Anda di halaman 1dari 5

TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA

SERANGAN UMUM 1 MARET 1949

OLEH
NENI HARIYANTI
173112620120114

FAKULTAS BIOLOGI PROGRAM STUDI BIOMEDIK


UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2018
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan balasan yang dilakukan oleh pasukan militer
Indonesia dari Divisi 3/GM yang berlangsung di Yogyakarta. Serangan ini bertujuan untuk
merebut kembali kota Yogyakarta dan juga sebagai bukti bahwa Tentara Nasional Indonesia dan
Republik Indonesia masih kuat, sehingga diharapkan akan memperkuat posisi Republik Indonesia
dalam perundingan yang berlangsung di PBB. Selain itu, Serangan Umum yang berlangsung pada
tanggal 1 maret 1949 ini bertujuan untuk meruntuhkan mental dan moral pasukan militer Belanda
serta membuktikan kepada dunia Internasional bahwa TNI memiliki kekuatan yang cukup besar
untuk melakukan perlawanan. Terjadinya serangan umum di Yogyakarta pada tanggal 1 maret
1949 tersebut merupakan sebuah aksi Belanda dalam melancarkan Agresi Militer II pada
Desember 1948, Tentara Nasional Indonesia mengambil keputusan untuk melakukan serangan
balasan dengan taktik perang gerilya. Strategi yang pertama digunakan dimulai dengan merusak
jalan kereta api, memutus kabel telepon, menyerang konvoi Belanda dan langkah sabotase lainnya.
Belanda sangat kesulitan dalam menghadapi pasukan Indonesia yang menggunakan siasat gerilya
dalam serangan umum 1 maret di Yogyakarta tersebut. Langkah yang dilakukan Belanda
kemudian memecah kekuatan pasukan militer dan menambah pos-pos penjagaan di kota
Yogyakarta. Dengan situasi tersebut semakin memudahkan Tentara Nasional Indonesia dalam
melakukan serangan terhadap pasukan Belanda.

A. SEBAB TERJADINYA SERANGAN UMUM 1 MARET 1949

Pada Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan serangan ke ibukota Yogyakarta


dalam Agresi Militer yang kedua. Serangan tersebut dilancarkan ke beberapa objek vital seperti
Istana Kepresidenan, markas Tentara Nasional Indonesia, dan bandara Maguwo, serta sasaran
utamanya adalah para pejabat tinggi Republik Indonesia. Presiden Sukarno, Wakil Presiden
Muhammad Hatta, dan beberapa menteri kabinet ditangkap saat siding kabinet berlangsung dan
kemudian diasingkan ke luar Jawa.

Penangkapan pejabat tinggi negara mengakibatkan kekosongan pada sistem pemerintahan,


namun presiden Sukarno telah menunjuk pejabat untuk mengisi kekosongan tersebut sebelum
penangkapan berdasar hasil siding kabinet. Syafrudin Prawiranegara ditunkuk untuk mendirikan
pemerintahan darurat di Bukit Tinggi serta Sultan Hamengku Buwono IX selaku Menteri Negara
Koordinator Keamanan, mengambil alih pemerintahan di ibukota Yogyakarta Hal ini bertujuan
untuk menjaga tegaknya Republik Indonesia dan melakukan perjuangan secara diplomasi. Selain
itu, Jenderal Sudirman dan tentara yang markasnya telah dikuasai oleh militer Belanda memilih
untuk keluar Yogyakarta. Jenderal Sudirman terus memantau kondisi kota Yogyakarta dari luar
serta melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan perang gerilya. Bukan hanya itu saja,
Jenderal Sudirman tetap berkonsolidasi dengan pejabat di ibukota Yogyakarta melalui kurir-kurir.

Kondisi Negara yang kacau ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk memperluas
hegemoninya pada dunia Internasional. Belanda menganggap Pemerintahan Republik telah hilang
semenjak Soekarno-Hatta diasingkan, Tentara Nasional Indonesia lemah dan tidak dapat menjaga
stabilitas keamanan, dan kemiskinan yang cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal
mengelola Negara. Belanda menginginkan agar pihak luar negeri tidak menghiraukan Republik
Indonesia. Berita perkembangan upaya diplomasi di luar negeri terus disaksikan oleh para pejuang
dari dalam negeri. Salah satunya adalah berita mengenai sidang Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang akan diadakan pada akhir Februari 1949 yang didengarkan oleh Sultan
Hamengku Buwono IX lewat radio dalam keraton Yogyakarta.

Sebagai satu-satunya pemimpin di Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX menyadari


bahwa semangat prajurit dan rakyat kian merosot. Sultan Hamengku Buwono IX berinisiatif untuk
melakukan serangan besar-besaran kepada Belanda untuk membangkitkan moral tentara dan
rakyat yang dilancarkan sebelum dilaksanakannya sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Hal tersebut sekaligus menjadi momentum untuk menopang perjuangan diplomasi
B. PERENCANAAAN SERANGAN

Sultan Hamengku Buwono IX segera mengirimkan kurir untuk menghubungi Jenderal


Sudirman di luar kota. Tujuan utamanya meminta persetujuan untuk melaksanakan serangan, serta
menghubungi komandan gerilya. Peranan kurir sangat penting kala itu, mengingat ruang gerak
Sultan Hamengku Buwono yang dibatasi oleh Belanda. Setelah mendapat persetujuan Jenderal
sudirman, mulailah koordinasi antara Sultan Hamengku Buwono IX dan Letkol Suharto.
Koordinasi ini masih menggunakan jasa kurir. Sri Sultan hamengku Buwono IX mengundang
Letkol Suharto untuk bertemu langsung di Keraton Yogyakarta tanggal 13 Februari 1949. Para
tentara membuat pengamanan untuk melindungi Letkol Suharto hingga bertemu dengan Sultan
Hamengku Buwono IX. Hal tersebut dilakukan dengan membuat pengamanan Pagar Betis. Letkol
Suharto diperkenankan memakai pakaian abdi dalem sebelum bertemu Sultan Hamengku Buwono
IX agar dapat menyelinap masuk dan tidak dicurigai musuh. Pertemuan tersebut berlangsung pada
tengah malam serta membahas rencana serangan dan menanyakan kesanggupan Letkol Suharto
untuk mempersiapkan serangan dalam waktu dua minggu.

C. JALANNYA SERANGAN UMUM 1 MARET 1949

Menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Tentara Nasional Indonesia memasuki
kota Yogyakarta. Pasukan tersebut tergabung dakam SWK Kota yang dipimpin oleh Letnan Amir
Murtopo dan Letnan Marsoedi. SWK Kota mempersiapkan sarana dan prasarana yang akan
digunakan saat penyerangan. Pada malam sebelum serangan, para gerilyawan banyak berdatangan
ke Yogyakarta. Para gerilyawan menyelinap ke rumah-rumah penduduk. Pukul 06.00 tanggal 1
Maret 1949 tepat pada saat sirine berbunyi sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan umum
dimulai. Pertempuran terjadi di seluruh penjuru kota. Pos-pos Belanda di Tugu, Gondolayu,
Komando Keamanan Kota, Benteng Vredenburg, Ngupasan Timuran diserbu secara serentak. Hal
ini mengejutkan tentara Belanda karena serangan yang mendadak. Pasukan Belanda terkepung
dalam markas pertahanan dan hanya dapat meminta bantuan pasukan dari Magelang dan Semarang
melalui pesawat intai Auster/Capy. Kolonel Zanten, Komandan Brigade Belanda wilayah
Magelang mengirim Batalyon KNIL yang paling tangguh( Sumiyati 2001: 36). Bala bantuan
berangkat dari Magelang pukul 11.00. Atas saran dari Sultan hamengku Buwono IX Serangan
Umum 1 Maret 1949 hanya dilancarkan sampai dengan pukul 12.00. Sultan Hamengku Buwono
IX mempertimbangkan pasukan bantuan Belanda yang didatangkan dari luar Yogyakarta serta
menghindari jumlah korban yang lebih banyak.

D. DAMPAK SERANGAN UMUM 1 MARET 1949

Serangan Umum 1 Maret 1949 memberi dampak besar bagi Republik Indonesia. Penyerangan
yang mendadak dan serentak dilakukan dari segala penjuru kota memalukan pasukan Belanda,
karena pasukan Belanda hanya dapat bertahan di markas-markas. Hal tersebut sekaligus
membantah pernyataan Belanda bahwa Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia telah
hancur. Hal yang tak kalah penting dari Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah dampak psikologis
dan politis yang ditimbulkan. Serangan tersebut mampu menaikkan semangat rakyat dan prajurit
yang tekah merosot semenjak Agresi Militer Belanda kedua. Secara politis banyak bangsa-bangsa
yang bersimpatik terhadap kasus Indonesia di PBB, sehingga membantu proses diplomasi. Atas
inisiatif UNCI, pada tanggal 4 April 1949 diadakan perundingan antara Republik Indonesia-
Belanda yang dilaksanakan di Jakarta. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H Van Royen,
delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohamad Roem, sedangkan pemimpin pertemuan adalah
Mark Cochran (wakil Amerika Serikat di PBB). Perundingan tersebut terkenal dengan
perundingan Roem-Royen.

Perundingan Roem-Royen mendorong Belanda untuk menyetujui Republik Indonesia sebagai


negara dan membebaskan pemimpin-pemimpin republik Indonesia yang ditangkap pada Agresi
Militer kedua. Berdasar hasil perundingan tersebut, akan diadakan perundingan tingkat lanjut,
yakni Konferensi meja Bundar. Selain itu, kota Yogyakarta kembali ke Republik Indonesia dan
diikuti kedatangan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, para menteri cabinet, dan
Jenderal Sudirman yang kembali dari medan gerilya.

Anda mungkin juga menyukai