Anda di halaman 1dari 3

Analisis Penerapan Pajak Penghasilan 1% Pada UMKM dan Koperasi

Keengganan pengusaha kecil untuk membayar pajak ini sebab mereka memiliki
pemahaman yang keliru terhadap pajak, yakni menganggap bahwa pajak atau retribusi yang
dibayarkan merupakan hubungan timbal balik secara langsung, artinya harus ada insentif
yang secara langsung mereka peroleh dari pajak yang dibayarkan. UMKM merupakan bentuk
usaha yang mampu menyerap banyak tenaga kerja karena mayoritas UMKM berupa usaha
padat karya. Peraturan pemerintah ini mengundang banyak protes sebab pajak 1% diterapkan
bukan dari laba namun dari omzet. Setiap UMKM memiliki omzet, namun belum tentu setiap
bulan akan memiliki laba yang cukup baik terlebih setelah dipajaki 1%.

Dilihat dari asas keadilan maka PPh final 1% ini melanggar asas tersebut. UMKM
merupakan suatu bentuk usaha yang merupakan komponen penting di Indonesia hingga
dibuatkan undang-undang khusus yang mengatur mengenai UMKM Undang-Undang No. 20
Tahun 2008. UMKM merupakan objek pajak potensial bagi pemerintah mengingat
perkembangan UMKM yang pesat di Indonesia. UMKM memiliki peran besar dalam
pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Sejak diberlakukan reformasi perpajakan tahun
1983 melalui implementasi Self Assessment System (SAS), pemerintah Indonesia berusaha
meningkatkan kinerja perpajakannya.

Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang besar dan terdiri dari banyak
daerah yang potensial untuk menjadi objek pajak. Banyak kebijakan yang diberlakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan kinerja perpajakannya, salah satunya adalah pemberlakuan
pajak 1% dari omzet UMKM dan Koperasi sejak 1 Juli 2013 yang dilegitimasi melalui PP 46
Tahun 2013. Pemerintah mengajukan alasan kuat atas penerapan PP kontroversial ini, yakni
dengan dipajaki maka UMKM akan memiliki NPWP sehingga lebih mudah untuk
memperoleh modal melalui bantuan kredit bank. Selain itu PPh final 1% ini merupakan
bentuk penyederhanaan dalam membayar PPh, terutama bagi UMKM yang tidak familiar
dengan pembukuan.

Makalah ini berusaha melakukan telaah kritis pengenaan PPh final 1% bagi UMKM
dengan peredaran bruto di bawah 4.8 milyar. Tujuan penulisan essay ini adalah pertama,
mengkritisi kebijakan PPh final 1% bagi UMKM dari perspektif asas keadilan yang
mencederai SAS. Kedua, mengusulkan beberapa poin yang dapat dijadikan pertimbangan
sebagai win-win solution bagi pemerintah dan pengusaha UMKM agar tidak terbebani
dengan pajak yang dapat menghambat perkembangan usahanya namun tetap mematuhi
perpajakan secara sukarela.

Telaah Kritis Pengenaan Pajak Final 1%

1. Pro dan Kontra PP No 46 Tahun 2013.


Latar belakang pemberlakuan pajak 1 persen pada pajak UMKM disinyalir berangkat
dari dua pandangan:
1) Mampu mengubah status UMKM dan Koperasi dari informal menjadi formal, sehingga
layak mendapat kredit bank,
2) Mampu menambah pendapatan pemerintah.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kemenkeu, pajak
kuartal I-2013 hanya sebesar 18,5% dari target. Belum cukup, jika dibandingkan dengan data
kuartal I-2012, terjadi penurunan realisasi dari sebesar 20%. Hal tersebut merupakan
pencapaian yang jauh di bawah standar, sehingga menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk
memperketat aturan pajak UMKM dan Koperasi. Sosialisasi pajak 1% terus dilaksanakan,
namun tidak menunjukkan hasil yang bagus. Penerimaan pajak yang berasal dari UMKM
hanya sebesar Rp 2 T, dari target Rp 30 T, dengan asumsi UMKM akan memberikan porsi
pada PDB sebesar Rp 3000 T. Sebelum membicarakan mengapa target tak terpenuhi, mari
kita cermati dasar pemberlakuan PP No 46 Tahun 2013 dari prinsip pajak itu sendiri. Dari
berbagai prinsip yang terdapat dalam UU PPh, prinsip keadilan merupakan satu hal yang
disorot di dalam perpajakan.
Kebijakan PPh final 1% yang tertuang dalam PP 46 Tahun 2013 tidak sesuai dengan
asas keadilan perpajakan. Asas keadilan yang dilanggar antara lain pertama kebijakan ini
tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomis dari objek pajak, sebab dipotong dari omzet
bukan dari margin. Kedua kebijakan ini melanggar konsep PTKP sebagai biaya minimal
untuk bertahan hidup sesuai dengan PMK 122/PMK.010/2015 mengenai penyesuaian
besarnya PTKP. Ketiga kebijakan ini tidak memberi ruang bagi UMKM yang menderita
kerugian untuk dapat membebankan kerugiannya dan tetap dipajaki. Artinya PP 46
bertentangan dengan DJP SE No. 03/PJ.31/2004 mengenai kompensasi kerugian. Kebijakan
PPh final 1% juga merupakan kemunduran dari konsep SAS yang diberlakukan sejak
reformasi pajak di Indonesia. Padahal konsep SAS telah secara jelas tercermin dalam Pasal
12 UU No 28 Tahun 2007.
Kepatuhan wajib pajak di Indonesia dapat dilihat dengan dua teori yakni psikologi
fiskal dan slippery slope framework. Berdasarkan psikologi fiskal maka kepatuhan akan
meningkat tergantung persepsi pembayar pajak terhadap pemerintah dan insentif yang
didapat pembayar pajak. Berdasarkan slippery slope framework kepatuhan dapat dibangun
melalui kekuatan otoritas dan rasa percaya terhadap otortitas. Bila diterapkan di Indonesia
maka penegakan hukum tanpa tebang pilih untuk menunjukkan kekuatan otoritas sekaligus
memunculkan rasa percaya. Rasa percaya dapat dibangun melalui komunikasi dengan
memberikan pendidikan dan informasi yang baik tentang perpajakan, pencanangan kebijakan
perpajakan yang adil dan tidak memberatkan, serta membenahi kualitas instansi pemerintah
dan pegawai pajak.
Kebijakan PP 46 tahun 2013 juga perlu dikaji ulang apakah telah menjalankan
amanah UU no. 36 tahun 2008. Beberapa skema perpajakan yang dapat dijadikan
pertimbangan antara lain :
1. Usaha mikro dan kecil yang berada di sektor informal perlu dikeluarkan dari objek
pajak.
2. PPh bukan lagi menjadikan peredaran bruto sebagai basis perhitungan pajak, namun
perlu mempertimbangkan marjin.
3. Pemerintah harus memberi pilihan bagi UKM untuk memilih PP 46 tahun 2013 atau
skema umum.
4. Perlu dilakukan segmentasi atau mebuat grade UMKM berdasarkan jenis usahanya
sebelum memberlakukan kebijakan pajak.
5. Perlu dibuka UU Kerahasiaan perbankan yang memungkinkan kerjasama PPATK dan
DJP sehingga semua aturan perpajakan yang 19 dibuat akan dapat berjalan efektif.

Anda mungkin juga menyukai