Anda di halaman 1dari 14

ASMA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:
Gisti Adiasta
20174011039

Diajukan Kepada:
dr. H. Mohamad Iqbal, Sp. PD.

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
I. Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Umur : 70 tahun

Alamat : bangunjiwo, kasihan, Bantul

Pekerjaan : Petani

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Batuk, sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang:

Seorang laki laki berusia 70 tahun datang ke IGD RS PKU


Muhammadiyah Gamping Yogyakarta dengan keluhan batuk, sesak nafas. Batuk
dirasakan sejak 3 hari SMRS , kering dan terus memberat disertai sesak nafas. Sesak
nafas dirasakan terutama pada saat terkena debu, hawa dingin,dan kelelahan. Sesak
nafas bertambah berat pada malam hari. Sesak nafas dirasa berkurang pada posisi
duduk dibandingkan tidur. 3 hari yang lalu, pasien merasakan mual dan muntah 3x,
tetapi membaik setelah minum obat. Selain itu, pasien mengaku lemas, mual (+),
muntah (+). Nafsu makan dan minum pasien berkurang. BAB dan BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Riwayat asma (+) dan setiap serangan minum salbutamol


- Riwayat alergi (+) debu, telur
- Riwayat DM (-)
- Riwayat HT (+)
- Riwayat maag (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:

- Riwayat asma (+)


- Riwayat HT (+)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat alergi (+)
- Riwaayat maag (-)
Riwayat Sosial dan Gaya Hidup:

Pasien bekerja sebagai petani dan dirasakan sesak nafasnya memberat


ketika kelelahan bekerja.

III. PEMERIKSAAN FISIK:


 KU : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 VS :
 TD : 149/100 mmHg
 N : 111x/menit
 T : 36,9C
 RR : 28x/menit
 SpO2 : 96%

Status Generalis:

 Pemeriksaan Kepala Leher


o Bentuk : Simetris
o Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
o Hidung : Discharge (-), nafas cuping hidung (-)
o Mulut : Mukosa kering (-), bibir sianosis (-)
o Leher : Limfadenopati (-)
 Pemeriksaan Thorax
o Inspeksi : dinding dada simetris, ketertinggalan gerak (-), jejas (-)
o Palpasi : nyeri tekan (-), vokal fremitus normal di seluruh lapang
paru
o Perkusi : sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (+/+), ronkhi basah kasar (-/-),
suara jantung S1-S2 murni, regular, bising (-)
 Pemeriksaan Abdomen dan Pelvis
o Inspeksi : Datar, jejas (-)
o Auskultasi : BU (+) normal
o Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
o Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrik (+), defans muskular (-)
o Hepar dan Lien: Tidak teraba
o Punggung dan Pinggang : deformitas (-)
 Ekstremitas
o Superior : Edem -/-, deformitas -/-, akral hangat +/+
o Inferior : Edem -/-, deformitas -/-, akral hangat +/+

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


HEMATOLOGI – DARAH RUTIN 18/3/2018 11:29
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Leukosit 6200 4000-11.000 mm3
Basofil 0 0-1%
Eosinofil 0 1-3%
Neutrofil 71 H 50-70%
Limfosit% 21 20-40%
Monosit% 8 2-8%
Eritrosit 5,5 4,5-5,8 juta/mm3
Hemoglobin 14,5 12-18 g/dl
Hematokrit 46 37-54%
MCV 94,2 82-98 fL
MCH 29,3 27-34 pg
MCHC 33,6 32-36 g/Dl
Trombosit 263 150-400 ribu/mm3
RDW CV 12,7 11-16%
RDW SD 48,3 35-56%
Laju endap darah 19 H
KIMIA KLINIK 18/3/2018 11:29
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Glukosa Sewaktu 152 70-140 mg/dL
ureum 27,4 15-45mg/dl
kreatinin 0,78 0-1,3

Expertise:

Cardiomegali dengan pulmo normal


V. DIAGNOSIS
- Asma Attack
- dispepsia

VI. PENATALAKSANAAN
- Oksigen 4 lpm
- Infus RL 20 tpm
- Ondansetron 8mg
- Injeksi Ranitidin 1 A
- Injeksi Pantoprazole 1 vial/12 jam
- Inhalasi Combivent+Pulmicort 1:1
- Metilprednisolon 62,5mg

VII. MASALAH YANG DIKAJI


1. Apa yang dimaksud dengan asma?
2. Bagaimana cara penegakkan diagnosis asma?
3. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien asma?
PEMBAHASAN
ASMA

A. DEFINISI
Asma adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran pernapasan yang
menyebabkan hiperresponsif, obstruksi dan aliran udara terbatas yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi, penumpukan mukus dan proses inflamasi dengan manifestasi klinis
bersifat periodik dan reversibel, berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, batuk
terutama pada malam atau dini hari dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel
mast, eosinofil dan limfosit T. Diagnosis asma ditegakkan pada usia ≥5 tahun (Global
Initiative for Asthma, 2014).

B. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia tahun 2013, insidens
asma mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, yaitu terlihat bahwa umur 25-34
tahun memiliki prevalensi asma tertinggi sebesar 5,7% dan umur <1 tahun memiliki
prevalensi asma terendah sebesar 1,5%, ditunjang dengan pemeriksaan peak flow dan
spirometri.

C. ETIOLOGI
Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, namun secara
umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan (Depkes
RI, 2009).
Faktor genetik, di antaranya:
1. Riwayat atopi, pada penderita asma biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga
memiliki alergi.
2. Hipereaktivitas bronkus ditandai dengan saluran napas yang sangat sensitif terhadap
berbagai rangsangan alergen atau iritan.
3. Jenis kelamin, pada pria merupakan faktor risiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.
Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih berjumlah sama dan bertambah
banyak pada perempuan usia menopause.
4. Obesitas ditandai dengan peningkatan Body Mass Index (BMI) > 30kg/m 2. Penurunan
berat badan penderita obesitas dengan asma dapat memperbaiki gejala fungsi paru,
morbiditas dan status kesehatan.
Faktor lingkungan, seperti:
1. Alergen dalam lingkungan tempat tinggal (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang, seperti anjing, kucing).
Faktor lain, yaitu:
1. Alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan).
2. Bahan iritan (parfum, household spray, asap rokok, cat, sulfur).
3. Obat tertentu (golongan beta blocker, seperti aspirin)
4. Stress atau gangguan emosi.
5. Polusi udara.
6. Cuaca.
7. Aktivitas fisik yang berat.

D. KLASIFIKASI
GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu asma intermiten, asma
persisten ringan, asma persisten sedang dan asma persisten berat. Dalam klasifikasi
GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya.
Adapun klasifikasi berdasarkan derajat asma eksaserbasi, seperti:

E. PATOFISIOLOGI
Asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan
mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas,
gangguan saraf otonom dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga
berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang
khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas
tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut
terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.
Dikenal 2 jalur, yaitu jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan
jalur saraf otonom.
Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan
diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan
dikomunikasikan kepada sel Th, terutama Th2. Sel Th akan memberikan intruksi melalui
interleukin atau sitokin agar sel plasma membentuk IgE, sel radang lain, seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator inflamasi, seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet
activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX). Sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema
saluran napas, infiltrasi sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis subepitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas
saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat,
latihan, udara dingin dan stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada
jalur non alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus
dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan
nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak
ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan
sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel inflamasi.

F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (Depkes RI, 2009)
Secara klinis ditemukan gejala berupa sesak episodik atau sulit bernafas, mengi
(wheezing) saat ekspirasi, batuk kronik berulang memberat pada saat malam hari, dada
terasa sakit seperti terikat, gejala semakin memberat pada musim tertentu dan terpapar
faktor risiko.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan berdasarkan dari episode gejala dan derajat
obstruksi saluran napas.
- Inspeksi : pasien gelisah, sesak nafas (nafas cuping hidung, nafas cepat), sianosis.
- Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat terjadi
pulsus paradoksus).
- Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata.
- Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir.
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan, seperti:
1. Pemeriksaan fungsi paru dapat dengan:
- Spirometri untuk menilai hambatan aliran udara dan reversibilitas, selain itu
untuk menegakkan diagnosis, menilai derajat berat asma dan pemantauan. Jika
peningkatan FEV1 ≥12% dan ≥200 cc setelah pemberian bronkodilator, hasilnya
reversibel.
- PEF (Peak Expiratory Flow) untuk menegakkan diagnosis dan monitoring.
Diagnosis asma, jika: peningkatan 60 cc/menit setelah inhalasi bronkodilator atau ≥20%
dibandingkan PEF sebelum pemberian bronkodilator.
2. Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukan adanya hiperreaktivitas bronkus,
dengan cara uji dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan
garam hipertonik. Uji provokasi bronkus bermakna jika terjadi penurunan FEV 1 sebesar
20% atau lebih.
3.Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma.
4. Uji tusuk kulit (skin prick test)
Uji kulit dengan alergen dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada asma
ekstrinsik alergi. Keadaan alergi ini dihubungkan dengan adanya produksi antibodi Ig E.
5. Pemeriksaan radiologis
Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru.
G. PENATALAKSANAAN
1. Non farmakologis (GINA, 2016)
a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan allergen
b. Aktivitas fisik yang sesuai
c. Penghindaran paparan alergen kerja
d. Penghindaran obat yang dapat memicu asma
e. Penghindaran alergen dalam ruangan
f. Latihan bernafas
g. Diet sehat dan penurunan berat badan
h. Vaksinasi
j. Kontrol stress emosional
l. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
m. Penghindaran makanan allergen
2. Farmakologis (GINA, 2016)
Obat untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan asma secara
reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas, mengendalikan gejala dan
menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru.
b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk meredakan gejala asma,
misalnya saat perburukan atau eksaserbasi atau saat terjadi brokonstriksi terkait olahraga.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. (2009). Riset Kesehatan Dasar 2008. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Global Initiative for Asthma (GINA). (2016). Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Diakses dari http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411 pada 16
Desember 2017.
Hall, G. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Kapita Selekta Kedokteran. (2014). Essential of Medicine. Jakarta: Media Aesculapius.
Karnen, B. (2014). Asma Bronchial. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Katzung, B. G. (2009). Basic and Clinical Pharmacology. San Fransisco: The McGraw
Hill Companies.
Longo dkk. (2012). Harrison’s Principle of Internal Medicine. San Fransisco: The
McGraw Hill Companies.
Ministry of Health Fiji Island. (2010). Guideline for The Diagnosis, Management and
Prevention of Typhoid Fever. Australian: Australian Government.
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. (2014).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2004). Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Taib S. (2002). Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma. Surabaya: Pertemuan Ilmiah
Paru Milenium Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai