Di Susun Oleh :
1. Devi Tri A
2. Nurdiana Sari
3. Putri Andini
4. Rina Yulianingsih
5. Wildan Alfinita
6. Yandini Prafitri
Kejadian luar biasa dalam kehidupan dapat dialami oleh seseorang dimulai dari sejak lahir
sampai meninggal dunia. Seiring dengan perjalanan kehidupan sudah tentunya seseorang
pasti akan mengalami berbagai peristiwa. Peristiwa akibat alam seperti gempa, tsunami,
gunung meletus dan lainya maupun akibat manusia seperti terror bom, perang, perlakuan
yang tidak mengenakkan, dan kriminalitas. Peristiwa yang dialami seseorang dapat
menjadi sebuah pengalaman yang sangat menentukan bagi orang tersebut. Berat ringannya
peristiwa sangat subjektif menurut orang. Tetapi semakin berat trauma tersebut dirasakan
oleh seseorang maka akan semakin beresiko mengalami hal yang dikenal dengan post
traumatic stress disorders (PTSD).
PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian “bencana” yang
telah menimpa kita, PTSD juga dapat menyerang siapapun yang telah mengalami kejadian
traumatik dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin.
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang bersifat kompleks
karena gejala-gejala yang nampak menunjukkan kemiripan dengan gejala depresi,
kecemasan dan gejala gangguan psikologis lain, namun tidak semua gangguan psikologis
yang sama tersebut termasuk dalam kriteria PTSD, sehingga untuk memahami
kompleksitas gejala PTSD maka perlu untuk mengidentifikasi perbedaan antara stres,
traumatik stres, PTS dan PTSD.
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca trauma
(PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami
peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya dimana peristiwa trauma ini
bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan
ataupun perang.
Pengalaman traumatis tidak selalu berlanjut dalam bentuk PTSD. Foa dan Rothbaum
(1998) menyatakan bahwa bagi sebagian orang, trauma akan dapat teratasi dengan
berjalannya waktu, namun sebagian yang lain tidak. Penegakan diagnosis untuk kasus
PTSD hendaknya dilakukan secara hati-hati karena dalam DSM IV (APA, 1994)
disebutkan ada beberapa gejala gangguan psikologis yang memiliki karakteristik yang
serupa dengan gejala PTSD.
2.1 Tujuan
2.1.1 Definisi
a. Faktor biologis
Teori biologis pada PTSD telah dikembangkan dari penelitian praklinik model
stres pada binatang yang didapatkan dari pengukuran variabel biologis populasi klinis
dengan PTSD. Banyak sistem neurotransmitter telah dilibatkan dalam kumpulan data
tersebut.
Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan, dan
sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamin, opiate
endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal.
b. Faktor psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada perkembangan
terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikal menimbulkan emosi yang negatif
(sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem
saraf simpatis (fight or flight response).
Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami peristiwa
trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak
disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang
mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbul respon berupa ketakutan,
berkeringat, takikardi setiap kali dia melewati tempat kejadian tersebut.
Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang
dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi.
Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka ia akan berusaha untuk
menghindari berada di dalam mobil. Modelling merupakan mekanisme psikologikal
lainnya yang turut berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orang
tua terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan gejala
PTSD anak.
c. Faktor Sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan
risiko perkembangan PTSD setelah seseorang mengalami kejadian traumatik. Penyebab
gangguan bervariasi, tetapi stresor harus sedemikian berat sehingga cenderung
menimbulkan trauma psikologis pada kebanyakan orang normal, walaupun tidak berarti
bahwa semua orang harus mengalami gangguan akibat trauma ini. Macam-macam stresor
traumatik:
1) Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian yang menakutkan
seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah longsor, terlindas kendaraan,
penganiayaan, terkena granat atau bom, kepala terpancung, tertembak,
pembunuhan masal atau tindakan brutal di luar batas kemanusiaan.
2) Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau keselamatan jiwanya,
misalnya huru-hara kerusuhan, bencana, tsunami, air bah atau gunung meletus,
peperangan, berbagai tindak kekerasan, usaha pembunuhan, penganiayaan fisik
dan mental-emosional, penyanderaan, penculikan, perampokan ataupun
kecelakaan.
3) Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga.
4) Mengalami secara aktual atau terancam mengalami perkosaan, pelecehan, seksual
yang mengancam integritas fisik dan harga diri seseorang.
5) Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan.
6) Kematian mendadak atau berpisah dari anggota keluarga atau orang yang dikasihi.
7) Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam atau kecelakaan hebat.
8) Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman.
9) Mendadak berada dalam keadaan terasing, tercabut dari lingkungan fisik, budaya,
kerabat, teman sebaya yang dikenal.
10) Terputusnya hubungan dengan dunia luar, dilarang melakukan berbagai adat
istiadat atau kebiasaan.
11) Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privasi (hak pribadi).
12) Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal, kesehatan.
2.1.5 Diagnosis
a. Kejadian traumatik
1) Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami, menyaksikan,
atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa ancaman kematian, cidera
yang serius sehingga mengancam integritas fisik dirinya sendiri atau orang lain.
2) Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan atau
ketidakberdayaan yang sangat kuat.
b. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:
1) Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya dan bersifat
mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi).
2) Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya (yang
mencemaskan).
3) Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya
terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya).
4) Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang mengingatkan
terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa trauma).
d. Gejala hiperarousal yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di bawah ini:
1) Sulit untuk memulai tidur/sulit mempertahankannya.
2) Sulit berkonsentrasi.
3) Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya.
4) Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).
5) Reaksi kaget yang berlebihan.
Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya semua
kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memilki keterbatasan
dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam bereaksi terhadap
stres. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak memenuhi kriteria DSM-IV-
TR secara penuh meskipun secara jelas anak tersebut memiliki gangguan psikiatri yang
analog dengan PTSD pada dewasa. Biasanya anak seringkali tidak memiliki tiga tanda dari
numbing (mematikan perasaannya) dan withdrawl (menarik diri) seperti pada orang
dewasa karena kemampuan verbal untuk mengekspresikan perasaannya masih kurang.
Anak-anak mungkin mengalami perubahan antara hiperarousal dan numbing/withdrawl.
Gejala PTSD biasanya timbul beberapa waktu setelah trauma. Penundaan dapat
selama 1 minggu atau hingga 30 tahun. Gejala dapat fluktuasi dari waktu ke waktu dan
menjadi paling intens selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan
pulih sempurna. Empat puluh persen akan terus mengalami gejala ringan, sekitar 10%
tetap tidak berubah atau bertambah buruk. Setelah satu tahun, sekitar 50% pasien akan
pulih (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2010).
2.1.7 Penatalaksanaan
a. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu bentuk dari perawatan (treatment) terhadap masalah-
masalah yang dasarnya emosi, dimana seseorang yang terlatih dengan seksama
membentuk hubungan profesional dengan pasien dengan tujuan memindahkan, mengubah,
atau mencegah munculnya gejala dan menjadi perantara untuk menghilangkan pola-pola
perilaku yang terhambat (Wolberg, 1954). Dengan demikian, perawatan menggunakan
teknik psikoterapi ini merupakan perawatan yang secara umum menggunakan intervensi
psikis dengan pendekatan psikologis terhadap pasien yang mengalami gangguan psikis
atau hambatan kepribadian. Adapun macam-macam psikoterapi diantaranya adalah:
3) Playtherapy
Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengobati PTSD pada
anak periode awal/young children. Pada terapi ini bertujuan untuk memahami trauma anak
dan memberikan kebebasan untuk berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional ynag
dialami. Bermain peran, menggambar, bermain dengan boneka atau benda-benda figural
dapat dijadikan cara untuk menyesuaikan diri dan memberi kesempatan pada terapis untuk
melakukan re-exposure yaitu, membahas peristiwa traumatiknya dalam situasi yang
mendukung.
b. Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini
diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang menyebabkan kecemasan,
kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain merupakan terapi simptomatik pada
PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini pertama dalam penanganan PTSD tetapi dapat
dijadikan sebagai terapi pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil yang optimal
dalam menangani kasus PTSD. Adapun beberapa contoh farmakoterapi yang sering
digunakan dalam kasus PTSD, antara lain:
1) Golongan benzodiazepin: Chlordiazepoxide, Diazepam, Lorazepam.
2) Golongan non-benzodiazepin: Buspirone, Sulpiride, Hydroxyzine.
3) Golongan antidepresan: Trisiklik, Amitriptyline, Imipramine.
4) Golongan Monoamin Oksidase Inhibitor (MAOI): Moclobemide
5) Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI): Sertraline, Paroxetine,
Fluvoxamine, Fluoxetine.
2.1.8 Prognosis
Prognosis pada kasus PTSD sulit untuk ditentukan, karena itu bervariasi secara
signifikan dari pasien ke pasien. Beberapa individu yang tidak menerima perawatan secara
bertahap pulih dalam periode tahun. Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala
yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang
baik, dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau
berhubungan zat lainnya. Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua
memiliki kesulitan lebih banyak terhadap peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang
dalam usia pertengahan (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2007).
Jadi dari penjelasan tersebut, secara singkat CBT dapat diartikan sebagai suatu
teknik yang secara simultan berusaha memperkuat timbulnya perilaku adaptif dan
memperlemah timbulnya perilaku yang maladaptif melalui pemahaman proses internal
yaitu aspek kognisi tentang pikiran yang kurang rasional dan upaya pelatihan ketrampilan
coping yang sesuai.
Cognitive Processing Therapy (CPT) merupakan salah satu metode terapi yang
menggunakan pendekatan metode CBT. Pada inti dari kerangka kerja CPT dinyatakan
bahwa pada dasarnya pasien-pasien dengan PTSD menunjukkan terjadinya konflik yang
mungkin ada di antara informasi lama yang disimpan oleh individu dalam berbagai skema
dengan informasi baru yang berasal dari proses trauma. Dalam kasus-kasus di mana
seseorang memperoleh informasi baru yang tidak sesuai dengan pemikiran sebelumnya,
informasi baru tersebut dapat berasimilasi dengan pikiran yang ada sebelumnya atau
pikiran yang ada diubah untuk mengakomodasi informasi baru. Resick dan Schnicke
(1992) berpendapat bahwa gejala PTSD merupakan hasil dari konflik antara informasi
baru misalnya: "Saya baru saja diperkosa" dan pikiran yang ada sebelum terjadinya
peristiwa tersebut misalnya, "Wanita baik-baik tidak mengalami pemerkosaan". Konflik
pikiran ini tidak hanya terkait dengan bahaya dan keselamatan misalnya: "Dunia ini
berbahaya", "Rumah saya bukan tempat yang aman" tetapi juga terkait dengan pikiran lain
yang mencerminkan harga diri, kompetensi, dan atau keintiman. Dengan demikian fokus
dari CPT adalah membantu klien menyelesaikan stuck points yang mewakili konflik antara
pikiran sebelumnya dan informasi baru yang berasal dari pengalaman traumatis.
Para ahli terapi kognitif percaya bahwa sebelum terjadinya respon maladaptif
individu, biasanya diawali oleh proses distorsi kognitif yang berasal dari kesalahan logika,
kesalahan mencari alasan atau pandangan individu yang tidak menggambarkan realitas.
Macam-macam distorsi kognitif menurut Burn, D (1998) antara lain:
a. Terlalu memikirkan segalanya atau tidak sama sekali: anda melihat segala sesuatu
dengan kategori hitam putih. Jika prestasi anda kurang dari sempurna maka anda
memandang diri anda sebagai orang yang gagal total.
b. Over generalisasi: anda memandang suatu peristiwa yang negatif sebagai sebuah
pola kekalahan tanpa akhir.
c. Filter mental: anda menemukan sebuah hal kecil yang negatif dan terus
memikirkannya sehingga pandangan anda tentang realita menjadi gelap, seperti
tetesan tinta yang mengeruhkan seluruh air dalam gelas.
d. Mendiskualifikasi yang positif: anda menolak pengalaman-pengalaman positif
dengan bersikeras bahwa semua itu bukan apa-apa. Dengan cara ini anda dapat
mempertahankan suatu keyakinan negatif yang bertentangan dengan pengalaman-
pengalaman anda sehari-hari.
e. Loncatan kesimpulan-kesimpulan anda membuat sebuah penafsiran negatif
walaupun tidak ada fakta yang jelas mendukung kesimpulan anda.
f. Membaca pikiran: dengan sewenang-wenang anda menyimpulkan bahwa
seseorang sedang bereaksi negatif terhadap anda dan anda tidak mau bersusah
payah mengeceknya.
g. Kesalahan peramal: anda mengharapkan segala sesuatu akan berubah menjadi
sangat buruk dan anda merasa yakin bahwa ramalan anda tersebut sudah
merupakan suatu fakta yang pasti.
h. Pembesaran (pembencanaan) atau pengecilan: anda melebih-lebihkan pentingnya
suatu hal (misalnya kesalahan anda atau kesuksesan orang lain) atau dengan tidak
tepat mengerutkan segala sesuatu sehingga menjadi sangat kecil (sifat anda yang
baik atau cacat orang lain) ini disebut permainan teropong.
i. Penalaran emosional: anda menganggap bahwa emosi-emosi anda yang negatif
mencerminkan bagaimana sebenarnya realita: saya merasa begitu, maka pastilah
saya begitu.
j. Pernyataan “harus”: anda mencoba menggerakkan diri anda sendiri dengan harus
serta seharusnya, seolah-olah anda harus dicambuk dan dihukum sebelum dapat
diharapkan melakukan apapun. Perkataan “mestinya” juga merupakan penyerang
diri anda, konsekuensi emosionalnya adalah rasa bersalah. Bila anda mengarahkan
pernyataan “harus” tersebut kepada orang lain, maka anda akan merasakan amarah,
frustasi dan kejengkelan.
k. Memberi cap dan salah memberi cap: suatu bentuk ekstrem dari over generalisasi
yang anda lakukan bukannya menguraikan kesalahan anda tetapi malah
memberikan sebuah cap negatif pada diri anda sendiri, saya memang seorang yang
sial. Namun, jika perilaku orang lain menyinggung perasaan anda, maka anda
menempelkan seluruh cap negatif kepadanya: “Saya memang seorang yang
bodoh.” Salah memberi cap berarti menggambarkan suatu peristiwa dengan bahasa
yang sangat dipengaruhi emosi.
l. Personalisasi: anda memandang diri anda sendiri sebagai penyebab dari suatu
peristiwa eksternal yang negatif, yang dalam kenyataannya sebenarnya bukanlah
anda yang pertama kali harus bertanggungjawab terhadap hal tersebut.
Proses CPT sendiri seperti dijelaskan oleh Resick dan Schnicke (1992), yang
melakukan pendekatan CPT pada wanita korban pemerkosaan, dilakukan dalam beberapa
tahapan. Proses terapi biasanya berlangsung selama 12 sesi dalam bentuk terapi
berkelompok yang terdiri dari 1,5 jam setiap sesi. Awalnya klien dididik untuk mengolah
informasi, khususnya yang berkaitan dengan pemerkosaan mereka. Sebuah tugas tertulis
dibuat untuk membantu klien mengeksplorasi makna secara pribadi dalam mempercayai
peristiwa traumatik yang mereka alami. Klien juga diajarkan untuk membedakan perasaan
dan pikiran, serta mengenal hubungan antara kognisi (pernyataan yang dibuat oleh diri
sendiri) dan perasaan mereka. Pada tahap exposure dari CPT, klien diminta untuk kembali
mengingat peristiwa traumatik yang mereka alami dengan cara menulis secara rinci
peristiwa pemerkosaan, yang kemudian dibaca kembali selama proses terapi dan saat klien
berada di rumah. Penekanan terhadap hal ini terletak pada proses exposure diharapkan
akan membantu klien dapat memiliki pengalaman yang penuh emosi baik selama proses
penulisan dan selama pembacaan ulang dari apa yang telah mereka tulis. Dengan cara ini
CPT mendorong klien untuk mendalami emosi mereka secara penuh. Menurut Resick dan
Schnicke (1992) alasan di balik latihan ini adalah untuk menangkal kecenderungan korban
perkosaan untuk menekan atau menghindari emosi luar biasa yang dialami dalam kaitan
dengan serangan pemerkosaan dan untuk mengidentifikasi stuck points yang bisa
mewakili proses pemikiran inkomplit yang dialami oleh klien.
Sedangkan tahapan kognitif dari CPT meliputi proses mengajarkan klien tentang
bagaimana cara mengidentifikasi, melawan, dan merangkai keyakinan-keyakinan
maladaptif dan mengenali pola berpikir yang salah. Kemudian diadakan diskusi kelompok
dan klien juga diberikan pekerjaan rumah yang bertujuan untuk membentuk pernyataan
adaptif sebagai hasil akhir yang diinginkan dari proses terapi dan membantu klien
menyelesaikan konflik atas stuck points di masa lampau. Pada sesi CPT berikutnya,
peserta kembali diminta untuk menulis sebuah catatan tentang makna dari kejadian
pemerkosaan, tanpa mengacu pada tulisan sebelumnya.
Sesi terakhir dari CPT berfokus pada analisis akhir dari keyakinan mereka tentang
keintiman, diskusi tentang tugas menulis sebelumnya, dan peninjauan kembali akan tujuan
dan rencana untuk masa depan. Resick dan Schnicke (1992) menambahkan bahwa selama
masa pengobatan, peserta harus diingatkan bahwa tujuan utama dari terapi adalah untuk
membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan untuk mengelola pola pikir dan
keyakinan maladaptif.
Penggunaan metode CPT dalam mengurangi keluhan pasien dengan PTSD sendiri
telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Monson, et al, (2006). Pada
penelitian tersebut disimpulkan bahwa pada 60 orang veteran perang yang memiliki
keluhan terkait PTSD terdapat perbaikan yang signifikan pada kelompok perlakuan terkait
keluhan PTSD dan keluhan penyerta lainnya dibandingkan dengan kelompok waitlist.
Dikatakan juga sebanyak 40% dari sampel yang mendapat perlakuan CPT secara intens
tidak lagi memenuhi kriteria PTSD dan sebanyak 50% di antaranya mengalami perubahan
yang nyata terkait keluhan PTSD setelah proses CPT selesai.
Salah satu faktor yang berpengaruh penting terhadap kejadian yang menimbulkan
stres adalah penggunaan strategi adaptif (coping mechanism). Respon individu terhadap
stres, dengan coping mechanism yang positif dan efektif dapat menghilangkan atau
meredakan gangguan stres. Sebaliknya coping mechanism yang negatif dan tidak efektif,
dapat memperburuk kesehatan dan memperbesar potensi menjadi sakit dan gangguan lain.
Salah satu cara manajemen stres adalah teknik relaksasi yang meliputi: meditasi,
terapi seni, aromaterapi, simple massage, terapi musik, akupresure, manajemen kemarahan
(Dochterman, J.M. & Bulechek, G.M., 2004).
a. Meditasi
Meditasi umumnya mengacu pada keadaan dimana tubuh secara sadar menjadi
relaks dan pikiran dibiarkan menjadi tenang dan terpusat. Meditasi dapat dibagi menjadi
dua jenis menurut Tart (1997), yaitu:
1) Meditasi konsentratif
Teknik meditasi konsentratif pada dasarnya memberikan instruksi untuk
memperhatikan secara penuh pada beberapa hal tertentu, dapat berupa objek eksternal
yang terlihat nyata atau sensasi internal seperti tarikan nafas.
2) Meditasi pembukaan (opening-up meditation)
Teknik meditasi ini mengacu pada beragam teknik yang bertujuan membantu
seseorang meningkatkan kepekaan dan kesadaran secara penuh dari apapun yang terjadi
padanya, menjadi pengamat yang sadar (conscious observer) dalam mengamati apa yang
terjadi tanpa harus bereaksi kepadanya.
Meditasi sangat mendukung proses terapi CBT itu sendiri. Meditasi menekankan
pada pentingnya membangun konsentrasi pada satu target (misalnya berkonsentrasi pada
pola nafas diri sendiri) disertai dengan membuang jauh pikiran lain yang dapat
mengganggu jalannya proses meditasi. Hal ini sangat berguna pada pasien dengan PTSD
terkait dengan keluhan seperti agitasi ataupun kecemasan yang dialami oleh pasien.
Seperti dikemukakan oleh Coffey dan Beck (2005), penambahan kegiatan meditasi pada
grup CBT disarankan sebagai bagian dari proses terapi. Tujuannya adalah untuk
memfokuskan pikiran pasien pada kejadian-kejadian yang baru saja terjadi daripada
memikirkan kejadian di masa lalu ataupun di masa depan. Pada akhirnya, keseluruhan
teknik relaksasi sebagai bagian dari manajemen stres dapat memberikan hasil yang positif
terhadap keluhan pasien PTSD. Hal ini didukung oleh data yang dinyatakan oleh Bison
dan Andrew (2009) yang melakukan clinical review terhadap berbagai penelitian klinis
terkait terapi psikologis pada pasien dengan PTSD. Disimpulkan bahwa dari tiga studi
(total 123 resonden) yang membandingkan penggunaan manajemen stres sebagai terapi
psikologis pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok waitlist/usual care,
dimana terdapat perbedaan yang signifikan terkait dengan keluhan PTSD post terapi.
Dengan nilai RR (95% CI) adalah 0,64 dan nilai p sebesar 0,0023.
b. Terapi Musik
Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan
rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya yang
diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik
dan mental (Eka, 2011). Terapi musik terdiri dari dua hal yaitu aktif dan pasif, dengan
pendekatan aktif maka pasien dapat turut serta aktif berpartisipasi. Misalnya pada saat
mendengarkan musik mereka dapat ikut serta bersenandung, menari, atau sekedar bertepuk
tangan, sedangkan yang sifatnya pasif jika pasien hanya bertindak sebagai pendengar saja,
meski sebagai motorik mereka tampak pasif, namun sesungguhnya aktivitas mentalnya
tetap bekerja (Kurniawan, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suhartini (2008) yang melakukan
penelitian terkait efektifitas terapi musik terhadap penurunan kecemasan pasien di
Intensive Care Unit (ICU) yang diukur melalui parameter tekanan darah sistol dan diastol
serta jumlah respirasi, didapatkan hasil yang signifikan dengan nilai p sebesar 0,000 –
0,002.
c. Aromaterapi
Aromaterapi adalah bagian dari pengobatan herbal yang menggunakan wangi-
wangian yang berasal dari senyawa-senyawa aromatik, biasanya berasal dari bahan cairan
tanaman (minyak esensial). Manfaat dari aromaterapi ini umumnya berkaitan dengan
kondisi fisik, mental, emosional dan spiritual. Cara penggunaan aromaterapi adalah
dengan melalui inhalasi atau penggunaan topikal setelah diencerkan dalam carrier oil.
Cara kerja aromaterapi adalah dengan menstimulus otak (apabila diinhalasi) sehingga
menimbulkan efek emosi tertentu. Biasanya efek yang dicari adalah menenangkan dan
merilekskan. Sedangkan untuk penggunaan topikal minyak atsiri memiliki banyak manfaat
farmakologis seperti melancarkan peredaran darah, menghangatkan, anti-inflamasi,
relaksan, stimulant, antispasmodik, sedative, antiviral, antifungal, diuretik dan afrodisiaka
(Agusta, A., 2000).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shahnazi et al (2012) yang melakukan
penelitian terkait penggunaan aromaterapi lavender dalam bentuk inhalasi pada wanita
yang menggunakan Intra Uterine Device (IUD), didapatkan bahwa terdapat penurunan
rerata skor kecemasan pada kelompok intervensi (p < 0,001) dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
BAB 3
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA