Anda di halaman 1dari 26

makalah

Ipa terpadu

“pemanfaatan bahan sederhana


sebagai alat peraga pada materi
pelapukan batuan”

Disusun oleh :
1. P. ayu suci lestari (fisika)
2. Nurul ihsani (biologi)
3. Mina sari (kimia)

Program studi magister pendidikan ipa


Program pascasarjana
Universitas mataram
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya meski
tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
akademis bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah IPA Terpadu tahun ajaran 2017.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang
telah membantu kelancaran pembuatan makalah ini.
Mengingat kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, baik dari
segi penyajian isi maupun dalam ketatabahasaan, maka kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang membangun demi perbaikan selanjutnya.
Demikian makalah ini kami susun, semoga dapat dimanfaatkan sebagaimana
mestinya. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan dan penulisan
kalimat dalam makalah ini.

Mataram, November 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 3
B. Tujuan.................................................................................................................... 4
C. Ruang Lingkup Masalah (Rumusan Masalah) ...................................................... 4
BAB II ANALISA SISTEM DAN PERMASALAHAN (PEMBAHASAN) ................. 5
A. Jenis-Jenis Batuan ................................................................................................. 5
B. Pelapukan Batuan .................................................................................................. 8
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelapukan Batuan ........................................ 8
D. Kajian Pelapukan Batuan pada IPA Terpadu ........................................................ 9
E. Alat Peraga Sederhana Pelapukan Batuan ............................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 32

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi
pembangunan bangsa suatu Negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah dimana
terdapat keterlibatan guru sebagai pengajar sekaligus pendidik dengan siswa sebagai peserta
didik yang diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar. Dalam konteks
penyelenggaraan pembelajaran, guru secara sadar merencanakan kegiatan belajar
mengajarnya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkat aturan dan rencana tentang
pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum (Kusumawati, 2013:1).
Sains (IPA) ialah suatu cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk
menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan dan
memiliki sikap ilmiah (Putra, 2013:47). Hal ini juga didukung oleh pendapat Sudarmoko
(2013: 1) yang menyatakan bahwa IPA adalah suatu ilmu pengetahuan yangmempelajari
tentang alam dan berkarakteristik sistematis dalam eksperimennya. IPA juga tidak sekedar
pengetahuan tentang fakta serta konsep semata, tetapi suatu proses pembetukan pengalaman
belajar berupa proses penemuan atau percobaan yang dilakukan secara sistematis.
Salah satu konsep konkret dalam IPA adalah pada materi pelapukan batuan.
Termasuk konkrit karena dalam materi pelapukan batuan tidak semua benda dan situasi
tersebut dapat dihadirkan dalam proses belajar mengajar. Keterbatasan ini terjadi karena
atribut dari benda tersebut yang kompleks, dalam artian wujud benda yang dimaksud tidak
dapat dilihat langsung oleh siswa. Detail materi akan dirasa dapat dipahami dengan baik
oleh siswa apabila terdapat alat peraga yang berkaitan langsung dengan pembuktian konsep.
Proses pembelajaran IPA yang tepat diharapkan dapat membentuk keterampilan
maupun kemampuan berpikir dalam menemukan pemecahan secara kritis dan rasional
berdasarkan permasalahan di kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan pemahaman konsep
yang dipelajari (Wibowo dalam Sudarmoko: 3). Perlu diketahui, sebelum memasuki jenjang
pendidikan formal siswa juga telah memiliki konsep-konsep yang dipahaminya berdasarkan
pengalaman kesehariannya. Konsep-konsep yang didapatkan dari keseharian ini biasa
bersumber dari orang tua, teman, dan lingkungannya yang bisa jadi tidak sesuai dengan
konsep yang diyakini oleh para ahli (Berg, 1991:8), dan dinamakan dengan istilah
misonspsi. Hal ini juga didukung oleh pendapat Suparno (2005: 8) yang menyatakan bahwa
miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh para
ahli.

3
Oleh karena itu, pembelajaran IPA alangkah baiknya dirancang untuk mewujudkan
pengalaman belajar siswa, sehingga mampu membangun konsep awal (prakonsepsi) siswa
yang benar serta tidak menimbulkan miskonsepsi pada siswa setelah proses pembelajaran.
Salah satunya adalah pada materi Pelapukan Batuan yang ada pada jenjang SD kelas V
semester 2, yang sedikit disinggung kembali pada materi Zat dan Karakteristiknya di jenjang
SMP kelas VII semester 1 pada KD 3.3, dan keterkaitannya kembali disinggung sedikit pada
materi Konsep Reaksi Oksidasi pada jenjang SMA kelas X semester 2 pada KD 3.9.

B. Tujuan
Makalah ini kami susun dengan maksud selain untuk memenuhi tugas mata kuliah
IPA Terpadu, juga untuk membuat proyek berupa inovasi sederhana yang tercakup
komponen IPA Terpadu (Fisika, Kimia, dan Biologi) dan diupayakan dapat menjadi media
pembelajaran di sekolah-sekolah apabila dibutuhkan.

C. Ruang Lingkup Masalah (Rumusan Masalah)


1. Apa itu batuan dan jenis-jenisnya?
2. Apa itu pelapukan batuan?
3. Faktor apa saja yang mempengarugi pelapukan batuan?
4. Bagaimana kajiannya dalam bidang fisika, biologi, dan kimia?
5. Alat peraga apa yang dapat digunakan dalam membantu pemahaman konsep pelapukan
batuan?
6. Bagaimana peraran alat peraga tersebut dalam mengatasi miskonsepsi siswa?

4
BAB II
ANALISA SISTEM DAN PERMASALAHAN (PEMBAHASAN)

A. BATUAN
Batuan adalah kumpulan berbagai jenis batu yang ada pada suatu tempat, sedangkan
batu adalah benda bukan logam yang keras dan padat yang terbuat dari mineral. Umumnya
batu terbuat dari dua jenis mineral atau lebih. Batu membentuk lapisan luar bumi yang
disebut dengan kerak bumi. Komposisi mineral batuan menentukan kecepatan proses
pelapukan dan sifat bahan lapukan (Jamulya, 2004:57).
Kebanyakan batuan merupakan campuran mineral yang tergabung secara fisik satu
sama lain. Beberpa batuan terutama tersusun dari jenis mineral saja, dan sebagian kecil lagi
dibentuk oleh gabungan mineral, bahan organic, serta bahan-bahan vulkanik. Berdasarkan
kejadiannya, tekstur, dan komposisi mineralnya, menurut Nandi (2010:3) batuan dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Batuan Beku / Igneous Rocks
Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah jenis
batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan atau tanpa
proses kristalisasi, baik di bawah permukaan sebagai batuan intrusif (plutonik) maupun di
atas permukaan sebagai batuan ekstrusif (vulkanik). Magma ini dapat berasal dari batuan
setengah cair ataupun batuan yang sudah ada, baik di mantel ataupun kerak bumi.
Umumnya, proses pelelehan terjadi oleh salah satu dari proses-proses berikut: kenaikan
temperatur, penurunan tekanan, atau perubahan komposisi. Menurut Noor (2009:62) lebih
dari 700 tipe batuan beku telah berhasil dideskripsikan, sebagian besar terbentuk di
bawah permukaan kerak bumi. Berdasarkan tempat pembekuannya batuan beku
dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Batuan beku Ekstrusif (Vulkanik)
Batuan beku Ekstrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya berlangsung
dipermukaan bumi. Batuan beku ekstrusif ini yaitu lava yang memiliki berbagia
struktur yang memberi petunjuk mengenai proses yang terjadi pada saat pembekuan
lava tersebut.
b. Batuan beku Intrusif (Plutonik)
Batuan beku Intrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya berlangsung
dibawah permukaan bumi. berdasarkan kedudukannya terhadap perlapisan batuan
yang diterobosnya struktur tubuh batuan beku intrusif terbagi menjadi dua yaitu

konkordan dan diskordan.

5
Berdasarkan kandungan kimianya (kandungan SiO2) nya, batuan beku
diklasifikasikan menjadi empat yaitu:
a. Batuan beku asam (acid), kandungan SiO2 > 65%, contohnya Granit dan Rhyolit.

b. Batuan beku menengah (intermediat), kandungan SiO2 65% - 52%. Contohnya Diorit
dan Andesit.

c. Batuan beku basa (basic), kandungan SiO2 52% - 45%, contohnya Gabbro dan Basalt.

d. Batuan beku ultra basa (ultra basic), kandungan SiO2 < 30%. Contohnya Pyroxenite
dan Peridotit.

6
2. Batuan Sedimen / Sedimentory Rocks
Batuan sedimen adalah batuan yang terjadi karena pengendapan materi hasil erosi,
sekitar 80% permukaan benua tertutup batuan sedimen, walaupun volumenya hanya
sekitar 5% (Nandi, 2010:9). Berdasarkan tenaga yang mengangkut hasil pelapukan dan
erosi, batuan sedimen dibagi menjadi menjadi 3 bagian, yaitu:
a. Sedimen Aquatis
Sedimen Aquatis adalah sedimen yang diendapkan oleh tenaga air. Contohnya gosong
pasir, flood plain, dan delta.
b. Sedimen Aeolis/Aeris
Sedimen Aeolis/Aeris adalah sedimen yang diendapkan oleh tenaga angin. Contohnya
tanah loss dan sand dunes.
c. Sedimen Glassial
Sedimen Glassial adalah sedimen yang diendapkan oleh gletser. Contohnya morena
dan drumlin.

3. Batuan Metamorf / Metamorphic Rocks


Batuan metamorf adalah batuan yang telah mengalami perubahan dari bentuk
asalnya dari batuan yang sudah ada baik batuan beku, sedimen, maupun batuan metamorf
lain. Batuan metamorf terdapat beberapa macam, yaitu :
a. Metamorfik Geotermal
Batuan metamorf yang terbentuk karena pengaruh panas bumi, tanpa tambahan panas
magma.
b. Metamorfik Kontak
Batuan metamorf yang terbentuk karena pengaruh intrusi magma yang panas. Makin
jauh intrusi tersebut, makin berkurang derajat metamorfosanya karena temperature
semakin Rendah.
c. Metamorfik Metasomantisme
Batuan metamorf yang terbentuk karena terjadinya rekristalisasi, sehingga
membentuk mineral batu yang sifatnya sudah berbeda dengan batu induknya.
d. Hidrotermal dan Pneumatolisis
Hidrotermal adalah batuan metamorf yang terbentuk karena pengaruh air panas, baik
yang berasal dari magma maupun dari tanah yang mengalami pemanasan. Sedangkan
pneumatolisis adalah batuan metamorf yang terbentuk karena pengaruh gas panas.

7
B. PELAPUKAN BATUAN
Tanah terbentuk dari batuan yang mengalami pelapukan. Setiap pengrusakan
permukaan bumi yang berupa pengikisan, erosi, atau gerak masa batuan selalu diawali oleh
proses pelapukan (Jamulya dan Haryono, 2000: 13). Pelapukan batuan merupakan proses
hancurnya batuan menjadi bagian yang lebih kecil sebagai awal proses pembentukan tanah
(Jamulya, 2004:57) . Pelapukan batuan terjadi secara terus menerus dan membutuhkan
waktu yang lama. Pelapukan terjadi karena adanya pengaruh udara permukaan bumi yang
banyak mengandung oksigen. Karena oksigen, batuan akan lembab dan terjadi pelapukan.
Selain karena oksigen atau udara, pelapukan juga terjadi karena tanama yang tumbuh di atas
batu yang lapuk (saprolit). Air juga mampu mempengauhi terjadinya proses pelapukan pada
batuan. Dimana karena gerusannya, batuan yang mengandung pasir dan kerikil dapat lapuk
dan terkisis oleh air. Serta perubahan sushu juga dapat memicu terjadinya proses pelapukan.

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAPUKAN BATUAN


Pelapukan batuan memiliki faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-
faktor yang berkaitan dengan peristiwa pelapukan batuan menurut Boinauw (2017:59)
adalah seperti berikut:
1. Waktu
Faktor yang sangat erat dan sangat identik dengan peristiwa pelapukan adalah
waktu. Sering orang-orang mengatakan bahwa pelapukan ini terjadi karena sebuah batuan
sudah terlalu lama atau terlalu tua, sehingga batuan tersebut megalami pelapukan.
Bahkan waktu merupakan faktor pertama yang akan digunakan sebagai alasan mengapa
pelapukan terjadi.
2. Jenis Batuan dan Struktur Batuan
Faktor selanjutnya yang memengaruhi terjadinya pelapukan batuan adalah jenis
batuan dan strukturnya. Telah diketahui bersama bahwa batuan di dunia ini memiliki
berbagai jenis batuan yabg berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Kemudian
mengenai struktur batuan, yang berpengaruh yaitu sifat fisik dan sifat kimia yang dimiliki
oleh batuan itu sendiri. Sifat fisik batuan meliputi warna. Sementara sifat kimia batuan
adalah unsur- unsur kimia yang terkandung di dalam batuan tersebut.
3. Topografi / Bentuk Permukaan
Faktor selanjutnya yang memengaruhi pelapukan adalah topografi (bentuk
permukaan). Keadaan topografi muka Bumi juga memengaruhi proses terjadinya
pelapukan batuan. Batuan-batuan yang berada di lereng yang curam cenderung akan
mudah untuk mengalami pelapukan dibandingkan dengan batuan yang berada di tempat
yang landai.
Mengapa demikian? hal ini karena pada lereng yang curam, batuan akan sangat
mudah terkikis atau terlapukkan karena akan langsung bersentuhan dengan cuaca di

8
sekitar batuan tersebut berada. Tetapi pada lereng yang landai atau rata, batuan
akan terselimuti oleh berbagai macam endapan yang pada akhirnya akan memperlambat
proses pelapukan batuan tersebut.
4. Organisme
Faktor selanjutnya yang akan memengaruhi proses pelapukan adalah adanya
organisme. Organisme marupakan hal yang cukup penting dalam proses pelapukan,
seperti halnya dengan proses penguraian tumbuh- tumbuhan secara alami.
5. Iklim dan Cuaca
Faktor berikut yang sangat kuat berkaitan dengan pelapukan adalah cuaca dan
juga iklim. Unsur-unsur cuaca dan juga iklim yang akan memengaruhi proses pelapukan
antara lain adalah suhu udara, curah hujan, sinar matahari, angin, dan lain sebagainya. Di
daerah yang memiliki iklim lembab dan juga panas, batuan akan cepat mengalami proses
pelapukan. Selain itu pergantian antara siang dan malam yang dingin akan semakin
membuat pelapukan mudah terjadi, apabila hal ini dibandingkan dengan daerah yang
memiliki iklim dingin.
6. Keadaan Vegetasi
Faktor berikut yang memengaruhi adanya pelapukan adalah keadaan vegetasi.
Vegetasi atau tumbuh-tumbuhan juga merupakan hal yang sangat memengaruhi proses
pelapukan. Hal ini disebabkan akar-akar tumbuhan tersebut dapat menembus celah- celah
batuan. Apabila akar- akar tersebut semakin membesar maka kekuatannya akan semakin
besar pula dalam menerobos batuan. Selain akar-akar, serasah dedaunan yang gugur juga
akan membantu mempercepat batuan melapuk. Hal ini disebabkan karena serasah batuan
mengandung zat- zat asam arang dan juga humus yang dapat merusak kekuatan pada
batuan.

D. KAJIAN PELAPUKAN BATUAN PADA IPA TERPADU


1. Pelapukan Fisika/Mekanik
Pelapukan fisika adalah pelapukan yang terjadi karena faktor alam. Pelapukan
fisika juga merupakan proses mekanik yang menyebabkan batuan pecah menjadi bagian-
bagian yang lebih kecil tanpa ada perubahan kimiawi sama sekali, melainkan oleh
tenaga alam, seperi suhu, angin, dan air.
a. Pelapukan oleh Suhu
Perubahan suhu antara siang dan malam dapat melapukkan batuan karena
pada siang hai batuan mengalami kenaikan suhu sehingga mengembang dan
mengerut pada malam hari karena mengalami penurunan suhu. Hal inilahh yang
mengakibatkan batu retak dan lama kelamaan menjadi hancur dan menjadi butir-
butir tanah yang halus. Selain itu perubahan suhu tidak hanya terjadi di permukaan
bumi, panas bumi juga berpengaruh pada pelapukan.

9
b. Pelapukan oleh Angin
Angin yang berkecepatan tinggi dapat mengikis bukit batu yang
dilaluinya. Angin juga dapat menerbangkan butiran pasir yang menumbuk batu-batu
besar. Akibatnya batu besarpun mengalami pengikisan. Pelapukan di gurun adalah
salah satu contohnya. Pelapukan di gurun merupakan akibat retakan yang terjadi
karena perubahan suhu dan kristalisasi garam.

c. Pelapukan oleh Air


Aliran sungai, air terjun dan gelombang laut yang besar juga dapat
menghancurkan batuan dan karang yang ada dihadapannya. Air memiliki tenaga
yang kuat, dimana dalam kurun waktu bertahun-tahun air dapat menghancurkan
batuan besar menjadi pecahan kecil. Sunai yang mengalir deras juga mampu
mengikis tanah membentuk lembah yang dalam. Air laut juga mampu membentur

10
daratan dan mengikis secara perlahan. Di muara sungai, hal yang sebaliknya terjadi,
lumpur di air mengendap di sungai dan menumpuk mnjadi daratan baru. Daratan
tersebut disebut dengan delta.

Dalam proses pelapukan secara fisika, terjadi perbedaan kecepatan proses


pelapukannya. Menurut Jenny dalam Resman (2011:103), batuan yang mengalami
pelapukan, kecepatan pembentukannya ditentukan oleh sifat fisik dan sifat kimia
mineraloginya.
1. Warna batuan. Pada batuan yang berwarna gelap lebih banyak menyerap panas dibanding
dengan yang berwarna cerah, sehingga pelapukannya lebih cepat dibanding yang
berwarna cerah.
2. Susunan kristal, susunan kimia, dan komposisi mineral unsur-unsur penyusunnya juga
mempengaruhi kecepatan pelapukan batuan.
3. Proses pelapukan batuan juga dipengaruhi oleh tingkat kekerasan batuan secara relatif,
semakin keras batuan maka proses pelapukan semakin lambat dibanding dengan yang
lebih lemah, bila dalam kondisi lingkungan yang sama.
Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material tersebut
terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat
berupa metode penggoresan/ stratching (Wahyuni dkk : 2007:2). Metode ini dikenalkan
oleh Fredrich Mohss yang membagi kekerasan material di dunia ini berdasarkan skala
Mohs. Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, sebagaimana
dimiliki oleh material talk, hingga skala 10 sebagai kekerasan tertinggi, sebagaimana
dimiliki oleh intan. Skala kekerasan mineral Mohs mengklasifikasikan resistensi goresan
terhadap berbagai mineral melalui kemampuan suatu bahan keras menggores bahan yang
lebih lunak. Skala ini diciptakan tahun 1812 oleh geolog dan mineralog Jerman Friedrich
Mohs dan merupakan satu dari beberapa definisi kekerasan dalam teknik material
(Wikipedia.org). Adapun skala Mohs yang dimaksud adalah seperti tabel berikut ini :

11
2. Pelapukan Biologis
Pelapukan biologi adalah pelapukan yang terjadi karena kegiatan mahluk hidup.
Proses pelapukan biologi atau organik terjadi karena adanya aktivitas kehidupan, yakni
kehidupan
 Akar tumbuhan
 Mikroorganis tanah
 Binatang
Proses pelapukan secara biologis atau organik ini merupakan proses pelapukan
yang senantiasa mengiringi dua proses pelapukan sebelumnya yang telah kita jelaskan.
Pelapukan secara organik atau biologis ini trejadi setelah sebelumnya batuan telah
mengelami proses pelapukan secara kimia atau fisika terlebih dahulu. Dengan kata lain
pelapukan organik atau biologis ini sifatnya mempercepat atau menyempurnakan.
Sebagai contoh adalah batuan yang telah mengalami perubahan suhu ekstrim (misalnya

12
setelah cuaca yang sangat panas, tiba- tiba menjadi sangat dingin) maka akan mengalami
retakan- retakan. Selanjutnya ketika sedang turun hujan maka air hujan akan masuk ke
dalam retakan- retakan batuan, sehingga akan semakin mempercepat proses pelapukan
yang terjadi. Di dalam retakan tersebut ternyata tidak hanya air yang masuk, namun juga
mulai ditumbuhi tanaman- tanaman tingkat rendah dan juga mikroorganisme tanah yang
keduanya makin mempercepat terjadinya proses pelapukan.
Untuk memahami bagaimana proses pelapukan biologi terjadi, kita mungkin
membutuhkan beberapa contoh yang dapat dengan mudah diamati di lingkungan sekitar.
Berikut ini beberapa contoh pelapukan biologi tersebut berdasarkan agen biologi yang
terlibat di dalamnya.
a. Pelapukan oleh Hewan
Hewan -baik mikro fauna maupun makro fauna, yang menggunakan batuan
sebagai tempat hidupnya dapat melakukan proses pelapukan biologi melalui
mekanisme biokimia dan fisika. Sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana karang
di lautan dapat mengalami peronggaan. Kerang Piddock dan beragam organisme
dalam ekosistem pantai lainnya merusak struktur keras batuan sehingga
menjadikannya rapuh dengan rongga-rongga yang dibuatnya.
Cacing tanah dan serangga juga memungkinkan proses pelapukan biologi
terjadi. Mereka melakukan aktivitas di sekitar batuan dan mengeksresikan zat asam
dari tubuhnya sehingga membuat batuan mengalami pelunakan secara biokimia.
b. Pelapukan oleh Tumbuhan
Mikro flora dan makro flora dapat menjadikan batuan sebagai media hidup
karena adanya kandungan mineral di dalamnya. Secara mekanis, akar-akar tumbuhan
akan tumbuh membesar di sela sela batuan dan menekan batuan sehingga pecah.
Adapun secara biokimia, keberadaan akar akan membuat mineral batuan semakin
terkikis karena proses adsorbsi. Akar-akar juga akan mengeluarkan senyawa kimia
yang bersifat asam sehingga memungkinkan proses pelapukan biokimia terjadi.

Secara lebih mudah, contoh pelapukan biologi oleh tumbuhan juga dapat kita
temui pada dinding atau batuan yang ditumbuhi lumut. Batuan-batuan tersebut akan

13
hancur dan terkikis secara lambat laun akibat adanya aktivitas metabolisme lumut
yang tumbuh di permukaannya.

c. Pelapukan oleh Mikroorganisme


Jamur, ganggang, bakteri, maupun virus dapat menjadi agen pelapukan secara
biologi melalui mekanisme biokimia. Mereka menghasilkan zat kimia yang
membantu memecah batu di mana mereka tinggal, sehingga mereka bisa
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkannya.
d. Pelapukan oleh Manusia
Manusia juga memiliki peran dalam proses pelapukan batuan secara biologi.
Dalam hal ini, kebiasaan menebang pohon, penambangan, serta pembangunan
infrastruktur juga dikategorikan contoh pelapukan biologi.

3. Pelapukan Kimiawi
Pelapukan kimia adalah pelapukan yang terjadi karena benda-benta tersebut
bereaksi dengan zat kimia. Pelapukan kimia mengakibatkan terjadinya perubahan dalam
komposisi kimiawi batuan yang disebabkan oleh bahan kimia yang besifat melapukkan,
mineral-mineral yang terdapat di dalam batuan pada dasarnya bersifat stabil pada suhu
tinggi dan tertanam dalam kerak, tetapi setelah batuan yang mencair tersebut keluar
melalui peristiwa vulkanik gunung berapi dan mendingin maka aka terjadi proses yang
dinamakan pelapukan secara kimia.
Pelapukan batuan secara kimia terjadi karena batuan lava yang mendingin terkena
udara luar dan susunan mineral batuan tersebut beraksi dengan lingkungannya, sehingga
terjadi pelapukan pada batu tersebut. Salah satu contoh penyebab pelapukan aadalah
hujan asam. Hujan asam ini terjadi dari gas polusi industry yang bereaksi dengan uap air
di angkasa. Tetesan hujan asam dapat melapukkan batuan dan bangunan.

14
Secara umum, pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan batuan
yang berlaku di bawah pengaruh atmosfer dan hidrosfer. Perubahan tersebut terjadi dalam
bentuk penyepaian fisik dan penguraian kimia. Di kawasan iklim tropika, proses ini lebih
sering terjadi bila dibandingkan pada keadaan iklim lainnya.

Penyebab lain dari pelapukan kimia adalah pelapukan yang terjadi di laut.Laut
merupakan suatu kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yan air laut
diartikan sebagai air dari laut atau samudera menggenangi dan membagi daratan atas
benua atau pulau. Jadi laut merupakan air yang menutupi permukaan tanah yang sangat
luas dan umumnya mengandung garam dan berasa asin. Biasanya air mengalir yang ada
di darat akan bermuara ke laut.
1) Komposisi Unsur Kimia dalam Air Laut
Air laut memiliki kadar garam rata-rata 3,5%. Artinya dalam 1 liter (1000 ml)
air laut terdapat 35 gram garam (terutama, namun tidak seluruhnya, garam
dapur/NaCl). Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar
3,5 %, air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah di
timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya bagian dari Laut Baltik.
Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana suhu tinggi dan sirkulasi terbatas
membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari sungai-sungai. Kadar garam
di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi.
Air laut memiliki kadar garam karena bumi dipenuhi dengan garam mineral
yang terdapat di dalam batu-batuan dan tanah. Contohnya Natrium, Kalium, dan

15
Kalsium. Apabila air sungai mengalir ke lautan, air tersebut membawa garam. Ombak
laut yang memukul pantai juga dapat menghasilkan garam yang terdapat pada batu-
batuan. Lama-kelamaan air laut menjadi asin karena banyak mengandung garam.
Secara umum, komponen penyusun air laut dibedakan menjadi dua senyawa
yaitu senyawa organik dan senyawa anorganik. Perbedaan keduanya ditampilkan
dalam tabel di bawah ini :
No Senyawa Organik Senyawa Anorganik
Kebanyakan berasal dari Berasal dari sumber daya alam
1 makhluk hidup dan beberapa mineral (bukan makhluk hidup)
dari hasil sintesis
Senyawa organic lebih mudah Tidak mudah terbakar
2
terbakar
3 Strukturnya lebih rumit Struktur sederhana
Semua senyawa organic Tidak semua senyawa anorganik
4
mengandung unsur karbon yang memiliki unsure karbon
Hanya dapat larut dalam pelarut Dapat larut dalam pelarut air
5
organic atau organik
6 Berupa CH4, C2H5OH, C2H6 Berupa NaF, NaCl, NaBr, NaI

Selain itu, secara rinci unsur-unsur utama pada 1 kg air laut menurut (Millero,
1982) adalah seperti gambar di bawah ini :

Adapun keterangan untuk elemen mayoritas yang dimaksudkan pada gambar di


atas adalah :
 Jumlahnya > 1 ppm
 Muncul dalam konsentrasi yang tinggi dalam air laut

16
 Tidak termasuk Nitrogen dan Oksigen
 Cenderung stabil dalam air laut

Selain elemen mayoritas, terdapat pula keterangan untuk elemen minoritas


dan elemen tambahan pada gambar diatas seperti di bawah ini :

Tiga sumber utama (elemen) dari garam-garaman di laut adalah pelapukan


batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal
(hydrothermal vents) di laut dalam. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat
fisis air laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana
densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa
sifat (viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas.
Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya
hantar listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Kandungan garam mempunyai pengaruh pada sifat-sifat air laut. Karena
mengandung garam, titik beku air laut menjadi lebih rendah daripada 0 oC (air laut
yang bersalinitas 35 ppt titik bekunya -1,9oC), sementara kerapatannya meningkat
sampai titik beku (kerapatan maksimum air murni terjadi pada suhu 4oC). Sifat ini
sangat penting sebagai penggerak pertukaran massa air panas dan dingin,
memungkinkan air permukaan yang dingin terbentuk dan tenggelam ke dasar
sementara air dengan suhu yang lebih hangat akan terangkat ke atas. Sedangkan titik
beku dibawah 0oC memungkinkan kolom air laut tidak membeku.

2) Salinitas Air Laut


Laut, menurut sejarahnya, terbentuk 4,4 milyar tahun yang lalu, dimana
awalnya bersifat sangat asam dengan air yang mendidih (dengan suhu sekitar 100 °C)
karena panasnya Bumi pada saat itu. Asamnya air laut terjadi karena saat itu atmosfer
Bumi dipenuhi oleh karbon dioksida. Keasaman air inilah yang menyebabkan

17
tingginya pelapukan dan menyebabkan air laut menjadi asin seperti sekarang ini. Pada
saat itu, gelombang tsunami sering terjadi karena seringnya asteroid menghantam
Bumi. Pasang surut laut yang terjadi pada saat itu juga bertipe mamut atau
tinggi/besar sekali tingginya karena jarak Bulan yang begitu dekat dengan Bumi.
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Pada
versi yang lebih lengkap, salinitas merupakan jumlah total dalam gram bahan-bahan
terlarut dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi oksida,
semua bromida dan yodium dirubah menjadi klorida dan semua bahan-bahan organik
dioksidasi. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air
alami sangat kecil (kurang dari 0,005 ppt) sehingga air di tempat ini dikategorikan
sebagai air tawar. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi
saline, bila konsentrasinya 30 ppt dan dikatakan brine jika konsentrasinya lebih dari
50 ppt.
Salinitas adalah bilangan yang menunjukkan berapa gram garam-garaman
yang larut dalam air laut tiap-tiap kilogram (gr/kg) biasanya dinyatakan dalam persen
(%) atau permil (%0). Pada laut-laut yang berhubungan biasanya perbedaan
salinitasnya kecil, namun perbedaan tersebut akan nampakpada laut-laut tertentu yang
terpisah dari laut lepas.
Zat-zat yang terlarut dalam air laut dan membentuk garam, yang kadarnya
diukur dengan istilah salinitas dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni:
 Konstituen utama : Cl, Na, SO4, dan Mg.
 Gas terlarut : CO2, N2, dan O2.
 Unsur Hara : Si, N, dan P.
 Unsur Runut : I, Fe, Mn, Pb, dan Hg.

Selain zat-zat diatas, berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi


besar kecilnya salinitas air laut, yaitu :
 Penguapan, makin besar penguapan maka makin tinggi salinitasnya, begitu pula
sebaliknya.
 Curah Hujan, makin banyak curah hujan maka makin rendah salinitasnya, begitu
pula sebaliknya.
 Air Sungai yang Bermuara ke Laut, makin banyak air sungai yang bermuara ke
laut maka makin rendah salinitasnya, begitu pula sebaliknya.
 Letak dan Ukuran Laut, laut-laut yang tidak berhubungan dengan laut lepas dan
terdapat di daerah arid maka salinitasnya tinggi.

18
 Arus Laut, laut-laut yang dipengaruhi arus panas maka salinitasnya akan naik dan
kebalikannya laut-laut yang dipengaruhi arus dingin maka salinitasnya turun
(rendah).
 Angin, kelembaban udara di atasnya, ini berhubungan dengan penguapan
berhubungan dengan besar kecilnya salinitas air laut.

Penyebaran salinitas secara horizontal :


 Daerah Ekuator, salinitasnya rendah (34-35 %0)
 Daerah Lintang 200-250 LU/LS, sakinitasnya tinggi (36-37 %0)
 Daerah Lintang Sedang, salinitasnya rendah (33-35 %0)
 Daerah Kutub, salinitasnya rendah (32-34 %0)

Penyebaran salinitas secara vertikal :


 Pada Permukaan, makin ke permukaan biasanya salinitas makin besar.
 Makin ke Bawah, maka salinitasnya makin kecil.
 Kedalaman Lebih dari 1200 meter, salinitas naik lagi hingga 34,9 %0, karena
tidak ada turbulensi lagi.

Berikut ini beberapa contoh laut yang mempunyai salinitas yang berbeda,
karena dipengaruhi oleh keadaan setempat dan lautnya tertutup :
 Laut Merah, salinitasnya tinggi (40-41 %0)
 Laut Tengah,salinitasnya tidak terlalu tinggi (37-39 %0)
 Laut Mati, salinitasnya tinggi (250-400 %0)
 Laut Hitam, salinitasnya rendah (17-18 %0)
 Laut Baltik, salinitasnya rendah (3-4 %0)

Dalam pelapukan kimia, reaksi yang terjadi pada proses pelapukan dibedakan
menjadi tiga macam reaksi yaitu:
1. Hidrolisa (hydrolysis)
Dekomposisi mineral yang disebabkan oleh ion hidrogen diperlihatkan pada
contoh mineral Kalium feldspar. Ion H+ masuk kedalam Kalium feldspar KAlSi3O8
dan mengganti ion kalium yang keluar dari kristal dan terlarut. Air yang bercampur
dengan sisa molekul alumunium silikat membentuk mineral lempung Kaolinit
{Al4Si4O10(OH)8}

Hidrolisa K Feldspar :
KAlSi3O8 + 4H+ + 2H2O -----> 4K+ + Al4Si4O10(OH)8 + 8SiO2

19
Kaolinit adalah mineral lempung yang tidak terdapat pada batuan asal (original
rock) dan terbentuk oleh reaksi kimia, dan termasuk regolith. Reaksi kimia dimana ion
dalam mineral digantikan oleh ion-ion H+ dan OH- dalam air, dinamakan proses
hidrolisa, yang umum terjadi pada pelapukan kimia batuan.
Contoh :
Hidrolisis/Hidrolisa air hujan yang akan mengakibatkan naiknya tingkat keasaman di
sekitar batuan. I on H+ yang muncul akan memungkinkan terjadinya korosi pada
batuan.

2. Oksidasi
Unsur besi (fe), umum dijumpai dalam mineral pembentuk batuan, termasuk
biotit, augit dan hornblende. Apabila mineral ini mengalami pelapukan kimia, besi
terlepas dan segera teroksidasi dari Fe2+ menjadi Fe3+ jika ada oksigen.
Berlangsungnya oksidasi bersamaan dengan hidrasi menghasilkan goethit, mineral
berwarna kekuning-kuningan.

4FeO + 2H2O + O2 ------> 4FeO.OH


Goethit jika mengalami proses dehidrasi, kehilangan H2O, menjadi hematit. Hematit
(Fe2O3) berwarna merah bata.

Reaksi yang berlangsung adalah :


2FeO.OH ------> Fe2O3 + H2O

Intensitas warna-warna ini pada batuan yang lapuk dan tanah, dapat dipergunakan
untuk mengetahui sudah berapa lama pelapukan berlangsung.
Contoh:
Oksidasi yang terjadi pada batuan yang kaya mineral besi akan memungkinkan ikatan
mineral di permukaan batuan menjadi lemah dan pada akhirnya mengalami pelapukan.

3. Larutan (Solution)
Contoh yang jelas adalah batu gamping, dalam periode waktu yang relatif
singkat (5 -10 tahun) batu gamping mengalami pelapukan akibat terkena air hujan
yang mengandung karbondioksida (CO2) yang cukup banyak sehingga dapat
menghancurkan batuan.
Proses lain yang umum dijumpai pada pelapukan kimiawi adalah pencucuan
(leaching), merupakan kelanjutan “pengambilan” material yang dapat larut dalam
batuan atau regolith oleh air. Oleh karena itu sering juga proses ini disebut sebagai
proses pelarutan atau dissolution. Contohnya silika yang terlepas dari batuan oleh

20
pelapukan kimia, sebagian tertinggal dalam regolith yang kaya akan lempung dan
sebagian perlahan-lahan terlarut didalam air yang mengalir didalam tanah. Ion kalium
yang terpisah dari batuan, juga terlepas sebagai larutan dalam air.
Air dikenal sebagai pelarut yang efektif dan universal, susunan molekulnya
polar. Oleh sebab itu mampu melepaskan ikatan ion dalam mineral pada permukaan
kontaknya. Beberapa jenis bataun ada yang dapat larut seutuhnya dan terbawa hanyut.
Contohnya batu garam yang dapat larut seutuhnya. Gypsum dan batu gamping yang
mineral utamanya CaCo3 juga dapat larut, terutama bila airnya kaya akan asam
karbondioksida.

E. ALAT PERAGA SEDERHANA PELAPUKAN BATUAN


Menurut Sudjana dalam Sudarmoko (2013: 39) yang dimaksud dengan alat peraga
adalah suatu alat yang diserap oleh mata dan telinga dengan tujuan membantu guru agar
proses belajar mengajar siswa lebih efektif dan efisien.
Adapun alat peraga yang sekiranya dapat digunakan pada materi pelapukan batuan
ini adalah sebagai berikut:
1. Alat Peraga Pelapukan Fisika/Mekanik
Pada alat peraga ini, yang ditunjukkan adalah pembuktian konsep tentang
pelapukan yang terjadi pada batuan karena pengaruh angin yang terus mengikis batuan
perlahan-lahan. Alat dan bahan sederhana yang digunakan adalah cawan tanah liat, batu
kapur, kertas berwarna hitam, dan kipas angin kecil. Cara pembuktiannya dilakukan
dengan cara batu kapur diletakkan di atas cawan tanah liat, lalu menempatkan kipas angin
kecil disebelah kanan cawan tanah liat sedangkan disebelah kirinya ditegakkan kertas
berwarna hitam untuk menahan serbuk dari batu kapur saat kipas angina dinyalakan.
Setelah kipas angin dinyalakan, maka akan terlihat serbuk dari baru kapur akan terlihat
jelas menempel di permukaan kertas hitam.

21
2. Alat Peraga Pelapukan Kimiawi
Pada alat peraga ini, yang ditunjukkan adalah pembuktian konsep tentang
pelapukan yang terjadi pada batuan karena pengaruh air laut, tentunya air laut ini mudah
didapatkan oleh siswa serta aman dalam penggunaannya. Adapun alat dan bahan
sederhana yang digunakan adalah cawan tanah liat, batu kapur, dan air laut. Cara
pembuktiannya dilakukan dengan cara batu kapur diletakkan di atas cawan tanah liat, lalu
ditungkan air laut ke atasnya. Beberapa saat kemudian, akan terdeteksi terjadinya
pelapukan pada batu kapur tersebut.

3. Alat Peraga Pelapukan Biologis


Pada alat peraga ini, yang ditunjukkan adalah pembuktian konsep tentang
pelapukan yang terjadi pada batuan karena tanaman, dalam hal ini adalah tanaman lumut.
Adapun alat dan bahan sederhana yang digunakan adalah cawan tanah liat, batu berlumut,
dan penggaris/besi. Cara pembuktiannya dilakukan dengan cara batu kapur diletakkan di
atas cawan tanah liat, lalu besi digunakan untuk mengerik lumut yang menempel pada
batuan. Setelah tanaman lumut diangkat dari batu, maka permukaan batu bekas
ditumbuhi tanaman lumut tersebut terlihat rapuh dan membentuk butiran-butiran kecil
batuan yang lama kelamaan akan menjadi salah satu unsur penyusun tanah.

22
Dengan digunakannya alat peraga (proyek) sederhana sebagai media dalam
pelaksanaan pembelajaran, diharapkan siswa akan lebih memahami konsep mengenai
pelapukan batuan. Karena dengan menggunakan alat peraga siswa akan mengalami dan
menyaksikan secara langsung bagaimana proses pelapukan pada batuan dapat terjadi,
sehingga siswa tidak hanya membaca dan menghapalkan konsep-konsep seperti yang ada di
buku. Pada akhirnya tentu yang menjadi harapan adalah berkurangnya miskonsepsi yang
dialami siswa secara perlahan-lahan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Berg, Euwe Van Den. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana.
Boinauw, Hasan. 2017. Pembelajaran Geologi: Kajian Pelapukan Geologi. Jurnal Pendidikan
Jendela Pengetahuan Volume 10 Nomor 22, 59-63.
Hamimu, L,dkk. 2012. Karakterisasi Sifat Fisika Batu Kapur Di Desa Labaha Kecamatan
Watopute Kabupaten Muna. Jurnal Aplikasi Fisika. Volume 8 Nomor 2. Sulawesi
Tenggara. Universitas Haluoleo.
Jamulya. 2004. Kajian Sifat Fisik Bahan Lapukan Biorit Gunung Wungkal Kecamatan Godean,
Kabupaten Sleman. Majalah Geografi Indonesia Volume 8 Nomor 2, 57-68.
Jamulya dan Eko Haryono. 2000. Kajian Tingkat Pelapukan Batuan Menurut Toposekuen di
Daerah Aliran Sungai Tangsi Kabupaten Magelang. Majalah Geografi Indonesia Volume
14 Nomor 1, 13-24.
Kusumawati, Arie. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Partisipatif Menggunakan Metode
Pemecahan Masalah Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas VIII SMPN 3 Batukliang
Tahun Ajaran 2012/2013. Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika Universitas
Mataram: Tidak Diterbitkan.
Nandi. 2010. Handouts Geologi Lingkungan (GG405). Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Noor, Djauhari. 2009. Pengantar Geologi. Anonym.
Noviyanti,.dkk. 2015. Karakterisasi Kalsium Karbonat (Ca(Co3)) dari Batu Kapur Kelurahan
Tellu Limpoe Kecamatan Suppa. Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika. Jilid 11, Nomor 2,
hal. 169 – 17. Makasar. Universitas Negeri Makasar.
Putra, Sitiatava Rizema. 2013. Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Yogyakarta:
Diva Press.
Resman. 2011. Morfologi dan Karakteristik Tanah di Pugeran Yogyakarta. Jurnal Agroteknos
Volume 1 Nomor 2, 102-106.
Sudarmoko, Ainul Andy. 2013. Pengembangan Bahan Ajar dengan Alat Peraga untuk Mengatasi
Kesalahan Konsep Siswa pada Materi Bumi dan Alam Semesta Kelas V MI Sunan Giri.
Skripsi Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang: http://etheses.uin-malang.ac.id.
Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta: PT
Grasindo.
Wahyuni, Ika, dkk. 2007. Uji Kekerasan Material dengan Metode Rockwell. Jurnal Fisika
Universitas Airlangga, 1-7.

24
Wikana, I,.dkk. 2013. Tinjauan Penggunaan Batu Apung dan Tumbukan Genteng Keramik
dengan Pengurangan Berat Semen Terhadap Karakteristik Batako Ringan Berkait.
Majalah Ilmiah Ukrim. Edisi 2/th XVIII/2013.
Yamin, Anwar. 2011. Pemanfaatan Batu Karang Kristalin Fak Fak Untuk Campuran Beraspal.
Jurnal Pusat Litbang Jalan dan Jembatan. Bandung.
Yolanda, A.W,.dkk. 2013. Pengaruh Ukuran Partikel Batu Apung Terhadap Kemampuan
Serapan Cairan Limbah Logam Bera. Jurnal Fisika Unand Vol. 2, No. 3. ISSN 2302-849.
Padang. Universitas Andalas.

25

Anda mungkin juga menyukai