Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS FOTOKONTAK ALERGI


TINEA CRURIS

NURUL HAFIZHAH SURIA SAPUTRI


20170411085
IDENTITAS
 Nama : Tn. S
 Umur : 67 tahun
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Peternak
Anamnesis
 Keluhan Utama : Gatal di lengan, punggung, kaki dan pantat
 Riwayat Penyakit Sekarang : Seorang pasien laki-laki usia 67 tahun datang
ke poli kulit RS PKU Muhammadiyah Gamping dengan keluhan gatal-gatal
di lengan, punggung, kaki dan pantatsejak ± 6 bulan yang lalu. Gatal
dirasakan terutama ketika berkeringat. Pada bagian pantat, disertai
munculnya kerak putih seperti ketombe sehingga pasien merasa tidak
nyaman untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Tidak nyeri, terkadang
bagian yang gatal terasa panas. Pasien sudah mengobati dengan
mengoleskan mikonazole krim yang dibeli dari apotik ±3 bulan
terakhir. Tapi pasien merasa keluhan belum membaik. Pasien
menggunakan sabun sulfur ± 1 tahun tearkhir.
 Riwayat Penyakit Dahulu : Keluhan serupa berupa gatal di badan dirasakan
sejak beberapa tahun terakhir, Alergi (-), Penyakit kronis (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga : Keluhan serupa (-), Alergi (-), Penyakit kronis (-)
 Riwayat Personal Sosial : Sehari-hari pasien beternak ikan, dan sering
menghabiskan waktu cukup lama di bawah terik matahari tanpa pelindung
diri
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
 Tekanan darah : 115/78 mmHg
 Frekuensi nadi : 83 x/menit
 Frekuensi napas : 19 x/menit
 Suhu : 37,0 oC
Pemeriksaan Fisik Umum
 Mata : anemis -/-, ikterus -/-
 Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
 Paru : vesikuler +/+, rhonki (-), wheezing (-)
 Ekstremitas : nadi kuat, edema (-), akral teraba hangat (+), CRT < 2”
STATUS DV
 Kedua lengan, tengkuk, tungkai, kaki ; makula, patch hipo-
hiperpigmentasi, skuamasi, xerotik, fissura
STATUS DV
 Pantat : patch hiperpigmentasi, plisiklik, central healing
Pemeriksaan Penunjang : KOH 10%

Tampak gambaran hifa bersekat


Diagnosis

 Diagnosis kerja : Dermatitis Foto Kontak Alergi ec susp. sabun sulfur,


Tinea Cruris
 Diagnosis banding :
 Dermatitis Kontak Iritan
 Neurodermatitis
 Liken simplek kronikus
Pentalaksanaan
R/ Griseofulvin tab mg 500 no XV
S 0-0-1
R/ Metilprednisolon tab mg 8 no VIII S 1-1-0 selama 3 hari
S 1-0-0 selama 2 hari
R/ Loratadine tab no VII
S 0-0-1
R/ Desoksimetason cr 15
ikamicetin oint 10
Mfla da in pot I
S 2 dd ue (untuk lengan, tungkai, leher)
R/ mikonazole cr gr 30
S 2 dd ue (untuk pantat)
Definisi

 Dermatitis Foto Kontak Alergi


adalah tipe klasik reaksi hipersensitivitas tipe IV yang terjadi pada seseorang yang
sebelumnya telah peka terhadap bahan kimia yang sama atau yang bereaksi silang
dengannya. Hapten diproduksi setelah paparan UV - menghasilkan photoactivated bahan
kimia atau photoproduct

 Tinea Kruris
adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk)
yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita pada daerah kruris (sela paha,
perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat meluas ke daerah sekitarnya
Epidemiologi
 DFKA
Fotoalergi adalah kondisi yang relatif jarang dan populasi yang memadai studi belum dilakukan.
Paparan sangat penting untuk
berkembangnya kepekaan
A total of 346 photoallergic reactions occurred in 200 (19.4%) subjects. PACD was most
commonly caused by the topical NSAIDs ketoprofen (128 subjects) and etofenomate (59
subjects). Of the organic sunscreen absorbers, octocrylene, bemzophenone‐3 and
butylmethoxydibenzoylmethane most frequently elicited PACD.

 TINEA KRURIS
Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis. Tinea kruris dan Tinea
korporis merupakan dermatofitosis terbanyak
Laki-laki pasca pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya mengenai usia 18-25
tahun serta 50-65 tahun1,2.
Paling banyak mengenai daerah tropis karena tingkat kelembapannya yang tinggi dan dapat
memicu pengeluaran keringat yang banyak menjadikan faktor predisposisi penyakit ini.
Patofisiologi
 Reaksi fototoksik

secara klinis dan simtomatik menyerupai sengatan matahari. Reaksi fototoksik terjadi dalam hitungan menit hingga
jam setelah terpapar obat dan cahaya dan terjadi pada semua individu yang diberi obat spesifik dan ultraviolet (UV)
paparan. Ruam yang secara klinis menyerupai kulit terbakar dan menyengat adalah fitur yang menonjol.
Reaksi fototoksik adalah reaksi "sengatan matahari" yang berlebihan di mana sel-sel kulit dirusak secara langsung oleh
radiasi elektromagnetik melalui produksi radikal bebas, metabolit toksik, panas, atau oleh kerusakan langsung pada
DNA, ditambah oleh bahan kimia eksternal. Ini dapat terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam setelah
terpapar,meskipun mungkin juga ditunda
satu atau dua hari. Reaksi fototoksik dapat dihasilkan pada siapa saja yang diberi sinar ultraviolet (UV) dosis cukup
tinggi dan bahan kimia fototoksik. Hal ini dapat terjadi pada pemaparan tanpa memerlukan sensitisasi.
Reaksi fototoksik cenderung memiliki batas yang tegas.

 Reaksi fotoalergi

sedangkan reaksi fotoalergi menyerupai dermatitis. Reaksi obat fotoalergi


dimediasi oleh tipe IV tertunda hipersensitivitas dan terjadi 24 hingga 48 jam setelah paparan UV. Secara klinis, lesi
berada di situs yang terpapar sinar matahari, tetapi tidak dibatasi dengan baik sebagai reaksi fototoksik. Terdapat
juga eksim dan
pruritus. Reaksi fotoalergi hanya terjadi pada individu yang peka ketika radiasi elektromagnetik (biasanya ultraviolet)
ringan, tetapi terkadang cahaya tampak) berinteraksi dengan bahan kimia endogen atau eksogen,
mengubahnya menjadi alergen yang dikenal oleh sistem kekebalan orang tersebut sebagai alergen (membutuhkan
lebih dari satu
paparan). Reaksi fotoalergi biasanya terjadi 1 hingga 3 hari setelah paparan (dengan pengecualian urtikaria
matahari,yang langsung). Reaksi alergi foto
juga sesuai daerah paparan, tetapi sering memiliki reaksi kulit meluas ke daerah yang tertutup atau bahkan area
yang jauh
pada jenis erupsi autoeczematous.

Terkadang bahan kimia dapat menghasilkan reasksi fototoksik sekaligus fotoalergi


Patofisiologi

 UV-induced kerusakan sel, yang disebabkan oleh penyerapan


energi yang mengarah ke generasi singlet oksigen, anion
superoksida radikal, dan radikal bebas lainnya
 Perivaskular menyusup di dermis atas dan dermis tengah;
didominasi oleh sel T dengan beberapa neutrofil
 Dermal dan perivaskular edema serta pembengkakan endotel
 Spongiosis (edema intraseluler), dyskeratosis (keratinisasi abnormal
keratinosit), exocytosis (agregasi leukosit dalam epidermis), dan
vacuola sel basal (pembentukan ruang kecil atau vakuola)

Faktor resiko

 Paparan sinar UV selama 30 menit sampai bebrapa jam, dengan


demikian, wabah dalam bulan-bulan musim semi dan musim panas
merupakan karakteristik.
 Paparan sinar UV pada jam 11.00-14.00, ketika 50% dari sinar UV
yang dipancarkan
 Jenis kulit dapat mempengaruhi kemungkinan reaksi. Jenis kulit
putih, rambut merah atu pirang, bermata hijau atau biru biasanya
yang paling sensitif. (frekuensi fotodermatitis di Afrika, Amerika ini
mirip dengan yang di kaukasian)
 Untuk tujuan klinis, fotodermatitis dikategorikan ke dalam empat kelompok :
 Idiopatik Fotodermatosis (misalnya, PMLE, prurigo aktinik, hydroa vacciniforme,
dermatitis aktinik kronis, urtikaria solaris), dimana mekanisme fotosensitisasi tidak
diketahui.
 Eksogen kimia atau reaksi obat (misalnya, reaksi fototoksik, reaksi fotoalergi),
dimana fotosensitisasi (misalnya obat-obatan, wewangian, tabir surya) yang
diterapkan secara eksternal.
 Metabolik atau genetic fotodermatosis (misalnya, xeroderma pigmentosum,
porfiria mencat, pellagra dari kekurangan niacin, penyakit a Hartnup itu
kelainan bawaan karena cacat dalam penyerapan tubular ginjal asam amino
dan ekskresi turunan triptofan), dimana fotosensitisasi tersebut endogen
terbentuk dan disimpan di kulit.
 Sistemik dan penyakit kulit diperburuk oleh UV ( misalnya, SLE, herpes simplek,
acne, rosasea, eksim, pemphigus, dermatomiositis).
Patogenesis
 Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari
 Perlekatan. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa
melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi
dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang
di produksi oleh kelenjar sebasea juga bersifat fungistatik
 Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus
stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi.
Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga
menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi
jamur ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam
epidermis.
 Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun
penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed
Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan
dermatofita. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh
sel langerhans epidermis dan di presentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T
melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur.
Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable
terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara
spontan menyembuh
Manifestasi klinis

 Lokalisasi : Daerah-daerah yang tak tertutup pakaian seperti wajah,


dahi, leher depan, kuduk, dada bagian atas, pergelangan tangan,
kaki dan jari-jari.
 Eflorosensi / Sifat-sifatnya ; Biasanya polimorf, dimulai dengan
eritema, papula vesikel, skuamasi dan hiperpigmentasi dan jika
kronik likenifikasi.
Manifestasi klinis

 Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas


tegas terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik).26
Bentuk lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit
hiperpigmentasi dan skuamasi menahun.28 Kelainan yang dilihat
dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas,
terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan
papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang,
sementara yang di tepi lebih aktif yang sering disebut dengan
central healing
Penatalaksanaan

 Beberapa pasien yang menderita photodermatitis dapat juga dikenakan


fototerapi. Ini modalitas pengobatan meliputi paparan dikendalikan cahaya
yang pada akhirnya akan menurunkan rasa mudah terpengaruh kulit.
 Terapi imunosupresif dengan azathioprine (50 sampai 150 mg / hari)-untuk
pasien yang sangat fotosensitif
 Glukokortikoid (untuk <1 minggu)-untuk mengontrol letusan
 Hydroxychloroquine, thalidomide, beta-karoten, dan nicotinamide-untuk tidak
dapat diobati dengan PUVA pasien
 Terapi topikal : Pada lesi minimal dapat diberikan krim tabir matahari (sunscreen)
seperti RV paque. Pada keadaan berat/akut dan basah, dikompres tertutup
dengan PK 1/1000. Setelah lesi mongering dapat diberikan preparat
kortikosteroid topical seperti krim hidrokortison 1-2%, atau triamsinolon 0,1%.
Penatalaksanaan Tinea
topikal
 Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, sangat berguna
terhadap kasus-kasus yang diragukan penyebabnya dermatofita
atau candida. Keduanya merupakan derivat azol broad-spectrum
bekerja menghambat sintesis ergosterol yang penting untuk
pembentukan dinding sel jamur8.
 Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam
bentuk salep, Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam
bentuk salep8.
Penatalaksanaan Tinea
sistemik
 Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi
dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum
griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g
untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per
kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab
penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2
minggu agar tidak residif Griseofulvin berikatan dengan sel prekursor keratin
sehingga secara bertahap diganti dengan jaringan yang tidak terinfeksi dan
sangat resisten terhadap invasi jamur/dermatofita
 Derivat Azol: diberikan jika pada beberapa kasus sudah resisten terhadap
griseofulvin. Derivat azol antara lain: itrakonazol, flukonazol, dll. Itrakonazol bersifat
fungistik. Cara kerjanya adalah menghambat pertumbuhan sel jamur dengan
menghambat sintetis ergosterol yang tergantung sitokrom P450. ergosterol ini
merupakan komponen vital dari dinding sel jamur. Obat antifungi ini telah banyak
digunakan dan berdasarkan penelitian lebih efektif dibandingkan griseofulvin.
Itrakonazol dosis dewasa: 200 mg/hari, dosis anak-anak: 5 mg/kg BB/hari diberikan
selama 1 minggu.5,7 Dapat juga diberikan Ketokonasol 200 mg sehari untuk
dewasa atau 3-6 mg/kgBB sehari untuk anak-anak lebih dari 2 tahun
Pencegahan

 Batasi kulit terhadap paparan sinar matahari terutama pada


puncak intensitas ultraviolet
 Gunakan tabir surya spectrum luas, terutama terhadap UVA,
dengan factor perlindungan matahari (SPF) 30 sampai 50.
 Memakai pakaian tertutup seperti kemeja lengan panjang, celana
panjang, dan topi bertepi lebar.
 Hati-hati menggunakan produk yang menyebabkan sensitivitas
matahari. (Jika sudah mengambil obat resep, bagaimanapun, tidak
berhenti minum tanpa berkonsultasi penyedia layanan kesehatan).
 Jangan gunakan perangkat tanning (seperti lampu tanning atau
tempat tidur).
 Mengeringkan daerah yang lembab sebelum ditutup
Pustaka
 Abramowitz AI, Resnik KS, Cohen KR. Margarita photodermatitis [surat] N Engl J
Med 1993; 328 (12):. 891.
 Diaz Ananta Putra. 2014. Gambaran Tinea Kruris pada Pesantren Raudhatul Quran.
Respository Universitas Diponegoro.
 Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.
 Fitzzpatrick, James&Morelli, Joseph. 2016. Dermatology Secret Plus 5th ed. Philadelphia :
Elsevier, Inc.
 Griffiths, A et al. 2016. Rook’s Textbook of Dermatology 9th ed. John Wiley & Sons, Ltd.
 Iwan Trihapsoro. 2003. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan
Di Rsup Haji Adam Malik Medan. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
 Perdoski. Panduan Praktek Klinis bagi spesialis kulit dan kelamin. Jakarta. 2017
 Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s dermatology
in general medicine. Edisi ke7. New York: McGraw-Hill Companies; 2008.

Anda mungkin juga menyukai