Anda di halaman 1dari 4

MODEL PEMBELAJARAN PEMEROLEHAN KONSEP

Pembelajaran Pemerolehan Konsep : Berpikir Kritis dan Metode Ilmiah


Mengembangkan pemikiran kritis adalah tujuan semua model dalam buku ini. Dengan
Model Pemerolehan Konsep, mengembangkan pemikiran kritis adalah tujuan utamanya.
Model ini dirancang secara unik untuk memberikan praktik kepada para siswa dengan
menggunakan metode ilmiah, merupakan pola piker yang menekankan pada pertanyaan,
mengembangkan hipotesis untuk menjawab pertanyaan, dan menguji hipotesis dengan data.
Gambaran umum dari metode ilmiah diuraikan pada Gambar 6.4.
Gambar 6.4
Metode Ilmiah

Melakukan Pengamatan

Membuat Hipotesis

Mengumpulkan Data
untuk Menguji Hipotesis

Memodifikasi, Menolak,
dan Membuat Hipotesis
Baru

Mengumpulkan Data
Tambahan

Menilai Hipotesis dan


Membentuk Kesimpulan
Akhir

Metode ilmiah ini banyak dijelaskan di awal teks sains, tetapi siswa mendapatkan
pengalaman yang sangat sedikit dengan proses yang sebenarnya. Bahkan mereka sering
menghafal langkah-langkah metode ilmiah saat masuk sekolah selama minggu pertama,
mengikuti kuis dimana mereka diminta untuk mengidentifikasi atau menuliskan langkah-
langkahnya, kemudian mereka melupakannya sepanjang sisa tahun ini. Para siswa hampir
tidak memiliki pengalaman dengan proses di bidang konten selain sains. Model Pemerolehan
Konsep dapat digunakan untuk memberikan siswa pengalaman menggunakan metode ilmiah
hampir di bidang konten dan topik apapun.
Mari kita lihat bagaimana Jeff memberikan latihan kepada siswanya dengan
menggunakan metode ilmiah. Pertama, dia memberikan siswa data contoh dan bukan contoh
dalam pelajarannya, kemudian meminta siswa membuat label hipotesis untuk konsep yang
ada dalam pemikirannya. Setelah siswa menawarkan hipotesisnya, dia memberi mereka data
tambahan yang lebih banyak berupa contoh dan bukan contoh, dan membimbing siswa
menganalisis berdasarkan data tambahan. Sementara proses ini disederhanakan dibandingkan
dengan studi yang rumit dalam sains.
Proses ini juga memiliki aplikasi praktis untuk kehidupan sehari-hari. Misalnya,
anggap Anda mengalami sakit bawah punggung, dan ahli terapi fisik mengatur serangkaian
latihan yang dirancang untuk menghilangkan ketidaknyamanan. Terapis, pada kenyataannya
adalah hipotesis, bahwa latihan akan memecahkan masalah. Anda kemudian melakukan
latihan, tetapi rasa sakit yang dirasakan terus berlanjut sehingga ahli terapis mengatur
serangkaian latihan yang berbeda, dan lihatlah, itu bekerja. Rangkaian latihan yang asli dan
rasa sakit yang menetap adalah data yang mengarah pada penolakkan hipotesis pertama dan
pembentukkan yang baru. Yang baru didukung oleh data tambahan, karena rasa sakitnya
hilang.
Untuk menguraikan diskusi ini sedikit lebih banyak, mari kita lihat kembali
percakapan Jeff dengan siswa-siswanya setelah pelajaran.
“Kami sedang mempelajari proses fundamental di sini yang membantu kami hidup
lebih baik sebagai hasil dari pemikiran yang lebih jauh”, Jeff berkomentar. “Misalnya
ayah Anda memutuskan untuk membenarkan Anda memasak oatmeal untuk sarapan,
bukan sereal yang lain, karena di kotak itu dikatakan bahwa oatmeal tidak memiliki
minyak sayur terhidrogenasi parsial di dalamnya, dibandingkan sereal lainnya. Sama
seperti Anda yang menggunakan informasi dalam latihan ini untuk mengarahkan
pemikiran Anda, ayah Anda menggunakan informasi tentang minyak sayur
terhidrogenasi parsial dalam sereal untuk menolak sereal yang lainnya atas dasar itu.
Perhatikan contoh oatmeal, dan kami akan mengingatkan diri kami tentang hal itu dan
orang lain saat kami melakukan pelajaran seperti ini.”
Jeff kemudian membantu para siswa memahami metode ilmiah sedikit lebih
mendalam. Mari kita lihat usahanya.
Dia melanjutkan. “Mari kita kembali ke pelajaran kita untuk sesaat. Misalkan, kita
telah berhipotesis bahwa metafora adalah konsepnya, dan beberapa contohnya
memang metafora, tetapi beberapa waktu kemudian kami menemukan kalimat yang
diberi tahu adalah contoh, tapi itu bukan metafora. . . . Lalu apa?”
“. . .Saya kira kita akan mencoret metafora,” Wendy menawarkan ketidakpastian.
“Ya, itu tepat sekali,” Jeff menjawab. “Sebuah hipotesis dapat diterima selama semua
data, semua contoh konsep, dalam kasus ini mendukungnya, tetapi kami harus
menolak hipotesis jika hanya satu item dari data yang tidak mendukungnya. . . . Jadi
secara teknis, Anda tidak pernah benar-benar membuktikan hipotesis. Anda hanya
dapat mengumpulkan lebih banyak data yang mendukungnya. Anda akan memahami
proses analisis hipotesis yang lebih baik dan lebih dari yang kita lakukan saat ini,”
Jeff meyakinkan para siswanya.
Dalam diskusi singkat ini, Jeff membantu para siswanya memahami beberapa prinsip
dasar dalam filsafat sains-bukan sains sebagai bidang konten, tetapi sains sebagai pola
berpikir. Berlatih pemikiran semacam ini menangkap beberapa tujuan dalam gerakan
Keterampilan Abad 21 yang sedang ditekankan di seluruh Amerika Serikat (Partnership for
21st Century Skills, 2009).

Meningkatkan Motivasi Belajar dengan Pembelajaran Pemerolehan Konsep


Motivasi dan prestasi saling berkaitan, apapun yang bisa dilakukan guru untuk
mendorong motivasi peserta didik yang berkontribusi terhadap pembelajaran. Kegiatan
Pemerolehan Konsep dapat memotivasi siswa karena terdapat teka-teki intelektual, dimana
siswa menggunakan petunjuk (contoh dan bukan contoh) untuk mengidentifikasi gagasan
(konsep) yang ada dalam pemikiran gurunya. Rasa yang mendorong minat, rasa ingin tahu,
dan rasa tantangan, dan memecahkan masalah (pada akhirnya identifikasi konsep) secara
intelektual dan emosional memuaskan. Kegiatan ini dapat digunakan untuk menambah
variasi pada aktivitas di kelas, yang juga meningkatkan motivasi siswa (Stipek, 2002).

Meningkatkan Motivasi dengan Kelompok Belajar Siswa


Pembelajaran Pemerolehan Konsep juga dapat memanfaatkan efek motivasi siswa
yang bekerja sama. Misalnya, Jeff menerapkan pembelajarannya sebagai kegiatan kelas
penuh, dia dapat dengan mudah meminta siswa bekerja berpasangan atau kelompok bertiga
untuk membuat daftar hipotesis setelah dia mempresentasikan dua contoh pertamanya.
Membiarkan siswa bekerja dalam kelompok dapat meningkatkan keterlibatan siswa, dan juga
meningkatkan motivasi.
Mengatur siswa ke dalam kelompok itu mudah, kelompok dapat duduk bersama, dan
masing-masing kelompok dapat didorong untuk menganalisis contoh dan berbagi pemikiran
mereka. Kelompok-kelompok tersebut dapat melaporkan hipotesis mereka ke seluruh kelas,
kemudian hipotesis tersebut dapat disusun menjadi daftar keseluruhan. Setelah Jeff
mempresentasikan contoh keduanya, kelompok diminta untuk memutuskan mana yang harus
diterima dan mana yang harus ditolak. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan perilaku dalam
tugas, mereka diarahkan untuk menuliskan alas an mengapa mereka menerima atau menolak
hipotesis dalam setiap kasus. Ini akan memanfaatkan pemikiran kritis dan memberikan siswa
praktik dalam bekerja sama, dan ini memerlukan sedikit usaha tambahan dari guru.

Mengembangkan Regulasi Diri dengan Pembelajaran Pemerolehan Konsep


Aktivitas Pemerolehan Konsep juga dapat digunakan untuk meningkatkan
metakognisi siswa dan regulasi diri. Metakognisi adalah kesadaran dan kontrol siswa
terhadap proses mental mereka. Mengembangkan kemampuan metakognitif pada siswa
penting, karena dapat berkontribusi pada pengaturan (regulasi) diri peserta didik, penggunaan
startegi mental individu yang dirancang untuk meningkatkan pemikiran dan pembelajaran.
Pembelajar mandiri dapat mengatur tanggung jawab mereka untuk kemauan belajar sendiri
dan menyesuaikan strategi pembelajaran mereka untuk memenuhi tuntutan tugas (Bruning et
al., 2004). Kegiatan belajar Pemerolehan Konsep dapat mengembangkan pengaturan
(regulasi) diri siswa karena begitu banyak penekanan pemikiran kritis di dalamnya.
Jeff berusaha membantu murid-muridnya mengembangkan kemampuan metakognitif
mereka ketika dia membandingkan proses pengujian hipotesis dalam pelajarannya dengan
proses pengambilan keputusan sederhana yang terlibat dalam memilih oatmeal daripada
sereal lainnya. Contoh sederhana ini adalah langkah pertama dalam membantu siswa menjadi
sadar dalam membuat kesimpulan dan keputusan berdasarkan informasi, bukan hanya iseng,
emosi, kepercayaan, atau sesuatu yang berpotensi merusak, seperti stereotipe (mengklisekan).
Selain itu, mendorong siswa untuk berpikir tentang pemikiran mereka sendiri memabntu
mereka menyadari bahwa proses yang mereka libatkan memiliki kegunaan di luar kelas.
Mengembangkan kemampuan metakognitif dan pengaturan (regulasi) diri akan
membutuhkan lebih dari satu contoh yang kita lihat dalam pelajaran Jeff, tentu saja, tetapi
jika siswa diberikan dengan pengalaman yang sedang berlangsung, kemampuan ini akan
berkembang secara bertahap. Hal yang sama berlaku untuk pembangunan segala bentuk
pengetahuan dan keterampilan.

Anda mungkin juga menyukai