khitosan Nitrat, N-Stearoil Khitosan, N-Ftaloly Khitosan, dan
Khitosan Sulfat (Riniati, 2013).
Modifikasi khitosan diperlukan untuk meningkatkan kinerja adsorpsinya.
Salah satu caranya adalah dengan pembentukan beads yang akan mempengaruhi
kemampuan kinerja khitosan sebagai adsorben. Dalam bentuk beads, khitosan akan
memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih besar dan mempercepat kinetikanya
dibandingkan dengan khitosan yang berbentuk flake serta mempermudah
penyaringan (Sabaruddin dkk., 2012).

7
2.3. Pasir Besi
Pasir merupakan bahan alam yang tersedia sangat melimpah di Indonesia.
Selama ini pasir hanya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, padahal pasir banyak
mengandung mineral berharga yang mengandung unsur besi, titanium dan unsur
lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk bahan industri (Afdal and Niarti, 2012). Salah
satu jenis pasir mineral yang telah dikenal adalah pasir hitam pesisir pantai, biasanya
disebut dengan "pasir besi" karena punya sifat seperti besi yang bila didekati magnet
maka akan tertarik. Pasir besi hingga saat ini hanya digunakan sebagai bahan
pendukung pada pembangunan fisik seperti gedung, jembatan, perumahan, dan jalan
raya. Menurut (Zulkarnain, 2000) pasir besi mengandung bahan magnet yang
merupakan material yang dapat diaplikasikan untuk pengembangan industri otomotif,
elektronika, komputasi sampai peralatan rumah tangga. Pasir besi juga sebagai salah
satu bahan baku utama dalam industri baja dan industri alat berat (Bilalodin, 2010).
Pasir besi merupakan bijih inconvensional yang menjadi salah satu tumpuan
harapan Indonesia untuk pengembangan industri besi baja dan material lainnya. Dinas
Pertambangan dan Energi Aceh menempatkan mineral emas, tembaga, molibdenit,
bijih besi dan pasir besi sebagai komoditi bahan galian unggulan Aceh. Khususnya
mineral pasir besi, termasuk bahan galian golongan B (galian vital) berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1980 tentang penggolongan bahan galian (Jalil et
al., 2016). Penyebaran pasir besi di Indonesia terdapat di Pulau Sumatera, Jawa dan
sulawesi dan produksinya sedang meningkat dari 308.497 ton pada tahun 1992
menjadi 487.354 ton pacta tahun 1997 atau terjadi kenaikan sekitar 8,35% per tahun
(Zulkarnain, 2000).
Pasir besi (Fe3O4) berukuran nano memiliki sifat ferimagnetik memiliki
peluang aplikasi yang luas. Pengaplikasian pasir besi (Fe3O4) yang berukuran partikel
nano merupakan alternatif yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industri di bidang elektronik yang dalam perkembangan dan kebutuhannya kian
meningkat. Fe3O4 berukuran nano memiliki aplikasi pada bidang industri seperti;
keramik, katalis, energi storage, magnetik data storage, ferofluida, maupun dalam
diagnosis medis (Sholihah, 2010). Salah satu cara mengisolasi pasir besi dari pasir
8
yang masih bercampur dalam zat lain selain Fe3O4 yaitu dengan cara dipisahkan
menggunakan metode ekstraksi dengan magnet permanen

Gambar 2.2. Proses ekstraksi mineral magnetik dari pasir besi dengan menggunakan
magnet permanen (Bilalodin, 2010).

Struktur magnetik terdiri dari dua magnetik sublatis (disebut A dan B) yang
dipisahkan oleh oksigen. Pertukaran interaksi dimediasi oleh anion oksigen. Ketika
ini terjadi, interaksi tersebut disebut interaksi tidak langsung atau superexchange.
Krista magnetik Fe3O4 dengan struktur spinel dapat dilihat dari Gambar 2.3 . Struktur
tetrahedral: ion Fe dikelilingi oleh empat oksigen. Struktur oktahedral: ion Fe
dikelilingi oleh enam ion Oksigen

Gambar 2.3. Struktur spinel Fe3O4

2.4. Ikat Silang


Proses ikat silang mampu mengatasi kekurangan pada sifat khitosan yang
mudah larut dalam pelarut asam organik karena mampu meningkatkan kekuatan
mekanisme khitosan tetapi kapasitas adsorpsi khitosan menjadi berkurang apabila
9
terlalu banyak direaksikan dengan agen pengikat silang, namun hal ini dapat diatasi
dengan melakukan modifikasi khitosan (Amma et al. 2017). Ikat silang berdasarkan
proses pengikatannya dapat dibagi menjadi dua yaiu:

2.4.1. Ikat silang kimia


Ikat silang kimia merupakan mekanisme yang paling tepat untuk menurunkan
kebebasan molekul, yang mengikat rantai-rantai polimer melalui ikatan kovalen atau
ionik membentuk suatu jaringan. Pada dasarnya proses ikat silang dibagi menjadi dua
katagori yaitu:

a. Pengikat silangan selama polimerisasi melalui pemakaian monomer-monomer


polifungsi sebagai ganti dari monomer difungsi.
b. Ikat silang dalam suatu tahap proses yang terpisah setelah terbentuk polimer
linier (atau bercabang).

Perubahan ekstrim yang menyertai ikat silang yaitu, jika sebelumnya bersifat
dapat larut, maka polimer yang terikat silang akan tidak dapat larut lagi (kecuali
polimer ikat silang ion), polimer ikat silang kovalen juga kehilangan sifat-sifat
alirnya. Mungkin mengalami deformasi tetapi deformasi tersebut akan bersifat dapat
balik artinya polimer tersebut dapat memperlihatkan sifat-sifat elastik, namun polimer
ikat silang ion akan mengalir pada suhu tinggi. Pada polimer ikat silang kita juga
dapat mengukur rapat ikat silang, dimana makin tinggi rapat ikat silang maka polimer
yang bersangkutan makin keras. Rapat ikat silang yang semakin tinggi akan
mengakibatkan sifat magnetik polimer menjadi rapuh karena ikat silang mengurangi
gerak segmen maka pengikat silang sering dikerjakan untuk menaikkan suhu transisi
gelas (Stevens, 2007).

2.4.2. Ikat silang fisika


Ikat silang fisika adalah pengikatan rantai-rantai polimer melalui ikatan
sekunder yang kuat antara rantai-rantai polimer sedemikian sehingga polimer tersebut
memperlihatkan sifat-sifat bahan termoset meskipun menyisakan sifat termoplastik,

10
maka sifat-sifat mekanik dari larutan polimer-polimer Kristal menjadi polimer yang
bersifat amorf (Stevens, 2007).

2.5. Epiklorohidrin
Epiklorohidrin adalah salah satu jenis agen pengikat silang yang mampu
untuk meningkatkan kapasitas maupun kemampuan suatu polimer dalam proses
adsorpsi. Hal ini dikarenakan penambahan epiklorohidrin ini dapat meningkatkan
stabilitas kimianya dalam suasana asam serta membentuk pori khitosan yang lebih
besar sehingga menyebabkan kemampuan adsorpsinya semakin besar (Nisfayati,
2017). Epiklorohidrin merupakan senyawa epoksidan dan senyawa epoklorin.
Epiklorohidrin tidak berwarna tetapi berbau menyengat dan larut dengan beberapa
pelarut organik polar. Epiklorohidrin banyak digunakan dalam produksi gliserol,
plastik, lem epoksi, resin, dan elastomer (Udoetok et al. 2016). Skema reaksi khitosan
berikatan silang epiklorohidrin dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Skema reaksi khitosan berikatan silang epiklorohidrin (Laus et al. 2010)
11
Proses ikat silang dapat meningkatkan stabilitas kimia maupun fisika pada
polimer khitosan. Pada pH basa, reaksi ikat silang antara khitosan dan epiklorohidrin
terjadi pada gugus –OH khitosan yang akan berikatan dengan epiklorohidrin (Amma
et al. 2017). Epiklorohidrin adalah senyawa organoklorin dan epoksida, banyak
digunakan sebagai bahan baku pembuatan epoksi, penoksi, resin-resin, dan agen
pegikat silang. Epiklorohidrin juga digunakan sebagai stabilizer pada senyawa-
senyawa yang mengandung klorin dan gugus –OH seperti karet, pestisida, dan
khitosan. Secara konvensional, epiklorohidrin disintesa dengan dehidroklorinasi alil
klorida, yang diperoleh dengan klorinasi propilen pada suhu tinggi. Namun, metode
ini memiliki kekurangan yaitu pembentukan hasil samping klorin dalam jumlah besar
dan konsumsi energi yang tinggi karena reaksi berlangsung pada suhu tinggi
(Herliati, 2017). Sintesis epiklorohidrin dari gliserol melalui dua tahap reaksi yang
diskemakan pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Skema sintesa epiklorohidrin melalui jalur alil klorida dan jalur
dikloropropanol (Herliati, 2017).

2.6. Adsorpsi
Adsorpsi merupakan proses akumulasi adsorbat pada permukaan adsorben
yang disebabkan oleh interaksi kimia, gaya tarik menarik antara molekul ataupun

12
disebabkan oleh medan gaya pada permukaan padatan yang disebut adsorben yang
menarik molekul-molekul gas, uap atau cairan. Dalam proses adsorpsi ada beberapa
istilah penting yaitu adsorbat dan adsorben. Adsorbat merupakan suatu atom, ionik
atau molekul padat, cair dan gas sedangkan adsorben merupakan penyerap adsorbat
(Monk, 2004 ). Pada proses adsorpsi terdapat beberapa gaya intermolekul yang sangat
menentukan jenis adsorpsi yang berlangsung yaitu, gaya van der waals, gaya
hidrofob, ikatan hidrogen, gaya elektrostatik, dan ikatan kovalen (Maharmani et al.,
2003).
Proses Adsorpsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kimia maupun
secara fisika. Adsorpsi kimia dan fisika dibedakan oleh energi adsopsinya dan
ketebalan lapis adsorben (Adamson, 1990). Adsorpsi secara kimia diikuti dengan
perubahan kalor adsorpsi yang besar. Adsorpsi secara kimia berlangsung secara
irreversibel yang terjadi dengan adanya pembentukan ikatan kimia. Ikatan yang
terbentuk ini sulit untuk kembali lagi karena telah terbentuk senyawa yang baru.
Sedangkan pada adsorpsi secara fisika bersifat reversible yaitu antara adsorben dan
adsorbatnya mengalami interaksi yang lemah. Pada adsorpsi secara fisika ini gaya
tarik-menarik antara adsorbat dengan permukaan adsorbennya mengalami gaya van
der waals sehingga cenderung lemah (Atkins, 1999).
Proses adsorpsi cenderung diikuti dengan pengamatan isoterm adsorpsi yaitu
banyaknya zat yang teradsorpsi per gram zat padat yang dialurkan terhadap tekanan
akhir fasa ruah pada temperatur tetap. Apabila sistem yang diteliti adalah sistem
padat-cair, maka grafik yang harus terjadi adalah banyaknya zat yang teradsorpsi per
gram zat padat terhadap konsentrasi akhir dari fasa ruah pada temperatur tetap (Ismail
et al., 2013). Isoterm adsorpsi ini merupakan hubungan antara banyaknya zat yang
dapat teradsopsi dengan suhu dan konsentrasi yang dapat dinyatakan dengan grafik
(Day dan Underwood, 1998). Isoterm adsorpsi juga menggambarkan hubungan
antara adsorbat dan adsorben dalam proses adsorpsi ketika mencapai kesetimbangan.
Parameter persamaan dan asumsi termodinamika yang mendasari model
keseimbangan ini sering memberikan beberapa wawasan pada kedua mekanisme
penyerapan dan sifat permukaan dan afinitas adsorben (Calagui et al. 2014). Pada
13
isoterm adsorpsi terdapat tiga pola yaitu, isoterm adsorpsi Freundlich, Langmuir, dan
BET (Brunauer, Emmet dan Teller). Akan tetapi, umumnya pada adsorpsi molekul
atau ion pada permukaan padatan terbatas pada lapisan satu molekul maka adsorpsi
tersebut mengikuti persamaan adsorpsi Freundlich dan Langmuir (Handayani, 2009).
2.6.1. Persamaan Freundlich
Adsorpsi zat terlarut dari suatu larutan pada padatan adsorben merupakan hal
yang penting. Aplikasi penggunaan prinsip ini antara lain peghilangan warna larutan
dan proses pemisahan dengan menggunakan teknik kromatografi. Menurut
Freundlich, jika y adalah berat zat terlarut pergram adsorben dan c adalah konsentrasi
zat terlarut dalam larutan. Dari konsep tersebut dapat diturunkan persamaan sebagai
berikut
Xm/m = K.Ce1/n
Log ( Xm / m ) = log k + 1 /n . log Ce ………(1)

Keterangan :
Xm = berat zat yang diadsorpsi
m = berat adsorben
Ce = konsentrasi zat

Gambar 2.6. Kurva persamaan Freundlich

14
2.6.2. Persamaan Langmuir
Menurut Langmuir, isoterm adsorpsi menggunakan model sederhana berupa
padatan yang mengadsorpsi gas pada permukaannya. Isoterm adsorpsi Langmuir ini
mendefinisikan bahwa kapasitas adsorpsi maksimum terjadi akibat adanya lapisan
tunggal adsorbat di permukaan adsorben. Dimana persamaan Langmuir dituliskan
sebagai berikut
𝑎. 𝐶
Xm / m = 1+𝑏.𝑐

m.c / Xm = 1⁄𝑎 + (𝑏⁄𝑎) . C………(2)


Dengan membuat kurva m.c / Xm terhadap C akan diperoleh persamaan linear dengan
intersep 1⁄𝑎 dan kemiringan ( 𝑏⁄𝑎), sehingga nilai 𝑎 dan 𝑏 dapat dihitung, dari besar
kecilnya nilai 𝑎 dan 𝑏 menunjukan daya adsorpsi (Handayani, 2009).

Gambar 2.7. Kurva persamaan Langmuir

Metode adsorpsi memiliki potensi penghematan dari segi ekonomi karena


khitosan yang telah digunakan dapat dikembalikan lagi kemampuan adsorpsinya
melalui proses regenerasi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat efisiensi
adsorpsi seperti pH larutan, suhu, dosis adsorben, waktu kontak, kecepatan
pengadukan, konsentrasi larutan. Jenis zat warna yang beragam menuntut adanya
pengaturan faktor spesifik demi tercapainya efektivitas yang optimum. Adsorpsi zat
warna kationik dapat terjadi dengan baik pada kondisi pH larutan yang cenderung
basa (Liu et al., 2010). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses adsopsi
yaitu, jika sifat adsorben sama dengan sifat adsorbat maka adsorpsi yang terjadi akan
15
besar dan sebaliknya, jenis adsorbat yang akan diserap oleh adsorben harus sesuai
dengan sifat adsorban, jika tidak sesuai maka adsorpsi yang terjadi kecil, semakin
besar suhu maka adsorpsi yang terjadi akan semakin sulit maka adsorpsi yang efektif
terjadi pada suhu kamar, konsentrasi zat yang diadsorpsi dan luas permukaan
adsorben juga perlu diperhatikan dalam proses adsorpsi (Handayani dan Eko, 2009).

2.7. Metilen Biru


Metilen biru adalah senyawa kimia aromatik heterosiklik dengan rumus kimia
C16H18N3SCl. Metilen biru ini merupakan zat warna dasar yang sering digunakan
dalam proses pewarnaan dalam industri tekstil. Penggunaan metilen biru dapat
menimbulkan beberapa efek, seperti iritasi saluran pencernaan jika tertelan,
menimbulkan sianosis jika terhirup, dan iritasi pada kulit jika tersentuh oleh kulit.
Berdasarkan bahaya yang ditimbulkan maka metilen biru ini hanya boleh sedikit
berada dalam lingkungan (Hadayani, 2015). Menurut keputusan menteri lingkungan
hidup yaitu Kep-51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair, konsentrasi
maksimum metilen biru yang diperbolehkan yaitu 5-10 mg/L.
Metilen biru merupakan salah satu zat warna kationik yang digunakan dalam
industri tekstil. Penggunaan metilen biru dapat diperkirakan sekitar 5% dalam
pewarnaan sedangkan sisanya yaitu sekitar 95% tidak digunakan lagi dan dibuang
kebadan air sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Metilen biru sangat
stabil sehingga tidak mudah terdegradasi dialam dan berbahaya bagi lingkungan
apabila dalam konsentrasi yang besar Karena dapat meningkatkan nilai chemical
oxygen demand (COD) yang dapat merusak ekosistem lingkungan (Ramadhani,
2015).

Gambar 2.8. Struktur metilen biru

16
Limbah zat warna ini memiliki sifat non biodegradable karena mengandung
senyawa kompleks aromatik dan senyawa organik yang sulit diuraikan oleh mikroba
sekalipun. Selain itu zat warna bersifat karsinogen dan dapat menyebabkan kanker.
Berdasarkan data dari lingkungan hidup didapatkan bahwa disekitar limbah tekstil
banyak terjangkit penyakit kulit dan timbul nanah selain itu juga dapat menghambat
pertumbuhan tanaman (Sari dan Widiastuti 2010).

2.8. Spektroskopi Fourier Transform-Red (FT-IR)


FT-IR banyak digunakan dalam analisis atau identifikasi senyawa. Hal ini
dikarenakan spektrum FT-IR yang dihasilkan dari suatu senyawa bersifat khas, yaitu
senyawa yang berbeda akan memiliki spectrum FT-IR yang berbeda pula. Vibrasi
ikatan kimia suatu molekul menyebabkan pita serapan hampir seluruhnya didaerah
spektrum IR yaitu 400-4000 cm-1. Pada dasarnya teknik ini sama dengan spektroskopi
inframerah biasa, kecuali dilengkapi dengan cara perhitungannya “Fourier
Transform” dan pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang
lebih tinggi (Hart, 2003).

Gambar 2.9. Spektrum FT-IR dari PEI@MNP (a), PEI@MNP/SCS (b),


PEI@MNP/SCSCL (c), PEI@MNP/SCSCLA (d) (Zhao et al. 2016).
17
FT-IR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar dalam
penelitian penelitian struktur polimer. Karena spektrum-spektrum bisa di scan,
disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini memudahkan
penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. Persyarat ukuran
sampel yang kecil dapat mempermudah kopling instrument FT-IR dengan suatu
mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi.
Daerah spektral yang diperlihatkan, dengan skala yang diperbesar mencakup daaerah
tekukan karbon-hidrogen dari cincin-cincin benzene pendan (Stevens, 2007).

2.9. Scanning Electron Microscopy (SEM)


SEM merupakan alat yang digunakan dalam mempelajari morfologi
permukaan suatu material dan dapat memberikan informasi yang jelas terhadap
topologi permukaan dengan resolusinya sekitar 100Ǻ. Biasanya SEM diaplikasikan
dalam studi disperse pigmen pada cat, retak lapisan, batas fase dalam campuran
polyblend, struktur sel polimer, dan kegagalan dalam perekat (Steven, 1999). Cara
kerja SEM yaitu gelombang elektron yang dipancarkan elektron gun terkondensasi di
lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objektif. Scanning
coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas
sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan
kemudian dikumpulkan oleh detektor sekunder. Gambar yang akan dihasilkan terdiri
dari ribuan titik berbagai intensitas di permukaan Cathode Ray Tube (CRT) sebagai
topografi gambar (Kroschwitz, 1990).
Sampel yang dianalisis dengan teknik ini harus mempunyai permukaan
dengan konduktifitas tinggi karena polimer memiliki konduktifitas yang rendah maka
bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor yang tipis. Bahan yang digunakan yaitu
perak, tetapi jika dianalisis dalam waktu yang lama maka lebih baik digunakan emas
atau campuran emas dan palladium (Callister, 1999). Pengujian SEM menghasilkan
gambar mikrostruktur dan komposisi unsur kimia dalam paduan material. Berikut ini
merupakan salah satu gambar mikrostruktur SEM yang dilakukan oleh (Iordache et
al., 2015).
18
Gambar 2.10. Morfologi dari permukaan komposit Mag-CSg-HA (A), Mag-CSg-
BMA (B) dan Mag-CSg-BA (C) (Iordache et al., 2015).

2.10. Difraksi Sinar-X


Difraksi sinar-X merupakan metode analisis material padat yang digunakan
untuk mengetahui pola difraksi material tersebut. Sinar-X dihasilkan dalam tabung
sinar katoda ketika elektron-elektron berenergi tinggi mengenai target-target logam.
Ketika sinar-X difokuskan ke satu sampel polimer, maka terjadi dua tipe hamburan.
Jika sampel tersebut Kristal, sinar-X dihamburkan secara koheren atau tidak ada
perubahan panjang gelombang atau fasa antara sinar-sinar insiden dan yang
dihamburkan. Hamburan koheren dinyatakan sebagai difraksi sinar-X. Jika sampel
memiliki morfologi yang nonhomogen (semi kristal), hamburan tersebut tidak
koheren atau terjadi perubahan panjang gelombang dan fasa. Hamburan koheren
ditetapkan dengan pengukuran sudut lebar dan hamburan tak koheren dengan
pengukuran sudut kecil. Ketika derajat kristalinitas naik, cincin-cincin menjadi
terdefinisi dengan lebih tajam, dan ketika kristalit-kristalit diorientasikan lingkaran
tersebut memberikan cara ke pola busur dan spot yang lebih menyerupai pola-pola
difraksi senyawa Kristal berat molekul rendah (Stevens, 2007). Dasar dari
penggunaan difraksi sinar-X untuk mempelajari kisi Kristal adalah berdasarkan
Hukum Bragg, yaitu:
λ = 2d sin θ…….(3)
19
Gambar 2.11. Proses penghamburan sinar-X oleh bidang

2.11. Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis)


Spektroskopi adsorpsi ultraviolet tampak digunakan untuk deteksi pengukuran
secara kuantitatif kromofor-kromofor yang menjalani transisi. Karena sensitivitasnya,
spektroskopi UV tampak sangat bermanfaat dalam identifikasi dan analisis dalam
polimer-polimer atau monomer residu, inhibitor, antioksidator, dan lain-lain (Stevens,
2007). Sebuah foton berenergi tinggi dalam daerah ultraviolet dapat mementalkan
sebuah electron terluar dari sebuah atom atau molekul. Energi yang cukup untuk
mengionkan atom-atom akan juga cukup untuk mengionkan molekul. Energi yang
lebih rendah cukup untuk mengeksitasi elektron dari permukaan energi rendah ke
tinggi dan menimbulkan spektra absorpsi elektronik. Dalam molekul-molekul seperti
dalam atom-atom, eksitasi elektronik membutuhkan energi dalam jangka 1,5 ke 8,0
eV. Energi-energi ini dikaitkan dengan foton-foton dalam daerah Nampak dan bagian
energi rendah dari daerah ultraviolet (Keenan, 1980 ).
Absorpsi energi yang terekam pada spektroskopi UV-Vis direkam sebagai
absorbans yang didefinisikan sebagai berikut:
𝐼
𝐴 = log 𝐼0………(4)

A = absorbans
𝐼0 = intensitas berkas cahaya rujukan

20
𝐼 = intensitas berkas cahaya ( absorbans senyawa pada panjang gelombang tertentu
akan bertambah dengan banyaknya molekul yang mengalami transisi )

Kepekatan sampel dan panjangnya sel sampel dapat didefinisikan sebagai berikut:

𝐴
𝜀= ………(5)
𝑐𝑙

Dimana, 𝜀 merupakan absorptivitas molar, 𝐴 adalah absorbans, 𝑐 yaitu konsentrasi


dan 𝑙 merupakan panjang sel (Fessenden dan Fessenden, 1986).

21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fisika yang ada di
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah
Kuala, Darussalam, Banda Aceh, mulai dari Februari 2018 sampai Juni 2018.

3.2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian


Jadwal pelaksanaan penelitian diuraikan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Bulan
No Kegiatan
1 2 3 4
1 Persiapan alat dan bahan
2 Penyiapan pasir besi dan
pemurniannya
3 Proses pembuatan adsorben
khitosan magnetik
4 Karakterisasi sampel
5 Pengujian adsorpsi pada
metilen biru
6 Penulisan skripsi dan jurnal

3.3. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, peralatan kaca, pH meter,
oven, syringe, hot plate, magnetic stirrer, spektrofotometer UV-Vis, SEM (Scanning
Elektron Microscope), FTIR (Fourier Transform Infra Red), XRD (X-Ray
Diffraction).

22
Bahan-bahan yang digunakan adalah khitosan, asam asetat, ammonia, HCl,
HSO3Cl, NAOH, H2SO4 dan dimetilformamida (DMF). Aquades, metilen biru,
epiklorohidrin, dan pasir besi yang diambil dari pantai Syiah kuala.

3.4. Prosedur Kerja


3.4.1. Isolasi Fe3O4 dari pasir besi
Pasir besi ditarik dengan menggunakan magnet batang dan dilapisi dengan
kertas sehingga pasir besi yang mengandung Fe3O4 akan menempel di bawah kertas.
Cara ini diulang berkali kali hingga dihasilkan pasir besi yang mengandung Fe3O4
sebanyak kurang lebih 100 gram. Pasir besi tersebut dilarutkan dengan HCl 12 M
sebanyak 35 mL dan di stirrer selama 2 jam. Kemudian disaring dan diambil
filtratnya. Filtrat yang diperoleh selanjutnya ditambahkan ammonia dan di stirrer
kembali selama 2 jam pada suhu 70°C. Selanjutnya dicuci berulang kali
menggunakan aquades lalu disaring dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada
suhu 70°C selama 2 jam (Sholihah, 2010).

3.4.2. Preparasi khitosan sulfonat termodifikasi pasir besi dan epiklorohidrin


khitosan sebanyak 1 gram, dilarutkan dengan asam asetat 2% sebanyak 100
mL dan distirrer selama 3 jam. Kemudian ditambahkan HSO3Cl/dimetilformamida
(v/v ½) sambil distirrer kembali selama 7 jam. Setelah itu ditambahkan pasir besi dan
distirrer kembali selama 2 jam. Selanjutnya campuran tersebut dimasukan ke dalam
syringe dan kemudian diteteskan ke dalam larutan NaOH 2 M dengan pH 8,
microsphere yang terbentuk kemudian dicuci sampai pH netral. Kemudian
ditambahkan epiklorohidrin sebanyak 1 mL, dan distrirrer selama 2 jam pada suhu
70°C. Setelah itu dibiarkan hingga mencapai suhu ruangan dan disaring serta dicuci
dengan aquades hingga netral.

23
Tabel 3.2. Komposisi khitosan, HSO3Cl, dimetilformamida, pasir besi serta waktu
Kontak sulfonasi khitosan.

Khitosan Epiklorohidrin HSO3Cl Pasir Besi


Komposit
(gram) (mL) (mL) (gram)
1 1 1 15 0,05
2 1 1 20 0,05
3 1 1 25 0,05
4 1 1 15 0,1
5 1 1 20 0,1
6 1 1 25 0,1
7 1 1 15 0,15
8 1 1 20 0,15
9 1 1 25 0,15

3.4.3. Karakterisasi komposit khitosan magnetik tersulfonasi


Adsorben khitosan magnetik berikat silang epiklorohidrin yang diperoleh
selanjutnya dikarakterisasi dengan FT-IR, SEM, XRD.
a. Fourier Transform Infra Red (FT-IR)
Analisa menggunakan FT-IR (Agilent Technologies Cary 630 FTIR) pada
kisaran spektra 4000-400 cm-1 . Analisa ini bertujuan untuk menentukan gugus fungsi
yang terkandung pada komposit khitosan magnetik tersulfonasi yang berikatan silang
dengan epiklorohidrin. Analisa ini akan dilakukan di laboratorium instrumentasi
FMIPA Kimia. Sampel ditempatkan ke dalam set holder dan diatur spektrum yang
sesuai. Kemudian difraktogram akan memunculkan hasil yang menunjukan hubungan
antara bilangan gelombang dengan intensitas. Identifikasi puncak dapat dilakukan
dengan mengamati %T terhadap bilangan gelombang.
b. Scanning Electron Microscopy (SEM)
Analisa menggunakan SEM pada penelitian ini untuk mengetahui morfologi
dan distribusi permukaan komposit khitosan magnetik tersulfonasi. Analisa ini

24
dilakukan di laboratorium FMIPA Institut Teknologi Bandung dengan pembesaran
fokus diatur 500x sampai 5000x pada 15 kV. Sampel ditempatkan pada set holder
dengan perekat ganda, dan dilapisi dengan logam emas atau palladium dalam
keadaan vakum. Kemudian sampel dimasukan dalam tempat sampel di dalam SEM.
c. X-Ray Diffraction (XRD)
Analisa menggunakan XRD (Merk Pan Analytical, Exprert Pro) pada
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat kristalin dari komposit khitosan
magnetik tersulfonasi. Analisis ini dilakukan di Laboratorium Fisika Material FMIPA
UNSYIAH. Sampel disinari sinar X dengan sudut 2θ menggunakan radiasi Cu pada
40 kV dan 30 mA.

3.4.4. Pembuatan stok larutan metilen biru 1000 ppm


1 gram metilen biru dimasukan ke dalam labu ukur 1000 mL dan diencerkan
dengan akuades hingga tanda batas labu ukur.

3.4.5. Pembuatan Larutan Standar


10 mL larutan stok metilen biru diencerkan dengan akuades dalam labu ukur
100 mL untuk memperoleh konsentrasi 100 ppm pada metilen biru.

3.4.6. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum


Larutan metilen biru 100 ppm ditentukan panjang gelombang maksimumnya
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 640-680
nm

3.4.7. Pembuatan Kurva Kalibrasi


Larutan standar metilen biru yang digunakan yaitu 0,5 ppm, 1 ppm, 1,5 ppm,
2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm. Panjang gelombang yang digunakan yaitu panjang
gelombang maksimum yang telah ditentukan sebelumnya dan dicatat hasil dari
absorbansinya.

3.4.8. Proses adsorpsi metilen biru


a. Penentuan waktu kontak optimum

25
0,1 gram adsorben khitosan magnetik tersulfonasi dimasukan ke dalam 15 mL
larutan metilen biru 50 ppm pada erlenmeyer 250 mL. Selanjutnya diaduk
menggunakan shaker dengan variasi waktu kontak yaitu 5 menit, 10 menit, 15 menit,
20 menit, 25 menit, dan 30 menit pada kecepatan 250 rpm. Kemudian dipisahkan
adsorben dengan menggunakan magnet permanen dan filtrat yang dihasilkan diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang
maksimum.
b. Penentuan pH optimum
0,1 gram adsorben khitosan magnetik tersulfonasi dimasukan ke dalam 15 mL
larutan metilen biru 50 ppm pada erlenmeyer 250 mL. Larutan metilen biru diatur
pH masing-masing sebesar 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 dengan menambahkan HCl dan
NAOH. Kemudian campuran diaduk menggunakan shaker dengan kecepatan 250
rpm pada waktu kontak optimum. Selanjutnya dipisahkan adsorben menggunakan
magnet permanen dan diukur absorbansi metilen biru menggunakan UV-Vis pada
panjang gelombang maksimum.
c. Penentuan kapasitas serapan maksimum (qmax)
0,1 gram adsorben khitosan magnetik tersulfonasi dimasukan ke dalam 15 mL
larutan metilen biru pada erlenmeyer 250 mL dengan konsentrasi metilen biru
masing-masing 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, dan 100 ppm dengan parameter
lain yang sama. Selanjutnya diaduk menggunakan shaker dengan kecepatan 250 rpm
dan dipisahkan adsorbennya menggunakan magnet permanen serta diukur absorbansi
filtrat yang dihasilkan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum. Ditentukan nilai qmaks dengan menggunakan persamaan
Langmuir.

d. Uji Regenerasi
Adsorben yang telah digunakan pada proses adsorpsi metilen biru dimasukan
ke dalam larutan H2SO4 3 M selama 90 menit kemudian dicuci menggunakan
aquades sampai netral. Selanjutnya dikeringkan dan digunakan adsorben tersebut
untuk proses adsorpsi kembali.

26
3.5. Rincian Biaya Penelitian
Tabel 3.3. Perincian dana penelitian
No Jenis Pengeluaran Unit Harga Satuan Harga Total
(Rp) (Rp)
1 Administrasi
Log Book 2 Buah 15.000 30.000
Cetak Skripsi 8 Rangkap 35.000 280.000
2 Bahan dan Peralatan
NaOH 100 gram 464 46.400
HCl 1 Liter 332.000 332.000
Asam Asetat 1 Liter 388.000 388.000
Aquades 50 Liter 3.000 150.000
Kertas Saring 5 Lembar 15.000 75.000
Khitosan 100 gram 8000 800.000
Ammonium 1 Liter 216.000 216.000
Magnet Batang 3 Buah 30.000 90.000
Metilen Biru 3 gram 62.500 187.000
Epiklorohidrin 250 mL 1.350 336.800
H2SO4 500 mL 1.700 827.500
Dimetilformamida 500 mL 2.210 1.105.000
3 Operasional Penelitian
Uji SEM 3x 250.000 750.000
Uji FT-IR 3x 75.000 225.000
Uji XRD 3x 200.000 600.000
Total Biaya (Rp) 6.438.700

27
DAFTAR PUSTAKA

Adamson, A.W. 1990. Physical Chemistry of Surface. John Wiley and sons, New
York.
Alauhdin, M. 2014. Sintesis dan Modifikasi Lapis Tipis Khitosan-Tripolifosfat.
Jurnal MIPA. 37(1) : 46-52.
Atkins, P. W. 1999. Kimia Fisika edisi kedua. Terjemahan dari Physical Chemistry,
Oleh Kartahadiprojo Irma I. Erlangga, Jakarta.
Afdal, and Lusi Niarti. 2012. “Karakterisasi Sifat Magnet Dan Kandungan Mineral
Pasir Besi Sungai Batang Kuranji Padang Sumatera Barat.” Jurnal Ilmu Fisika
(JIF) 4 (1): 24–30.
Ahmad M., Usman A. R. A., Lee S.S., Kim S.C., Joo J. H., 2010. Eggshell and Coral
Waste As Low Cost Sorbents For The Removal Of Pb2+, Cd2+, and Cu2+ From
Aqueous Solution. Journal Of Industrial and Engineering Chemistry: 198-204.
Amma, Desy, Nur Aulia, Anis Shofiyani, and Titin Anita Zaharah. 2017. “Penentuan
Stabilitas Kimia Dan Termal Membran Komposit Kitosan Tercetak Ion Logam
Pada Permukaan Karbon” 6 (4).
Bilalodin, Bilalodin. 2010. “Kajian Sifat Magnetik Dari Pasir Besi Pantai Logending
Kabupaten Kebumen.” Molekul 5 (2): 105-108
Calagui, Mary Jane C, Delia B. Senoro, Chi Chuan Kan, Jonathan W L Salvacion,
Cybelle Morales Futalan, and Meng Wei Wan. 2014. “Adsorption of indium(III)
Ions from Aqueous Solution Using Chitosan-Coated Bentonite Beads.” Journal
of Hazardous Materials 277. Elsevier B.V.: 120–26.
Callister, W. D. 1999. Material Science and Enginering An Introduction. Jhon Wiley
and Son, Inc. USA.
Day, R.A. and Underwood, A.L. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif edisi keenam.
Terjemahan dari Quantitative Analysis, oleh Iis Sofyan, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Emami, Zahraalsadat, Mohammad Imani, and Mohammad Atai. 2013. “Kinetics of
Dextran Crosslinking by Epichlorohydrin : A Rheometry and Equilibrium
Swelling Study.” Carbohydrate Polymers 92 (2). Elsevier Ltd.: 1792–98.
Fessenden, R. J. dan Fessenden, J. S. 1986. Kimia Organik Edisi Ketiga. Terjemahan
dari Organik Chemistry, Third Edition, oleh Aloysius Hadyana Pudjaatmaka,
Penerbit Erlangga, Jakarta.

28
Hadayani, Lilik Wuri, Indah Riwayati, and Rita Dwi Ratnani. 2015. “Adsorpsi
Pewarna Metilen Biru Menggunakan Senyawa Xanthat Pulpa Kopi.” PhD
Proposal 11 (c): 19–23.
Haldorai, Yuvaraj, and Jae Jin Shim. 2014. “An Efficient Removal of Methyl Orange
Dye from Aqueous Solution by Adsorption onto chitosan/MgO Composite: A
Novel Reusable Adsorbent.” Applied Surface Science 292: 447–53.
Handayani, Murni, and Sulistiyono, Eko. 2009. Uji Persamaan Langmuir dan
Freundlich Pada Penyerapan Limbah Chrom (VI) Oleh Zeolit. Sains dan
Teknologi Nuklir. 129-136.
Hart, H and Leslie E. 2003. Kimia Organik. Diterjemahkan Oleh Suminar Setiati
Achmad. Erlangga. Jakarta
Herliati. 2017. "Kajian Kinetika Pembuatan Epiklorohidrin". Konversi. 6 (1): 13-18
Iordache, M. L., G. Dodi, D. Hritcu, D. Draganescu, O. Chiscan, and M. I. Popa.
2015. “Magnetic Chitosan Grafted (Alkyl Acrylate) Composite Particles:
Synthesis, Characterization and Evaluation as Adsorbents.” Arabian Journal of
Chemistry. King Saud University.
Ismail, Bushra, Syed Tajammul Hussain, and Sohaib Akram. 2013. “Adsorption of
Methylene Blue onto Spinel Magnesium Aluminate Nanoparticles: Adsorption
Isotherms, Kinetic and Thermodynamic Studies.” Chemical Engineering
Journal 219: 395–402.
Jalil, Zulkarnain, Eva Novita Sari, Ismail A B, and Erfan Handoko. 2016. “Phase
Composition and Magnetic Behaviour of Iron Sand from Syiah Kuala Beach
Prepared by Mechanical Alloying.” Indonesian Journal of Applied Physics 4 (1):
110-114
Jauris, Iuri M, Solange B Fagan, Matthew A Adebayo, and Fernando M Machado.
2016. “Adsorption of Acridine Orange and Methylene Blue Synthetic Dyes and
Anthracene on Single Wall Carbon Nanotubes : A First Principle Approach.”
Computational And Theoretical Chemistry 1076. Elsevier B.V.: 42–50.
Jayasantha Kumari, H., P. Krishnamoorthy, T. K. Arumugam, S. Radhakrishnan, and
D. Vasudevan. 2017. “An Efficient Removal of Crystal Violet Dye from Waste
Water by Adsorption onto TLAC/Chitosan Composite: A Novel Low Cost
Adsorbent.” International Journal of Biological Macromolecules.
doi:10.1016/j.ijbiomac.2016.11.077.
Karnib, M, Ahmad K, Hanafy H. and Zakia O., 2014. Heavy Metals Removal Using
Activated Carbon, Silica and Silica Activated Carbon Composite. Energy
Procedia. 50 (8): 113-120.
Kartika, M. D., Hidayah, R. 2015. "Preparasi Dan Karakterisasi Komposit Kitosan-
29
ZnO/Al2O3". Jurnal Inovasi. 10 (1): 9-18.
Keenan, Charles W., 1980. General College Chemistry. Harper & Row. Inc.
Kroschwitz, J. 1990. Polymer Characterization and Analysis. John Wiley and Sons,
Inc., Canada
Kurniasih, Mardiyah, and Dwi Kartika. 2011. “Sintesis dan Karakterisasi Fisika-
Kimia Kitosan”. Jurnal Inovasi 5 (1): 42–48.
Laus, Rogério, Thiago G Costa, Bruno Szpoganicz, and Valfredo T Fávere. 2010.
“Adsorption and Desorption of Cu ( II ), Cd ( II ) and Pb ( II ) Ions Using
Chitosan Crosslinked with Epichlorohydrin-Triphosphate as the Adsorbent”
183: 233–241.
Liu, Yi, Yian Zheng, and Aiqin Wang. 2010. “Enhanced Adsorption of Methylene
Blue from Aqueous Solution by Chitosan-G-Poly (Acrylic Acid)/vermiculite
Hydrogel Composites.” Journal of Environmental Sciences 22 (4): 486–93.
Luis A. Ramirez, Montoya, V. Hernandez, Montes, A. Miguel. 2014. Optimizing The
Preparation Of Carbonaceous Adsorbents For The Selective Removal Of Textile
Dyes By Using Taguchi Methodology. Journal Of Analytical And Applied
Pyrolysis. 9-20.
Maharmani, F., Widhi, Woro Sumarni. 2003. "Kajian Termodinamika Penyerapan
Zat Warna Indikator Metil Oranye Larutan Air Oleh Kitosan. JSKA. 5 (2): 1–19.
Mohammad, A.M., Taher A. Salah Eldin, Mohammed A. Hassan and Bahgat E. El-
Anadouli. 2015. Efficient Treatment Of Lead-Containing Waste Water By
Hydroxyapatite/chitosan Nanostructures. Arabian Journal Of Chemistry: 1878-
5352
Monk, P.M.S. 2004. Physical Chemistry: Understanding or Chemical Word.
Manchesster Metropolitan University, UK.
Nisfayati, Rahmi, Marlina. 2007. "Pengaruh Penambahan Epiklorohidrin Terhadap
Sifat Mekanik dan Daya Serap Film Khitosan Sebagai Adsorben". Rekayasa
Kimia dan Lingkungan. 12 (1): 31-36.
Permanasari, Anna, Wiwi Siswaningsih, and Irnawati Wulandari. 2010. “Uji Kinerja
Adsorben Kitosan-Bentonit Terhadap Logam Berat.” Jurnal Sains Dan
Teknologi Kimia 1 (2): 121–34.
Raafat, Dina. 2008. “Chitosan as an Antimicrobial Compound: Modes of Action and
Resistance Mechansisms,” Dissertation. Universität Bonn.
Ramadhani, Alhusnalia, Muhdarina, Linggawati, Amilia. 2015. Kapasitas Adsorpsi
Metilen Biru Oleh Lempung Cengar Teraktivasi Asam Sulfat. FMIPA. 2 (1):
30
232-238
Riniati, N., Chamidy Harita. 2013. "Pembuatan Membran Kitosan Sulfonat Untuk
Aplikasi Direct Ethanol Fuel Cell". Skripsi. Politeknik Negeri Bandung.
Sabaruddin, A, Wulandari, ERN, Sulistyrati, H. 2012. “Jurnal MIPA.” Mipa 35
(215): 157–64.
Sari, Intan Permata, and Nurul Widiastuti. 2010. “Adsorpsi Methylen Blue Dengan
Abu Dasar Pt.ipmomi Probolinggo Jawa Timur Dan Zeolit Berkarbon.”
Sholihah, Lia Lurnia. 2010. “Sintesis Dan Karakterisasi Partikel Nano Fe3O4 Yang
Berasal Dari Pasir Besi Dan Fe3o4 Bahan Komersial (Aldrich).” Institute
Teknologi Sepuluh November.
Stevens, M.P. 2007. Kimia Polimer. Terjemahan dari Polimer Chemistry : An
Indroduction, oleh Iis Sopyan, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Teimouri, Abbas, Shima Ghanavati Nasab, Niaz Vahdatpoor, Saeed Habibollahi,
Hossein Salavati, and Alireza Najafi Chermahini. 2016. Chitosan /Zeolite
Y/Nano ZrO2 Nanocomposite as an Adsorbent for the Removal of Nitrate from
the Aqueous Solution. International Journal of Biological Macromolecules. Vol.
93.
Tirtom, Vedia Nüket, Ayşe Dinçer, Seda Becerik, Tülin Aydemir, and Ali Çelik.
2012. “Comparative Adsorption of Ni(II) and Cd(II) Ions on Epichlorohydrin
Crosslinked Chitosan-Clay Composite Beads in Aqueous Solution.” Chemical
Engineering Journal 197: 379–86.
Udoetok, Inimfon A, Raquel M Dimmick, Lee D Wilson, and John V Headley. 2016.
“Adsorption Properties of Cross-Linked Cellulose-Epichlorohydrin Polymers in
Aqueous Solution.” Carbohydrate Polymers 136. Elsevier Ltd.: 329–40.
Zhao, Weifeng, Xuelian Huang, Yilin Wang, Shudong Sun, and Changsheng Zhao.
2016. “A Recyclable and Regenerable Magnetic Chitosan Absorbent for Dye
Uptake.” Carbohydrate Polymers 150. Elsevier Ltd.: 201–8.
doi:10.1016/j.carbpol.2016.05.037.
Zulkarnain. 2000. “Kemungkinan Pemanfaatan Pasir Besi Pesisir Pantai Aceh Untuk
Fabrikasi Magnet.” Prosiding Seminar Nasional Bahan Magnet I, 59–61.

31
LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Penelitian

Khitosan Pasir Besi


ditambahkan asam asetat
diisolasi
ditambahkan HSO3Cl

Khitosan Tersulfonasi
Fe3O4

Khitosan sulfonat-Fe3O4

pembentukan ikat silang dengan


epiklorohidrin
Khitosan sulfonat-
Fe3O4/epiklorohidrin

1. Isolasi Fe3SO4 dari Pasir Besi

Pasir Besi

ditarik menggunakan magnet permanen

Pasir yang Pasir yang


tidak tertarik tertarik

ditimbang sebanyak 100 gram


dimasukan kedalam gelas kimia yang berisi 35 mL
HCl 12 M dan diaduk selama 2 jam
disaring larutan

32
Residu Filtrat

ditambahkan NH4OH dan di stirrer


selama 2 jam pada suhu 70°C
dicuci dengan aquades berulang kali
disaring dan dikeringkan dengan
menggunakan oven pada suhu 70°C
selama 2 jam.
Hasil

2. Preparasi Khitosan Sulfonat Termodifikasi Pasir Besi dan Epiklorohidrin

1 gram
khitosan

dimasukan ke dalam 100 mL asam asetat 2%


diaduk selama 3 jam menggunakan magnetic strirrer
dimasukan HSO3Cl/dimetilformamida dan diaduk (Tabel. 3.2)

ditambahkan pasir besi dan diaduk kembali selama 2 jam (Tabel. 3.2)
dimasukan campuran tersebut ke dalam syringe
diteteskan ke dalam NaOH 2 M pada pH 8
dicuci microsphere yang terbentuk hingga pH netral
ditambahkan epiklorohidrin sebanyak 1 mL dan distirrer selama 2
jam pada suhu 70°C
disaring dan dikeringkan

Hasil

3. Karakterisasi

a. Scanning Electron Microskopy (SEM)

33
Komposit
dilakukan karakterisasi strukturnya menggunakan SEM

Hasil

b. Fourier Transform Infra-Red (FT-IR)


Komposit
dilakukan pengujian FT-IR untuk menentukan gugus fungsi dari sampel

Hasil

c. X-Ray Diffraction (XRD)

Komposit

. dilakukan pengujian XRD untuk menentukan kristalinitas sampel

Hasil

4. Pembuatan Larutan Stok Metilen Biru Dengan Konsentrasi 1000 ppm


1 gram metilen biru
diencerkan dalam labu ukur 1000 mL dengan aquades

Larutan stok metilen biru dengan konsentrasi 1000 ppm

5. Pembuatan Larutan Standar


10 mL Larutan Stok
diencerkan dalam labu ukur 100 mL dengan aquades

Larutan baku 100 ppm

6. Penentuan Lamda Maksimum


Larutan Metilen Biru 100 ppm
ditentukan panjang gelombang maksimumnya dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 640-680 nm

Panjang gelombang maksimum

34
7. Pembuatan Kurva Kalibrasi

Larutan Metilen Biru 0,5, 1, 1,5, 2, 3 ppm


ditentukan absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang maksimum
Hasil

8. Uji Adsorpsi

a. Adsorpsi metilen biru dengan variasi waktu

0,1 gram adsorben

dimasukan ke dalam erlenmeyer yang berisi 15 mL larutan metilen


biru 50 ppm
diaduk menggunakan shaker dengan kecepatan konstan 250 rpm dan
waktu kontak 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit

dipisahkan adsorben menggunakan magnet

diambil filtratnya dan ditentukan absorbansinya menggunakan


Spektrofotometer UV-Vis
Hasil

b. Adsorpsi metilen biru dengan variasi pH

0,1 gram adsorben


dimasukan ke dalam erlenmeyer yang berisi 15 mL larutan metilen
biru 50 ppm pada kondisi pH 2, 4, 6, 8, 10, 12
diaduk menggunakan shaker dengan kecepatan konstan 250 rpm dan
waktu kontak optimum

dipisahkan adsorben menggunakan magnet

diambil filtratnya dan ditentukan absorbansinya menggunakan


Spektrofotometer UV-Vis

Hasil

35
c. Adsorpsi Metilen Biru dengan Variasi Konsentrasi

0,1 gram adsorben

dimasukan ke dalam erlenmeyer yang berisi 15 mL larutan metilen


biru dengan variasi konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm
diaduk menggunakan shaker dengan kecepatan konstan 250 rpm
dengan waktu kontak optimum dan pH optimum

dipisahkan adsorben menggunakan magnet

diambil filtratnya dan ditentukan absorbansinya menggunakan


Spektrofotometer UV-Vis
Hasil

9. Proses Regenerasi

Adsorben
dimasukan ke dalam larutan H2SO4 3 M selama 90 menit
dicuci menggunakan aquades sampai netral

dikeringkan dan digunakan adsorben untuk proses adsorpsi kembali

Hasil

36
Lampiran II. Perhitungan Konsentrasi Larutan Standar

1. Perhitungan kadar metilen biru untuk membuat larutan stok metilen biru dengan
kosentrasi 1000 ppm

𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔


𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑀𝑒𝑡𝑖𝑙𝑒𝑛 𝐵𝑖𝑟𝑢 =
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛

1000 𝑚𝑔 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑡𝑖𝑙𝑒𝑛 𝑏𝑖𝑟𝑢


=
1000 𝑚𝐿 1000 𝑚𝐿

1000 𝑚𝑔 .1000 𝑚𝐿
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑡𝑖𝑙𝑒𝑛 𝑏𝑖𝑟𝑢 =
1000 𝑚𝐿

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑡𝑖𝑙𝑒𝑛 𝑏𝑖𝑟𝑢 = 1000 𝑚𝑔 = 1 𝑔𝑟𝑎𝑚

2. Pembuatan larutan standar dari larutan stok metilen biru

𝑉1 × 𝑀1 = 𝑉2 × 𝑀2

𝑉2 × 𝑀2
𝑉1 =
𝑀1

100 𝑚𝐿 × 100 𝑝𝑝𝑚


𝑉1 =
1000 𝑝𝑝𝑚

= 10 𝑚𝐿

3. Pembuatan larutan metilen biru pada konsentrasi 80 ppm

𝑉2 × 𝑀2
𝑉1 =
𝑀1

50 𝑚𝐿 × 80 𝑝𝑝𝑚
𝑉1 =
1000 𝑝𝑝𝑚

= 4 𝑚𝐿

4. Pembuatan larutan metilen biru pada konsentrasi 60 ppm

𝑉2 × 𝑀2
𝑉1 =
𝑀1
37
50 𝑚𝐿 × 60 𝑝𝑝𝑚
𝑉1 =
1000 𝑝𝑝𝑚

= 3 𝑚𝐿

5. Pembuatan larutan metilen biru pada konsentrasi 40 ppm

𝑉2 × 𝑀2
𝑉1 =
𝑀1

50 𝑚𝐿 × 40 𝑝𝑝𝑚
𝑉1 =
1000 𝑝𝑝𝑚

= 2 𝑚𝐿

6. Pembuatan larutan metilen biru pada konsentrasi 20 ppm

𝑉2 × 𝑀2
𝑉1 =
𝑀1

100 𝑚𝐿 × 20 𝑝𝑝𝑚
𝑉1 =
1000 𝑝𝑝𝑚

= 2 𝑚𝐿

7. Pembuatan larutan metilen biru pada konsentrasi 2,3 ppm

𝑉2 × 𝑀2
𝑉1 =
𝑀1

50 𝑚𝐿 × 2,3 𝑝𝑝𝑚
𝑉1 =
20 𝑝𝑝𝑚

= 5,75 𝑚𝐿

8. Pembuatan larutan metilen biru pada konsentrasi 1,5 ppm

𝑉2 × 𝑀2
𝑉1 =
𝑀1

50 𝑚𝐿 × 1,5 𝑝𝑝𝑚
𝑉1 =
20 𝑝𝑝𝑚

= 3,75 𝑚𝐿
38
9. Pembuatan larutan metilen biru pada konsentrasi 1 ppm

𝑉2 × 𝑀2
𝑉1 =
𝑀1

50 𝑚𝐿 × 1 𝑝𝑝𝑚
𝑉1 =
20 𝑝𝑝𝑚

= 2,5 𝑚𝐿

10. Pembuatan larutan metilen biru pada konsentrasi 0,5 ppm

𝑉2 × 𝑀2
𝑉1 =
𝑀1

50 𝑚𝐿 × 0,5 𝑝𝑝𝑚
𝑉1 =
20 𝑝𝑝𝑚

= 1,25 𝑚𝐿

39

Anda mungkin juga menyukai