OLEH
NENI HARIYANTI
173112620120114
Kondisi Negara yang kacau ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk memperluas
hegemoninya pada dunia Internasional. Belanda menganggap Pemerintahan Republik telah hilang
semenjak Soekarno-Hatta diasingkan, Tentara Nasional Indonesia lemah dan tidak dapat menjaga
stabilitas keamanan, dan kemiskinan yang cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal
mengelola Negara. Belanda menginginkan agar pihak luar negeri tidak menghiraukan Republik
Indonesia. Berita perkembangan upaya diplomasi di luar negeri terus disaksikan oleh para pejuang
dari dalam negeri. Salah satunya adalah berita mengenai sidang Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang akan diadakan pada akhir Februari 1949 yang didengarkan oleh Sultan
Hamengku Buwono IX lewat radio dalam keraton Yogyakarta.
Menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Tentara Nasional Indonesia memasuki
kota Yogyakarta. Pasukan tersebut tergabung dakam SWK Kota yang dipimpin oleh Letnan Amir
Murtopo dan Letnan Marsoedi. SWK Kota mempersiapkan sarana dan prasarana yang akan
digunakan saat penyerangan. Pada malam sebelum serangan, para gerilyawan banyak berdatangan
ke Yogyakarta. Para gerilyawan menyelinap ke rumah-rumah penduduk. Pukul 06.00 tanggal 1
Maret 1949 tepat pada saat sirine berbunyi sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan umum
dimulai. Pertempuran terjadi di seluruh penjuru kota. Pos-pos Belanda di Tugu, Gondolayu,
Komando Keamanan Kota, Benteng Vredenburg, Ngupasan Timuran diserbu secara serentak. Hal
ini mengejutkan tentara Belanda karena serangan yang mendadak. Pasukan Belanda terkepung
dalam markas pertahanan dan hanya dapat meminta bantuan pasukan dari Magelang dan Semarang
melalui pesawat intai Auster/Capy. Kolonel Zanten, Komandan Brigade Belanda wilayah
Magelang mengirim Batalyon KNIL yang paling tangguh( Sumiyati 2001: 36). Bala bantuan
berangkat dari Magelang pukul 11.00. Atas saran dari Sultan hamengku Buwono IX Serangan
Umum 1 Maret 1949 hanya dilancarkan sampai dengan pukul 12.00. Sultan Hamengku Buwono
IX mempertimbangkan pasukan bantuan Belanda yang didatangkan dari luar Yogyakarta serta
menghindari jumlah korban yang lebih banyak.
Serangan Umum 1 Maret 1949 memberi dampak besar bagi Republik Indonesia. Penyerangan
yang mendadak dan serentak dilakukan dari segala penjuru kota memalukan pasukan Belanda,
karena pasukan Belanda hanya dapat bertahan di markas-markas. Hal tersebut sekaligus
membantah pernyataan Belanda bahwa Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia telah
hancur. Hal yang tak kalah penting dari Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah dampak psikologis
dan politis yang ditimbulkan. Serangan tersebut mampu menaikkan semangat rakyat dan prajurit
yang tekah merosot semenjak Agresi Militer Belanda kedua. Secara politis banyak bangsa-bangsa
yang bersimpatik terhadap kasus Indonesia di PBB, sehingga membantu proses diplomasi. Atas
inisiatif UNCI, pada tanggal 4 April 1949 diadakan perundingan antara Republik Indonesia-
Belanda yang dilaksanakan di Jakarta. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H Van Royen,
delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohamad Roem, sedangkan pemimpin pertemuan adalah
Mark Cochran (wakil Amerika Serikat di PBB). Perundingan tersebut terkenal dengan
perundingan Roem-Royen.